"Padahal waktu itu Kakak juga nyela kata-kataku." Ucapan lirih Raga membuat mengerjap. "Kapan?" tanyanya, tidak ingat pernah memotong perkataan Raga. Kalau Malven sih, jangan ditanya! "Semalem? Waktu aku tanya Deon itu siapa, Kakak langsung bilang 'Bukan!' padahal aku belum selesai ngomong." Claudia hampir tertawa saat meliht Raga memperagakan bagaimana cara Claudia memotong perkataannya semalam. Keningnya yang berkerut dengan alis sedikit naik saat mengatakan 'bukan' sungguh sangat menggemaskan. "Iya, Kakak salah, maaf. Lain kali ingatkan Kakak kalau melakukan sesuatu yang Raga pikir itu salah, ya?" Claudia kembali mencubit pelan pipi bulat Raga. "Oke, Kakak siap-siap aja!" Tawa Clauida berderai saat Raga menjawab dengan serius. Wajah anak itu selalu menyenangkan untuk dilihat seperti apa pun ekspresi yang sedang dibuat. "Maaf terlambat, apa aku membuat kalian menunggu terlalu lama?" Claudia dan Raga menoleh bersamaan saat seorang wanita memasuki ruangan. Claudia la
"Jadi, menurut Raga tidak apa-apa memakainya kapan pun, kan? Misal saat Kakak memakai perhiasan yang Raga belikan, ada orang jahat yang melihat, lalu mencelakai Kakak untuk mengambil perhiasannya, tidak apa-apa?" Claudia tersenyum saat melihat Rag tersentak, sepertinya apa yang Claudia sampaikan tidak pernah terpikirkan olehnya. "Lalu, bagaimana dengan kakak-kakak pelayan di rumah? Melihat Kakak yang baru bekerja tidak sampai tiga bulan memakai baju mahal dan perhiasan mewah, mereka akan berpikir apa ya tentang Kakak? Pencuri? Tukang korupsi? Mengambil uang Tuan Muda? Penggo--ekhm!" Claudia langsung berdeham saat kata 'penggoda' hampir saja keluar dari mulutnya. "Raga pernah lihat berita di televisi tidak? Banyaknya kejahatan dan pembunuhan yang terjadi biasanya disebabkan oleh apa yang korbannya kenakan. Perhiasan mahal dan pakaian mewah hanya akan mengundang orang jahat jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, berbeda ceritanya jika Kakak pergi ke pesta atau acara forma
Bukan membicarakan Malven? Claudia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendengar perkataan Tabinta. Secara tidak langsung wanita itu memberitahu jika Malven bukanlah cinta pertama Elodia, dan itu benar-benar berita yang tidak ingin Claudia ketahui. "Bukankah Raga sedikit lama? Aku akan memeriksanya dulu--!" "Tidak perlu, Claudia, karyawanku sedang membantunya. Jangan khawatir, Raga sudah mengenal asistenku dengan baik." Tabinta mencegah Claudia yang ingin melarikan diri, seringainya terukir ketika melihat wajah wanita di sisinya tampak sedikit pucat. Claudia menggaruk kepala canggung, sejujurnya tidak mau tetap di sini dan melanjutkan pembicaran. Dia tidak mau dan tisak berminat untuk mengetahui masa lalu Elodia atau pun pria yang pernah wanita itu cintai. "Sampai di mana pembicaraan kita tadi?" Duh! Claudia tidak tahu harus bagaimana saat Tabinta sepertinya tetap ingin melanjutkan ceritanya. Kenapa wanita itu melakukan hal ini? Padahal katanya Elodia itu sahabatnya, tapi
"A-ada apa?" Claudia bertanya gugup, mengepalkan tangannya erat-erat saat berusaha agar tidak menyentuh syal dan membuatnya semakin mencurigakan. "Bukan apa-apa, hanya saja ada satu cerita lagi yang ingin kusampaikan." Tabinta tersenyum kecil saat menatap tepat di bola mata Claudia. "Dea benci kelas menyulam, sangat membencinya malah. Aku sering melihat jari-jarinya penuh luka setelah dia les menyulam. Dia juga sangat tidak berbakat dalam hal itu, tapi suatu hari guru menyulamnya bilang akan meluluskannya kalau Dea bisa membuat sebuah syal dalam waktu tiga bulan." Claudia menelan ludah tanpa sadar, berusaha tetap berpikir positif. Tidak mungkin syal yang sedang Claudia gunakan sekarang adalah satu-satunya syal yang pernah Elodia buat, kan? Dari semua kebetulan dan kemungkinan di dunia ini, mana mungkin Claudia akan mengalami salah satunya! "Karena ingin cepat lulus, Dea akhirnya berhasil menyelesaikan rajutannya. Meski tidak sempurna, tapi itu adalah satu-satunya hasil karyanya sel
Pukul empat sore, Claudia dan Raga akhirnya kembali ke kediaman Pranaja dengan membawa banyak barang. Tidak hanya membeli untuk Claudia, tapi juga seluruh pelayan di kediaman. Tidak banyak, hanya tas dan beberapa macam aksesoris untuk setiap orang, namun kebaikan yang dibagikan hari itu membuat perasaan para pekerja dipenuhi syukur dan kebahagiaan. Bersyukur karena bekerja di lingkungan yang nyaman dengan gaji besar, juga sangat beruntung karena memiliki tuan seperti Malven yang tidak banyak menuntut dan mengomentari pekerjaan mereka, lalu keberuntungan itu menjadi lengkap saat tuan muda yang mereka layani mulai memiliki kehidupan di matanya. "Terima kasih karena sudah datang dan menjadi pengasuh tuan muda, Claudia. Aku sudah tiga tahun bekerja di sini, dan sejak nyonya meninggal, tuan muda menjadi anak yang sulit didekati. Dia selalu marah setiap kali tuan Malven pergi bekerja. Tapi akhir-akhir ini, sejak kamu menjadi pengasuhnya, tuan muda menjadi lebih hidup dan bahagia. Aku ya
Malven tidak menjawab apa pun, membiarkan putranya terus bergelut dengan kebimbangan dan tenggelam dalam pikiran. Sejujurnya tadi Malven tidak bercanda. Sepertinya tidak masalah jika Claudia yang menjadi istrinya, menjadi ibu bagi Raga. Tidak perlu cinta, toh Malven dan Elodia juga menikah bukan karena saling mencintai. Malven membantu Elodia menyelamatkan cintanya dan Elodia membantu Malven mendapatkan hak warisnya sebagai kepala keluarga Pranaja.Lalu, tidak seperti Elodia yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri hingga membuatnya tidak bisa menyentuh wanita itu sama sekali, Malven tidak memiliki masalah dengan menyentuh Claudia. Setidaknya pernikahan mereka tidak akan terlalu hambar karena Malven dan Claudia bisa sama-sama mendapatkan kepuasan batin.Tidak hanya itu ... Malven tersenyum tipis saat membayangkan raut wajah seseorang.'Bagaimana ekspresi pria tua itu kalau aku membawa wanita yang berasal dari kalangan biasa? Apa yang akan dia katakan untuk mengutukku, ya?' Malven m
Raga tidak lagi bertanya, karena melihat mata Claudia yang dipenuhi kesedihan membuatnya tidak nyaman. "Aku nggak terlalu ngerti, tapi aku bisa jamin Papa nggak akan begitu." Raga kembali memeluk Claudia, tangan kecilnya menepuk-nepuk pelan punggung sang pengasuh, mencoba menghibur dan mengurangi sedikit kesedihannya. Claudia sedikit mengernyit saat Raga mengatakan Malven tidak akan melakukan pengkhianatan dan menyakitinya, meski mungkin anak itu sendiri tidak paham dengan yang Claudia katakan, tapi mendengarnya bicara seperti itu seolah memberikan izin pada Claudia dan Malven untuk memiliki hubungan. Mana mungkin! Claudia menghela napas, tidak menyukai bagaimana kepalanya langsung berpikir sejauh itu. Raga masih anak-anak, ada banyak hal yang tidak dia mengerti, tapi untuk urusan memiliki ibu tiri, Raga pasti sering mendengarnya, jadi wajar baginya untuk menolak dan tidak suka dengan ide Malven menikah lagi. Lagipula, Elodia baru saja pergi setahun lalu. "Nah, karena Raga mengha
"Mengerti apa?" Malven menaikkan satu alis saat mendengar gumaman Claudia. "Bukan apa-apa."Jawaban yang terkesan dingin itu membuat Malven semakin mengernyit, memang sih Claudia yang biasanya juga dingin dan agak ketus, tapi rasanya yang kali ini berbeda? Malven menghela napas pelan, mungkin wanita di pelukannya ini sedang sangat lelah setelah seharian mengikuti Raga mengelilingi pusat perbelanjaan. "Jadi, bagaimana?" Pertanyaan Malven membuat Claudia yang hampir memejamkan mata kembali mengerjap, menatap Malven dengan dahi berkerut, bertanya dalam diam. Ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan 'bagaimana' yang Malven lontarkan seperti apa."Bukankah kamu bertemu Tabinta?" Malven kembali menatap mata coklat jernih wanita di hadapannya. "Dia meneleponku siang tadi, katanya tidak sengaja mengatakan tentang kami padamu. Tidakkah kamu penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?"Ah ... padahal Claudia berusaha melupakannya. Tidak ada keuntungan yang bisa ia dapatkan dari men
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t