Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya.
"Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...." Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat. "Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?" Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria! "Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?" Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan. "Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa." Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah terasa semakin nyata. "Kenapa aku harus mengulang nasib Mama? Tidur dengan orang asing? Yang benar saja! Mama beruntung Papa ternyata adalah orang baik. Sedangkan aku ...." Selagi Emily menerka-nerka pria macam apa yang telah menidurinya, seseorang melangkah masuk dengan secangkir cokelat hangat di tangannya. "Hei, kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Tidak ada yang sakit, kan?" Emily terbelalak menatap pria tampan yang hanya mengenakan celana pendek itu. Otot-otot sempurnanya terpampang nyata. Emily sampai lupa berkedip memperhatikannya. "Pria inikah yang meniduriku? Apakah dia sama seperti Papa? Seorang pengusaha sukses yang dijebak untuk meniduri gadis yang tidak dikenalnya?" batin Emily dengan raut tegang. Selang satu helaan napas, Emily menggertakkan gigi dan mencengkeram selimut di bawah kakinya. ‘Apa gunanya tampan tapi tidak bermoral? Dia jelas-jelas menyebut namaku semalam. Dia tahu siapa aku dan bagaimana kondisiku. Pria baik tidak mungkin tega mengambil kesempatan dalam kesempitan. Laki-laki ini hanyalah psikopat berwajah tampan!’ "Kau!" Emily melompat dari kasur lalu mendorong pundak sang pria dengan sekuat tenaga. Entah karena ia masih lemas atau pria itu yang terlalu kuat, malah dirinya yang terhuyung-huyung ke belakang. "Dasar laki-laki hidung belang! Mentang-mentang aku pingsan, kau berani mengambil kesempatan?" Sang pria menatap Emily dengan raut penuh tanya. "Kesempatan?" Emily meruncingkan telunjuk dan memasang tampang garang. "Kau kira dengan meniduriku, aku akan menuntut tanggung jawab? Kau pikir segampang itu menjadikan aku milikmu? Jangan harap! Aku tidak akan pernah menerima laki-laki bejat sepertimu ke dalam hidupku. Tidak akan pernah!" "Tunggu dulu." Pria itu mengangkat sebelah tangan. "Kau sudah salah paham. Aku tidak menidurimu. Aku hanya menolongmu." Tiba-tiba, Emily melayangkan pukulan ke dada sang pria. "Kau kira aku bodoh? Aku terbangun tanpa baju. Lalu kau datang seperti ini." "Kau masih mengenakan baju. Kau tidak lihat kaosku di tubuhmu?" Emily tertunduk mengikuti arah pandang sang pria. Menyadari bentuk tubuh yang tercetak pada kaos, ia cepat-cepat menyilangkan tangan di depan dada. Kekesalannya semakin memuncak. "Kau masih berani mengelak?" pekik Emily geram. "Nona Harper yang terhormat, tenang. Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku terpaksa mengganti pakaianmu yang basah. Tapi aku bersumpah, aku tidak melakukan hal bejat. Aku berpenampilan seperti ini karena aku baru selesai berolahraga." Alis Emily berkerut mempelajari pria itu. Ekspresinya tampak jujur. Namun, ia masih curiga. "Lihat saja nanti. Kau pasti akan menyesal. Orang tua dan saudaraku tidak mungkin tinggal diam. Mereka akan segera menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskanmu ke dalam penjara." Sang pria mendesah lelah. "Kau tidak bisa menuntutku, Nona. Aku tidak bersalah. Kau lihat sofa itu?" Emily melirik ke arah yang ditunjuk. Sebuah bantal dan selimut masih berantakan di situ. "Kita tidur di tempat yang berbeda. Aku bukan laki-laki hidung belang. Apakah kau tidak ingat? Justru aku yang menyelamatkan kamu dari penguntit itu. Sekarang minumlah cokelat panas ini. Tenangkan pikiran. Kau pasti sangat ketakutan semalam." Emily menatap apa yang disodorkan dengan alis tertaut. Dalam satu gerakan cepat, ia mengambil cangkir itu lalu menuangkan isinya. "Hei ...." Sang pria menyeka cokelat panas yang membasahi perut dan celananya. "Kenapa kau menyiramku?" "Itu akibatnya kalau berani mempermainkan aku. Kau pasti sudah memasukkan obat ke dalam situ. Apa rencanamu setelah ini? Menjualku?" tanya Emily lantang. Wajah sang pria kini dipenuhi kerutan. "Kenapa kau masih tidak percaya padaku?" "Orang bodoh mana yang percaya dengan omonganmu? Pria dan wanita tidur sekamar tanpa busana? Apa lagi yang bisa sang pria lakukan kalau bukan mengambil keuntungan?" Wajah tampan itu terpejam sesaat. Selang gelengan samar, ia mendengus pasrah. "Baiklah, terserah kau saja. Kau mau melaporkan aku? Silakan." Sang pria berbalik menghadap sebuah pintu. Sebelum ia berhasil melangkah, Emily menahan lengannya. "Mau ke mana kau?" "Ke kamar mandi. Aku harus membasuh perutku. Kau tidak lihat kulitku sudah memerah? Cokelat tadi panas." Emily terkekeh datar. Kepalanya menggeleng singkat. "Kau pasti mau kabur. Tidak akan kubiarkan sebelum kau bertanggung jawab." Sang pria lagi-lagi mendesah samar. "Tanggung jawab apa lagi? Kau mau aku menikahimu? Bukankah tadi kau sendiri yang menolak gagasan itu? Lagi pula, apa kata media kalau pewaris Savior Group menikah dengan seorang pria yang tidak jelas latar belakangnya?" Emily meninggikan dagu. "Kau harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku." Pria itu mengurut pelipis. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menatap Emily dengan penuh keseriusan. "Haruskah kita memeriksanya langsung?" Emily mengerjap. Matanya sedikit melebar. "Memeriksa apa?" "Kau masih perawan atau tidak." Kepala Emily tertekan mundur. Belum sempat ia menjawab, sang pria melanjutkan, “Kau belum pernah melakukannya sebelum ini, kan? Karena itu, ayo kita buktikan. Kalau kau masih perawan, itu artinya aku memang tidak menyentuhmu semalam.” Mata Emily berkedip-kedip cepat. Mengapa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Ia tidak perlu menjelaskan apa pun kepada Cayden kalau ia masih perawan. Tapi, mungkinkah pria tanpa kaos itu memang tidak menidurinya? "B-bagaimana cara membuktikannya?" Bibirnya gemetar. Sang pria mengangkat alis tak percaya. "Kau memang tidak mengerti atau berharap aku membantumu? Apakah tidak masalah kalau dua jari ini ...." Ia menggerakkan kepala ke arah bawah, menunjuk sesuatu yang seolah enggan dilihatnya. Emily tanpa sadar menahan napas. Ia bisa merasakan pipinya menghangat. "Mana ponselku?" tanyanya mendadak. Sang pria menunjuk ke arah meja. Emily langsung mengambil ponsel, masuk ke kamar mandi, lalu menguncinya. "Benarkah laki-laki itu tidak menyentuhku? Bagaimana cara membuktikannya? Ck, aku tidak seharusnya menghindar setiap kali Mama atau Bibi mau mengajarkan tentang ini kepadaku." Sembari bersandar di balik pintu, Emily melakukan pencarian di internet. Selang beberapa saat, ia bergidik ngeri. "Beraninya dia menipuku. Tes dua jari itu tidak valid. Untung saja aku tidak nekat melakukannya." Sembari menyipitkan mata, Emily membaca artikel lain. Begitu selesai, ia bergeming. "Hanya itu satu-satunya tanda? Tapi aku tidak merasa nyeri. Itu berarti dia memang tidak menyentuhku?" Emily terpejam dan menghela napas panjang. Ia menyesal sudah menuduh tanpa bukti yang kuat. Mau tidak mau, ia keluar dengan tampang datar. "Bagaimana? Kau masih mau menjebloskan aku ke penjara?" tanya sang pria. Emily menekan bibirnya dengan dagu. "Siapa yang tidak curiga kalau berada di posisiku? Lagi pula, kau sendiri yang salah. Kau seharusnya mengenakan pakaian sopan saat menemuiku, dan kau tidak seharusnya bertanya ada yang sakit atau tidak." Sang pria mendesah geli. "Aku bertanya begitu karena kepalamu membentur trotoar semalam. Apakah kau tidak berkaca tadi? Pelipismu memar." Emily terbelalak. Namun, sebisa mungkin, ia menjaga gengsi. "Tetap saja, kau yang salah." Pria itu mendengus tipis. "Sekarang karena semua sudah jelas, giliran aku yang memeriksa diriku. Kalau sampai terjadi apa-apa, kau harus tanggung jawab." Emily diam-diam melirik ke bawah. Perut yang penuh otot itu memang memerah, dan cokelat yang mengenai celananya telah meresap dengan sempurna. Ketika pria itu hendak melangkah, ia cepat-cepat menghalangi pintu dengan lengannya. "Tunggu dulu." "Apa lagi? Kau mau tanggung jawab kalau sampai aku tidak bisa punya anak?" Emily mengerucutkan bibir. "Apakah kau gay?"Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay. "Pertanyaan macam apa itu?"Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu.""Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan.Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku." Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?"Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir. "Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu
"Apakah aku tidak salah lihat? Pria tadi membawa pisau?" bisik si Pirang tegang. Gadis lain yang masih duduk di trotoar menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, si Tinggi memekik dan menutup mulut dengan kedua tangan. Pria bertopi itu telah melancarkan serangan. Tetesan darah berjatuhan di dekat kaki Emily, mengotori trotoar dengan warna merahnya. "G-gawat! Kita bisa berakhir di kantor polisi lagi! Teman-Teman, ayo kabur! Jangan sampai polisi tiba lebih dulu!" pekik si Pirang. Sementara ketiga gadis itu pontang-panting, Emily mematung dengan mulut dan mata terbuka lebar. Ia memang terlambat menangkap tangan si penyerang. Ia juga tahu kalau darah telah menetes di trotoar. Akan tetapi, mengapa ia tidak merasa sakit sedikit pun? Emily pun tertunduk lebih dalam. Mendapati tangan lain yang menggenggam mata pisau, satu inci di depan perutnya, ia terkesiap. Sekujur tubuhnya gemetar. Tiba-tiba, seseorang menariknya ke belakang. Saat itulah, Emily sadar. Prince telah kembali menyela
"Siapa Cayden?" Pria itu meninggikan alis. Emily sontak melepas cengkeraman. Kekecewaan terbit di wajahnya. "Jadi kau bukan Cayden?" tanyanya lemah. Sang pria mengernyitkan dahi. Ia tampak tidak nyaman dengan tatapan Emily. Selang satu kedipan, ia menyodorkan tangan kiri. "Prince. Prince Evans. Kurasa ini cara yang lebih tepat untuk berkenalan." Emily tidak menjabat tangannya. Ia tertunduk, mendesah samar. Sebelah tangannya terangkat mencengkeram kepala yang mendadak terasa berat. "Apa yang aku harapkan? Mana mungkin laki-laki ini Cayden?" Ia tertawa pedih. Belum sempat Emily berdamai dengan perasaannya, tiba-tiba saja, Prince merebut ponsel dari genggamannya. "Hei!" Emily menarik jaket kulit yang dikenakan sang pria. Ia berusaha mendapatkan kembali ponselnya. Akan tetapi, Prince sudah lebih dulu menjunjungnya tinggi-tinggi. "Siapa nama kakakmu? Louis?" "Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Emily melompat, tetapi kurang tinggi. "Menghubunginya. Dia harus segera men
“Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut. Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?" Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?" Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir." "Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku
"Nona Harper? Apakah kau mendengarkanku?" Prince melambai-lambai. Emily spontan mengerjap. "Ya. Aku hanya penasaran. Itukah yang mendorongmu untuk menjadikan aku sebagai subjek fotomu?" Sambil mengangguk santai, Prince mencelupkan sepotong croissant ke dalam cokelat panasnya. "Ya, kita bisa menggabungkan popularitasmu dengan keahlianku. Mungkin itu bisa membantuku untuk mencapai trending satu." Melihat betapa santai Prince meniru gayanya melahap croissant, Emily berhenti mengunyah. "Omong-omong, kenapa kau memesan cokelat panas juga?" Prince terus menikmati makanannya. Ia baru menjawab setelah menelan. "Apakah tidak boleh?" "Boleh. Aku penasaran saja kenapa kau tidak memesan kopi atau teh? Kenapa cokelat panas?" Prince menyeruput minumannya sedikit. "Karena aku suka." Mata Emily menyipit. "Benarkah? Itu tidak sesuai dengan kepribadianmu. Orang yang suka cokelat panas biasanya hangat dan menyenangkan." Tawa Prince mengudara. Suaranya ringan dan nyaman di telin
Emily melihat sekeliling. Tidak ada mobil lain di dekat mereka. Ia melihat ke angkasa. Tidak ada drone yang tertangkap mata. Tiba-tiba, suara Louis kembali bergema. "Sekarang juga, katakan di mana lokasimu! Dan siapa laki-laki itu? Kenapa kau bermesraan dengannya? Apakah dia Cayden?" Emily seketika membeku. "Bermesraan?" "Kau baru saja meraba-raba tubuhnya! Kau bahkan ...." Suara Louis tersekat. "Apa yang kau lakukan di bawah situ?" Emily menghela napas tak percaya. Sebelah tangannya mulai melambai-lambai. "Tidak. Kau sudah salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya .... Tunggu dulu. Dari mana kau menyaksikan semua itu?" "Pemilik mobil yang kau sewa tahu siapa dirimu. Dia merekam gerak-gerik kalian dengan kamera tersembunyi. Kurasa dia sengaja menyiarkannya secara langsung demi mendapat keuntungan. Jumlah penontonnya sudah puluhan ribu sekarang," terang Louis membuat bibir Emily gemetar hebat. "P-puluhan ribu?" "Ya! Semua penonton heboh melihat kelaku
"Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis
"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa