“Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut.
Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?" Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?" Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir." "Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince menjabat tangan kanan Emily dengan tangan kirinya. "Oke, deal." Lengkung bibirnya menyiratkan sesuatu yang misterius. "Sekarang, apa tugasku? Kau bilang punya misi penting. Ke mana aku harus mengawalmu?" Telunjuk Emily mendadak teracung. "Kau tidak perlu tahu. Yang perlu kau lakukan, ikuti saja aku." "Kau takut aku membocorkannya kepada saudaramu? Aku bahkan tidak punya nomornya." Emily menggeleng sigap. "Jangan banyak tanya. Sekarang ayo pergi. Polisi bisa heran kalau kita terlalu lama di sini." Ia mulai melangkah. "Ke mana?" Emily berhenti dan menoleh ke belakang. "Kau mau aku melakban mulutmu?" Prince menghampiri Emily dengan langkah santai. "Aku benci berjalan tanpa tujuan. Jadi, bisakah kau katakan satu langkah selanjutnya? Satu saja. Kau boleh merahasiakan tujuan akhirnya." Emily menghela napas sembari memutar bola mata. "Kita pergi ke hotelku untuk berkemas, lalu ke hotelmu, lalu keluar dari kota ini. Tapi sebelum itu, ayo sarapan. Aku lapar." "Itu lebih dari satu langkah," gumam Prince dengan nada meledek. "Kau mulai percaya padaku, rupanya?" Sementara Emily malas menanggapi, Prince melanjutkan, "Jadi, wanita cantik dan langsing sepertimu juga butuh makan?" "Kau pikir aku bukan manusia? Semua makhluk hidup itu butuh makan. Tunggu. Apakah kau baru saja menggodaku?" Emily terbelalak. Prince mendengus tipis. "Aku hanya asal bicara. Jangan besar kepala. Sekarang ayo cari makan. Aku juga lapar." Prince keluar ruangan lebih dulu. Emily hanya bisa mendengus sebelum pergi menyusul. Begitu sarapannya tiba, mata Emily langsung berbinar. Fokusnya tertuju pada cokelat panas di samping croissant. Ia sudah tidak sabar ingin menyeruputnya. Namun, ketika ia baru meraih cangkir, Prince merebutnya. "Hei?" Emily terbelalak. Alisnya berkerut tak senang. Alih-alih merasa bersalah, Prince malah mengamati isi cangkir dengan saksama. Ia mengaduk-aduk, memperhatikan tekstur cokelat itu. Sesekali, ia mengendusnya. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Emily masih dengan ekspresi yang sama. "Apakah kau tidak belajar dari pengalaman? Kau harus lebih berhati-hati dengan apa yang kau konsumsi." Prince mengambil sesendok cokelat. Sebelum minuman itu sampai ke mulutnya, Emily cepat-cepat menahan. "Tunggu dulu! Itu cokelatku. Kau mau aku meminum sisamu?" Prince berkedip lugu. "Kau lebih takut meminum sisaku daripada racun?" Emily tertegun. "Kalau kau takut ada racun di dalam situ, lalu mengapa kau berani meminumnya?" "Aku pengawalmu. Tentu saja aku harus memastikan keamananmu." Emily menghela napas cepat. "Kalau nanti kau keracunan dan mati, apakah kau masih bisa memastikan keamananku? Sudahlah, jangan konyol. Kembalikan itu. Tidak akan ada racun dalam makanan atau minumanku. Kalau penjahat itu memang bertujuan membunuhku, dia sudah melakukannya sejak dulu. Tapi terakhir, dia hanya memasukkan obat tidur, kan?" Prince bergeming menatap raut santai Emily. "Kau takut aku mati, rupanya?" Emily mendengus tak percaya. Sambil melipat tangan di depan dada, ia berkata, "Tentu saja. Hanya kau yang bisa kuandalkan sekarang. Kalau kau mati, aku terpaksa melakukan perjalanan seorang diri. Seperti yang kau katakan, itu terlalu berbahaya." Sembari tersenyum miring, Prince meletakkan cangkir di atas meja. "Kupikir kau tipe yang lebih mengedepankan perasaan. Ternyata, kau adalah seorang pemikir." Emily mengedikkan bahu ringan. "Aku dan saudaraku memimpin perusahaan besar. Logika jauh lebih dibutuhkan jika berkaitan dengan nasib orang banyak." "Begitukah? Lalu, apakah kau punya dugaan tentang siapa yang menargetkan dirimu?" Emily lagi-lagi gagal menyeruput cokelat panasnya. Matanya berkedip-kedip menatap cangkir yang seolah membisikkan jawaban. "Aku tidak tahu." Emily mengangkat pandangan. Rautnya serius sekarang. "Perusahaan kami punya banyak pesaing. Mereka semua mengharapkan kami runtuh. Orang yang mengirim penyerang tadi mungkin saja salah satu dari pihak-pihak itu." Prince bergeming. Ia tidak mengangguk, tidak juga berkedip. Hanya alisnya yang tertaut tipis. "Apakah kau sudah sering mendapat ancaman semacam itu?" Emily tersenyum kecut. Ia menyeruput cokelat panasnya sedikit, lalu menghela napas dalam. "Beberapa kali. Mereka pintar dalam mencari celah. Untungnya, aku selalu selamat. Kau tahu? Di antara saudara-saudaraku, aku yang paling lemah. Kurasa itulah yang membuatku menjadi sasaran empuk mereka. Tapi sejak Orion menjadi pengawal pribadiku, mereka tidak berani macam-macam." "Kenapa kau tidak mengajak sepupumu itu untuk menemanimu ke sini?" "Karena misiku ini rahasia. Aku tidak mau dia melapor kepada Louis dan semuanya terbongkar. Atau yang lebih buruk, dia bisa menyeretku pulang kapan saja. Rencanaku bisa gagal." Emily mencelupkan potongan croissant ke dalam cokelatnya. Namun, ketika ia hendak memasukkannya ke mulut, ia terbelalak. "Tunggu dulu. Dari mana kau tahu kalau Orion adalah sepupuku?" Mendengar pertanyaan tersebut, Prince mematung. "Apakah kau lupa? Keluarga kalian itu terkenal. Aku juga tahu kalau kau punya sepupu perempuan." Mata Emily menyipit curiga. "Siapa kau sebenarnya? Apakah kau penggemar fanatikku? Kau tidak mungkin tahu banyak tentang kami kalau tidak sengaja mengikuti berita." Prince mendengus. "Kenapa kau terus menuduhku sebagai penggemar fanatikmu? Apakah kau kecewa kalau pria setampan diriku ternyata tidak tertarik padamu?" Emily tertawa datar. "Kenapa aku harus kecewa? Bukankah sudah kubilang kalau aku sudah punya seseorang? Hanya dia yang kupedulikan. Aku bertanya karena penasaran saja. Atau jangan-jangan, kau memang seorang jurnalis?" "Bukan. Aku ini seorang fotografer yang gemar memantau media sosial. Aku selalu berharap fotoku menjadi trending nomor satu. Tapi sampai detik ini, ketenaran kalian selalu memupuskan harapanku." Emily kembali terbelalak. "Kau dari Amerika?" Prince mengangguk. "Apakah L City?" Emily mengangkat sebelah alis. "Bukan. Aku dari T City. Tapi beberapa tahun terakhir, aku suka berpetualang mencari gambar." Bayangan Cayden kembali muncul dalam benak Emily. Nama belakang, hobi, dan tempat asalnya ... mengapa semua itu bisa sama dengan Prince? "Sejak kapan kau menyukai fotografi?" Emily berusaha mengontrol suara, tetapi kesannya tetap tergesa-gesa. "Sejak kecil." "Umur berapa?" Emily tanpa sadar memajukan badan. Prince tersenyum tipis. "Kau mulai tertarik padaku, rupanya." Menyadari sikap agresifnya, Emily berkedip. Ia menegakkan punggung lagi lalu mengibas rambut sekali. "Tolong jangan mengada-ada. Aku hanya penasaran. Pekerjaan sampinganku adalah model untuk produkku sendiri. Kalau hasil fotomu bagus, kau bisa saja menjadi fotograferku nanti." Lengkung bibir Prince berubah miring. "Itu terdengar menjanjikan. Sayangnya, aku belum pernah melakukan pemotretan untuk tujuan komersial. Aku lebih tertarik pada fotografi lanskap, arsitektur, dan manusia." "Bukankah model juga manusia?" Prince menggeleng cepat. "Ya, tapi itu adalah dua hal yang berbeda. Fotografi human interest memang menjadikan manusia sebagai subjek utama. Tapi, itu harus natural dan lebih menonjolkan rasa. Ekspresi, gestur, serta reaksi yang tertangkap kamera harus bisa menimbulkan simpati dan empati dari penikmat foto. Emosi lebih ditonjolkan di sini. Sering kali, subjek foto tidak sadar bahwa kamera sedang membidik ke arahnya." Sekali lagi, Emily jatuh dalam perenungan. Ia ingat pertemuan pertamanya dengan Cayden. Anak laki-laki itu dulu memotretnya tanpa pemberitahuan saat ia sedang menyaksikan seekor kuda putih bermain salju di ladang peternakan. "Mungkinkah Prince adalah Cayden? Mereka punya begitu banyak kesamaan. Tapi kenapa dia tidak mau mengaku? Apakah itu halusinasiku saja? Aku yang terlalu berharap bisa menemukan Cayden secepat ini?" batinnya hening.Jreng, jreng, jreeeng .... Siapakah Prince sebenarnya? Berikan pendapat kalian! Oh ya, buat kalian yang pengen tahu lebih lanjut tentang Cayden, bisa baca Cinta CEO dalam Jebakan, ya. Masa kecil dia dan Emily ada di special chapter Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan. Anyway, terima kasih sudah membaca. Happy Sunday and have a good day!
"Nona Harper? Apakah kau mendengarkanku?" Prince melambai-lambai. Emily spontan mengerjap. "Ya. Aku hanya penasaran. Itukah yang mendorongmu untuk menjadikan aku sebagai subjek fotomu?" Sambil mengangguk santai, Prince mencelupkan sepotong croissant ke dalam cokelat panasnya. "Ya, kita bisa menggabungkan popularitasmu dengan keahlianku. Mungkin itu bisa membantuku untuk mencapai trending satu." Melihat betapa santai Prince meniru gayanya melahap croissant, Emily berhenti mengunyah. "Omong-omong, kenapa kau memesan cokelat panas juga?" Prince terus menikmati makanannya. Ia baru menjawab setelah menelan. "Apakah tidak boleh?" "Boleh. Aku penasaran saja kenapa kau tidak memesan kopi atau teh? Kenapa cokelat panas?" Prince menyeruput minumannya sedikit. "Karena aku suka." Mata Emily menyipit. "Benarkah? Itu tidak sesuai dengan kepribadianmu. Orang yang suka cokelat panas biasanya hangat dan menyenangkan." Tawa Prince mengudara. Suaranya ringan dan nyaman di telin
Emily melihat sekeliling. Tidak ada mobil lain di dekat mereka. Ia melihat ke angkasa. Tidak ada drone yang tertangkap mata. Tiba-tiba, suara Louis kembali bergema. "Sekarang juga, katakan di mana lokasimu! Dan siapa laki-laki itu? Kenapa kau bermesraan dengannya? Apakah dia Cayden?" Emily seketika membeku. "Bermesraan?" "Kau baru saja meraba-raba tubuhnya! Kau bahkan ...." Suara Louis tersekat. "Apa yang kau lakukan di bawah situ?" Emily menghela napas tak percaya. Sebelah tangannya mulai melambai-lambai. "Tidak. Kau sudah salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya .... Tunggu dulu. Dari mana kau menyaksikan semua itu?" "Pemilik mobil yang kau sewa tahu siapa dirimu. Dia merekam gerak-gerik kalian dengan kamera tersembunyi. Kurasa dia sengaja menyiarkannya secara langsung demi mendapat keuntungan. Jumlah penontonnya sudah puluhan ribu sekarang," terang Louis membuat bibir Emily gemetar hebat. "P-puluhan ribu?" "Ya! Semua penonton heboh melihat kelaku
"Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis
"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Selama duduk di restoran, Emily lebih banyak termenung dan terpaku. Prince tidak berani mengganggunya. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai Emily kembali ceria. Beruntung, saat salad datang, senyum manis kembali terbit di wajah cantiknya. "Merci," ucap Emily seraya mengamati piring-piring yang baru diletakkan di meja. Setelah pelayan pergi, ia langsung berdoa dan menikmati suapan pertama dengan mata terpejam. "Oh, aku tidak salah pilih," gumamnya sembari menggeleng samar. Ketika matanya kembali membuka, ia langsung menunjuk piring di depan Prince. "Cobalah! Ini enak. Kau harus makan yang banyak agar bisa menjagaku dengan baik." Prince tersenyum simpul. "Meskipun aku lapar, aku akan tetap menjaga bosku dengan baik." Ia mencicipi saladnya. "Tapi kau butuh tenaga untuk melawan penjahat kalau-kalau dia muncul tiba-tiba. Apa perlu kupesankan steak untukmu? Kamu butuh protein." Kali ini, Prince gagal menyembunyikan tawa. "Itu memang kesukaanku. Bagaimana kalau kita pesan satu po
"Terima ini, Perempuan Tak Tahu Diri!" Emily terbelalak. Ia cepat-cepat memalingkan muka. Sebisa mungkin, ia berusaha menghalau kopi dengan lengannya. Namun, detik berikutnya, bukan rasa panas yang ia terima, melainkan pekikan si wanita muda. "Hei! Apa-apaan ini? Dia sudah berpaling darimu. Kenapa kau malah melindunginya? Lihat gaunku! Kau merusaknya!" Emily menoleh. Baki yang sebelumnya dipegang oleh si pelayan kini telah berada di tangan Prince. Kopi menetes dari tepiannya. Mengetahui pria itu telah berhasil melindunginya lagi, rasa hangat memenuhi hati Emily. "Nona Harper, Anda baik-baik saja?" Suara lembut Prince membuyarkan lamunan. Setelah mengerjap, Emily tertunduk memeriksa pakaian. Tidak ada setitik kopi pun mengenainya. "Ya, aku baik-baik saja." Prince menghela napas samar. Emily dapat dengan jelas melihat kelegaannya. Sementara itu, suami si wanita muda akhirnya bangkit dari kursi. Ia mendekat sembari meringis. "Baby, sudahlah. Jangan membuat masalah lagi. B
"Nona Harper, kau baik-baik saja?" tanya Prince lirih. Emily mengerjap. Ia sadar butiran air mulai mengganjal matanya. "Anda yakin, Monsieur? Berdasarkan informasi yang saya punya, Sky seharusnya masih bekerja di sini." Emily mengabaikan pertanyaan Prince. Sorot mata sendunya hanya tertuju pada si penjaga kastil. "Ya, saya juga heran mengapa dia berhenti begitu mendadak. Kemarin pagi, dia masih memandu timnya dan menyapa saya dengan ceria. Tapi siang harinya, dia malah berpamitan." Emily spontan memegang kepala. Pikirannya mendadak penuh dan terasa berat. "Ke mana ...." Suaranya tersekat. "Ke mana dia pergi?" Sang Monsieur menggeleng samar. Matanya menyipit, memeriksa ingatan. "Saya kurang tahu, Mademoiselle. Tapi sepertinya, ini ada hubungannya dengan Summer. Sejak cuaca semakin dingin, dia terlihat kurang sehat. Mungkin, Sky membawanya ke ...." Pria itu menghentikan bicaranya. Ia merasa tidak ada simpati di mata Emily. Gadis cantik itu hanya tertarik dengan keberadaan Sky.
"Monsieur," Emily mengetuk pintu untuk yang kesekian kali. "Apakah Anda di dalam? Saya mohon, bukalah pintu. Dengarkan penjelasan saya. Monsieur?" Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban yang terdengar. Emily menghela napas pasrah. "Inikah tempat tinggalnya? Kenapa seperti tidak ada orang?" desahnya sembari memperhatikan bangunan kokoh di depan mereka. Tangannya sesekali bergerak merapikan rambut yang tertiup angin ke depan muka. Prince beralih dari ponselnya. Ia mengangkat pandang, bergumam, "Jendela atas kelihatan gelap. Sepertinya Madame tadi salah memberikan arah. Bagaimana kalau kita lanjut mencari Monsieur itu besok pagi?" Emily merenung sesaat. Ia mendongak ke langit malam. Tidak ada satu pun bintang di sana. Yang ada justru kilatan cahaya yang datang dari arah lautan. "Kau benar. Kita sebaiknya melanjutkan misi besok pagi. Ayo kembali ke hotel sebelum hujan tiba," angguknya lemah. "Bukan hujan, tapi badai," celetuk Prince sembari menyimpan ponsel ke dalam sak
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa