Jangan lupa tinggalkan komentar ya. tapi maaf Author belum bisa balas.
"Hei! Cepat bawa anak ini masuk," perintah seorang wanita pada pria berbadan besar yang baru saja keluar dari mobil.Pria berbadan besar itu tampak mendengus kesal, namun dia tetap melaksanakannya dan kini membuka pintu mobil tepat dimana bocah lelaki itu duduk. Namun saat pintu terbuka lebar, pria itu tampak mengerutkan keningnya sambil menatap lekat Sean dan berkata, "Dia belum bangun juga?""Belum. Sepertinya biusnya manjur," tutur wanita yang kini tampak membuka pintu dan bersiap untuk turun.Mendengar itu, dia tak banyak bicara dan langsung mengeluarkan Sean. Pria itu dengan cepat langsung membawa bocah lelaki itu ke dalam gendongannya dalam sekejap mata.Setelah menutup pintu, dia berjalan memasuki sebuah rumah yang cukup terpencil dan tampak tak terlalu terawat.Sean yang sejak tadi sebenarnya sudah bangun dan tetap berpura-pura pingsan itu membuka matanya sedikit. Jantungnya terasa berdebar semakin kencang ketika sadar dia kini telah berada jauh dari rumah. Sean pun membatin, '
"Berhenti bermimpi, Monica. Mau sampai kapanpun, Sean berada dalam pengawasanku."Monica yang mendengar penuturan mantan suaminya itu justru terkekeh pelan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan sambil menatap lekat Daniel dan berkata, "Kamu lupa sama perjanjian kita, huh?" Dengan dengan nada bicaranya yang terdengar semakin mengejek, wanita itu kembali menambahkan, "Kamu selalu mengingat tentang perjanjian yang kita buat dulu sebelum berpisah. Jadi aku sangat yakin kalau kamu pasti masih mengingatnya dengan jelas." Dia tersenyum tipis dan menegaskan perkataannya, "Siapapun yang lalai, tidak akan diberi hak lagi untuk mengasuh Sean. Dulu, kamu memang selalu berpikir bisa menjaganya dengan baik. Tapi apa ini?"Rahang Daniel mengeras ketika dia mendengar penuturan mantan istrinya itu. Namun sebelum dia bisa bereaksi, Monica dengan angkuhnya kembali bicara seolah-olah dia telah menang, "Kamu telah salah langkah karena mencoba untuk membuangku, Daniel." Dengan syarat pandangan matany
"Hah! Kamu benar-benar buruk sebagai seorang ayah!"Daniel merasakan kemarahan ketika mendengar penuturan mantan istrinya itu yang kini justru menyalakannya. Tapi dengan cepat dia segera membalas dan membuat wanita itu seketika langsung terdiam, "Berkaca-lah, Monica."Hanya dengan sebuah kalimat sederhana saja sudah berhasil menampar wanita itu. Monica mengepalkan tangannya dengan erat. Namun sebelum dia bisa mengatakan sesuatu lagi, mantan suaminya itu telah berlalu pergi."Daniel!" Dia berteriak seraya berdiri dari sofa. Tatapan matanya terlihat semakin nyalang bersamaan dengan amarahnya yang menggebu-gebu tak beraturan. "Sialan! Kamu pasti akan menyesal!"Meski Daniel mendengar semua hinaan dari mantan istrinya, dia memilih diam dan tetap berjalan keluar dari villa.Tampak seorang bodyguard tergopoh mendekatinya dan bertanya, "Tuan, Anda sudah selesai berkunjung?"Seketika pria itu langsung menghentikan langkahnya. Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya perlahan
"Monica ... Sepertinya belum sadar saat ini dia berhadapan dengan siapa."Nadia yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Sorot pandangannya semakin tajam dan membatin, 'Daniel ... dia tak pernah terlihat semarah ini.'Hendrawan mengusap wajahnya dengan kasar. Dia pun berkata, "Kita harus segera bertindak."Daniel yang mendengar itu menganggukkan kepalanya perlahan. Martha juga setuju dengan penuturan suaminya dan berkata, "Pa, bagaimanapun caranya kita harus bisa menemukan Sean." Wanita paruh baya itu lantas melangkah dan menatap lekat putranya seraya menambahkan, "Daniel, Mama nggak akan diam saja. Jika benar dalang dibalik semua ini adalah Monica, Mama yang akan memberinya pelajaran!"Dari suaranya yang terdengar dominan itu, Martha menunjukkan kemarahan yang tak bisa dibendung lagi. Daniel pun tahu bahwa selama ini ibunya itu mencoba untuk menahan dirinya agar tak bertindak kelewatan pada Monica, mengingat status wanita itu adalah ibu kandung Sean.Tapi kali ini, Daniel juga setuju d
"Untuk saat ini, kalian hanya perlu menjaga Sean. Sisanya, biar aku yang tangani."Mendengar perintah dari sang atasan, wanita itu pun mengangguk pelan seraya berkata, "Baik, Nona." Dia menjeda ucapannya sesaat dan berbalik menatap Sean, lalu menambahkan, "Tuan Muda masih belum sadarkan diri sekarang.""Tak masalah, asalkan tubuhnya tanpa lecet, semuanya akan beres." Setelah mengatakan itu, Monica langsung memutuskan sambungan teleponnya.Wanita itu segera berbalik menatap supir dan memerintah, "Cepat lajukan mobilnya!""Baik, Nona." Pria itu segera menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya menjauh dari area kantor.Sedangkan wanita yang duduk tepat di kursi belakang Itu tampak mengalihkan pandangannya ke kaca mobil. Ada sedikit kegelisahan di dalam hatinya ketika sadar bahwa dia tak boleh bertindak ceroboh. Dia pun membatin, 'Mereka sekarang pasti lagi nyari bukti, aku nggak boleh lengah.' Di bawah guyuran hujan yang deras, mobil berwarna merah menyala itu membelah jalanan. Malam in
"Terserah apa yang akan kamu lakukan, paling penting perusahaan harus diselamatkan." Setelah mengatakan itu, Bagaskoro segera memutuskan sambungan teleponnya. Sedangkan Monica kini berada dalam kemarahan karena tekanan yang terus saja diberikan oleh ayahnya."Sialan!" desisnya seraya melemparkan teleponnya itu ke samping. "Gimana caranya aku bisa perbaiki masalah ini?" gumamnya lagi seraya memikirkan kembali hubungannya dengan sang mantan suami yang semakin memburuk. "Argh! Padahal seharusnya hal kayak gini nggak terjadi," lirihnya frustasi.Dengan syarat pandangan yang semakin gelap, wanita itu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia pun membatin, 'Daniel nggak bakalan mau menanamkan modal lagi,' pikirnya. Wanita itu tak bodoh dan tahu bahwa alasan mengapa perusahaannya itu mengalami kerugian tentu saja karena mantan suaminya itu saat ini tengah mencoba untuk menekannya.Dengan menggigit kuku-kuku jarinya, wanita itu pun kembali bergumam lirih, "Sialan kamu, Niel. Hanya karena kamu tah
Perlahan, Sean membuka matanya. Bocah lelaki itu memanfaatkan keadaan yang saat ini tengah sepi karena suasana di luar pun sudah malam.Hanya ada guyuran hujan yang terdengar. Saat dia merasa ada sedikit kesempatan untuk mencari celah supaya bisa kabur, Sean mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati sosok wanita yang kini tampak tertidur di sofa. Wanita itulah yang merupakan salah satu pelayan di rumahnya.'Cuma ada Kakak Pelayan,' lirihnya. Melihat itu dia pun kembali mengedarkan pandangannya lagi karena sadar bahwa ada orang lainnya lagi yang terlibat dalam penculikannya ini. 'Paman yang badannya besar dimana? Apa dia pergi?' batinnya lagi.Di saat dia tengah memikirkan itu tiba-tiba saja matanya itu menangkap sebuah pecahan botol yang berada tak jauh dari tempatnya kini diikat.'Sean mau pulang,' batinnya lagi. Sebuah adegan di film kembali muncul di dalam kepala bocah lelaki itu. Dia dengan cepat langsung menggeser-geserkan kursi dan mencoba untuk lebih dekat dengan pec
"Tuan muda harus jadi anak yang penurut, ya?! Kakak akan pastikan nggak ada yang terluka," tuturnya seraya mengelus pelan kepala Sean. Meski sentuhannya itu saat ini memang terasa lembut, namun ada perasaan aneh yang mulai menyebar di hati Sean. Bocah lelaki itu bergidik ngeri dengan jantungnya berdetak semakin kencang dan membatin, 'Kak Nadia ... Sean takut.'Setelah mengatakan itu, pelayan itu pun segera menarik tubuhnya kembali yang sempat membungkuk sedikit dan kembali menatap rekannya seraya memicingkan matanya dengan tajam. "Pastikan kamu jaga dia dengan baik. Aku mau tidur," tuturnya.Pria bertubuh kekar itu hanya terdiam dan mendengus perlahan. Dia justru mengalihkan pandangannya pada Sean. "Heh, bocah!" panggilnya. Saat bocah lelaki itu menoleh, dia pun berkata, "Jangan bikin susah. Tidur aja," tuturnya.Sean yang mendengar itu menelan salivanya perlahan. Dia tak pernah berada dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Dan saat merasakannya, keinginan terbesarnya saat ini hanyalah
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h