Jujur deh, Author suka banget kalau buat scene pas Monica banyak berpikir begini. ada yang sama?
Clarissa menatap sosok Nadia, dari kejauhan dan terlihat jelas dari sorot pandangannya itu menyimpan kebencian. Dia tak pernah merasa semarah ini ketika berurusan dengan seseorang. Tapi Nadia telah berhasil membuatnya merasa sangat marah karena Alvin juga membelanya."Sa, ngapain?" Luna menepuk pelan pundak sahabatnya itu sambil mengerutkan keningnya dan mengikuti arah pandangannya. "Lo dari tadi kelihatan nggak fokus dan ngeliatin cewek ngeselin itu terus," tambahnya."Gimana gue nggak ngeliatin dia? Lo tau sendiri kalau ini pertama kalinya ada anak baru yang berani ngeremehin gue, kan?"Luna menghela nafas berat karena perkataan sahabatnya itu memang benar. Sepasang bola mata yang terlihat dipenuhi dengan amarah kembali mengarah pada Nadia dan Clarissa mengepalkan tangannya dengan erat sambil menggertakkan giginya. "Gue nggak bisa diem aja kayak gini, Lun. Si Alvin juga ngapain belain cewek ngeselin itu, sih?!""Udah, mendingan kita susun rencana aja. Jangan main kotor kayak gini," b
"Lebay?" Napas Nadia memburu naik turun bersamaan dengan sorot matanya yang dipenuhi dengan kekecewaan. "Apa Kakak tahu kalau itu adalah bekal makanan yang disiapkan secara langsung oleh … oleh seseorang yang aku sayang? Kakak nggak seharusnya melakukan hal kekanakan kayak gini! Ini namanya bullying!"Marah, itulah yang sedang dirasakan oleh Nadia. Makanan yang telah dipersiapkan susah payah oleh suaminya itu justru kini jadi sia-sia.Namun Clarisa tetap bersikap santai. Dia justru tersenyum sinis sambil melipat kedua tangannya tepat di depan dada. "Bullying? Nggak usah bercanda, deh. Ini namanya pelajaran, supaya junior kayak lo nggak bersikap kurang ajar."Bukan Clarissa namanya jika dia bersikap lembek. Dia sudah menepati janjinya itu untuk memberikan pelajaran pada Nadia karena memang telah bersikap kurang ajar sebelumnya.Clarissa memiliki banyak pengaruh di kampus ini dan Nadia seharusnya tidak menyinggungnya sama sekali. Clarissa berkuasa, Nadia memicingkan mata ketika amarah m
Nadia memicingkan matanya itu sambil menatap ketiga perempuan yang baru saja berlalu pergi meninggalkannya. Dia merasa aneh dan hanya bisa menghela nafas berat."Padahal tadi dia minta maaf, tapi kenapa semudah itu kembali mengancam?" gumamnya.Keadaan di kantin yang sempat ricuh kini telah kembali tenang. Para mahasiswa kembali menikmati waktu makan siangnya itu.Hanya Nadia yang dipenuhi dengan kesedihan karena sekarang bakal makanan yang susah payah disiapkan oleh suaminya berakhir sia-sia dan itu membuatnya merasa sangat sedih. Pandangan matanya terlihat maner ketika melihat nasi yang telah tercampur oleh jus jeruk. Dia mengeratkan tangannya dan mencoba untuk menahan sesak di dalam dadanya.Bagaimana jika suaminya tahu kalau dia tak menyantap bekal makanannya ini?Nadia tak mau jika suaminya itu merasa sedih karena Daniel sedari pagi sudah berkutat di dapur dan sengaja menyiapkan ini semua dengan menyisihkan waktunya."Daniel … maaf. Aku pengen banget makan hasil masakanmu, tapi se
"Oh, wow … santai." Alvin menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertawa karena Nadia saat ini sangat bersemangat dan tampaknya dia bisa mengoceh selama beberapa jam lamanya tanpa berhenti sama sekali. "Dulu Clarissa nggak keterlaluan kayak gini, kok."Alvin masih ingat dengan jelas bagaimana sikap Clarissa. Jika mengingatnya sekarang, kadang dia berpikir kalau Clarissa berubah begitu banyak."Orang memang bisa berubah kapan saja," tutur Nadia. Entah apapun alasannya tapi seseorang tetap bisa berubah. Bahkan kadang-kadang sampai berbeda sangat jauh dibandingkan dengan sifat aslinya.Alvin menatap Nadia dan hanya bisa terdiam ketika mendengarnya berbicara. Entah mengapa dia merasa nyaman berada di samping Nadia dan membiarkannya mengatakan sesuatu, padahal dia bukanlah orang yang mau mendengarkan ocehan."Lalu, Lo bakalan maafin Clarissa?"Nadia terdiam sejenak karena bagaimanapun juga jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam saat ini merasa sangat kecewa sebab diperlakukan denga
"Bunda!" Sean berlari sambil berteriak ketika melihat Nadia.Nadia yang sejak tadi menunggu putranya pulang sekolah itu pun segera berdiri dari bangku dan dengan cepat langsung menangkap tubuh Sean."Gimana sekolahnya hari ini, Sean?" tanyanya sambil melepaskan pelukannya itu dan menatap lekat putra sambungnya dengan lembut.Sean tersenyum tipis dan segera menggandeng tangan Nadia, selalu menjelaskan semua kejadian yang dialaminya tadi ketika berada di sekolah dan tampaknya dia baik-baik saja karena memang raut wajahnya pun.Nadia yang melihat itu merasa sangat bersyukur karena Sean telah kembali seperti semula dan bisa menjalani kehidupannya dengan bahagia. Walaupun memang sempat mengalami hal buruk karena diculik dan juga ada berbagai trauma yang mengakar kuat di dalam pikirannya, Sean berhasil melawan itu semua dan dia bahkan mau menemui Monica.Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan sesekali mengobrol ringan supaya bisa mengisi perjalanan agar tak terlalu kosong."Bunda gimana di k
Wajah Monica masih terlihat sendu karena beberapa waktu yang lalu dia memang menangis sesenggukkan dan mengeluarkan semua isi hatinya. Entah mengapa sekarang dia jadi merasa sedikit malu karena Syifa dan Dewi jadi mengetahui tentang masa lalunya."Ini, Kak." Syifa mengulurkan tisu padanya sambil tersenyum tipis dan tampak jelas bahwa dia sangat simpatik.Monica menerimanya dengan ragu, dia segera menganggap sisa air matanya itu dan mencoba untuk mengatur napas supaya sesak di dalam hatinya segera berkurang."Apa kamu sekarang sudah merasa jauh lebih lega?" Dewi menatapnya dengan intens. Dan dia memang sangat peduli dengan masalah yang dialami oleh Monica.Monica menganggukkan kepalanya perlahan. Saat ini dia merasa jauh lebih lega dan tak ada lagi dusta serta kebohongan yang ditutupinya. Dia telah mengatakan sejujurnya pada teman satu selnya ini dan ternyata semuanya jadi terasa jauh lebih baik.Padahal awalnya dia telah berniat untuk menjauh sebisa mungkin supaya tak terlibat dengan o
"Nadia … Kenapa dia nggak mengatakan apapun padaku?"Ada banyak pertanyaan yang kini muncul di dalam kepala Daniel karena Nadia tak menceritakan apapun mengenai hal yang baru saja menimpanya.Padahal ini adalah sesuatu yang cukup buruk dan Daniel sudah mewanti-wanti sejak awal agar sang istri menceritakan semuanya padanya.Tapi apa ini?!Kenapa Nadia justru bersikap seolah-olah tak ada apapun yang terjadi dan masih bisa tersenyum?Daniel mengepalkan tangannya dengan erat, dia tak bisa diam saja seperti itu dan dengan cepat langsung memanggil salah satu bawahannya untuk membereskan masalah.Setelahnya, pria itu langsung mencoba untuk menghubungi sang istri.Butuh waktu selama beberapa detik hingga akhirnya panggilannya itu diangkat dan dari ujung telepon sana terdengar suara istrinya."Halo? Ada apa?" Nadia merasa sedikit kaget karena Daniel tiba-tiba saja meneleponnya. Dia juga baru saja tiba di rumah dan menidurkan putranya yang baru saja pulang sekolah. Kebingungannya itu semakin ber
Ketika Daniel pulang dari kantor dia langsung berlalu pergi untuk masuk ke dalam kamarnya dan ternyata di sana sang istri sudah menunggu sedari tadi.Tapi sayangnya Nadia sudah terlelap karena memang dia merasa sangat lelah dengan kegiatan seharian ini.Daniel menatap lekat sosok perempuan yang saat ini tergeletak tepat di atas ranjangnya. Nafasnya terlihat naik turun secara teratur. Daniel yang melihat itu tanpa sadar tersenyum dan segera meletakkan tas kerjanya sambil duduk tepat di sampingnya.Padahal Nadia mengalami banyak hal buruk seharian tadi. Tapi dia terus saja mencoba untuk tenang dan menutupi segalanya supaya masalah tak jadi jauh lebih besar.Perlahan Daniel mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Nadia. Namun tiba-tiba saja, Nadia mulai mengaktifkan matanya beberapa kali dan dia tampak sedikit terkejut ketika melihat sosok suaminya itu berada tepat di sampingnya."Eh? Kamu udah pulang?" Nadia yakin kalau tadi dia sedang menunggu Daniel. Tapi ternyata dia justru ketidu