Lelaki gagah yang datang dengan mobil mewah pun bergeser lebih mendekati Aresha. Venus tampak terus merapat di dada gadis itu. Dengan tangan mungil yang mencengkeram lengan baju dari blouse lembutnya.
"Venus, kamu kenapa? Kamu tidak ingin ikut denganku?" tanya lelaki itu dengan nada suara yang kaku. Sama hal yang dialami Hisam. Dia pun mendapat penolakan setelah Venus terlihat ragu untuk memberikan ulur tangan padanya. "Hisam, siapa dia?" Lelaki gagah berkaca mata hitam itu menunjuk Aresha dengan dagu berambut tipisnya. Ada nada heran dari suaranya saat berbicara."Nona ini adalah teman Tuan Jack. Mereka dari perusahaan Decoration in Home yang sudah kusewa untuk mendesain renovasi rumah Minggu ini," jelas Hisam pada lelaki gagah itu."Bagaimana bisa dia menggendong Venus?" tanyanya lagi pada Hisam. Terdengar nada bicaranya kembali heran dan ada bersit tidak suka. "Maaf, Bang Syahfiq, Venus hanya mau diam saat digendong oleh Nona Aresha," ucap Hisam sambil memandang Aresha dan sedikit tersenyum. Gadis cantik itu juga membalas dengan anggukan kecil."Apa dia juga menangis saat kamu gendong?" tanya lelaki itu kembali. Mengamati Hisam dan Aresha bergantian."Benar, Bang. Venus terus histeris sejak dari tempat kejadian hingga ke sini. Dia baru diam setelah melihat Nona Aresha," jawab Hisam. Lelaki dengan sebutan bang Syahfiq tertunduk sejenak. Aresha menduga jika dialah pemilik nama Syahfiq Herdion. Paman pihak ayah dari bayi yang digendongnya.Lelaki gagah yang masih berkaca mata itu mengangkat kepala, mengarahkan wajah pada Aresha yang juga sedang memandangnya. Venus masih merebah rapat di dada dalam dukungan gadis cantik itu."Venus, tidak baik terlalu dekat pada orang asing. Mari ikut pamanmu," ucap lelaki itu kembali mencoba. Menyentuhkan jari tangan pada lengan mungil si bayi.Namun, Venus kembali menangis keras saat lelaki itu akan mengambilnya. Dibantu Aresha yang sedikit mengulurkan Venus agar memisah dari merapat di dadanya."Ma … Mmaaa …!" Venus kembali menyebut Aresha dengan keras di sela sedan tangisnya. Lelaki yang menyebut diri sebagai paman, terlihat mendengkus dengan panjang dan kasar. "Kalian, cobalah ambil Venus darinya." Lelaki itu berbicara pada orang-orang yang datang sama waktu dengannya dan kini sedang mengerumuni Venus dan Aresha.Namun, sama cerita dengan sebelumnya. Venus kembali gigih menolak dan meraung-raung dalam tangisan. Bahkan ketika seorang wanita muda mengambil paksa dari gendongan Aresha. Jerit tangis Venus kian menjadi."Maaf, Saudara Syahfiq. Alangkah baiknya apa yang diinginkan anak ini dituruti semantara. Proses pemakaman membutuhkan ketenangan," ucap seorang lelaki yang kemungkinan adalah seorang ustadz sekaligus pendoa jenazah. Lelaki yang memang bernama Syahfiq pun mengangguk."Hisam, kita hanya menyinggahkan jenazah para almarhum sejenak di halaman. Tidak lagi mengeluarkannya dari ambulance. Setelah doa selesai, dari sini langsung menuju ke pemakaman. Mintalah pada gadis asing itu untuk membawa Venus sebentar ke pemakaman." Lelaki itu berbicara tegas pada Hisam. Seperti sudah akur dan mengalah pada keadaan. Kemudian berbalik pergi setelah memandang Venus dan Aresha sekilas. Mungkin akan mengikuti doa pemberangkatan jenazah ke pemakaman dengan posisi lebih dekat pada jenazah."Miana, sementara ini berikan dulu Venus pada Nona Aresha," ucap Hisam dengan lirih disela suara tangisan Venus."Sebenarnya ini hal mudah yang bisa kita cover, Bang. Hanya sebab proses penakaman sajalah aku terpaksa menuruti ucapanmu," sungut wanita cantik itu dengan lirih sekaligus merasa kesal.Wanita dengan nama Miana langsung menghantam Aresha dengan pandangan tajam matanya. Menyerahkan bayi itu kembali dengan raut kesal dan tidak rela. Jerit tangis redam seketika saat tubuh mungil itu berpindah tangan pada yang diinginkan. Aresha mendekap hangat tubuh mungil dan lembut itu di pelukan semula dengan perasaan yang canggung. Rasanya sungguh jadi tidak enak hati dan segan. Dipandangnya bayi lucu yang sedang berbinar menatapnya. Bibir kecil dan merah itu tersenyum cerah saat Aresa coba melempar senyum hangat untuknya.Sang ustadz telah memulai doa dengan sangat khusyuk. Melantunkan ayat-ayatNya yang suci bagi nama keempat jenazah di beberapa ambulance di halaman. Terutama pada kedua nama almarhum, orang tua Venus yang pulang bersamaan.Para pelayat terus berdatangan semakin banyak memenuhi halaman luas bangunan. Kendaraan pun berjajar di sepanjang jalan luar pagar. Aresha kian mendekap Venus yang terasa nyaman dan tenang. Bahkan bayi itu sedang mengantuk dengan menyandarkan kepala di dadanya.Jack terus mendampingi Aresha yang dibawa oleh Hisam dalam mobilnya menuju area pemakaman. Meski tidak akrab, setidaknya orang-orang itu ada beberapa yang dikenalnya. Beda jauh dengan Aresha, gadis itu tidak mengenal orang-orang dalam iringan takziah kematian itu satu pun.Hingga selesai pemakaman keempat jenazah, Venus terus bersikap manis dengan mata yang berkedip-kedip lemah dan pelan. Rupanya sangat mengantuk, tetapi entah kenapa mata jernih itu tidak juga rapat menutup. Aresha menduga jika bayi itu kehausan."Pak Jack, bebi ini sangat haus. Apa yang biasa dia minum?" tanya Aresha dengan bisik pada lelaki di sebelahnya. Mereka memasuki pintu gerbang semula sekembali dari pemakaman. Jack memandangnya dengan bingung."Pak Hisam, bayi ini sangat haus!" seru Jack pada Hisam yang duduk di kursi kemudi depan. "Akan kutanyakan pada asisten di rumah almarhum kakakku," sahut Hisam dengan resah.Aresha memilih menunggu di sofa teras bersama Jack. Menolak ajakan Hisam untuk membawanya ke dalam rumah. Lelaki gagah, paman Venus yang sedang berbincang dengan polisi di halaman menoleh ke teras. Segera menyudahi obrolan dan berjalan cepat menghampiri Venus yang terus digendong Aresha. Seluruh kerabat yang lain masih terlihat saling sibuk berbincang dalam duka."Maaf jika kami merepotkan Anda berdua, Nona dan Tuan …," sapa paman Venus setelah dekat menghampiri."Perkenalkan, saya Syahfiq, paman anak ini," ucap Syahfiq dan memberikan salam tangannya. Memperhatikan Venus yang menyembunyikan hampir seluruh wajahnya di dada Aresha."Saya Jack, dari perusahaan dekorasi dan renovasi yang sudah dikontrak adik lelaki Anda. Dia Aresha, asisten saya," sambut Jack saat mereka sudah bersalaman. Meski ingat jika Hisam sudah memperkenalkan siapa mereka pada Syahfiq. Lelaki gagah itu sedang meraba kacamatanya.Aresha hanya bungkam saat paman si bayi melepas kaca gelap dari menutupi matanya. Garis wajah rupawan berkaca mata itu semakin memukau tanpa terhalang lagi kaca hitam yang gelap di sana. Paras Syahfiq Herdion terlihat sangat tegas dan tampan."Nona Aresha, sebaiknya Anda segera pulang saja. Keponakan saya tampaknya sudah tidur. Saya tidak ingin dia akan berubah bergantung pada Anda atau juga orang lain," ucap Syahfiq dengan tegas. Menatap tajam kedua mata Aresha."Terima kasih sudah membawa ponakanku ke pemakaman. Aku akan mengganti rugi waktu kalian. Tuan Jack, asisten keluargaku yang bernama Hisam akan mengurusnya untuk Anda dan Nona Aresha. Untuk sementara, tangguhkan dulu desain Anda pada renovasi rumah ini. Uang muka yang sudah Anda terima itu, ambil saja. Anggaplah bahwa itu rezekimu," ucap Syahfiq menyambung penjelasannya tanpa ragu."Sebenarnya seperti itu tidak perlu, Pak Syahfiq. Saya akan tetap mencatatnya sebagai uang muka," sahut Jack sambil tersenyum."Anda tidak perlu basa-basi, Saudara Jack. Jangan pura-pura menolak uang di depan mata." Syahfiq Herdion berkata tajam sambil mendekati Aresha. Tidak lagi memandang wajah Jack yang berubah keras dan memerah sebab ucapan sombongnya.Dengan gerakan cepat, Syahfiq mengambil alih Venus yang memang sudah lelap dari gendongan gadis itu. Bahkan bersikap abai saat jari-jari panjangnya sedikit menusuk di dada tebal Aresha.Gadis itu terkejut dan justru seperti patung. Berusaha menahan marah dan memilih membungkam. Tidak ingin sikap Herdion barusan manjadi aib mereka di tengah suasana duka keluarga lelaki itu. Meski kemungkinan tidak sengaja, tetapi hati Aresha tetap kesal dan kecewa. Sikap lelaki hartawan itu sangat angkuh dan tidak menghargainya.Aresha yakin jika Jack pun jadi merasa tidak suka pada paman bayi itu saat ini. Meski kaya raya dan dermawan, jika sikapnya mengecewakan, Jack pun pasti akan hilang simpatinya.🍓🍓🕸🕸🍎🍎Aresha menolak kebaikan Jack untuk mengantar hingga ke rumah sewanya di kota Nagoya, kota besar pusat pemerintahan pulau Batam. Memilih berjalan kaki santai di sepanjang trotoar menuju ke arah rumahnya.Kebetulan jarak rumah sewa dengan rumah bayi Venus tidaklah jauh. Kurang lebih dua puluh menit saja waktu yang habis untuk mengarunginya dengan kaki. Kini waktu tempuh itu sudah kandas dan Aresha telah sampai di area rumahnya.Bukan kemudian masuk pagar rumah, tetapi sepasang kakinya membelok ke satu kafe di samping rumah sewa."Assalamu'alaikum! Sepi banget, Na?!" Aresha berseru sambil menghempas diri di kursi. Gadis pemilik kafe yang tadinya membungkuk, melurus punggung seketika. Memandang Aresha dengan raut terkejut."Eh, kaukah Re?!" Na merespon kemunculan Aresha."Keluarga ikutan nganter rombongan membelai wanita ke Batu Aji, Re!" ucap Na lagi menjelaskan. Batu Aji adalah nama sebuah kecamatan di Batam."Membelai?!" Aresha berseru dengan heran."Mempelai maksudnya, Areshaaaa ...,"
Security lelaki buru-buru menyambut kedatangan Aresha yang diantarkan oleh Jack. Rumah megah berlantai satu itu masih terang benderang meski terasa sangat lengang. Hanya sayup histeris tangis bayi dari dalam rumah. Semakin dekat, semakin kencang terdengar."Ingat pesanku, Ar, mintalah tarif yang pantas. Percaya ucapanku, usaha Herdion sangat banyak, setidaknya dia akan meraup jutaan hingga puluhan juta tiap harinya. Jangan ragu, manfaatkan peluang ini," bisik Jack di halaman."Apa yang akan membayarku adalah pamannya Venus yang sombong itu, Pak Jack?" tanya Aresha juga berbisik. Seorang lelaki terlihat keluar dari dalam rumah."Tentu saja, bahkan Hisam pun. Hisam secara tidak langsung juga bekerja pada Herdion," sahut Jack menjelaskan."Iya, aku mengerti, Pak Jack. Terima kasih," sahut Aresha sambil mengangguk.Lelaki yang keluar dari dalam rumah adalah Hisam. Kini telah berdiri di antara mereka."Nona Aresha, terima kasih, Anda telah datang. Terima kasih, Pak Jack, Anda sudah repot-
Aresha merasa tegang dan menahan cemasnya. Sikap Herdion membuat perasaan jadi was-was . Sangat khawatir andai jari panjang itu kembali bertingkah tidak sopan di dadanya. Apapun alasan, itu sudah dianggap pelecehan jika tanpa ucapan minta maaf.Sangat lega, tangan itu telah menjauh. Diikuti badan Herdion yang juga mundur selangkah. Kembali memandang Hisam sekian detik di wajah putihnya."Hisam, untuk apa terlalu menawar? Apa kamu tidak risih mendengar tangis ponakanmu? Kenapa kamu tidak mengantar gadis itu menemuiku saja? Atau kamu sendiri yang menyampaikan keinginannya padaku?" Syahfiq Herdion bertanya dengan pandangan kaku pada Hisam."Kupikir sudah tidur. Ini sudah sangat larut malam, Bang," sahut Hisam dengan nada yang canggung. "Justru sudah larut malam, Hisam. Tidak baik menahan wanita yang belum jelas siapa lebih lama di sini." Syahfiq mengalihkan pandangan dari Hisam pada Aresha."Ikutlah denganku, Nona. Siapa namamu?" tanya Syahfiq. Memandang Aresha dengan picingan matanya."
Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut."Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut."Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri. "Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha."Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling b
Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini. Ceklerk Tertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu. "Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum. "Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan. "Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu
Syhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw