Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini.
Ceklerk Tertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu. "Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum. "Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan. "Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu singgah di ranjang dan memperhatikan Venus yang pulas. "Venus tidur sangat nyenyak. Tetapi tuan Syahfiq menemuiku dan memintaku mamantaunya bersamamu ...," ucap wanita berambut pendek itu dengan lirih. Seperti bergumam pada Aresha. "Tuan Syahfiq mungkin belum percaya padaku, Bu. Saya masih pengasuh baru untuk Venus," sahut Aresha juga lirih. "Baiklah Nona Aresha, kamu tidurlah dengan Venus di ranjang. Aku akan tidur di sana," ucap Wanita gemuk sambil menunjuk sebuah matras tebal di pojok kamar. Kemudian mengambil bantal sebuah dari ranjang. Aresha buru-buru menangkap tangannya. "Bu, namamu siapa? Bisakah memanggilku dengan nama saja? Juga tidurlah di ranjang, di itu sangat luas. Bahkan muat untuk lima orang." Aresha menahan gerak wanita itu dengan berbicara sangat lirih. "Baiklah, kupanggil namamu saja, Aresha. Namaku, Salamah. Panggil saja Mak Sal. Tetapi aku akan tetap tidur di sana, ranjang itu terlalu empuk. Aku justru akan susah tidur nantinya," jelas wanita gemuk yang bernama mak Salamah. "Mak Sal tidak masuk angin?" Aresha sungguh merasa risau akan mak Sal. Sebab merasa jika dirinya paling tidak bisa tidur di lantai. Selain sangat keras, sebab juga dingin dan masuk angin. Ranjang empuk dan hangat adalah sarana tidur idolanya. "Jangan khawatir, Aresha. Mak Sal sudah lihai dan terbiasa tidur di lantai." Mak Sal segera menjauh dan merebah diri di matras pojok kamar. Tidur miring menghadap tembok dan menunjukkan punggung saja. Namun, Aresha sempat melihat jika mata wanita itu berair saat berbicara dan lalu berpaling. Rasanya iba juga, mungkin teringat pada baby sitternya Venus yang lama. Rekan kerjanya yang juga tiada bersama sang majikan. Mak Sal pasti sedang merasa sangat sedih. Meski perasaannya sudah jauh lebih tenang sebab adanya mak Sal menemani di kamar, kedua mata Aresha tetap saja terjaga. Berkedip-kedip memandang bayi Venus dan punggung mak Sal bergantian. Berpikir juga pada si paman dingin, Syahfiq Herdion. Menduga barangkali mak Sal disuruhnya ke kamar Venus demi membuat Aresha jadi tenang dan tidak lagi merasa takut. Namun, lelaki itu beralasan pada mak Sal sebab Venus. Jika seperti itu, ternyata Herdion adalah pria yang cukup responsif dan memiliki empati yang baik. Hanya saja memang angkuh dan kaku sekali model orangnya. Aresha yang akhirnya sempat tertidur, terbangun bukan sebab alarm. Namun, sebuah hantaman lembut yang berkali-kali di perut. Ternyata, baby Venus sedang menendangi perutnya dangan melonjak-lonjak dan tertawa. Mulutnya juga mengeluarkan bunyi gumam-gumaman nyaring tidak jelas. Keterkejutan Aresha melayang bersama rasa gemas akan kelucuan bayi Venus yang gembira. "Selamat pagi Venus, apa kamu sudah mengucap doa bangun tidur. Ayo kita doa bareng-bareng...," ucap Aresha langsung saja bersemangat. Rasa lelah dan pening saat bangun tidur seperti biasanya, sama sekali tidak ada. Senyum Venus seperti sihir bahagia baginya. "Ayo kita cari minum di dapur ya, Venus. Tante haus banget ...," ucapnya setelah berdoa dan sambil turun ranjang. "Ma ... Mamma ...," sahut Venus tiba-tiba. Raut dan ekspresi wajah lucu itu cemberut dan terlihat tidak suka. Aresha pun terkekeh karenanya. "Kamu tidak suka panggil aku dengan tante? Maumu, mama? Ya udah, yuk, gendong mama ke dapur," bujuk Aresha yang kemudian meraup bayi Venus di gendongan. Aresha pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya dan Venus. Hanya sebasuh dua basuh yang sekadar untuk menyegarkan. Kemudian bergegas keluar tanpa mengelapnya. Menyadari jika dirinya tidak membawa baju dan handuk selembar pun. Mak Sal terlihat tenang dengan tidur miring, tidak terusik oleh percakapannya bersama Venus. Jam di dinding yang menunjuk angka antara empat dan lima itu sempat diliriknya sebelum menyelip diri keluar dari kamar. Lampu dapur yang semalam sudah dimatikan oleh Siti Yasmin, kini kembali terang benderang. Aresha menduga jika wanita itu sudah kembali ke dapur sepagi ini. Jiwa cipta konsumsi akan melekat pada wanita, meski sekaya dan setua apa pun. Juga, di manapun mereka berada. Ternyata bukanlah yang diduga, justru Hisam orang yang sedang di dapur sana. Lelaki itu segera berdiri saat Aresha melewati pintu dan terkejut melihatnya. "Aresha ... kalian sudah bangun? Venus, kamu sedang gembira?" Hisam bertanya sambil memandang Aresha sekilas kemudian saksama pada Venus. Bayi aktif itu sedang menarik-narik lengan baju Aresha sambil tersenyum-senyum lebar. Tampak gembira berada di gendongan gadis itu. "Iya, Pak Hisam. Aku dibangunkan Venus, perutku ditendang-tendangnya. Dia atraktif sekali," ucap Aresha sambil memandang Venus dengan gemas. "Ha... ha... ha, benarkah dia seganas itu padamu? Kenapa jika denganmu dia nakal? Tetapi jika denganku nangis terus, haaah...?" Hisam berbicara pada Aresha namun dengan wajah memandang Venus sangat dekat. Wajah putih dan tampan lelaki itu penuh senyum sangat lebar, menggoda Venus yang telah dihadapkan ke depan oleh Aresha. "Ehemm...!" Senyum canda di wajah Aresha dan Hisam pun pudar seketika. Seorang pria gagah dengan baju koko dan bersarung, tengah masuk ke dapur dan mendekati kedunya. Rambutnya terlihat sempurna tanpa peci yang menutup di kepala. "Hisam, kamu di sini? Kenapa tidak turun ke bawah untuk subuhmu?" Pria gagah itu adalah Herdion. Berjalan lebih mendekat dan menghampiri Aresha. Tentu saja untuk mengacak rambut Venus dengan jari-jarinya yang panjang. Kali ini Aresha tidak begitu tegang dan was-was. Semakin paham jika Herdion adalah lelaki prefect yang baik. Berharap waktu itu Herdion bertingkah tidak sengaja. "Aku lambat bangun dan sudah akan turun, Bang. Namun, ketemu Venus di sini, membuatku jadi lupa," sahut Hisam sambil menyambar sebuah cangkir. Mungkin hanya sekadar berisi air putih. "Tunggu Hisam. Aku ingin bicara sebentar," ucap Herdion saat Hisam akan menuju pintu dapur setelah mencium pipi Venus sekilas. Hisam berbalik dan kembali agak mendekati Herdion. Memandang lelaki berekspresi datar itu penuh tanya. Sambil meneguk isi minuman dari cangkir yang sedikit dan meletaknya ke meja. "Hisam, pagi ini aku akan menjenguk adikku sekaligus menyelesaikan gunungan kerja di Pulau Marina. Tolong kamu handle urusan kirim doa untuk seluruh almarhum hingga segalanya selesai dan beres. Juga segala santunannya. Setelah itu susullah aku dan bawa pulang orang tuaku sekali," ucap Herdion menjelaskan. "Sendirian?" tanya Hisam merespon. Seolah sudah maklum dan tidak merasa keberatan akan tidak adanya Herdion di acara penting keluarga. Sepertinya hal seperti itu sudah sering terjadi. "Venus akan bersamaku di Pulau Marina," jawab Herdion dengan tegas. "Aresha!?" tanya Hisam merespon dengan cepat. "Dia pun, Hisam. Dialah yang akan membawa Venus. Aku sudah membayarkan upahnya selama satu minggu," sahut Herdion dengan tenang. Lelaki itu menyambar cangkir dari etalase penyimpanan pecah belah. Menuang air dan meminumnya dengan santai. Tidak peduli akan pandangan Hisam yang kaget dan terlihat kesal padanya. đđđ¸đ¸đđSyhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua
Bedug maghrib sayup bertalu dari sebuah masjid nun jauh di seberang. Menyusul alun adzan yang juga sayup setelahnya. Pulai Marina sedang membangun sebuah masjid untuk fasilitasnya. Sedang sebelumnya telah ada sebuah mushola kecil saja sebagai fasilitas. Sebab di awal pembukaan, hanya sedikit orang-orang yang berminat menghuni di sana. Sedang sekarang, sudah melimpah ruah jumlah penghuni yang tinggal.Meski status mereka hampir sama, yakni sebagai warga pendatang sementara alias sebagai investor tanah dan bangunan. Belum ada sistem pemerintahan serta perwakilan daerah sendiri di sana. Semua masih dikelola oleh pihak investor pusat yang menyewa pada pemerintahan pulau Batam.Herdion menutup smart phone canggihnya setelah menyimaknya cukup lama. CCTV pemantau beberapa kali diputar ulang di bagian teras rumah besar. Terlihat jelas bagaimana cara adik lelaki tersayang memeluk erat Aresha dari belakang. Apa yang dikatakan gadis itu sangat benar seluruhnya. Taufik sedang mengalami pubertas
Ruang kerja Herdion memang di dalam kamarnya. Lebih tepat lagi harus menyeberangi isi dalam kamar. Kini Aresha telah bersama pemiliknya di ruang kerja yang menghadap laut lepas di bawah sana. Kamarnya menghadap sisi belakang rumah.Ternyata, kamar Herdion berada di atas kamar Aresha dengan tangga tersembunyi di balik dapur. Entah kenapa, sebagaian kamar di rumah ini di desain mengelilingi ruang dapur. Lalu, di mana kamar Taufiq?"Aresha, kamu tidak ingin duduk?" Herdion menegur setelah agak lama Aresha hanya mengamati dan berdiri. Sedang kursi di depan meja lelaki itu diabaikan."Aku sudah duduk," ucap Aresha. Lelaki di depannya tidak lantas bicara setelah dirinya duduk sekian detik dari tadi."Baiklah, akan kumulai bincang denganmu, Aresha," ucap Herdion tanpa memandang lawan bicaranya."Soal Taufiq yang sempat berkelakuan meresahkan denganmu, aku sebagai abangnya minta maaf dan menyayangkan. Juga mewakili keluargaku, minta maaf yang besar padamu," ucap Herdion yang kali ini sambil m
Sejak revisi kerja bersama waktu lalu, belum sekali saja Herdion terlihat kelebatnya. Siti Yasmin bilang sedang mengurusi banyak masalah serta setumpuk pekerjaan. Memang seperti itulah kebiasaan si putra sulung, waktu dihabiskan di luaran. Wanita itu juga mengeluh sekilas akan hal pribadi anak lelaki, logikanya ... susah dipercaya jika seorang pria mapan, tampan dan hartawan, betah melajang tanpa satu pun wanita. Namun, seperti itulah nyatanya. Sang mama begitu yakin jika Herdion adalah lelaki bersih dan lurus. Kukuh jika putranya adalah lelaki normal yang tidak sembarang bermain wanita."Baiklah, Mama keluar dulu. Mata tua ini sangatlah mengantuk. Diabetes di tubuhku benar-benar sangat mengganggu." Siti Yasmin berdiri dari duduk di ranjang Venus yang sudah lumayan lama. Baru saja berbincang nyaman dengan Aresha saat Venus terlelap di ranjang khusus bayi."Iya, Bu. Terima kasih sudah ditemani mengobrol dan menjaga Venus," sahut Aresha yang juga turun dari ranjang. Ingin mengantar wani
Aresha masih berdiri di dapur bersama Herdion saat terdengar jelas bunyi suara Venus yang bangun. Hanya ocehan dan gumaman, bukanlah tangisan. "Permisi, Pak," pamit gadis itu melewati sang tuan.Berjalan cepat menuju kamar, pintunya tidak jauh dari dapur dan menghadap kolam renang. Pintu yang telah dibuka dan akan ditutup kembali setelah menyelip diri ke dalam, terasa terpental. Ternyata tangan besar lelaki itu sedang menahannya.Hal yang memang sering dilakukan Herdion saat berada di rumah. Memantau langsung bayi Venus di kamar. Meski kehadirannya hanya berdiri, mengamati dan pergi, cukup membuat Aresha merasa sedikit senam jantung saja terasa. Sejinak apapun sang atasan, pasti juga masih timbul rasa segan dan was-was. Resah andai dijumpai kesalahan sekecil pun saat bekerja!Bayi cantik itu telah lelap kembali meskipun sempat tersenyum-senyum dan memainkan kedua kaki serta kedua tangan mungilnya. Sebotol susu penuh nutrisi dengan kandungan padat gizi, telah cukup mengganjal perut si
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. âSha, ada email dari Julian dan istrinya!â ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.âApa isinya?!â Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.âKedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.âSyahfiq, apa kabarmu⌠tidak menyangka melihatmu di sini,â ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.âKalian kenal?â Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.âAku ⌠kalian juga kenal?â Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.âKenalkan, dia Aresha, istriku,â ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.âMammaah âŚ.â Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. âLalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan âŚ,â bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya ⌠aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian âŚHerdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. âBagaimana?â tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.âIya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,â ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.âJadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?â tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.âBaiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.ââTolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq âŚ,â ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. âSaya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.âApa ini bukan pedofil?â tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. âBukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.âBagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?â tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.âSudah diselimuti, Sus?â tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.âSudah, Kak,â sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.âAyo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,â ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw