Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.
Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut."Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut."Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri."Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha."Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling berjabat tangan."Terima kasih ya, Aresha. Kamu sudah mau datang untuk menemani cucuku," ujar Siti Yasmin lembut dan terdengar tulus."Sama-sama, Bu. Namun, sebenarnya saya tidak punya pengalaman sama sekali, mohon di makhlumi ya ...," sahut Aresha dengan segan. Di hadapan ibunya Herdion, totalitas sikapnya sungguh sopan. Siti Yasmin pun sangat menghargainya dan hangat."Tidak masalah, Aresha. Asal anak ini tidak menangis lagi, itu sudah cukup. Saat dia menangis, menelan ludah pun susah. Selalu saja ingat papanya, anak lelakiku, juga menantu perempuanku ...," ucap Siti Yasmin dengan suara berubah bergetar.Wanita senja itu telah menangis. Menunduk dengan suara isaknya yang ditahan. Namun, malam sunyi begini, suara sedunya sangat jelas terdengar."Bersabar ya, Bu. Ini memang cobaan yang sangat berat. Semangat ya, Bu ...," ucap Aresha dengan bingung. Wanita itu mengangkat wajah dan mengangguk." Terima kasih, Aresha. Namun, ini sudah sangat larut. Venus juga sudah lelap. Bagaimana jika kalian pergi ke kamar?" Tangan Siti Yasmin terulur, mengelus kepala bayi dalam gendongan Aresha sejenak."Maaf, Bu. Sebenarnya saya baru dibawa Pak Syahfiq ke ruang kerja untuk berbincang masalah kerja sama. Namun, saya jadi lupa arah mana yang menuju kamar Venus...."Aresha tersenyum merasa malu. Mungkin akan terkesan jika tidak biasa tinggal di rumah luas dan besar."Hheehe ... itu sudah biasa, Aresha. Mari, kuantar ke kamar kalian. Maaf, kamu sementara harus sama kamar dengan Venus. Kamu tidak masalah, kan?" Siti Yasmin terlihat iba pada Aresha. Namun, gadis cantik itu tersenyum sambil menggeleng."Syukurlah, ayolah ikut denganku." Siti Yasmin memimpin berjalan di depan.Ternyata bukanlah jauh. Keluar dapur, berjalan menyeberang ruangan dengan lurus, kemudian berjalan ke arah kiri dan terdapat sebuah pintu. Di sanalah Siti Yasmin berhenti, bahkan bisa melihat dalam dapur jika berdiri di depan kamar itu."Masuklah kalian. Maaf, tidak bisa menemanimu malam ini. Kepalaku sangat sakit, Aresha. Mungkin kelelahan dan sangat panik pada Venus yang terus menangis. Inipun akan meminum obatku. Namun, bertemu kamu dan Venus yang tidur lelap olehmu, kepalaku banyak berkurang nyerinya." Siti Yasmin kemudian tersenyum. Membukakan pintu kamar untuk Aresha."Terima kasih, Bu. Selamat malam." Aresha memberi sapa terakhirnya."Selamat malam, Aresha. Assalamu'alaikum," sambut Siti Yasmin dan kembali menarikkan pintu agar rapat menutup.Aresha tidak sempat menjawab langsung salam yang dilempar Siti Yasmin. Pintu sudah menutup rapat bersama hilang bayang wanita itu.Segera berbalik dan berjalan menuju jantung kamar. Melihat sekilas keadaan kamar. Sebuah foto di dinding membuat jantungnya laju berpacu. Foto sepasang pria dan wanita dengan Venus bersama mereka, membuat debar yang resah tersendiri bagi Aresha. Yakin jika foto itu adalah orang tua Venus yang tiada sore tadi karena kecelakaan yang tragis.Merasa dirinya bukan muslimah yang baik dan sangat jauh dari kata Sempurna. Sebab, rasa hatinya sungguh gentar untuk kembali melangkah menuju pembaringan. Rasanya ingin terus mendekap Venus yang dianggap jadi teman. Aresha jadi seperti tersiksa dan sangat sendirian.Berusaha menepis kekerdilan jiwa dengan merapal bermacam doa dan ayat. Jujur saja, hal ini sangat lupa untuk dia pikirkan saat datang. Terlalu silau dengan bujukan Jack soal limpahan uang. Andai ingat akan ini, bisa jadi Aresha memilih mundur. Namun, ini semua sudah terlanjur. Tidak mungkin Herdion menghapus tanda tangannya di ponsel begitu saja.Venus telah diletak, anak bayi itu terlihat tenang dan damai. Selimut telah menutup tubuh mungilnya sebatas leher. Mesin AC tetap menyala, Hisam tidak mematikannya. Ruang kamar kian mencekam sebab dingin. Mata Aresha sama sekali tidak merasa kantuk yang menggayut sedikit pun. Sedang waktu di dinding telah menunjuk pukul satu dini hari.Mengingat sesuatu membuat hatinya sedikit cerah dan teralih dari suasana sekitar sejenak. Aresha telah duduk sambil memegang sebuah kartu yang baru diambil dari saku bajunya. Bibir manisnya terlihat terbit senyum yang tipis.Telah disimpannya nomor Syahfiq Herdion. File akun keuangan miliknya sudah meluncur sekian detik lalu ke nomor yang tertera di kartu milik lelaki itu. Mata Aresha memperhatikan dengan lebar.Ternyata, lelaki itu pun tidak tidur. Masih terjaga dengan bukti tanda terbaca dari pesan yang baru saja Aresha kirimkan. Namun, tidak ada balasan atau pun respon dari Herdion.Aresha kembali merebah di samping Venus dengan was-was. Bayang cerita-cerita horor yang pernah ditonton kembali mengganggunya. Rasanya seperti menjadi manusia lemah tak berguna.TingKetegangan Aresha seketika luruh saat ponselnya berbunyi. Segera disambar dengan rasa penasaran. Dari sebuah nomor yang berisi laporan sukses transfer ke akun keuangannya.Aresha tercengang, bahkan ketegangan sebab bayang cerita horor di kepala telah melayang tak berbekas. Bukan hanya semalam, tetapi upah tujuh malam sekaligus telah terkirim di akun miliknya!"Terima kasih, Pak Herdion," ketik Aresha kemudian. Segera dikirimkan isi pesan singkatnya ke nomor aplikasi chat lelaki itu. Merasa lebih baik pasrah dan tidak perlu meralat. Toh hanya satu minggu, apalagi dengan jumlah yang hampir sama dengan upah yang didapatnya dari kantor Jack selama satu bulan. Tidak munafik jika ini ibarat rezeki nomplok alias durian lebat yang roboh dan tua.Ting!Sangat terkejut, tiba-tiba ada pesan masuk balasan dari Syahfiq Herdion. Aresha tidak menyangka jika lelaki itu akan sudi membalas pesannya."Apa Venus menangis?" Ternyata seperti ini bunyi pesan balasannya. Sejenak Aresha memutar otak lebih kencang."Venus tidur pulas. Namun, jujur saya merasa seram di kamar ini. Maaf," balas Aresha dan segera terkirim. Sudah dibaca, yakin jika lelaki itu sedang merutukinya dan mungkin menertawakan paranoidnya yang sia-sia. Tetapi tidak peduli anggapan si Herdion, Aresha justru merasa lega telah mengungkap deritanya dengan jujur. Rasa gusar dan gentar terasa jauh berkurang.Seperti yang disangka, tidak ada balasan pesan. Paman sombong itu tidak mungkin akan merasa peduli. Bisa jadi Herdion sedang menyesal telah membayarnya tujuh malam sekaligus.Tok Tok TokTerkejut sekali, siapa orang di balik pintu larut malam begini? Hanya bayang nama Hisam, Herdion dan Siti Yasmin sebagai orang yang kemungkinan mengetuk pintu di luar. Sebab ini adalah kamar Venus sebagai tokoh utamanya, Aresha memaklumi kedatangan siapapun orang yang mengetuk pintu itu sekarang.đđđ¸đđAresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini. Ceklerk Tertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu. "Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum. "Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan. "Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu
Syhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua
Bedug maghrib sayup bertalu dari sebuah masjid nun jauh di seberang. Menyusul alun adzan yang juga sayup setelahnya. Pulai Marina sedang membangun sebuah masjid untuk fasilitasnya. Sedang sebelumnya telah ada sebuah mushola kecil saja sebagai fasilitas. Sebab di awal pembukaan, hanya sedikit orang-orang yang berminat menghuni di sana. Sedang sekarang, sudah melimpah ruah jumlah penghuni yang tinggal.Meski status mereka hampir sama, yakni sebagai warga pendatang sementara alias sebagai investor tanah dan bangunan. Belum ada sistem pemerintahan serta perwakilan daerah sendiri di sana. Semua masih dikelola oleh pihak investor pusat yang menyewa pada pemerintahan pulau Batam.Herdion menutup smart phone canggihnya setelah menyimaknya cukup lama. CCTV pemantau beberapa kali diputar ulang di bagian teras rumah besar. Terlihat jelas bagaimana cara adik lelaki tersayang memeluk erat Aresha dari belakang. Apa yang dikatakan gadis itu sangat benar seluruhnya. Taufik sedang mengalami pubertas
Ruang kerja Herdion memang di dalam kamarnya. Lebih tepat lagi harus menyeberangi isi dalam kamar. Kini Aresha telah bersama pemiliknya di ruang kerja yang menghadap laut lepas di bawah sana. Kamarnya menghadap sisi belakang rumah.Ternyata, kamar Herdion berada di atas kamar Aresha dengan tangga tersembunyi di balik dapur. Entah kenapa, sebagaian kamar di rumah ini di desain mengelilingi ruang dapur. Lalu, di mana kamar Taufiq?"Aresha, kamu tidak ingin duduk?" Herdion menegur setelah agak lama Aresha hanya mengamati dan berdiri. Sedang kursi di depan meja lelaki itu diabaikan."Aku sudah duduk," ucap Aresha. Lelaki di depannya tidak lantas bicara setelah dirinya duduk sekian detik dari tadi."Baiklah, akan kumulai bincang denganmu, Aresha," ucap Herdion tanpa memandang lawan bicaranya."Soal Taufiq yang sempat berkelakuan meresahkan denganmu, aku sebagai abangnya minta maaf dan menyayangkan. Juga mewakili keluargaku, minta maaf yang besar padamu," ucap Herdion yang kali ini sambil m
Sejak revisi kerja bersama waktu lalu, belum sekali saja Herdion terlihat kelebatnya. Siti Yasmin bilang sedang mengurusi banyak masalah serta setumpuk pekerjaan. Memang seperti itulah kebiasaan si putra sulung, waktu dihabiskan di luaran. Wanita itu juga mengeluh sekilas akan hal pribadi anak lelaki, logikanya ... susah dipercaya jika seorang pria mapan, tampan dan hartawan, betah melajang tanpa satu pun wanita. Namun, seperti itulah nyatanya. Sang mama begitu yakin jika Herdion adalah lelaki bersih dan lurus. Kukuh jika putranya adalah lelaki normal yang tidak sembarang bermain wanita."Baiklah, Mama keluar dulu. Mata tua ini sangatlah mengantuk. Diabetes di tubuhku benar-benar sangat mengganggu." Siti Yasmin berdiri dari duduk di ranjang Venus yang sudah lumayan lama. Baru saja berbincang nyaman dengan Aresha saat Venus terlelap di ranjang khusus bayi."Iya, Bu. Terima kasih sudah ditemani mengobrol dan menjaga Venus," sahut Aresha yang juga turun dari ranjang. Ingin mengantar wani
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. âSha, ada email dari Julian dan istrinya!â ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.âApa isinya?!â Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.âKedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.âSyahfiq, apa kabarmu⌠tidak menyangka melihatmu di sini,â ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.âKalian kenal?â Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.âAku ⌠kalian juga kenal?â Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.âKenalkan, dia Aresha, istriku,â ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.âMammaah âŚ.â Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. âLalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan âŚ,â bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya ⌠aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian âŚHerdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. âBagaimana?â tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.âIya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,â ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.âJadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?â tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.âBaiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.ââTolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq âŚ,â ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. âSaya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.âApa ini bukan pedofil?â tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. âBukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.âBagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?â tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.âSudah diselimuti, Sus?â tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.âSudah, Kak,â sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.âAyo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,â ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw