Sebuah mobil, memasuki rumah besar gaya klasik dengan dinding berwarna putih, yang memiliki 3 lantai, memiliki halaman yang cukup luas.
"Wah, besar sekali." Seorang remaja wanita keluar dari mobil tersebut.
"Selamat datang Tuan, Nyonya Hans." Sambut pelayanan rumah.
"Kalian sudah taukan, kami kemari untuk apa?"
"Ya Nyonya, saya tau."
"Kalau begitu bawakan barang-barang saya, ayo sayang."
Mereka adalah adik tiri Tuan Panduwinata, Hans dan istrinya Monica, ia membawa kedua anaknya ke rumah ini, anak pertama seorang putra bernama Aldo, dan anak kedua seorang putri, Adellia.
Seluruh pelayan tidak suka dengan kehadiran mereka, dan kalian akan lihat sendiri alasannya.
~🥀~
"Sarah? siapa yang berisik itu?"
"Maaf Nona, Tuan Hans dan keluarga akan tinggal di sini, untuk menemani anda."
"Kenapa harus mereka?"
"Tuan James dan Nyonya Victoria, tidak bisa menemani anda, karena sibuk bekerja."
Tok! Tok!
"Maaf Nona, Tuan dan Nyonya Hans datang."
"Berikan tongkatku."
Dengan cepat, Sarah memberikan tongkat tersebut, kepada Vinka.
"Ini Non."
Vinka meraba-raba tongkat tersebut, mencoba berdiri, Sarah dan Desi pun membantunya. Suara dari ujung tongkat terdengar jelas, oleh keluarga Tuang dan Nyonya Hans beserta kedua anaknya.
"Lihat, tuan putri sudah datang." Bisik istri Tuan Hans pada putrinya.
Adellia tersenyum masam, di benaknya sudah ada rencana, apa saja yang harus ia lakukan pada wanita buta di depannya.
Namun Aldo tidak begitu tertarik dengan kedatangan Vinka, ia masih sibuk dengan permainan ponselnya.
Monica mendekati Vinka, ia membantunya untuk turun dari tangga terakhir.
"Kemari sayang."
Vinka dapat merasakan aura panas pada tangan wanita itu. Ia hanya bisa memberikan senyuman.
"Mulai hari ini, kami akan menemani mu sayang, jadi jangan merasa kamu sendirian."
"Iya aku akan menjadi teman kakak Vinka." Ucap Adellia, memeluk Vinka.
Vinka tersenyum "terima kasih paman, terima kasih."
~🥀~
Vinka dan seluruh keluarga Hans menikmati makan malamnya, namun Tuan Hans tidak ikut bergabung, karena ada urusan mendadak di kantornya.
"Apa kau makan daging itu?"
"Adell, yang sopan!"
"Ayolah ibu, aku hanya ingin dagingnya, daripada tidak di makan, kan sayang."
Vinka tersenyum "ya, ambillah, lagipula aku sudah selesai."
Dengan cepat Adellia mengambil piring berisi daging tersebut.
"Ayo Nona saya antar anda ke kamar."
"Tunggu."
Sarah dan Vinka terdiam.
"Ya Nyonya?"
"Apa baik selesai makan langsung ke kamar?"
"Tunggulah sebentar lagi, sampai ponakan mu selesai makan."
"Baiklah." Vinka duduk kembali.
"Sarah, kau boleh siapkan kamar untuk kami."
"Baik Nyonya."
"Kalian juga pergilah."
Seluruh pelayan pergi meninggalkan ruang makan, bahkan seluruh keluarga Hans pun berniat pergi dari tempat itu, hanya Vinka yang terdiam, ia tau dirinya sedang dipermainkan, karena ia dapat mendengar mereka, walaupun sudah menahan agar tidak terdengar olehnya.
"Ambil tongkatnya." Bisik Monica pada anaknya. Dengan cepat Adellia mengambil tongkat tersebut, dengan menahan tawanya dan pergi meninggalkan Vinka sendiri.
Lebih parahnya, mereka mematikan lampu ruangan tersebut. Vinka tetap tidak bergeming.
~🥀~
Hans memasuki rumah kakak tirinya, niatnya sudah ditentukan, untuk segera mandi dan beristirahat.
"Selamat malam pak." Sapa satpam rumah.
"Malam."
Supir pribadinya menurunkannya tepat di pintu depan, seorang pelayan pria yang menjaga pintu pun membukakan pintu untuknya.
"Selamat malam pak." Sapa mereka.
"Malam, bagaimana yang lain, sudah tidur?"
"Sudah Tuan."
"Ya sudah, kunci semua, dan kalian bergantian berjaga."
"Baik Tuan."
Hans berjalan menuju kamar, namun langkahnya terhenti, saat ia melihat seseorang di dalam kegelapan ruang makan.
"Siapa di sana?"
Hans pun memberanikan diri, ia menyalakan lampu ruang makan tersebut.
Klek!
"Vinka? sedang apa kau di sini sendiri?"
Wanita itu menoleh dimana ia mendengar suara pamannya, namun mata entah melihat ke arah mana.
~🥀~
Keesokan paginya, Hans melipat kedua tangannya, dengan perasaan menahan emosi. Melihat setiap wajah keluarganya. Istri dan kedua anaknya hanya diam menunggunya berbicara.
"Sekali lagi aku bertanya, siapa yang melakukan?"
Monica dan putrinya mulai takut.
"Papa, kami cuma becanda ko, sekali-kali Vinka tau sifat keluarga kita yang lucu ini."
"Iya mama benar, papa tau sendiri kan, kita ini keluarga yang humoris." Adellia tersenyum.
Hans menghela napas "minta maaf pada Vinka, sekarang."
"Tidak perlu, paman aku tidak apa-apa, sungguh." Ucap Vinka tiba-tiba.
Adellia memainkan ujung rambutnya "baiklah" dan berdiri mendekati Vinka.
"Kak Vinka, maafkan Adell, ya."
Adellia memeluk Vinka, namun hatinya menolak, mau bagaimana lagi, mereka harus menghormati Vinka, karena ia pewaris keluarga Panduwinata, yang memegang hal lebih di istana ini.
~🥀~
Selesai sarapan pagi, seluruh keluarga Hans sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tuan Hans mencoba mengecek seluruh isi lemari milik kakak tirinya, di temani istrinya Monica.
"Apa kau menemukannya?" Tanya Monica pada suaminya.
"Menemukan apa?" Hans bertanya balik.
"Surat wasiat."
"Sayang, aku tidak tau surat itu di mana."
"Lalu kau sedang apa?"
"Hanya membereskan lemari ini, siapa tau aku menemukan buku bacaan."
Mendengar hal itu membuat Monica kesal, ia memilih keluar meninggalkan suaminya yang masih sibuk dengan lemari tersebut.
Ya, tujuan Monica adalah menjadi seorang Ratu di keluarga kaya, ia sudah bosan dengan hidup sederhana dengan pria yang bernama Hans itu. Awal mereka berkenalan, saat Monica melihat Hans menjadi pengawas di pabriknya bekerja, seluruh karyawan menghormatinya, ia berpikir Hans adalah bos dan pemilik pabrik jaket kulit tersebut. Ia mulai merayu dan menggoda Hans untuk membuat jatuh cinta padanya, usahanya pun berhasil. Namun setahun kemudian, ia menyadari, bahwa Hans hanya orang suruhan Tuan Panduwinata.
Monica mulai menggoda Tuan Panduwinata, namun usahanya tidak berhasil, karena Tuan Panduwinata, tipe pria setia dan saat itu ia sudah memiliki istri, ya wanita itu adalah, ibunda Vinka.
Entah, ini disebut keberuntungan atau kebetulan, karena ia mendengar Tuan Panduwinata dan istrinya di bunuh seseorang, mendengar hal itu, ia tersenyum di dalam hati. Niatnya untuk menjadi Ratu pun ia lanjutkan, setelan menyingkirkan pewaris satu-satunya keluarga Panduwinata.
"Vinka."
Monica menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskan asap rokok tersebut ke udara.
~🥀~
Aldo putra pertama Tuan Hans berjalan menyusuri lorong, menuju kamarnya. Langkahnya terhenti saat melihat kamar seseorang sedikit terbuka. Ia pun memberanikan diri untuk masuk ke kamar tersebut. Tidak siapapun di kamar tersebut, Ia baru menyadari, itu adalah kamar Vinka, dengan rasa penasaran, ia melihat-lihat seluruh isi kamar tersebut.
PRANG!
Aldo tidak sengaja menjatuhkan salah satu koleksi boneka porselen milik Vinka.
"Sial." dalam hati.
"Sarah, apa itu kau?"
Aldo mencoba berdiri.
Ngapain gua kabur, kan dia buta.
"Apa itu Desi?"
Kelopak mata Aldo terbuka lebar, kaget tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana tidak, Vinka keluar hanya dibalut dengan handuk, kulitnya yang putih mulus, terlihat dengan jelas dengan rambut setengah basah.
Keinginan Aldo untuk menyentuh kulit Vinka, tidak terwujud, karena ia mendengar suara langkah seseorang, ia pun mengurungkan niatnya, dan pergi dari kamar Vinka.
Malvin mencoba menghitung uang yang ia peroleh dari pekerjaannya, yaitu sebagai seorang Mafia. Tentu saja pekerjaan apapun itu, ia bisa jalankan, mau itu baik ataupun buruk, bahkan ia sanggup membunuh seseorang. Walaupun wajahnya sudah dikenali para polisi, namun mereka tidak memiliki hak, jika bukan Malvin yang menyerahkan diri kepada mereka.Tok! Tok!"Masuklah."Malvin melihat orang yang masuk ke ruangannya. Seperti ragu-ragu untuk memberitahu sesuatu."Ada apa Kevin?""Pak, boleh saya ijin keluar markas?""Kenapa kau bertanya pada ku, pergilah."Kevin melihat tumpukkan uang yang sedang di hitung. Malvin melihat anak buahnya."Berapa yang kau inginkan?"Kevin kaget "tidak banyak, hanya satu juta saja."Malvin memberikan uang yang sudah ia ikat dengan rapi, dan memberikannya pada Kevin."Terima kasih Tuan.""Pergilah, jangan pernah mengecewakan Jessie.""Ba, bagai
Remaja laki-laki bernama Zico melihat Malvin tidak percaya dengan apa yang ia lihat matanya yang terbuka lebar, saat sebuah pistol dikeluarkan dari saku celana Malvin, pria dewasa itu mengisi pistol dengan tiga peluru dan menyisakan satu tempat. kening remaja laki-laki itu perlahan mengeluarkan bulir- bulir keringat, melihat Malvin meletakkan pistol tersebut di meja. "Jika kau bersungguh sungguh ingin menjadi anak buah ku, lakukan sesuatu, agar saya tertarik dengan mu." Zico menunduk, senyuman jahat Malvin mulai terlukis dibibir seksinya. "Baiklah." Zico mulai mengambil pistol tersebut, ia arahkan ke tangan kirinya, dan tangan kanannya siap untuk menekan pelatuk tersebut, Malvin bisa mendengar detak jantung remaja laki-laki itu, itu seperti musik untuknya, matanya tidak lepas dari wajah ketakutan remaja laki-laki itu. Zico mulai menelan ludahnya dalam-dalam. Tek! Ia kaget, rasanya jiwanya akan lepas dari tubuh, ia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Zico melihat Malvin tidak p
"Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setia mu tidak menemani, mungkin saja ada mata jahat yang memandang tubuhmu." ucap Malvin, membuat Aldo putra paman Hans berkeringat, ia pun memilih keluar dari ruang tengah tersebut.Dan Vinka terdiam tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Malvin barusan. Seluruh keluarga Hans terdiam sama-sama tidak percaya."Bagaimana, kau tau hal itu akan terjadi!?" Tanya Vinka kesal."Itu sudah terjadi, Tuan Hans jika keponakanmu bersikeras tidak menerima ku, lebih baik aku pergi.""Tunggu!"Hans melihat Vinka "baiklah, kau bisa bekerja mulai hari ini, Sarah, tunjukkan kamarnya.""Baik Tuan."Malvin mengikuti Sarah."Tunggu!" Teriak Vinka.Seluruh keluarga Hans menoleh melihat Vinka. Adellia dan Nyonya Monica memutar bola matanya dan memilih pergi meninggalkan tempat itu."A, aku ingin bicara dengan mu."Semua pandangan ke arah Malvin."Sarah, antar-kan dia ke ruang p
"Tidak mungkin." ucap Sarah tidak percaya, setelah selesai membaca isi dari surat itu.Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya kedalam saku jasnya. Sarah melihat Malvin."Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran."Aku tidak tau pasti, pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka, dan saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia."===============FLASHBACK================Dia adalah Tuan Panduwinata, Bos di sebuah perusahaan swasta dalam bidang pakaian, ia turun dari mobil, mengendong putrinya yang berusia 5 tahun, istrinya pun menyusul suaminya, berjalan menghindari jalanan yang penuh dengan kubangan."Permisi, apa anda tau alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata pada salah satu warga yang sibuk melas kayu.Warga tersebut melihat lembaran kertas yang diberikan Tuan Panduwinata."Jalan luru
Malvin berusaha untuk tidur, namun matanya tidak ingin terpejam, ia mencoba membuka kaos dan melemparnya ke lantai."Sial!" ucapnya kesal, melempar bantalnya.Malvin berpikir, "baiklah." ia pun bangkit dari tempat tidurnya, memakai kembali kaosnya. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya, berjalan menyusuri lorong-lorong rumah dengan langkah perlahan.Tujuannya sudah sampai, yaitu kamar Vinka, tapi anehnya, kenapa pintu kamar terbuka, dengan pelan-pelan Malvin mendekati kamar tersebut, senyuman khasnya terlukis kembali."Menarik." ucapnya dalam hati.~🥀~Matahari muncul dengan perlahan terbit dari arah Timur, seluruh pelayan wanita sibuk dengan pekerjaan di dapur, membantu seorang koki pria yang sudah paruh baya. Malvin hanya melihat kegiatan mereka tanpa membantu, bahkan, ia dengan lancang mencicipi masakan itu satu persatu. Saat di piring terakhir, seseorang menepuk tangan Malvin dengan kasar."Tuan Malvi
Monica tidak percaya jika pria di depannya sudah mengetahui rencana busuknya. Pria tersebut tersenyum itu adalah ciri khasnya, tapi tidak tau apa arti senyuman itu, tidak ada yang tau bagaimana senyuman senang, ataupun meremehkan itu terlihat sama."Apa mau mu Malvin?" tanya Monica.Malvin melihat Desi yang berdiri di samping Monica dengan kepala tertunduk takut."Percuma saja saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami anda memihak kepada anda." ucap Malvin."Apa katamu, Hans sudah tau?" tanya Monica tidak percaya."Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya, lagipula, tugas kita sama di sini." Malvin meletakkan foto Vinka di atas meja."Siapa yang menyuruhmu?" tanya Monica.Malvin tersenyum "itu privasi, saya tidak bisa memberitahu."Monica semakin marah "katakan apa mau, mu?" tanya Monica."Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya."Mata Desi terbuka lebar dan benar-benar menjadi takut.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat."Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu."Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya."Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun."Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya