Selamat pagi, selamat idul adha untuk yang merayakannya ya.
"Al, jaga mulut lo, ya!" Luna tak bisa membendung amarahnya lagi dan segera menodongkan jari telunjuknya itu tepat ke wajah Alvin. "Dari tadi omongan lo itu udah keterlaluan, apa lo nggak sadar udah buat kita berdua sakit hati, hah?!" Napas Luna memburu naik turun bersama dengan emosinya yang menggebu-gebu. Ketika Clarissa mencoba untuk menenangkan, dia langsung menolak secara mentah-mentah. "Nggak usah nyuruh gue sabar, Sa! Percuma aja kalau kita diam, Alvin bakalan nginjek kita terus!" ketusnya.Jauh di dalam lubuk hati Clarissa, dia juga sebenarnya merasa kesal dengan semua perkataan Alvin. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk marah."Lun, tenang! Udah, mendingan kita pergi aja," bisiknya.Luna mendengus dingin. Dia langsung berpaling dan pergi menjauh tanpa mengatakan sepatah kata pun. Clarissa yang melihat itu pun hanya bisa menghela nafas perlahan dan kini berbalik menatap Alvin, "Gue pergi dulu."Alvin hanya memandangnya tanpa kata. Dia justru memicingkan matanya denga
Rahang Luna terasa mengetat. Ini bukan saatnya untuk saling menghormati. Dia merasa kesal. "Terserah lo mau ngomong apaan, Sa. Gue beneran udah capek. Lo mungkin bisa diem aja pas dihina sama Alvin, tapi gue nggak. Kalau lo masih kayak gini juga, sorry … mending kita nggak usah sama-sama.""Apa maksud lo?" Clarissa mengerutkan keningnya tak percaya setelah mendengar perkataan Luna. "Lo mau pertemanan kita bertiga jadi hancur?" tanyanya lagi sambil menatap ke arah sosok perempuan berambut pendek lurus sebahu itu."Bukan gue yang mau, tapi lo sendiri yang bikin persahabatan ini jadi hancur." Luna tahu kalau ini bukanlah saat yang tepat untuk mengutarakan isi hatinya. Tapi selama ini dia selalu mencoba untuk memaklumi Clarissa dan membelanya meskipun salah. Clarissa tampak tak percaya dan kini justru memandang sahabatnya itu dengan arogan. "Kenapa lo malah jadi nyalahin gue? Lo sendiri yang mau ngancurin persahabatan kita bertiga dan sekarang malah memutar balikan fakta?""Mungkin lo sam
Freya meremas tangannya perlahan. Dia sungguh merasa muak dengan segalanya. Apalagi Clarissa tak sadar akan kesalahannya. "Sa, coba pikirin lagi. Apa lo berteman dengan kita berdua karena tulus?""Apa?" Clarissa terkejut ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. "Lo mikir apa sih? Ya udah jelaskan gue pasti berteman sama kalian itu tulus."Freya yang mendengar jawaban itu justru tersenyum sinis. Tak mungkin baginya untuk percaya begitu saja dengan perkataan Clarissa, apalagi selama ini selalu diperlakukan dengan semena-mena dan jika dipikirkan lagi memang dia hanya dijadikan seperti kacung.Clarissa yang bisa membayangkan ekspresi wajah Freya, kini mengerutkan keningnya dan berkata, "Apa lo nggak percaya sama kata-kata gue? Gimana caranya gue bikin lo percaya?"Freya yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya diam tanpa mengatakan apapun. Dia menghela nafas perlahan dan kembali melipat kedua tangannya tepat di depan dada. "Kalau lo emang mau buktiin, cari tahu caranya sendiri. Lo
"Apa lo serius?"Luna menganggukan kepalanya perlahan. "Mungkin Clarissa sebelum cerita soal ini tapi kita berdua sempat bertengkar gara-gara Alvin." Dia menghela napas sejenak sebelum akhirnya menjelaskan semuanya pada Freya dan menambahkan, "Gue merasa hal kayak gini nggak bisa diremehin sama sekali karena Alvin udah keterlaluan.""Emang! Gue aja heran. Tapi selama ini lo kelihatannya baik-baik aja pas Clarissa udah bertingkah kayak budaknya Alvin." Freya ikut merasa marah karena bagaimanapun juga namanya kini ikut terseret akibat masalah yang sama. Luna juga sebenarnya merasa sangat lelah dan kini dia mengaduk minumannya dengan perasaan hampa. "Jujur sebenarnya itu nggak mau berteman kita jadi kayak gini. Tapi gue beneran capek banget, Clarissa nggak mau dengerin gue dan dia terus aja bertingkah tolol di hadapan. Gue juga tahu kalau dia suka banget sama Alvin, tapi harusnya karena masalah ini dia sadar dong."Andai Alvin tidak mengatakan sesuatu yang keterlaluan, Luna pasti masih b
"Eh? Kalau dia emang nggak tertarik sama siapapun, kenapa dia malah kemarin sengaja ngasih tahu perasaannya sama Nadia?"Luna yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangkat kedua bahunya dengan acuh karena memang dia tak mengetahui jawabannya. "Jujur Alvin emang akhir-akhir ini agak beda. Tapi masa iya sih dia beneran suka sama Nadia?"Jika dipikirkan kembali rasanya tak mungkin sama sekali karena Alvin selama ini memang selalu mencoba untuk menjauh dari semua gadis yang mencoba untuk mendekatinya."Nadia juga cuma gadis biasa kan," tambahnya lagi sambil menyeruput minumannya.Freya yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas lelah. "Clarissa sama Nadia kalau dibandingin juga nggak ada apa-apanya. Si Nadia atau siapalah itu kelihatan biasa aja ya nggak sih?""Iya, gue setuju sama kata-kata lo barusan. Ya pikirin aja, Alvin cukup populer dan kayaknya nggak mungkin deh kalau dia pacaran sama cewek cupu."Sekelas Alvin pasti memiliki kriteria wanita yang cukup tinggi. Bahkan Clarissa ya
Nadia mengaduk minumannya itu dengan perasaan canggung karena entah mengapa sekarang dia justru berakhir berdua dengan Clarissa.Beberapa menit yang lalu, Clarissa memang menyatakan permintaan maafnya secara terang-terangan dan Nadia pun menerimanya tanpa sungkan.Tapi sekarang apa yang harus dia lakukan?Clarissa melihat lawan bicaranya itu sedang merasa bingung dan dia mengulas senyum tipis di wajah cantiknya sambil berkata, "Nggak usah gugup gitu. Gue juga nggak ada niatan buat ngelakuin hal yang jahat sama lo, kok.""Eh? Iya, Kak." Nadia menelan ludahnya itu dengan perasaan tak nyaman.Sesekali dia tampak melirik ke arah Clarissa dan mendapatinya seolah-olah tak merasakan apapun. Lalu mengapa dia harus merasa gugup sendirian?"Uhm, Kak. Apa aku boleh menanyakan sesuatu?"Clarissa menganggukan kepalanya tanpa ragu. "Sure! Emangnya lu mau nanyain apaan?""Kenapa Kakak tiba-tiba aja berubah dan minta maaf padaku?" Nadia sempat mendengar kisah serius mengenai sifat Clarissa dan tentu s
Nadia sampai di rumahnya dengan perasaan yang masih diliputi oleh kebingungan serta ketakutan karena bagaimanapun juga sekarang ada lebih banyak pesan misterius. Bahkan entah dari mana orang misterius itu mengetahui nomornya."Bunda!" Sean berlari menghampiri ibu sambungnya itu dengan bersemangat. Tapi ketika berada tepat di dekatnya dia terlihat mengerutkan keningnya karena Nadia terlihat sedang kebingungan. "Bunda kok kelihatannya sedih? Bunda kenapa?" tanyanya polos.Nadia yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa tersenyum tipis dan berusaha untuk menyembunyikannya. Dia mengelus pelan puncak kepalanya dan berkata, "Bunda nggak apa-apa, Sayang. Bunda cuma ngerasa sedikit capek," tuturnya."Yah … Sean padahal mau ngajakin ke toko mainan. Oma sama Opa juga ada disini, Bunda," tuturnya dengan wajah yang sedikit cemberut karena kecewa padahal sudah ada banyak rencana di dalam kepalanya.Nadia merasa sedikit bersalah, tapi memang dia tak bisa memaksa. Ada sesuatu yang masih mengganjal tep
Kening Daniel terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu dan dia merasa sangat penasaran. Sebenarnya apalagi yang sedang disembunyikan oleh Nadia?"Katakan saja yang sebenarnya, Nadia. Ada apa?"Nadia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Ada seseorang yang selama beberapa hari belakangan sering mengirimkan teror.""Teror?" Kening Daniel terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena dia hampir tak percaya dengan perkataan Nadia. Tak ada laporan mencurigakan dari bawahannya. Jadi dia pikir semuanya aman. "Teror bagaimana yang kamu maksud?"Perlahan, Nadia mulai menceritakan segala hal yang terjadi pada Daniel. Dia tak menyembunyikan apapun lagi."Nadia, Kenapa kamu baru mengatakan hal ini sekarang?" Daniel merasa sangat kecewa karena Nadia telah menyembunyikannya sekian lama dan menanggungnya sendirian. "Padahal aku sudah sering mengatakan supaya kamu jujur padaku," tambahnya lagi sambil mengusap wajahnya.Nadia menggigit bibir bawahnya deng
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h