perpaduan Nadia dan Bagaskoro memang TOP
"Dion, bagaimana dengan kondisi perusahaan?" Daniel yang sedang berjalan menuju ke ruangan kerjanya itu segera melontarkan pertanyaan pada asistennya. Dia sudah bisa menebak bahwa kondisi perusahaan pasti akan mengalami sedikit masalah mengingat berita yang saat ini tengah tersebar luas.Dion mengangguk pelan, "Beberapa investor protes karena harga saham kita sekarang naik turun."Dion menghela napas berat. Untungnya dia kini telah sampai di ruang kerjanya. Masalah kali ini memang tak bisa dibiarkan saja. Akan ada lebih banyak rumor jika dia tak segera memberikan klarifikasi. Bahkan Monica bisa saja menambahkan bensin ke atas kobaran api, agar masalah semakin membesar dan membuatnya untung.Daniel berbalik, menatap sosok pria bertubuh tegap dengan kemeja biru mudanya. "Dion, kumpulkan semua bukti."Dion terdiam sesaat. Namun dia mengerti maksud dari perkataan atasannya barusan dan bukti yang diinginkannya itu merupakan hal-hal buruk yang telah dilakukan oleh Monica."Tahan bukti-bukti
Bagaskoro menatap anaknya itu yang kini terlihat cemburu. Dia tak banyak bicara lagi. Setidaknya masalah mengenai perusahaan kini telah berhasil ditangani. "Terserah apa yang mau kamu lakukan," ujarnya lirih. Dia menghela napas perlahan dan menambahkan, "Tapi jangan sampai membuat perusahaan rugi."Monica terkekeh pelan. Sungguh lucu ayahnya ini. Bahkan disaat yang genting seperti ini, Bagaskoro masih saja memikirkan soal perusahaan. "Iya," jawab Monica. Sorot matanya terlihat sedikit kecewa. Meski dia sudah tahu tabiat ayahnya, tetap saja ini cukup membuatnya sakit hati. "Ayah tenang aja. Selama Ayah bantu aku, nggak akan ada masalah yang terjadi."Bagaskoro mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. "Ya sudah." Dia berbalik pergi, namun sebelum langkahnya itu menjauh, dia berhenti melangkah dan berbalik lagi, "Kamu harus berguna, Monica."Ada ketidaksukaan yang muncul di kilatan mata Monica. Dia hanya diam, memilih untuk membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah jendela. Namun, tangan
Nadia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan rawat inap Ratna. Dia segera menutup pintu rapat-rapat dan menghela nafasnya perlahan. Ada perasaan sesak yang kini mulai muncul di dalam hatinya karena dia selalu saja membuat ibunya itu merasa khawatir.Di saat tengah menundukkan kepalanya tiba-tiba saja dia mendengar suara seorang pria yang mulai masuk ke dalam gendang telinganya. Seketika Nadia langsung menoleh dan melototkan matanya ketika melihat sosok Handoko."A-ayah? Kenapa Ayah ada--""Sst!" Handoko dengan cepat langsung meletakkan jari telunjuknya itu tepat di depan bibirnya. "Jangan berisik kamu!" perintahnya dengan wajah yang terlihat kesal. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, takut ada pengawal Daniel. Namun setelah memastikan semuanya aman, dia kembali menatap lekat karena dia dan berkata, "Kamu nggak jadi nikah sama miliarder itu?"Nadia tersentak kaget. Dia dengan cepat langsung menarik tangannya kembali yang saat ini sedang dicengkeram erat oleh Handoko. "Kenapa A
"Kamu itu cuma bocah tengik dan nggak seharusnya banyak omong kosong!" serunya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Nadia."Cukup, Mas!" Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka dan menampakan sosok Ratna. "Ibu?!" Nadia merasa sangat terkejut karena ibunya itu tiba-tiba saja keluar dari ruangan.Namun Ratna hanya diam dan memicingkan matanya dengan tajam. Tangannya itu masih tertancap infus dan kesulitan untuk berjalan. Namun saat mendengar suara keras dari luar, dia merasa marah dan langsung pasang badan melindungi Nadia. "Jangan mengatakan hal menyakitkan seperti itu pada Nadia," ujarnya mengingatkan.Nadia dengan cepat langsung meraih kedua bahu Ratna, mencoba membuat wanita itu tetap aman. Dia tahu dengan jelas bahwa kondisi ibunya saat ini belum pulih sepenuhnya dan untuk berjalan sendiri seperti ini pasti cukup sulit baginya. "Kenapa Ibu keluar? Ibu seharusnya istirahat aja di dalam," lirihnya khawatir.Ratna menggelengkan kepalanya perlahan. Mana mungkin dia diam saja
"Kamu ingat kalau ibu pernah berniat untuk mengatakan sesuatu mengenai kelahiranmu, kan?"Nadia terdiam sejenak dan memang benar dia ingat dengan jelas perkataan ibunya beberapa ahli waktu lalu. Bahkan sampai saat ini dia masih penasaran dengan jawaban yang belum diberikan sepenuhnya oleh Ratna."Nadia, ada hal penting yang harus kamu ketahui dan ibu harap kamu tidak akan terkejut setelah mengetahuinya."Perkataan Ratna yang terkesan ambigu itu semakin membuat rasa penasaran semakin membuncah di dalam hati Nadia. Dia menganggukkan kepalanya dan segera meraih kedua tangan Ratna. "Nadia akan mendengarkannya baik-baik."Ratna terdiam beberapa saat dan wanita paruh baya itu segera mengajak anaknya untuk kembali masuk ke dalam ruangan. Mereka berdua segera duduk dan Ratna kini menatap lekat Nadia. "Ibu tahu kalau kamu sebenarnya pasti merasa penasaran karena Ayahmu itu selalu mengatakan hal-hal yang keterlaluan dan dia bilang terpaksa menikahi Ibu."Nadia meremas tangannya perlahan karena
"... Karena mereka sudah membuang Ibu dan bagaimanapun juga kamu tidak akan diterima oleh mereka."Degh!Jantungnya dia terasa hampir saja melompat keluar dari tempatnya. Tangannya yang tengah meremas jemari Ratna, perlahan-lahan mulai terlepas.Dia tak pernah tahu bahwa ibunya selama ini telah menderita begitu lama dan bahkan sampai diusir dari keluarganya sendiri.Nadia menggigit bibir bawahnya perlahan, berusaha menekan perasaannya yang saat ini hampir saja meledak karena marah dan juga kecewa. "Kenapa Ibu dan mengatakan ini sekarang?" Ratna terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal seperti ini pada Nadia? Bahkan jika bisa dia pasti akan menyembunyikannya seumur hidup. Nadia tak perlu tahu mengenai seluk beluk keluarganya."Maafkan Ibu--""Jangan minta maaf," potong Nadia sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat dan kembali meraih tangan Ratna. "Ibu nggak bersalah sama sekali karena sebenarnya merekalah yang jahat!"Nadia merasa sangat beruntung karena dia merupakan dar
"Sean, kamu udah ngerasa baikan?" "Udah, Kak!" Sean sumringah dan dia benar-benar terlihat sangat bersemangat ketika menjawab pertanyaan dari Nadia. "Sean pengen pulang ke rumah," tambahnya lagi dan saat ini raut wajahnya itu berubah sedikit muram.Nadia yang mendengar itu seketika langsung mengelus pelan puncak kepalanya dan berkata, "Nanti kita tanya dulu sama Om Dokter, ya? Kalau Sean nurut, pasti udah diperbolehkan buat pulang, kok.""Beneran, Kak?""Hum!" sahut Nadia sambil tertawa lirih. Bagaimanapun juga saat ini dia harus bisa membuat Sean menurut dan tidak rewel ketika mendapatkan banyak terapi dari dokter karena bagaimanapun juga dia harus segera sembuh dan melupakan traumanya akibat kasus penculikan yang beberapa hari lalu baru saja selesai.Di saat mereka berdua tengah berbincang, Martha yang ada di luar Itu tampak melongok dari kaca kecil di pintu. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, namun kekhawatiran yang ada di dalam hatinya itu tak bisa hilang begitu saja."Pa, apa
Nadia mendorong kursi roda Sean, membawa bocah lelaki itu keluar agar bisa menikmati sedikit waktu senggangnya dan tak terus merasa engap karena berada di dalam ruangan perawatan."Kita ke taman aja," ujar Martha sambil mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah taman yang memang sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit. "Yuk, Sean!" serunya lagi setelah melirik ke arah cucunya itu."Iya, Oma! Sean mau ke taman juga," ujarnya merespon.Mereka berempat segera pergi ke area taman. Namun, Hendrawan menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat yang lainnya seketika langsung menoleh sambil mengerutkan keningnya."Ah, kalian langsung ke taman aja. Ada telepon," ujarnya sambil melambaikan tangannya.Martha menghela nafas berat ketika melihat tingkah suaminya itu dan kembali memasang tatapan kesal. "Udah tua tapi sibuknya ngalahin yang masih muda," gerutunya.Diam-diam, Nadia tertawa ketika mendengar penuturan Martha. Sungguh, mereka berdua memiliki kesamaan yang cukup banyak karena Martha me