komentar dari kalian pembaca setia, bisa membuat aku semangat menulis loh
Bab 41"Kamu sangat cantik, Nadia."Nadia membelalakkan matanya karena tak percaya dengan perkataan Daniel. Dia kini merasakan jantungnya berdetak semakin kencang. Wajahnya juga terasa panas seolah-olah ada sesuatu yang membakarnya. Rasa kesal dan juga kecewa yang sempat muncul di dalam hati gadis itu perlahan mulai menghilang.Di saat yang sama, Martha juga berbisik di telinga Nadia, membenarkan ucapan putranya sambil memuji calon menantunya itu, "Kamu sangat cantik, Nadia."Mendengar itu, Nadia hanya bisa tersipu malu. Tapi berbeda dengan seorang wanita yang kini merasa tak puas dan juga marah. Monica mengepalkan tangannya dengan erat, wajah cantiknya itu seketika menjadi gelap karena kesal. 'Kenapa Daniel malah ikut-ikutan membela gadis kampungan itu dan bersikap seolah sudah melupakanku?' batinnya resah. Dia-lah yang paling tahu seberapa besar rasa cinta Daniel dan Monica sendiri yakin bahwa pria itu sampai saat ini masih belum bisa melupakannya, meski memang ada banyak masalah y
"Bagaimana? Apa masalahnya sudah selesai?" Martha yang tengah duduk itu seketika berdiri ketika melihat suami serta putranya masuk ke dalam ruang tunggu."Monica sudah pergi, Ma." Tatapan Daniel begitu dingin seolah-olah pria itu tak ingin membahas apapun mengenai mantan istrinya.Tapi Martha yang mendengar itu seketika langsung menyeletuk, "Hah, syukurlah kalau dia udah pergi. Akhirnya nggak ada biang masalah lagi di sini."Mendengar perkataan ibunya, Daniel hanya diam. Pria itu justru melirik ke arah Nadia yang saat ini tengah memangku Sean. Ditatapnya lekat sosok gadis itu yang kini tengah berpura-pura tak peduli padanya, padahal jelas kalau sebenarnya ada kekhawatiran yang menyelimuti hatinya.Melihat sikap Nadia, Daniel diliputi rasa bersalah. 'Andai saja aku tahu dia akan datang kemari dan membuat masalah. Aku pasti akan berusaha keras untuk mencegahnya,' batin Daniel. Bagaimanapun juga dia tahu dengan jelas kalau mantan istrinya itu sengaja datang kemari untuk membuat masalah da
Bab 43"Bagaimana bisa investor tiba-tiba menarik dananya?!" teriak seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan manajer. Napas Monica memburu naik turun, setelah dibuat marah oleh sikap acuh Daniel, sekarang dia harus mendengar sesuatu yang mengejutkan. Ditatapnya lekat sosok sang manajer yang kini juga tampak gelisah. Dia kembali bertanya, "Apa ada masalah? Kenapa mendadak sekali?"Manajer menghela napas berat. "Inti permasalahannya belum diketahui. Perusahaan juga kaget karena investor menarik dananya," jelasnya.Mendengar itu, Monica seketika terdiam. Wanita itu kembali memikirkan semua masalah yang terjadi dan mulai menerka-nerka. 'Apa Daniel yang melakukan ini?' batinnya. Dia yakin kalau dengan menjentikkan jari saja, Daniel bisa membuat kariernya hancur. 'Sial! Ternyata dia benar-benar melakukan ini karena masalah tadi, bukan sekedar peringatan. Br*ngs*k!' Di tengah-tengah kebingungannya, manajer tiba-tiba bertanya seraya menatapnya curiga. "Apa kamu buat masalah?"Moni
"Kak Nadia!" teriak seorang bocah lelaki ketika melihat Nadia dan Daniel pulang.Dengan cepat, Sean langsung memeluk Nadia. Wajah bocah itu tampak sumringah setiap kali melihat pengasuhnya datang. "Kak Nadia abis dari mana?""Kakak tadi abis makan siang. Kalau Sean? Katanya jalan-jalan, ya?" tanyanya sambil tersenyum tipis dan mengelus kepala bocah lelaki itu.Sean menganggukan kepalanya dengan cepat. "Uhm! Tadi Kakek sama Nenek beliin Sean mainan baru, lho!"Nadia yang mendengar itu tampak menanggapinya dengan wajah terkejut dan tersenyum, "Oh, ya? Wah ... senangnya," ungkapnya."Ayo, Kak!" Sean yang tak sabaran langsung menarik tangan Nadia, memaksa gadis itu untuk ikut masuk ke dalam rumah bersama dengannya. "Eh, baiklah. Ayo," ujar Nadia. Namun dia tampak melirik sekilas ke arah Daniel dan ternyata pria itu menganggukkan kepalanya perlahan seolah-olah memberikan persetujuan pada gadis itu untuk mengikuti putranya.Melihat itu, Nadia tak bisa menyembunyikan senyumannya karena dia
Bab 45"Akhirnya, angsa pun hidup bahagia selamanya." Nadia lekas menutup buku dongeng yang baru saja dibacanya. Gadis itu kembali menatap lekat sosok bocah lelaki yang kini tampak berbaring tepat di sampingnya. Dia tampak mengerutkan kening karena sadar bocah kecil itu seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya dia pun bertanya, "Ada apa, Sean?""Apa Kakak cinta sama Papa?"Pertanyaan Sean yang begitu mendadak itu seketika langsung mengejutkan Nadia. Wajah gadis itu seketika langsung dihiasi dengan keterkejutan. Bahkan tanpa sadar ada gurat kemerahan yang menghiasinya. "Eh, Sean kenapa tanya seperti itu?"Mata bocah itu menatap lekatnya dia dan dengan polosnya dia kembali berkata, "Sean cuma pengen Papa bahagia," lirihnya. Ada kesedihan yang jelas menghiasi wajah Sean, "Sean pengen lihat seseorang yang cinta sama Papa."Nadia yang mendengar itu hanya bisa terdiam karena terkejut. 'Ya Tuhan, aku bahkan nggak tahu dengan perasaanku ini. Nggak mungkin ini cinta, 'kan?' pikirnya saat
"Siapa?" tanya Daniel sambil mengerutkan keningnya ketika dia mendengar suara seseorang mengetuk pintu."Ini aku ... apa aku boleh masuk?"Pria itu tampak sedikit kaget ketika mendengar suara Nadia. 'Kenapa dia datang ke sini?' Meski merasa bingung, dia tak ingin membuang gadis itu menunggu. Dia lantas berdiri dari kursinya dan berjalan untuk membuka pintu, tepat di depan pintu sana dia melihat sosok seorang gadis yang membawa nampan berisi secangkir teh jahe yang mengepulkan asap.Nadia terlihat tersenyum canggung dan mulai bicara, "Tadi aku melihat lampu di ruangan ini masih menyala, jadi aku pikir kamu butuh teh jahe ini," ujarnya. Pandangan gadis itu beralih menatap nampan yang tengah di bawahnya dan kembali menambahkan, "Teh ini bagus supaya tubuhmu nggak terlalu lelah."Daniel yang mendengar itu tampak mengangguk pelan dan langsung menerimanya. "Terimakasih," ujarnya singkat.Saat melihat gadis itu melongok ke dalam ruang kerjanya, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. "Ayo
"Huek!" Seorang gadis dengan kantung matanya yang hitam karena sejak semalam tak tidur nyenyak itu tampak menyeka mulutnya. Nadia merasa pusing. Entah mengapa sejak dini hari, perutnya terasa dikocok. Dia membatin, "Ughh ... rasanya aku nggak bakal bisa bangkit dari kasur.'Pandangannya beralih menatap ke arah jam dan sadar waktu berjalan semakin cepat. Dia menghela napas perlahan dan bergumam, "Apa Sean sudah bangun? Gimana kalau dia terlambat ke sekolah gara-gara aku?" Di tempat lain, Sean tampak menuruni tangga bersama dengan kepala pelayan. Daniel yang tengah menyeruput kopinya itu tampak mengerutkan kening. 'Dimana Nadia?' batinnya bertanya-tanya.Disaat tengah memikirkan itu, Sean yang telah duduk di kursinya tampak menatap sosok sang ayah. Bocah itu tiba-tiba bicara, "Kak Nadia lagi sakit, Pa."Mendengar itu, Daniel tampak kaget. Dia segera menoleh ke arah kepala pelayan, seakan meminta penjelasan. Anggun yang peka itu mengangguk pelan seraya membungkuk dan membenarkan perk
'Kenapa aku jadi peduli padanya? Rasa ini ... seolah bukan kepedulian semata.'Saat Daniel memikirkan itu tiba-tiba saja terdengar pintu diketuk, pria itu tampak menoleh dan mendapati seorang pelayan berdiri di sana sambil membawa nampan berisi sarapan. Daniel dengan cepat langsung mendekat dan meraih nampan itu. Dia segera berbalik tanpa menyadari ada kilatan aneh di mata pelayan itu ketika mengetahui adanya perhatian khusus untuk Nadia."Ayo makan," ujar Daniel, sembari duduk tepat di samping Nadia.Gadis itu tampak melirik sekilas dan dengan cepat langsung mengalihkan pandangannya ketika mencium aroma bubur ayam yang tiba-tiba saja membuatnya tak nyaman."Letakkan disitu saja, aku akan makan nanti," tolaknya.Melihat itu, Daniel mengerutkan keningnya. Dia lantas meletakkan semangkuk bubur itu kembali ke atas meja dan beralih menatap lekat Nadia.Tanpa banyak bicara pria itu tiba-tiba meraih kedua bahu Nadia dan membuat gadis itu tampak terkejut. Sebelum Nadia bisa bereaksi, Daniel
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h