Pagi, All. Have a nice day!
"Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis
"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Selama duduk di restoran, Emily lebih banyak termenung dan terpaku. Prince tidak berani mengganggunya. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai Emily kembali ceria. Beruntung, saat salad datang, senyum manis kembali terbit di wajah cantiknya. "Merci," ucap Emily seraya mengamati piring-piring yang baru diletakkan di meja. Setelah pelayan pergi, ia langsung berdoa dan menikmati suapan pertama dengan mata terpejam. "Oh, aku tidak salah pilih," gumamnya sembari menggeleng samar. Ketika matanya kembali membuka, ia langsung menunjuk piring di depan Prince. "Cobalah! Ini enak. Kau harus makan yang banyak agar bisa menjagaku dengan baik." Prince tersenyum simpul. "Meskipun aku lapar, aku akan tetap menjaga bosku dengan baik." Ia mencicipi saladnya. "Tapi kau butuh tenaga untuk melawan penjahat kalau-kalau dia muncul tiba-tiba. Apa perlu kupesankan steak untukmu? Kamu butuh protein." Kali ini, Prince gagal menyembunyikan tawa. "Itu memang kesukaanku. Bagaimana kalau kita pesan satu po
"Terima ini, Perempuan Tak Tahu Diri!" Emily terbelalak. Ia cepat-cepat memalingkan muka. Sebisa mungkin, ia berusaha menghalau kopi dengan lengannya. Namun, detik berikutnya, bukan rasa panas yang ia terima, melainkan pekikan si wanita muda. "Hei! Apa-apaan ini? Dia sudah berpaling darimu. Kenapa kau malah melindunginya? Lihat gaunku! Kau merusaknya!" Emily menoleh. Baki yang sebelumnya dipegang oleh si pelayan kini telah berada di tangan Prince. Kopi menetes dari tepiannya. Mengetahui pria itu telah berhasil melindunginya lagi, rasa hangat memenuhi hati Emily. "Nona Harper, Anda baik-baik saja?" Suara lembut Prince membuyarkan lamunan. Setelah mengerjap, Emily tertunduk memeriksa pakaian. Tidak ada setitik kopi pun mengenainya. "Ya, aku baik-baik saja." Prince menghela napas samar. Emily dapat dengan jelas melihat kelegaannya. Sementara itu, suami si wanita muda akhirnya bangkit dari kursi. Ia mendekat sembari meringis. "Baby, sudahlah. Jangan membuat masalah lagi. B
"Nona Harper, kau baik-baik saja?" tanya Prince lirih. Emily mengerjap. Ia sadar butiran air mulai mengganjal matanya. "Anda yakin, Monsieur? Berdasarkan informasi yang saya punya, Sky seharusnya masih bekerja di sini." Emily mengabaikan pertanyaan Prince. Sorot mata sendunya hanya tertuju pada si penjaga kastil. "Ya, saya juga heran mengapa dia berhenti begitu mendadak. Kemarin pagi, dia masih memandu timnya dan menyapa saya dengan ceria. Tapi siang harinya, dia malah berpamitan." Emily spontan memegang kepala. Pikirannya mendadak penuh dan terasa berat. "Ke mana ...." Suaranya tersekat. "Ke mana dia pergi?" Sang Monsieur menggeleng samar. Matanya menyipit, memeriksa ingatan. "Saya kurang tahu, Mademoiselle. Tapi sepertinya, ini ada hubungannya dengan Summer. Sejak cuaca semakin dingin, dia terlihat kurang sehat. Mungkin, Sky membawanya ke ...." Pria itu menghentikan bicaranya. Ia merasa tidak ada simpati di mata Emily. Gadis cantik itu hanya tertarik dengan keberadaan Sky.
"Monsieur," Emily mengetuk pintu untuk yang kesekian kali. "Apakah Anda di dalam? Saya mohon, bukalah pintu. Dengarkan penjelasan saya. Monsieur?" Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban yang terdengar. Emily menghela napas pasrah. "Inikah tempat tinggalnya? Kenapa seperti tidak ada orang?" desahnya sembari memperhatikan bangunan kokoh di depan mereka. Tangannya sesekali bergerak merapikan rambut yang tertiup angin ke depan muka. Prince beralih dari ponselnya. Ia mengangkat pandang, bergumam, "Jendela atas kelihatan gelap. Sepertinya Madame tadi salah memberikan arah. Bagaimana kalau kita lanjut mencari Monsieur itu besok pagi?" Emily merenung sesaat. Ia mendongak ke langit malam. Tidak ada satu pun bintang di sana. Yang ada justru kilatan cahaya yang datang dari arah lautan. "Kau benar. Kita sebaiknya melanjutkan misi besok pagi. Ayo kembali ke hotel sebelum hujan tiba," angguknya lemah. "Bukan hujan, tapi badai," celetuk Prince sembari menyimpan ponsel ke dalam sak
Sekeluarnya dari kamar mandi, Emily langsung merapatkan jubah. Ia tidak mengenakan apa pun di balik kain putih itu. Saat pandangan Prince tertuju padanya, sekujur sarafnya menegang. "Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" tanya pria itu sembari menghampiri. Emily spontan menarik napas lebih dalam. Ia khawatir detak jantungnya meningkat. Entah mengapa, wajah si pengawal terlihat lebih tampan dengan pencahayaan yang kurang. "Airnya dingin, jubah mandinya tipis, dan hair dryer-nya tidak berfungsi dengan baik. Rambutku jadi tidak benar-benar kering," gerutu Emily sebelum melipat tangan di depan dada. Ia menyesal telah memberikan pernyataan kedua. "Kita punya stok handuk lebih. Gunakan saja sebanyak yang kau butuh. Aku hanya perlu satu. Kau bisa membungkus tubuh atau mengeringkan rambut dengan itu." Sementara Emily mengangguk-angguk, Prince meruncingkan telunjuk. "Bagaimana kakimu? Sudah sembuh?" Mata Emily sontak melebar. "Aku bahkan lupa kalau aku sempat jatuh. Lihat! Ka
"Aku melakukan ini demi bertahan hidup, bukan untuk mengkhianati Cayden. Lagi pula, kami hanya akan bersentuhan. Tidak akan terjadi apa-apa," batin Emily selama melucuti jubah. Setelah mempersiapkan posisi, ia berkata, "Masuklah!" Ia berbalik memunggungi Prince. Tangannya terkepal erat di depan dada, berjaga-jaga kalau ada jemari nakal yang hendak melewati batas. Namun, begitu kulit Prince menyentuhnya, kekhawatirannya lenyap. Pria itu hanya menempelkan dada ke punggungnya. Masih ada jarak untuk bagian bawah. Tangannya yang menyelinap di ceruk leher Emily berakhir di lengan sang gadis. Sementara tangannya yang lain dengan sopan menangkup kedua tangan Emily seolah melindunginya dari dingin. "Apakah begini sudah cukup? Kau merasa nyaman?" bisiknya, membuat bulu kuduk Emily meremang. "Y-ya." Bola mata Emily bergerak-gerak sementara dirinya mengatur napas. "S-sekarang tidurlah. Kita harus melanjutkan misi begitu badai reda." "Ya. Semoga badainya tidak berlangsung lama. Selam
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa