Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay.
"Pertanyaan macam apa itu?" Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu." "Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan. Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku." Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?" Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir. "Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu dia siapa?" gerutunya. Saat itu pula, mata Emily tertuju pada sebuah kamera. Ia bergegas memeriksanya. Sayangnya, tidak ada petunjuk berarti. Satu-satunya hal unik yang ia temukan hanyalah tali kuning dengan tulisan “Prince”. “Ini desain custom. Apakah ini namanya?” Sembari menduga-duga, Emily mengamati file dalam kamera tersebut. Dua foto terakhir adalah hasil jepretan semalam—wajah terkejutnya sebelum jatuh di trotoar dan wajah si penguntit yang hanya kelihatan sebagian. Sisanya adalah foto-foto pemandangan kota Paris. “Apakah dia sungguh seorang jurnalis? Tapi tidak ada rekaman wawancara di sini.” Sembari berpikir, Emily beralih ke sebuah ransel di dekat kaki meja. Lagi-lagi, tidak ada petunjuk yang menyatakan identitas sang pria. Hanya ada laptop, kabel-kabel, serta beberapa peralatan lain. Begitu membuka lemari, perhatian Emily langsung tertuju pada sebuah tas jinjing. Ia yakin ada petunjuk di dalam situ. Namun, saat ia hendak memeriksa, pintu kamar mandi terbuka. Secepat kilat, ia berbalik dan berkacak pinggang. “Di mana kau menyembunyikan pakaianku?” tanyanya lantang. Sang pria meninggikan alis. “Aku mengirimnya ke laundry.” Emily berkedip kaku. “Tanpa persetujuanku? Lalu aku harus memakai apa? Agendaku padat. Aku harus segera pergi. Tidak mungkin aku keluar dengan kaos tipis seperti ini. Kau harus tanggung jawab.” “Tanggung jawab apa lagi?” “Belikan aku baju.” Sang pria mendesah samar. Rautnya sabar. “Apa saja yang kau butuh? Berapa ukuranmu?” Mata Emily melebar. Selang satu kedipan, ia mengambil secarik kertas dan menulis rinciannya. “Jangan sampai ada yang salah. Aku tidak mau memakai produk di luar daftar.” Emily mengulurkan kertas. Sang pria menerimanya dengan raut santai. “Sebuah bra berukuran—” “Tidak perlu kau baca kencang-kencang,” sela Emily sigap. “Baca dalam hati saja.” Sang pria berkedip dengan tampang lugu. “Apakah aku harus membeli semua ini di toko yang berbeda? Itu tidak efisien.” “Kau tahu? Setiap brand memiliki produk unggulan masing-masing dan aku terbiasa mengenakan yang terbaik. Kalau diganti, aku bisa merasa tidak nyaman. Produktivitas dan kreativitasku bisa menurun nanti. Aku tidak mau itu terjadi.” “Baiklah, tapi ini akan memakan waktu. Apalagi, aku tidak pernah berbelanja produk wanita. Kau bisa kelaparan kalau menunggu sampai semua pakaian ini terbeli. Kau mau aku pesankan sarapan?” Emily tertegun. Ia tidak menduga sang pria bisa seperhatian itu. “Tidak perlu. Aku bisa memesan sendiri. Tugasmu adalah membeli pakaian untukku. Sebelum matahari tinggi, aku harus sudah pergi.” Sang pria mengangguk. Kemudian, ia meraih pensil dari tangan Emily dan menuliskan sesuatu di kertas lain. “Kalau ada apa-apa, hubungi aku di nomor ini.” Emily lagi-lagi termenung. Namun, selang satu kedipan, ia menerima kertas itu dan mengibaskan tangan ke arah pintu. “Sekarang cepat pergi! Aku buru-buru.” Setelah mengenakan pakaian, sang pria pergi berbekal sebuah kartu kredit dari Emily. Saat itulah, Emily mulai beraksi. Ia memesan pakaian dari toko terdekat, lalu pergi dari hotel. Tanpa ia ketahui, seseorang tersenyum melihatnya berjalan seorang diri. "Pria itu bodoh sekali. Semudah itu aku lolos darinya," gumam Emily dengan nada bangga. Sambil terkikik samar, ia menoleh ke belakang. Tidak melihat si pria tampan, kebahagiaannya berlipat ganda. "Meskipun dia terlihat baik dan jujur, aku tidak boleh percaya begitu saja. Selagi ada kesempatan, aku harus kabur. Aku tidak akan tertipu oleh siapa pun." Setelah mengangguk mantap, Emily mempercepat langkah. Ia sudah bertekad untuk segera pergi dari Paris. Namun, satu blok dari sana, tiga orang gadis muncul. Mereka berjalan ke arah Emily dengan senyum kecut. Saat mereka nyaris berpas-pasan, yang tertinggi mengincar bahu Emily. Beruntung, Emily dengan gesit menghindar. "Hei, apakah kau tidak punya mata? Kau tidak lihat kami sedang berjalan? Beraninya kau menabrak temanku?" hardik gadis yang berdiri di tengah. Emily berkedip lugu. "Aku tidak menabrak temanmu. Dialah yang hampir menabrak pundakku." Ketiga gadis itu kompak mendengus. "Kau punya nyali, rupanya. Memangnya kau siapa? Beraninya menantang kami?" Alis Emily berkerut tak senang. "Aku hanya gadis biasa yang sedang tergesa-gesa. Karena itu, maaf. Aku tidak ada waktu untuk ribut dengan kalian. Permisi." Emily hendak lanjut melangkah, tetapi gadis tinggi tadi menghadang. "Tunggu. Bukankah kau Emily Harper?" "Oh, wow! Pantas saja wajahnya tidak asing. Ternyata dia Emily Harper!" "Dan pantas saja dia berani melawan kita. Dia pasti merasa hebat. Dia bahkan berani menolak Brandon Young mentah-mentah." Ketiga gadis itu berdiri mengelilingi Emily. Raut mereka sinis dan licik. Emily hanya bisa berdiri diam sambil mengawasi situasi. "Apa yang membuatmu tega menolak Brandon Young? Apakah dia kurang sempurna bagimu? Atau, kau hanya ingin membuat sensasi saja?" "Kurasa dia sengaja melakukan itu demi mendongkrak popularitas. Aku kasihan pada Brandon. Dia tidak seharusnya menyukai gadis seangkuh ini." "Kalau aku bukan kasihan, tapi heran. Apa hebatnya gadis ini? Dia tidak terlalu cantik. Aku bahkan lebih tinggi. Dia hanya mengandalkan harta orang tuanya saja. Itu bukan sesuatu yang bisa dia banggakan." Dua gadis lain mengangguk. "Kau benar. Dia menilai dirinya terlalu tinggi. Karena itu, dia butuh seseorang untuk menyadarkannya. Bagaimana kalau kita membantunya?" Gadis berambut pirang menaikkan alis sekali. "Ide bagus. Dia memang perlu diingatkan kalau dia tidak ada apa-apanya." Tiba-tiba, gadis yang berdiri di belakang meraih bahu Emily. Sebelum tasnya direbut, Emily dengan sigap memelintir tangan gadis itu lalu mendorongnya ke arah dua gadis yang lain. "Rossy, astaga! Kau tidak apa-apa?" bisik si Tinggi. Si Rambut Pirang pun tak kalah khawatir. Namun, alih-alih memeriksa temannya, ia malah meruncingkan tatapan ke arah Emily. "Kau! Beraninya melukai teman kami!" "Sudah kubilang, aku sedang buru-buru. Jadi berhentilah menghalangi jalanku." Ketiga gadis itu terbelalak mendengar suara lantang Emily. "Dia membentak kita?" desah si Pirang tak percaya. "Dia memang perlu diberi pelajaran. Teman-Teman?" Si Tinggi memainkan alis. Sedetik kemudian, ketiga gadis itu berlari ke arah Emily. Dengan tangan terangkat ke depan, mereka terlihat seperti zombie. "Terima ini, Gadis Sombong!" Si Tinggi hendak menjambak rambut Emily. "Kau tidak seharusnya menantang kami!" Dua gadis lain mengincar pundak Emily. Namun, begitu mereka tiba, Emily dengan gesit menghindar. Dengan satu serangan balik saja, ketiga gadis itu terjerembap di trotoar. "Aduh, lututku," ringis si Pirang. "Pinggangku .... Kenapa kau menabrakku tadi?" "Kakiku tersandung," ringis si Tinggi. Emily menatap mereka miris. "Itu akibatnya kalau kalian tidak mendengarkan peringatanku. Sebelum kalian cedera parah, kalian sebaiknya berhenti menggangguku." Setelah melemparkan sebungkus plester dan obat merah, Emily cepat-cepat mundur. "Sampai di sini saja urusan kita. Mari jangan bertemu lagi. Aku tidak punya waktu untuk meladeni kegilaan kalian. Mengerti?" Melihat Emily berbalik pergi, ketiga gadis itu mendengus jijik. Yang tertinggi pun kembali bangkit. Ia berencana untuk menyerang Emily dari belakang. Namun, ketika ia hendak melangkah, seorang pria bertopi mendahului. Ia melesat cepat menuju Emily dengan sebilah pisau di tangannya. Menyadari seseorang mendekati punggungnya, Emily berbalik. Wajahnya mengernyit geram. "Kalian ini—" Melihat apa yang datang, Emily seketika lupa dengan apa yang ingin diucapnya. Kilatan mata pisau itu meluncur cepat menuju perutnya!"Apakah aku tidak salah lihat? Pria tadi membawa pisau?" bisik si Pirang tegang. Gadis lain yang masih duduk di trotoar menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, si Tinggi memekik dan menutup mulut dengan kedua tangan. Pria bertopi itu telah melancarkan serangan. Tetesan darah berjatuhan di dekat kaki Emily, mengotori trotoar dengan warna merahnya. "G-gawat! Kita bisa berakhir di kantor polisi lagi! Teman-Teman, ayo kabur! Jangan sampai polisi tiba lebih dulu!" pekik si Pirang. Sementara ketiga gadis itu pontang-panting, Emily mematung dengan mulut dan mata terbuka lebar. Ia memang terlambat menangkap tangan si penyerang. Ia juga tahu kalau darah telah menetes di trotoar. Akan tetapi, mengapa ia tidak merasa sakit sedikit pun? Emily pun tertunduk lebih dalam. Mendapati tangan lain yang menggenggam mata pisau, satu inci di depan perutnya, ia terkesiap. Sekujur tubuhnya gemetar. Tiba-tiba, seseorang menariknya ke belakang. Saat itulah, Emily sadar. Prince telah kembali menyela
"Siapa Cayden?" Pria itu meninggikan alis. Emily sontak melepas cengkeraman. Kekecewaan terbit di wajahnya. "Jadi kau bukan Cayden?" tanyanya lemah. Sang pria mengernyitkan dahi. Ia tampak tidak nyaman dengan tatapan Emily. Selang satu kedipan, ia menyodorkan tangan kiri. "Prince. Prince Evans. Kurasa ini cara yang lebih tepat untuk berkenalan." Emily tidak menjabat tangannya. Ia tertunduk, mendesah samar. Sebelah tangannya terangkat mencengkeram kepala yang mendadak terasa berat. "Apa yang aku harapkan? Mana mungkin laki-laki ini Cayden?" Ia tertawa pedih. Belum sempat Emily berdamai dengan perasaannya, tiba-tiba saja, Prince merebut ponsel dari genggamannya. "Hei!" Emily menarik jaket kulit yang dikenakan sang pria. Ia berusaha mendapatkan kembali ponselnya. Akan tetapi, Prince sudah lebih dulu menjunjungnya tinggi-tinggi. "Siapa nama kakakmu? Louis?" "Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Emily melompat, tetapi kurang tinggi. "Menghubunginya. Dia harus segera men
“Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut. Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?" Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?" Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir." "Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku
"Nona Harper? Apakah kau mendengarkanku?" Prince melambai-lambai. Emily spontan mengerjap. "Ya. Aku hanya penasaran. Itukah yang mendorongmu untuk menjadikan aku sebagai subjek fotomu?" Sambil mengangguk santai, Prince mencelupkan sepotong croissant ke dalam cokelat panasnya. "Ya, kita bisa menggabungkan popularitasmu dengan keahlianku. Mungkin itu bisa membantuku untuk mencapai trending satu." Melihat betapa santai Prince meniru gayanya melahap croissant, Emily berhenti mengunyah. "Omong-omong, kenapa kau memesan cokelat panas juga?" Prince terus menikmati makanannya. Ia baru menjawab setelah menelan. "Apakah tidak boleh?" "Boleh. Aku penasaran saja kenapa kau tidak memesan kopi atau teh? Kenapa cokelat panas?" Prince menyeruput minumannya sedikit. "Karena aku suka." Mata Emily menyipit. "Benarkah? Itu tidak sesuai dengan kepribadianmu. Orang yang suka cokelat panas biasanya hangat dan menyenangkan." Tawa Prince mengudara. Suaranya ringan dan nyaman di telin
Emily melihat sekeliling. Tidak ada mobil lain di dekat mereka. Ia melihat ke angkasa. Tidak ada drone yang tertangkap mata. Tiba-tiba, suara Louis kembali bergema. "Sekarang juga, katakan di mana lokasimu! Dan siapa laki-laki itu? Kenapa kau bermesraan dengannya? Apakah dia Cayden?" Emily seketika membeku. "Bermesraan?" "Kau baru saja meraba-raba tubuhnya! Kau bahkan ...." Suara Louis tersekat. "Apa yang kau lakukan di bawah situ?" Emily menghela napas tak percaya. Sebelah tangannya mulai melambai-lambai. "Tidak. Kau sudah salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku hanya .... Tunggu dulu. Dari mana kau menyaksikan semua itu?" "Pemilik mobil yang kau sewa tahu siapa dirimu. Dia merekam gerak-gerik kalian dengan kamera tersembunyi. Kurasa dia sengaja menyiarkannya secara langsung demi mendapat keuntungan. Jumlah penontonnya sudah puluhan ribu sekarang," terang Louis membuat bibir Emily gemetar hebat. "P-puluhan ribu?" "Ya! Semua penonton heboh melihat kelaku
"Di mana aku harus meletakkan kopermu?" tanya Prince dengan nada rendah. Entah mengapa, bulu kuduk Emily meremang menangkap getarannya. "Taruh saja di situ. Semua keperluan yang mau kubawa sudah ada di tas kecilku. Sekarang kau berkemaslah. Bawa saja satu ransel." Prince mengangguk. Dengan gerak santai tetapi sigap, ia mulai memilah barang-barang yang perlu dibawanya. Sementara itu, Emily berjalan menuju tirai. Ia singkap kain tebal itu. Sedetik kemudian, matanya terpana oleh pemandangan di balik kaca. "Wah, Sky memang tidak pernah salah memilih. Dia selalu tahu tempat-tempat terbaik di muka bumi," gumamnya lirih. Di sebuah pulau tak jauh dari bibir pantai, sebuah kastil berdiri megah. Langit biru di atasnya dan hamparan rumput hijau luas yang terbentang di antara mereka menambah kesan indah. Berapa detik pun Emily memandang, ia tidak akan bosan. "Jadi, di situkah misimu berada?" Emily sontak menoleh. Ternyata, Prince sudah berdiri di sisinya. Senyumnya lembut, tangan dis
"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Selama duduk di restoran, Emily lebih banyak termenung dan terpaku. Prince tidak berani mengganggunya. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai Emily kembali ceria. Beruntung, saat salad datang, senyum manis kembali terbit di wajah cantiknya. "Merci," ucap Emily seraya mengamati piring-piring yang baru diletakkan di meja. Setelah pelayan pergi, ia langsung berdoa dan menikmati suapan pertama dengan mata terpejam. "Oh, aku tidak salah pilih," gumamnya sembari menggeleng samar. Ketika matanya kembali membuka, ia langsung menunjuk piring di depan Prince. "Cobalah! Ini enak. Kau harus makan yang banyak agar bisa menjagaku dengan baik." Prince tersenyum simpul. "Meskipun aku lapar, aku akan tetap menjaga bosku dengan baik." Ia mencicipi saladnya. "Tapi kau butuh tenaga untuk melawan penjahat kalau-kalau dia muncul tiba-tiba. Apa perlu kupesankan steak untukmu? Kamu butuh protein." Kali ini, Prince gagal menyembunyikan tawa. "Itu memang kesukaanku. Bagaimana kalau kita pesan satu po
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa