Security lelaki buru-buru menyambut kedatangan Aresha yang diantarkan oleh Jack. Rumah megah berlantai satu itu masih terang benderang meski terasa sangat lengang. Hanya sayup histeris tangis bayi dari dalam rumah. Semakin dekat, semakin kencang terdengar.
"Ingat pesanku, Ar, mintalah tarif yang pantas. Percaya ucapanku, usaha Herdion sangat banyak, setidaknya dia akan meraup jutaan hingga puluhan juta tiap harinya. Jangan ragu, manfaatkan peluang ini," bisik Jack di halaman."Apa yang akan membayarku adalah pamannya Venus yang sombong itu, Pak Jack?" tanya Aresha juga berbisik. Seorang lelaki terlihat keluar dari dalam rumah."Tentu saja, bahkan Hisam pun. Hisam secara tidak langsung juga bekerja pada Herdion," sahut Jack menjelaskan."Iya, aku mengerti, Pak Jack. Terima kasih," sahut Aresha sambil mengangguk.Lelaki yang keluar dari dalam rumah adalah Hisam. Kini telah berdiri di antara mereka."Nona Aresha, terima kasih, Anda telah datang. Terima kasih, Pak Jack, Anda sudah repot-repot membawa Nona Aresha kemari," sapa Hisam dengan hangat. Memandang Aresha dan Jack penuh senyum bergantian."Tolong perlakukan pegawaiku dengan baik, Pak Hisam. Agar aku tenang meninggalkannya dengan keluargamu," ucap Jack tegas. Hisam terlihat mengangguk."Jangan risau, Pak Jack. Keluarga kami bukanlah keluarga yang bar-bar." Hisam memandang ke arah dalam rumah sejenak. Tangisan Venus terus saja nyaring mengudara."Maaf, Pak Jack, boleh saya bawa Nona Aresha ke dalam sekarang? Bayi itu kurasa sangat mengharapnya. Juga ... udara malam tidak terlalu baik untuk lama di luar." Hisam menyambung ucapan sambil memandang Aresha dan Jack."Oh, silahkan, Pak Hisam." Jack pun mengangguk. "Aresha, jika ada apa-apa, segera hubungi aku." Jack berkata sambil mengguncang jempol dan kelingking di telinga kirinya."Iya, Pak Jack. Terima kasih," sahut Aresha. Ada resah di nada suaranya."Jangan khawatir. Lakukanlah hal ini dengan maksimal. Baiklah, aku pulang. Jaga dirimu baik-baik, Aresha." Jack tidak lagi memandang Aresha. Meski tahu gadis itu sebenarnya beruntung, Herdion akan membayarnya berapa pun yang akan dia minta, hati kecil Jack tetap saja kasihan. Gadis muda yang cantik itu pasti memiliki angan yang bebas. Namun, tiba-tiba pekerjaan yang jauh dari ekspektasi telah memaksanya untuk menyanggupi. Bahkan ... bisa saja akan mengurungnya."Silahkan masuk, Aresha. Apa kamu keberatan kupanggil nama saja?" Aresha menjawab soalan Hisam dengan menggeleng. "Tidak masalah, Pak Hisam," sahutnya dengan sopan.Hisam membawa masuk Aresha ke dalam rumah sambil bertanya. Tanpa menoleh dan terus berjalan menuju sebuah kamar dengan lolong tangis bayi Venus dari sana. Gadis itu terus berjalan membuntutinya. Kamar Venus sangat luas dengan lekuk ruangan di dalamnya. Wanita gemuk yang siang tadi sempat terlihat, tengah berusaha keras meredam tangis si bayi dengan gusar."Venus... lihat, siapa yang datang sama Om?!" Hisam berbicara lembut agak lantang demi melawan bunyi bising tangisan. Dengan bantuan wanita gemuk yang menggendong, Venus pun melongokkan kepala dan punggung. Mulut menganganya seketika menyempit saat melihat Aresha yang sedang melempar senyum manis ke arahnya."Maaa...," sebut Venus dengan sepatah kata. Seketika mengulurkan tangan sangat kencang pada Aresha.Tidak ingin menghampakan serta membuat kecewa, Aresha segera menyambut. Kini bayi itu sudah berpindah tangan, menyandar rapatkan dirinya di dada Aresha. Tampak tenang, tidak juga melonjak-lonjak atau memandang di wajah cantik Aresha.Mungkin sebab sangat rindu, atau juga rasa mengantuknya yang sangat. Venus terus merapatkan kepala di dada gadis itu. Hanya tangan mungilnya yang bermain di baju, sebentar mencengkeram, sebentar juga melonggar. Aresha menahan risih, sekaligus merasa haru dengan respon menggemaskan Venus padanya."Dia langsung akan tidur, Aresha," bisik Hisam lirih. Pandang matanya terlihat sangat takjub, mengakui bahwa itu hal ajaib mengingat Aresha adalah orang lain. Tidak ada aliran darah setetes pun yang sama antara Aresha dan Venus. "Apa Venus sudah benar-benar tidur?" Aresha memandang lelaki yang terus berdiri di depannya dan memperhatikan cukup lama."Iya, Aresha. Kurasa sudah benar-benar lelap. Matanya sudah rapat menutup," ucap Hisam. Suaranya terus saja lirih, tidak ingin mengusik dan risau jika Venus kembali membuka mata. Seperti trauma andai mendengar tangisannya lagi."Aku akan meletaknya di ranjang dan pulang, Pak Hisam. Malam sudah larut," ucap Aresha. Merasa harus menjaga harga diri. Sebab lelaki itu tidak juga menunjuk gelagat seperti yang sempat Jack katakan. Tidak mungkin juga membicarakan hal pembayaran tanpa dimulai oleh pihak pemilik bayi."Apa Jack tidak membicarakan tentang penawaran profesi padamu, Aresha?" Hisam tampak berkerut dahi dan heran. Tapi tidak menemukan kebohongan di wajah cantik itu. "Profesi bagaimana? Apa Pak Hisam ingin aku merawat Venus dan kemudian menggajiku?" Aresha menyambut umpan yang terulur dengan lugas. Merasa tidak ingin bertele-tele sebab malam memang sudah larut.Lelaki berkulit putih dan tampan itu tidak terus menyahut. Namun, memandang Aresha lekat dengan dahi yang kembali berkerut. Seolah sedang memikirkan sesuatu di benaknya."Benar, bekerjalah untuk Venus padaku, Aresha. Aku akan membayarmu," sahut Hisam lirih tetapi tegas."Tetapi merawat bayi adalah berat, Pak Hisam. Aku tidak percaya diri," sahut Aresha sungguh-sungguh."Tolong bersedialah, Aresha. Venus hanya diam jika denganmu. Katakan, berapa besar gaji yang kamu ingin? Sekiranya jumlah yang tidak membuatmu merasa berat merawat Venus," ucap Hisam membujuk dengan lirih. Seperti risau jika suaranya didengar orang lain."Katakan saja berapa, Aresha? Berapa yang kamu mau agar rasa percaya dirimu timbul untuk menjaga Venus," ucap Hisam membujuk."Kenapa tidak mencoba mengambil baby sitter saja, Pak Hisam?" Aresha masih mencoba tarik ulur."Sudah itu, Aresha. Bahkan sudah tiga perawat yang kubawa ke rumah, sore dan malam ini saja. Namun, mereka tidak berhasil mendiamkan tangis Venus." Hisam memandang Aresha memohon."Berapa gaji yang Pak Hisam berikan pada perawat Venus yang lama?" Aresha bertanya dengan nada lembut dan sopan."Kakakku membayarnya sembilan juta tiap bulan, Aresha. Jika ingin, kamu bisa meminta lebih dari itu padaku," ucap Hisam nenjelaskan.Aresha terdiam. Teringat lagi akan ucapan Jack bahwa Herdionlah yang akan membayarnya. Juga betapa kayanya lelaki itu. Tetapi sikap Hisam menunjuk seolah dirinyalah yang akan membayar. Apa mereka berdua begitu dekat dan saling percaya?"Ternyata upah yang kuinginkan terlalu tinggi, Pak Hisam. Padahal aku ingin upah sejuta per malamnya. Bagaimana, kurasa Anda akan keberatan," ucap Aresha terdengar ragu. Namun, dalam hati hanya ingin tahu sejauh mana kesanggupan Hisam membayar. Benar sekali, lelaki itu sedang tampak terkejut."Apa? Kamu serius, Aresha?" Hisam seolah tidak percaya. Yang ditanya pun seketika mengangguk. Wajah putih dan tampan itu kian bingung."Bukan aku tidak mau, tetapi aku akan kehilangan seluruh penghasilanku tiap bulan untuk membayarmu, Aresha. Apa kamu tidak ingin menurunkan lagi harga itu?" Hisam bertanya lembut dengan tetap memandang bingung pada Aresha."Mohon maaf, Pak Hisam. Sebenarnya aku sangat suka bekerja dengan Pak Jack. Arsitek adalah kegemaran dan obsesiku, jadi...," ucap Aresha sengaja menggantung."Tidak, Aresha, jangan berpikir kembali pada Pak Jack. Jagalah Venus denganku," ucap Hisam dengan nada kebingungan."Ehemm!" Aresha dan Hisam sama-sama terkejut dan menoleh. Ternyata, Syahfiq Herdion telah berdiri tegak di belakang mereka. Lelaki itu telah melangkah tanpa ribut ke dalam kamar dan mendengar perbincangan keduanya diam-diam."Bang Fiq ...," sebut Hisam dengan kikuk.Herdion maju melangkah dan mendekat. Memandang Hisam dengan tatapan datar, kemudian pada Aresha sekilas. Lelaki itu mengulur tangan pada kepala Venus dan mengusapi rambut di kepalanya beberapa kali.Aresha menahan debar dadanya. Sikap Herdion membuatnya was-was. Sangat khawatir andai tangan panjang itu kembali bergerak tidak sopan. Apapun alasannya, kejadian siang tadi adalah pelecehan bagi Aresha!🍓🍓🕸🍓🍓Aresha merasa tegang dan menahan cemasnya. Sikap Herdion membuat perasaan jadi was-was . Sangat khawatir andai jari panjang itu kembali bertingkah tidak sopan di dadanya. Apapun alasan, itu sudah dianggap pelecehan jika tanpa ucapan minta maaf.Sangat lega, tangan itu telah menjauh. Diikuti badan Herdion yang juga mundur selangkah. Kembali memandang Hisam sekian detik di wajah putihnya."Hisam, untuk apa terlalu menawar? Apa kamu tidak risih mendengar tangis ponakanmu? Kenapa kamu tidak mengantar gadis itu menemuiku saja? Atau kamu sendiri yang menyampaikan keinginannya padaku?" Syahfiq Herdion bertanya dengan pandangan kaku pada Hisam."Kupikir sudah tidur. Ini sudah sangat larut malam, Bang," sahut Hisam dengan nada yang canggung. "Justru sudah larut malam, Hisam. Tidak baik menahan wanita yang belum jelas siapa lebih lama di sini." Syahfiq mengalihkan pandangan dari Hisam pada Aresha."Ikutlah denganku, Nona. Siapa namamu?" tanya Syahfiq. Memandang Aresha dengan picingan matanya."
Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut."Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut."Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri. "Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha."Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling b
Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini. Ceklerk Tertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu. "Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum. "Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan. "Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu
Syhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua
Bedug maghrib sayup bertalu dari sebuah masjid nun jauh di seberang. Menyusul alun adzan yang juga sayup setelahnya. Pulai Marina sedang membangun sebuah masjid untuk fasilitasnya. Sedang sebelumnya telah ada sebuah mushola kecil saja sebagai fasilitas. Sebab di awal pembukaan, hanya sedikit orang-orang yang berminat menghuni di sana. Sedang sekarang, sudah melimpah ruah jumlah penghuni yang tinggal.Meski status mereka hampir sama, yakni sebagai warga pendatang sementara alias sebagai investor tanah dan bangunan. Belum ada sistem pemerintahan serta perwakilan daerah sendiri di sana. Semua masih dikelola oleh pihak investor pusat yang menyewa pada pemerintahan pulau Batam.Herdion menutup smart phone canggihnya setelah menyimaknya cukup lama. CCTV pemantau beberapa kali diputar ulang di bagian teras rumah besar. Terlihat jelas bagaimana cara adik lelaki tersayang memeluk erat Aresha dari belakang. Apa yang dikatakan gadis itu sangat benar seluruhnya. Taufik sedang mengalami pubertas
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw