"Siapa Cayden?" Pria itu meninggikan alis.
Emily sontak melepas cengkeraman. Kekecewaan terbit di wajahnya. "Jadi kau bukan Cayden?" tanyanya lemah. Sang pria mengernyitkan dahi. Ia tampak tidak nyaman dengan tatapan Emily. Selang satu kedipan, ia menyodorkan tangan kiri. "Prince. Prince Evans. Kurasa ini cara yang lebih tepat untuk berkenalan." Emily tidak menjabat tangannya. Ia tertunduk, mendesah samar. Sebelah tangannya terangkat mencengkeram kepala yang mendadak terasa berat. "Apa yang aku harapkan? Mana mungkin laki-laki ini Cayden?" Ia tertawa pedih. Belum sempat Emily berdamai dengan perasaannya, tiba-tiba saja, Prince merebut ponsel dari genggamannya. "Hei!" Emily menarik jaket kulit yang dikenakan sang pria. Ia berusaha mendapatkan kembali ponselnya. Akan tetapi, Prince sudah lebih dulu menjunjungnya tinggi-tinggi. "Siapa nama kakakmu? Louis?" "Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Emily melompat, tetapi kurang tinggi. "Menghubunginya. Dia harus segera menjemputmu," ujar Prince sembari mendongak menatap layar. "Tapi aku belum mau pulang!" "Kalau begitu, biar dia mengirim pengawal khusus untukmu." Emily meringis kesal. "Aku tidak butuh pengawal! Mereka hanya akan menggagalkan misiku, dan mereka pasti akan selalu mengadu kepada Louis." Tiba-tiba, Prince menegakkan kepala. Matanya menyipit menatap Emily. "Lalu kau mau apa? Membiarkan penjahat itu mencelakaimu? Kau tidak takut kalau yang pulang hanya tubuhmu?" Emily berhenti melompat. Masih dengan napas terengah-engah, ia membalas tatapan Prince tajam. "Kau bukan pengawal Louis, bukan juga Cayden. Kau bahkan tidak mengenalku. Tapi kenapa kau suka sekali mencampuri urusanku?" "Itu karena aku peduli padamu," sahut Prince tegas. Emily sampai mengerjap mendengar kedalaman suaranya. "Kau pikir aku tidak tahu seberapa takut kau saat pria itu mengejarmu? Kau tampak begitu putus asa, berlari di bawah hujan. Kau bahkan tidak sanggup bicara saat aku mencegat kalian," tutur Prince dengan tatapan sendu. Kemudian, sementara Emily mengatup mulut, ia melangkah maju. "Lalu tadi pagi, saat pria itu menghunus pisaunya, kau pikir aku tidak sempat melihat wajahmu? Kau ketakutan! Misi apa yang sedang kau kerjakan sampai-sampai kau berani mengambil risiko yang begitu besar?" Emily bergeming menatap mata cokelat di depannya. Ia bisa melihat kemarahan dan ketulusan di sana. Ia merasa familiar, tetapi asing dengan situasi mereka. "Kalau kau takut aku terluka, mengapa kau tidak menjadi pengawalku saja?" Prince mengerjap. Ia tidak menduga datangnya pertanyaan itu. "Apa katamu?" "Kau mengkhawatirkan keamananku jika bepergian seorang diri tanpa perlindungan dari siapa pun. Kalau begitu, kau saja yang menjagaku." Sang pria berkedip-kedip tanpa suara. "Aku bukan seorang pengawal." "Tapi kau mampu menjadi pengawal. Kau sudah menyelamatkan aku dua kali. Kemampuanmu tidak perlu diragukan lagi. Kau juga peduli padaku." Prince mendengus samar. Sebelum ia bicara, Emily menyela, "Aku bisa membayarmu berapa pun." "Kau bilang kau tidak mau memercayai siapa pun. Kau bahkan sempat kabur dariku. Sekarang kau memintaku untuk menjadi pengawalmu?" Emily mengedikkan bahu. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku masih harus melanjutkan perjalanan, dan aku tidak mau pengawal Louis mengikutiku. Kau adalah satu-satunya pilihan. Jadi, bagaimana?" Prince menurunkan tangannya. Sambil berdiri tegak, ia menatap Emily dengan pertimbangan dalam. "Aku bisa membayarmu berapa pun," bisik Emily, meyakinkan. "Ini bukan soal uang, Nona." "Kau tidak mau aku membayar dengan uang?" Emily terbelalak. Kebingungan terpampang nyata di wajah cantiknya. "Lalu, kau mau aku membayar dengan apa?" Nada bicaranya kini sedikit curiga. "Entahlah. Aku bahkan belum setuju. Kenapa kau sudah membicarakan bayaran?" Emily tercengang melihat sikap santai pria itu. "Sejak tadi, kau terus memaksaku untuk pulang atau menghubungi saudaraku. Kau terdengar sangat khawatir akan keselamatanku. Sekarang, aku menawarkan sebuah kehormatan untuk kamu menjadi pengawalku. Atas dasar apa kau berani menolak? Kau tega membiarkan aku bepergian seorang diri?" Prince terdiam sesaat. "Kau memaksaku untuk menjadi pengawalmu?" "Kau satu-satunya opsi bagiku. Kalau tidak," Emily merebut kembali ponselnya, "jangan ribut lagi karena aku memilih bepergian seorang diri." "Kalau begitu, izinkan aku menyimpan beberapa potret dirimu. Hanya itu bayaran yang kubutuh," sahut Prince tanpa terduga. Emily sampai tertegun mendengarnya. "Apa kau bilang? Kau mau menyimpan fotoku? Untuk apa?" Alisnya kembali tertaut. "Aku seorang fotografer. Selama menjadi pengawal, tentu aku kehilangan banyak waktu untuk hunting foto. Kalau kau berkenan menjadi objek fotoku, aku tidak akan menolak tawaranmu." Mata Emily menyipit. "Foto yang kau maksud itu fotoku selama dalam perjalanan, kan?" Prince mengangguk. "Memangnya foto apa lagi yang bisa kuambil?" Emily cepat-cepat menyingkirkan pikiran kotor dari otaknya. "Baiklah, itu bukan masalah. Kalau kerjamu bagus, kau juga akan mendapat bonus. Tapi sebelum kita sepakat, ada satu syarat yang harus kau setujui dariku." Kepala Prince terdorong mundur. "Kau yang melamarku. Seharusnya aku yang mengajukan syarat, tapi kenapa malah kamu?" "Ini bukan sembarang syarat. Aku membuatnya demi kenyamanan kita bersama." Prince merenung sejenak. "Apa syaratnya?" "Kau tidak boleh jatuh cinta padaku," ujar Emily mantap. Mata Prince seketika membulat, napasnya tertahan. "Tunggu dulu. Apakah aku tidak salah dengar? Kau melarangku untuk jatuh cinta padamu? Peraturan macam apa itu?" Emily mengibaskan rambut yang tergerai di pundaknya. "Kau tahu seberapa banyak pria yang tergila-gila padaku di luar sana? Aku tidak mau kau berakhir menyedihkan seperti mereka. Aku sudah punya seseorang di hatiku. Aku tidak bisa menerimamu. Jadi, daripada kau patah hati, bukankah lebih baik kalau kita melakukan tindakan pencegahan? Aku mau kau tetap profesional." "Kau percaya diri sekali, rupanya? Bagaimana kalau ternyata nanti kaulah yang jatuh cinta padaku?" Emily mendengus tipis. "Itu mustahil. Seperti yang sudah kubilang, aku sudah punya seseorang dan posisinya tidak tergantikan. Kau tidak akan pernah bisa menggesernya." Sebelah sudut bibir Prince terangkat lebih tinggi. "Begitukah? Memangnya siapa orang itu? Apakah Brandon? Tapi kau baru saja menolak lamarannya. Lalu, apakah Cayden?" Mendengar terkaan itu, raut Emily membeku. Ia tidak yakin ekspresi apa yang tepat untuk ditunjukkan. Namun, melihat Prince menantikan responsnya, ia cepat-cepat menaikkan sebelah alis. "Dari mana kau tahu?" "Matamu bercahaya saat kau menyebut namanya tadi." Prince mengedikkan bahu. "Jadi, orang seperti apa dia? Apakah pesonanya lebih mematikan dari pesonaku?" Emily terbelalak maksimal. Ia baru tahu ada pria yang memiliki kepercayaan diri selevel dengan Louis. Sayangnya, ia tidak bisa membantah. Ia sendiri tidak tahu seperti apa Cayden sekarang. "Nona Harper?" Prince melambaikan tangannya yang diperban. Emily sontak mengerjap. "Tentu saja dia jauh lebih memesona daripada dirimu," ujarnya mantap. Prince tersenyum kecut. "Benarkah? Bukankah kalian belum pernah bertemu? Kau bahkan sempat mengira kalau aku adalah dia. Aku jadi penasaran. Siapa Cayden Evans itu? Aku belum pernah mendengar atau membaca namanya di media mana pun. Apakah dia juga seorang pengusaha?" Napas Emily diam-diam tersendat. Perasaan bercampur aduk dalam hatinya. "Jangan banyak tanya. Itu tidak ada hubungannya denganmu. Sekarang kembali ke topik. Kau menyanggupi persyaratan itu atau tidak?" Prince berdesis sembari memiringkan kepala. "Aku bisa saja menyanggupinya, selama ...." "Selama apa? Kau juga mau mengajukan syarat?" Prince tersenyum misterius.Halooo, Teman-Teman! Apa kabar kalian? Semoga kita semua sehat-sehat, ya. Selamat datang di cerita Emily. Gimana nih Emily dewasa? Tambah cantik dan keren, kan? Semoga kalian suka dengan ceritanya yaa. Akan ada banyak kejutan dan sensasi. Buat yang mau menebak-nebak, dipersilakan. Terima kasih dan selamat menikmati.
“Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut. Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?" Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?" Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir." "Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku
"Nona Harper? Apakah kau mendengarkanku?" Prince melambai-lambai. Emily spontan mengerjap. "Ya. Aku hanya penasaran. Itukah yang mendorongmu untuk menjadikan aku sebagai subjek fotomu?" Sambil mengangguk santai, Prince mencelupkan sepotong croissant ke dalam cokelat panasnya. "Ya, kita bisa menggabungkan popularitasmu dengan keahlianku. Mungkin itu bisa membantuku untuk mencapai trending satu." Melihat betapa santai Prince meniru gayanya melahap croissant, Emily berhenti mengunyah. "Omong-omong, kenapa kau memesan cokelat panas juga?" Prince terus menikmati makanannya. Ia baru menjawab setelah menelan. "Apakah tidak boleh?" "Boleh. Aku penasaran saja kenapa kau tidak memesan kopi atau teh? Kenapa cokelat panas?" Prince menyeruput minumannya sedikit. "Karena aku suka." Mata Emily menyipit. "Benarkah? Itu tidak sesuai dengan kepribadianmu. Orang yang suka cokelat panas biasanya hangat dan menyenangkan." Tawa Prince mengudara. Suaranya ringan dan nyaman di telin
Emily melihat sekeliling. Tidak ada mobil lain di dekat mereka. Ia melihat ke angkasa. Tidak ada drone yang tertangkap mata. Tiba-tiba, suara Louis kembali bergema. "Sekarang juga, katakan di mana lokasimu! Dan siapa laki-laki itu? Kenapa kau bermesraan dengannya? Apakah dia Cayden?" Emily seketika membeku. "Bermesraan?" "Kau baru saja meraba-raba tubuhnya! Kau bahkan ...." Suara Louis tersekat. "Apa yang kau lakukan di bawah situ?" Emily menghela napas tak percaya. Sebelah tangannya mulai melambai-lambai. "Tidak. Kau sudah salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya .... Tunggu dulu. Dari mana kau menyaksikan semua itu?" "Pemilik mobil yang kau sewa tahu siapa dirimu. Dia merekam gerak-gerik kalian dengan kamera tersembunyi. Kurasa dia sengaja menyiarkannya secara langsung demi mendapat keuntungan. Jumlah penontonnya sudah puluhan ribu sekarang," terang Louis membuat bibir Emily gemetar hebat. "P-puluhan ribu?" "Ya! Semua penonton heboh melihat kelaku
"Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis
"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Selama duduk di restoran, Emily lebih banyak termenung dan terpaku. Prince tidak berani mengganggunya. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai Emily kembali ceria. Beruntung, saat salad datang, senyum manis kembali terbit di wajah cantiknya. "Merci," ucap Emily seraya mengamati piring-piring yang baru diletakkan di meja. Setelah pelayan pergi, ia langsung berdoa dan menikmati suapan pertama dengan mata terpejam. "Oh, aku tidak salah pilih," gumamnya sembari menggeleng samar. Ketika matanya kembali membuka, ia langsung menunjuk piring di depan Prince. "Cobalah! Ini enak. Kau harus makan yang banyak agar bisa menjagaku dengan baik." Prince tersenyum simpul. "Meskipun aku lapar, aku akan tetap menjaga bosku dengan baik." Ia mencicipi saladnya. "Tapi kau butuh tenaga untuk melawan penjahat kalau-kalau dia muncul tiba-tiba. Apa perlu kupesankan steak untukmu? Kamu butuh protein." Kali ini, Prince gagal menyembunyikan tawa. "Itu memang kesukaanku. Bagaimana kalau kita pesan satu po
"Terima ini, Perempuan Tak Tahu Diri!" Emily terbelalak. Ia cepat-cepat memalingkan muka. Sebisa mungkin, ia berusaha menghalau kopi dengan lengannya. Namun, detik berikutnya, bukan rasa panas yang ia terima, melainkan pekikan si wanita muda. "Hei! Apa-apaan ini? Dia sudah berpaling darimu. Kenapa kau malah melindunginya? Lihat gaunku! Kau merusaknya!" Emily menoleh. Baki yang sebelumnya dipegang oleh si pelayan kini telah berada di tangan Prince. Kopi menetes dari tepiannya. Mengetahui pria itu telah berhasil melindunginya lagi, rasa hangat memenuhi hati Emily. "Nona Harper, Anda baik-baik saja?" Suara lembut Prince membuyarkan lamunan. Setelah mengerjap, Emily tertunduk memeriksa pakaian. Tidak ada setitik kopi pun mengenainya. "Ya, aku baik-baik saja." Prince menghela napas samar. Emily dapat dengan jelas melihat kelegaannya. Sementara itu, suami si wanita muda akhirnya bangkit dari kursi. Ia mendekat sembari meringis. "Baby, sudahlah. Jangan membuat masalah lagi. B
"Nona Harper, kau baik-baik saja?" tanya Prince lirih. Emily mengerjap. Ia sadar butiran air mulai mengganjal matanya. "Anda yakin, Monsieur? Berdasarkan informasi yang saya punya, Sky seharusnya masih bekerja di sini." Emily mengabaikan pertanyaan Prince. Sorot mata sendunya hanya tertuju pada si penjaga kastil. "Ya, saya juga heran mengapa dia berhenti begitu mendadak. Kemarin pagi, dia masih memandu timnya dan menyapa saya dengan ceria. Tapi siang harinya, dia malah berpamitan." Emily spontan memegang kepala. Pikirannya mendadak penuh dan terasa berat. "Ke mana ...." Suaranya tersekat. "Ke mana dia pergi?" Sang Monsieur menggeleng samar. Matanya menyipit, memeriksa ingatan. "Saya kurang tahu, Mademoiselle. Tapi sepertinya, ini ada hubungannya dengan Summer. Sejak cuaca semakin dingin, dia terlihat kurang sehat. Mungkin, Sky membawanya ke ...." Pria itu menghentikan bicaranya. Ia merasa tidak ada simpati di mata Emily. Gadis cantik itu hanya tertarik dengan keberadaan Sky.
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa