Share

2. Obat Tidur

Author: Pixie
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dengan santai, Emily kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Louis sedang menghujaninya dengan beragam pertanyaan dari seberang sana.

“Emily, apa yang terjadi? Apakah seseorang menyerangmu? Kau baik-baik saja? Emily? Jangan membuatku semakin khawatir.”

Bukannya merasa bersalah, Emily malah mendesah lelah. “Aku baik-baik saja, Louis.”

Louis mendengus. “Jangan membohongiku! Aku jelas-jelas mendengar keributan tadi.”

“Itu hanya seorang wanita tua yang mendadak hilang keseimbangan. Mungkin dia tidak begitu sehat. Yang jelas, tidak terjadi apa-apa padaku. Orang-orang di sini bahkan tidak mengenalku. Kau tidak perlu khawatir, Louis. Apakah kau lupa? Aku bisa bela diri. Aku bisa mengalahkan musuh."

"Kalau hanya satu," sambung Louis. "Bagaimana kalau dua atau lebih? Kau pikir dirimu Supergirl yang bisa mengalahkan mereka? Belum lagi kalau lawanmu kuat dan lebih besar. Kau tidak aman di sana seorang diri."

Emily mendengus. "Kau meremehkan aku. Kau ingat bagaimana aku mengalahkan Russel saat latihan terakhir?"

"Itu karena dia mengalah padamu. Dia adik yang manis. Dia ingin membuatmu senang dan takut membuatmu terluka."

"Aku juga berhasil mengalahkan Orion."

Louis mendesah remeh. "Dia adalah sepupu yang manis sekaligus pengawalmu. Wajar kalau dia mengalah. Lagi pula, Paman dan Bibi pasti akan memarahinya kalau sampai dia membantingmu."

Emily tanpa sadar memasang tampang cemberut. "Kau selalu saja menganggapku lemah."

"Kau memang lemah, apalagi kaki-kaki kurusmu itu. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa kali kau jatuh atau tersandung tahun ini. Karena itu, cepat pulang!"

Emily meninggikan dagu seolah Louis berada di sisi lain dari meja bundar itu. "Aku tidak mau."

"Kalau begitu, katakan di mana lokasimu. Aku akan segera mengirim pengawal untuk menjagamu."

Sebelah alis Emily bergerak turun. "Untuk menyeretku pulang, maksudmu?"

"Tidak. Aku serius. Keselamatanmu adalah prioritasku. Aku tidak mau mengurus Savior tanpa bantuanmu. Russel belum bisa diandalkan."

Emily menggeleng tipis. "Aku tidak butuh pengawal. Aku kabur ke sini untuk mencari ketenangan. Aku tidak akan merasa bebas kalau ada mereka."

"Aku tidak butuh persetujuanmu. Melindungimu adalah tugasku. Jadi katakan. Apakah Perancis? Kau adalah orang yang produktif. Kau pasti punya misi lain di samping menghindar dari pers. Kau sedang mencari inspirasi untuk desain terbarumu?"

Emily membeku. Matanya berkedip-kedip melihat buku sketsa yang ia selipkan ke dalam tas.

"Jangan sok tahu. Kau bisa berakhir mengirim pengawal ke tempat yang salah," ujarnya kaku.

"Apakah T City? Kau pergi mencari Cayden? Tapi kurasa itu tidak mungkin. Kau pasti gengsi menemuinya lebih dulu. Lalu, apakah kau pergi mencari Sky? Kau selalu curhat padanya setiap kali ada masalah. Tapi dia sudah lama tidak berkabar. Di mana dia sekarang? Kalian tidak diam-diam mengatur pertemuan tanpa mengajakku, kan?"

Alis Emily kembali bertemu. "Kubilang jangan sok tahu. Ah, kau ini menyebalkan sekali."

Tanpa basa-basi lagi, ia menutup telepon. Ia taruh ponsel di atas meja, lalu meneguk habis sisa cokelat hangatnya.

"Saudara kembar macam apa Louis? Dia seharusnya mengerti perasaanku, bukannya malah membuatku jengkel." Emily mengelap mulut dan membanting serbet. "Merusak mood saja!"

Kemudian, ia bereskan barang-barangnya di meja. Di sela-sela omelannya, ia mulai menguap.

"Memangnya siapa yang berani menyerangku di sini? Orang-orang bahkan tidak tahu siapa aku. Lagi pula, di sini ramai. Siapa yang berani menculikku?"

Tiba-tiba, Emily menguap lagi. Matanya sampai terpejam. Saat itulah, ia mulai sadar bahwa rasa kantuknya tak wajar.

"Kenapa aku tiba-tiba mengantuk? Apakah ini efek jetlag? Tapi aku sudah istirahat seharian kemarin," gumamnya sembari memeriksa jam. Malam masih panjang.

Sekali lagi, Emily menguap. Kelopak matanya semakin turun, kepalanya semakin berat. “Apa yang salah denganku?”

Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada cangkir yang telah ia kosongkan. Dalam sekejap, firasat buruk memenuhi hatinya.

"Mungkinkah ... wanita tua tadi memasukkan obat tidur ke dalam minumanku?"

Dengan tatapan ngeri, Emily memandang sekeliling. Semua orang mendadak terkesan mencurigakan baginya. Tanpa membuang waktu lagi, ia beranjak meninggalkan kafe. Sayangnya, baru beberapa langkah ia berjalan, hujan mulai turun membasahi bumi.

"Oh, tidak."

Sambil melindungi kepala dengan tas, Emily berusaha berjalan lebih cepat. Sayangnya, gaun kuning yang ia kenakan membatasi langkahnya. Ia harus menariknya dengan sebelah tangan agar kakinya dapat bergerak lebih leluasa.

"Kenapa aku memilih kostum ini tadi? Aku seharusnya mengenakan outfit simpel saja. Itu jauh lebih berguna di situasi genting seperti ini," batinnya kepada diri sendiri.

Tiba-tiba, Emily merasa seseorang membuntutinya. Ia menoleh ke belakang. Seorang pria bertopi dengan jaket hitam ternyata sedang berjalan cepat ke arahnya.

"Gawat!" umpat Emily dalam hati. Dengan mata yang ia paksakan lebar, ia melihat hotel di ujung jalan.

"Ayo, Emily. Sedikit lagi. Jangan sampai ucapan Louis menjadi nyata. Itu bencana besar."

Malangnya, pria bertopi itu semakin dekat. Jantung Emily berdetak semakin tak karuan. Apalagi gaunnya yang basah mulai terasa berat, sama dengan kelopak matanya yang terbuai untuk menutup lebih lama.

Parahnya lagi, efek obat telah meluas. Tubuhnya mulai terasa lemas. Jaraknya dengan si orang asing dengan mudahnya terpangkas. Lima meter, empat meter, tiga meter. Bulu kuduk Emily meremang.

“Haruskah aku berteriak saja? Tapi siapa yang akan menolongku? Yang ada, aku justru menimbulkan kehebohan baru.”

Sembari menggeleng cepat, Emily membuka tas. Belum sempat ia mengambil semprotan merica, sebuah kilatan cahaya tiba-tiba datang dari depan. Spontan saja, Emily memekik. Entah karena trotoar yang licin atau kakinya yang terlalu lemah, ia jatuh terduduk di dekat kaki sang pria.

“Akh! Ahh ....”

Emily meringis. Pinggangnya terasa sakit. Saat itulah, seorang pria membungkuk, menyodorkan mic yang telah dibungkus plastik.

“Nona, benarkah Anda Emily Harper? Apa yang sedang Anda lakukan di Paris? Apakah Anda sedang melarikan diri?”

Di antara buaian kantuk dan rintik hujan, Emily berkedip-kedip. Wajah pria itu kabur, tertutupi bayang-bayang payung. Hanya kameranya saja yang tampak jelas, tergantung di leher dengan tali berwarna kuning.

Tidak mendapat jawaban dari Emily, sang pria beralih ke arah si penguntit. Ia sedang tertunduk sambil merapatkan topi.

“Bagaimana dengan Anda, Tuan? Apakah Anda orang yang dikirim untuk menjemput Nona Harper pulang? Atau mungkin, Anda orang suruhan Brandon Young yang ditugaskan untuk menjaga Nona?”

Pria bertopi itu tidak menjawab. Sambil terus memegang ujung topi, ia melirik ke kanan dan ke kiri. Kakinya bergerak mundur sedikit.

“Kalau begitu, saya harap Anda tidak keberatan jika saya mengambil foto Anda. Ini akan menjadi liputan eksklusif.”

Blitz kembali menyala. Merasa silau, pria misterius itu menutupi wajah dengan sebelah lengan. Selang satu dengusan, ia akhirnya mundur dan berbalik pergi.

“Tuan? Anda mau ke mana? Wawancara kita belum selesai. Saya bahkan belum memulai. Saya punya banyak pertanyaan untuk Anda. Tuan?”

Pria bertopi itu mulai berlari. Melihat itu, si pemegang kamera tersenyum kecil. “Saya rasa Anda sudah aman, Nona,” tuturnya sembari memastikan si penguntit benar-benar pergi.

Emily berusaha untuk bersuara. Akan tetapi, ia sudah tidak punya tenaga. Ia bahkan tidak mampu mempertahankan posisi. Dua detik kemudian, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Related chapters

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   3. Masih Perawan

    Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya. "Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...." Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat. "Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?" Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria! "Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?" Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan. "Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa." Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah teras

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   4. Cari Masalah

    Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay. "Pertanyaan macam apa itu?"Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu.""Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan.Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku." Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?"Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir. "Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   5. Penyelamat

    "Apakah aku tidak salah lihat? Pria tadi membawa pisau?" bisik si Pirang tegang. Gadis lain yang masih duduk di trotoar menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, si Tinggi memekik dan menutup mulut dengan kedua tangan. Pria bertopi itu telah melancarkan serangan. Tetesan darah berjatuhan di dekat kaki Emily, mengotori trotoar dengan warna merahnya. "G-gawat! Kita bisa berakhir di kantor polisi lagi! Teman-Teman, ayo kabur! Jangan sampai polisi tiba lebih dulu!" pekik si Pirang. Sementara ketiga gadis itu pontang-panting, Emily mematung dengan mulut dan mata terbuka lebar. Ia memang terlambat menangkap tangan si penyerang. Ia juga tahu kalau darah telah menetes di trotoar. Akan tetapi, mengapa ia tidak merasa sakit sedikit pun? Emily pun tertunduk lebih dalam. Mendapati tangan lain yang menggenggam mata pisau, satu inci di depan perutnya, ia terkesiap. Sekujur tubuhnya gemetar. Tiba-tiba, seseorang menariknya ke belakang. Saat itulah, Emily sadar. Prince telah kembali menyela

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   6. Jadilah Pengawalku

    "Siapa Cayden?" Pria itu meninggikan alis. Emily sontak melepas cengkeraman. Kekecewaan terbit di wajahnya. "Jadi kau bukan Cayden?" tanyanya lemah. Sang pria mengernyitkan dahi. Ia tampak tidak nyaman dengan tatapan Emily. Selang satu kedipan, ia menyodorkan tangan kiri. "Prince. Prince Evans. Kurasa ini cara yang lebih tepat untuk berkenalan." Emily tidak menjabat tangannya. Ia tertunduk, mendesah samar. Sebelah tangannya terangkat mencengkeram kepala yang mendadak terasa berat. "Apa yang aku harapkan? Mana mungkin laki-laki ini Cayden?" Ia tertawa pedih. Belum sempat Emily berdamai dengan perasaannya, tiba-tiba saja, Prince merebut ponsel dari genggamannya. "Hei!" Emily menarik jaket kulit yang dikenakan sang pria. Ia berusaha mendapatkan kembali ponselnya. Akan tetapi, Prince sudah lebih dulu menjunjungnya tinggi-tinggi. "Siapa nama kakakmu? Louis?" "Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Emily melompat, tetapi kurang tinggi. "Menghubunginya. Dia harus segera men

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   7. Apakah Dia Cayden?

    “Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut. Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?" Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?" Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir." "Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   8. Kecurigaan Emily

    "Nona Harper? Apakah kau mendengarkanku?" Prince melambai-lambai. Emily spontan mengerjap. "Ya. Aku hanya penasaran. Itukah yang mendorongmu untuk menjadikan aku sebagai subjek fotomu?" Sambil mengangguk santai, Prince mencelupkan sepotong croissant ke dalam cokelat panasnya. "Ya, kita bisa menggabungkan popularitasmu dengan keahlianku. Mungkin itu bisa membantuku untuk mencapai trending satu." Melihat betapa santai Prince meniru gayanya melahap croissant, Emily berhenti mengunyah. "Omong-omong, kenapa kau memesan cokelat panas juga?" Prince terus menikmati makanannya. Ia baru menjawab setelah menelan. "Apakah tidak boleh?" "Boleh. Aku penasaran saja kenapa kau tidak memesan kopi atau teh? Kenapa cokelat panas?" Prince menyeruput minumannya sedikit. "Karena aku suka." Mata Emily menyipit. "Benarkah? Itu tidak sesuai dengan kepribadianmu. Orang yang suka cokelat panas biasanya hangat dan menyenangkan." Tawa Prince mengudara. Suaranya ringan dan nyaman di telin

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   9. Seperti Pasangan

    Emily melihat sekeliling. Tidak ada mobil lain di dekat mereka. Ia melihat ke angkasa. Tidak ada drone yang tertangkap mata. Tiba-tiba, suara Louis kembali bergema. "Sekarang juga, katakan di mana lokasimu! Dan siapa laki-laki itu? Kenapa kau bermesraan dengannya? Apakah dia Cayden?" Emily seketika membeku. "Bermesraan?" "Kau baru saja meraba-raba tubuhnya! Kau bahkan ...." Suara Louis tersekat. "Apa yang kau lakukan di bawah situ?" Emily menghela napas tak percaya. Sebelah tangannya mulai melambai-lambai. "Tidak. Kau sudah salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya .... Tunggu dulu. Dari mana kau menyaksikan semua itu?" "Pemilik mobil yang kau sewa tahu siapa dirimu. Dia merekam gerak-gerik kalian dengan kamera tersembunyi. Kurasa dia sengaja menyiarkannya secara langsung demi mendapat keuntungan. Jumlah penontonnya sudah puluhan ribu sekarang," terang Louis membuat bibir Emily gemetar hebat. "P-puluhan ribu?" "Ya! Semua penonton heboh melihat kelaku

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   10. Terpesona

    "Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis

Latest chapter

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 3. Pengalaman Terbaik

    Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 2. Bulan Madu

    "Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   Extra Chapter 1. Malam Pertama (+18)

    "My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   108. Kemenangan Sejati

    "Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   107. Pernikahan Cayden dan Emily

    "Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   106. Kondisi Summer

    Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   105. Pahlawan

    "Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   104. Serangan yang Membabi-Buta

    Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka

  • Pengawal Misterius Nona Pewaris   103. Terikat di Kursi

    Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa

DMCA.com Protection Status