Monica tidak percaya jika pria di depannya sudah mengetahui rencana busuknya. Pria tersebut tersenyum itu adalah ciri khasnya, tapi tidak tau apa arti senyuman itu, tidak ada yang tau bagaimana senyuman senang, ataupun meremehkan itu terlihat sama.
"Apa mau mu Malvin?" tanya Monica.
Malvin melihat Desi yang berdiri di samping Monica dengan kepala tertunduk takut.
"Percuma saja saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami anda memihak kepada anda." ucap Malvin.
"Apa katamu, Hans sudah tau?" tanya Monica tidak percaya.
"Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya, lagipula, tugas kita sama di sini." Malvin meletakkan foto Vinka di atas meja.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Monica.
Malvin tersenyum "itu privasi, saya tidak bisa memberitahu."
Monica semakin marah "katakan apa mau, mu?" tanya Monica.
"Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya."
Mata Desi terbuka lebar dan benar-benar menjadi takut.
~🥀~
"Makan siang!" penjaga penjara bawah tanah memberikan piring berisi nasi dengan lauk yang entah itu apa, dengan kesal Sarah melempar makanan tersebut.
"Kurang ajar, kau melawan kami!" penjaga itu mengambil sebuah rotan dan siap memukul Sarah, dengan rasa takut, Sarah hanya bisa pasrah menunggu pukulan dari rotan tersebut, namun pukulan itu tidak kunjung sampai pada punggungnya, Sarah pun melihat apa yang terjadi.
"Malvin?"
"Apa-apaan ini!?" ucap penjaga marah.
Malvin memberikan surat perintah yang dibuat Monica untuk membebaskan Sarah. Penjaga itu melihat Malvin.
"Jika anda tidak percaya, anda bisa tanyakan langsung pada Nyonya Monica langsung." ucap Malvin dengan suara versi dewasanya.
Penjaga tersebut membuka gembok rantai yang mengikat kaki Sarah, ia pun berjalan meninggalkan mereka berdua, Malvin melihat kepergian penjaga tersebut.
"Malvin, apa yang terjadi?"
Malvin menoleh dan tersenyum.
"Nyonya Monica, lah pelakunya, tapi aku tidak bisa menyalahkan dirinya karena tuan Hans pun melindunginya." jelas Malvin.
"Apa? ini tidak adil."
Malvin tersenyum "ya, inilah hidup, kau harus siap bermain peran di tengah pemeran utama." Malvin mencoba membantu Sarah berdiri.
"Aak!"
"Ada apa?" tanya Malvin, ia pun mengecek kaki Sarah.
"Penjaga itu terlalu kuat mengikat kakiku." ucap Sarah.
Malvin terdiam sesaat, melihat kaki Sarah yang terluka.
"Baiklah." Malvin mencoba menggendong Sarah.
"Malvin apa yang kau lakukan?" tanya Sarah.
"Diam, kalau kau bicara, kau bertambah berat." ucap Malvin.
Sarah sangat malu, baru pertama kalinya ia mendapat perlakuan seperti ini. Malvin berjalan menuju kamar Sarah, menyusuri lorong kamar, seluruh pelayan melihat mereka. Sesampai di kamar Sarah, dengan pelan Malvin mendudukkan Sarah.
"Terima kasih." ucap Sarah.
"Cepat sembuhkan kakimu, karena aku punya misi untuk mu." ucap Malvin berjalan keluar kamar Sarah, Sarah hanya terdiam, lalu tersenyum.
~🥀~
Keesokan harinya, di pagi yang cerah, namun tidak untuk rumah mewah ini, saat kejadian Vinka diracuni, seluruh pekerja terdiam membisu, mendiamkan si pelaku atau membicarakan sesuatu tentang dirinya.
Tentu saja itu tidak masalah untuk Monica, karena ia, lah yang berkuasa, sedangkan Desi, dia harus dikucilkan oleh rekan kerjanya. Bahkan Sarah sahabatnya sudah tidak mempedulikannya lagi.
Bruk!
Desi menabrak seseorang, dengan cepat ia membungkukkan badannya meminta maaf.
"Tidak apa-apa Desi, semua orang pernah berbuat salah, iya kan?" ucap Malvin dan berjalan meninggalkan Desi yang menahan amarah dan air matanya
Sarah mendekati Malvin, melihat kepergian Desi.
"Jadi, apa rencana, mu?" tanya Sarah
Malvin tersenyum.
~🥀~
"Aku ingin kau menjaga Vinka, selama aku pergi mencari obat penawarnya."
"Lalu?"
"Terus jaga dia, jangan pernah kau keluar dari kamar itu, jika ingin, jangan lupa kau menguncinya."
Malvin membuka kamar Vinka.
"Aku sengaja mengunci kamarnya, agar si brengsek itu tidak melakukan hal itu lagi."
"Lalu Tuan Hans? apa dia tidak marah?" tanya Sarah.
"Dia sudah tau aku siapa."
"Benarkah?"
Malvin tersenyum. Sarah mendekati Vinka yang masih tertidur, Sarah membelai rambut majikannya tersebut.
"Aku akan menjaganya, kau tenang saja." ucap Sarah.
Malvin melihat Sarah dan akhirnya melangkah mundur meninggalkan kamar Vinka. Berlari menuju kamar untuk mengambil tasnya, lalu berjalan dengan cepat menuju mobil, untuk keluar dari rumah besar tersebut, tanpa diketahui oleh siapa pun, namun Malvin tidak tau, kalau seseorang memperhatikannya dari jendela lantai dua.
~🥀~
Malvin berjalan menuruni tangga menuju markas pribadinya.
"Tuan!" panggil Zico senang.
"Hai Zico, apa kabar?"
"Yang seharusnya bertanya itu adalah aku, ke mana saja Tuan?"
Malvin tersenyum "tentu saja mengerjakan tugas."
"Lalu, anda berhasil?" tanya Daniel.
Kevin pun melihat Malvin menunggu jawaban. Malvin mengambil kursi dan duduk, melihat satu persatu anak buahnya.
"Aku punya tugas untuk kalian." Malvin mengeluarkan botol kaca dari dalam sakunya meletakkan di meja agar semua anak buahnya melihat.
"Itu bukankah racun?" tanya Daniel.
"Ya."
"Lalu, anda membunuhnya dengan racun?" tanya Kevin.
"Aku ingin kalian mencari tau siapa si pembuat racun ini, jika sudah, laporkan padaku." jelas Malvin.
"Baik Tuan!" ucap anak buah Malvin serentak.
Seluruh anak buah Malvin bersiap untuk menjalankan tugas dari Tuan mereka. Malvin melihat Zico yang sibuk menyiapkan keperluan Daniel.
"Daniel, jaga anak buah mu." ucap Malvin menepuk pundak Daniel.
"Baik Tuan." balas Daniel.
Malvin berjalan menaiki tangga menuju Bar, saat dirinya ingin keluar dari Bar tersebut, seseorang menarik tangannya.
"Malvin, maafkan aku, ayo kita perbaiki semuanya."
Dengan pelan Malvin melepas tangan wanita itu.
"Maafkan aku Rose, kau tidak bisa mengurungku lagi."
"Malvin?"
"Maafkan aku." Malvin mengambil langkah mundur dan pergi meninggalkan Rose bersama para pengunjung yang memperhatikannya, ia menangis menutup wajahnya.
~🥀~
-Hospital City-
Malvin melihat gedung putih di depannya, menjulang tinggi sempurna.
"Baiklah." Malvin melangkah masuk ke dalam gedung tersebut, penjaga pintu pun membukakan pintu untuk Malvin, ia membalas salam penjaga pintu tersebut.
"Selamat pagi Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang Resepsionis.
"Saya ingin bertemu dengan Tuan Bram."
"Sudah membuat janji?"
"Bilang padanya, Malvin ingin bertemu."
Resepsionis itu pun mengangkat teleponnya, berbicara dengan seseorang, belum ada 10 detik, Resepsionis tersebut tersenyum.
"Silakan, anda di tunggu di ruangannya."
Malvin pun berjalan menuju lift, menuju lantai 3. Sepi tidak ada siapapun, Malvin hanya melihat seorang wanita paruh baya sedang mengepel lantai, ia mencari ruang dokter Bram.
Langkahnya terhenti, di depan pintu untuk beberapa saat, ingin membuka rasanya berat sekali, bagaimana tidak, hari ini, waktu ini, detik ini, ia melakukan hal yang tidak pernah, ia lakukan, begitu peduli pada seseorang.
Malvin melangkah mundur, berniat pergi dari tempat tersebut.
"Malvin." pangil seseorang.
Dia adalah dokter yang memeriksa Vinka, dokter Bram, ia mendekati Malvin, menepuk pundak Malvin membuatnya tersentak kaget.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.
Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat."Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu."Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya."Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun."Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan."Selamat pagi Vinka." sapa Monica.Tiba-tiba bulu kuduk Sarah berdiri "ada apa dengan nenek lampir ini? tidak biasanya dia menyapa." bisik Sarah pada Vinka, Vinka hanya mencubit pinggang Sarah pelan "Maaf Nona." Ia pun menarik kursi untuk Vinka."Terima kasih Sarah." ucap Vinka."Selamat pagi Tante." sapa Vinka memberikan senyuman manisnya.Senyuman itu membuat Monica semakin membenci keponakannya ini."Sarah kau boleh sarapan,nanti kau pun ikut menemani Nona Vinka, bukan?" tanya Monica."Ya Sarah pergilah sarapan, kalian semua juga ya." ucap Vinka pada seluruh pelayan.Terima kasih Nona....ucap para pelayan kompak.Seluruh pelayan pun berjalan menuju dapur, begitu pun Sarah, namun langkah Sarah tidak begitu lancar, karena ia mengkhawatirkan Nona Vinka.~🥀~"Wah, tidak biasanya ya Nyonya Monic
BRAK!Mereka membanting pintu bersamaan. Memandang luas sebuah Villa yang tidak jauh besar dengan rumah milik keluarga Panduwinata."Astaga Vinka!!" teriak seseorang berlari mendekat memeluk Vinka.Monica kaget bukan main, ternyata Victoria adik kandung Tuan Panduwinata ada di Villa."Halo Monica, lama tidak bertemu, ya ampun ini si kembar itu ya? mereka tumbuh dengan cepat ya, bagaimana sekolah kalian?" tanya Victoria membuat kedua remaja itu mulai bosan."Kau sendiri di sini?" tanya Monica."Tidak, aku bersama dengan James tapi dia ada keperluan mendadak di kantor, huh...di sini dingin ayo kita masuk." ajak Victoria.Mereka pun mengikuti Victoria dari belakang."Sial."...~🥀~..."Dingin sekali di sini, seandainya Sarah ada di dekatku.""Jangan berpikir
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" panggil Daniel memecah lamunan Malvin. "Kau tidak apa-apa?" tanya Daniel. Malvin memijat keningnya yang terasa pusing. "Aku tidak apa-apa, lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, mengambil kantung besar dari bagasi tersebut. "Malvin bisa kau bantu aku?!!" teriak Daniel. Sepertinya Malvin tidak mempedulikannya, Daniel menghela napas dan meneruskan pekerjaannya menyusun tenda. Malvin mulai ingat kembali, saat dirinya menerima perjanjian pada Tuan Panduwinata. ...=========FLASHBACK=========... "Tuan ada tamu untuk anda." Tanpa menunggu persetujuan dari Tuannya, wanita itu mempersilakan masuk, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor yang dipanggil T
Hhuuaamm!! Daniel menguap dengan mulut terbuka lebar. Malvin menoleh, melihat Daniel. "Maaf." "Untung saja tidak ada lalat yang masuk!" ucap Malvin tegas. AAAKKGGHH!!! Malvin dan Daniel menoleh ke sumber suara. "Vinka!" "Itu suara si wanita buta, kan?" tanya Daniel. Malvin mulai berlari menuju sumber suara. "Malvin tunggu aku!" teriak Daniel mengejar Malvin. Jalan bergelombang, banyak bebatuan membuat Daniel begitu sulit mengejar Malvin. "Astaga anak itu makan apa sih?" ucap Malvin mulai capek. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar. "Aku akan menyusul." ucapnya lemas. Namun sepertinya Malvin sudah hilang dari pandangannya. "Hah! masa bodo, gua capek!" ~🥀~
Huk! Huk! Malvin terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan sisa-sisa air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Dengan penuh kekuatan, di lihatnya Vinka yang masih tidak sadarkan diri dibawah tubuhnya, pria itu mencoba membopong tubuh Vinka yang kurus, ini tidak begitu sulit untuknya, karena wanita itu seringan kapas, apalagi Malvin sering diam-diam berolahraga. Dengan hati-hati, Malvin mencoba menekan bagian tengah dada yang sejajar dengan puting dengan telapak tangannya. Vinka mulai terbatuk-batuk, sadarkan diri. "Malvin?" pangilnya lemas. "Ya, Nona?" jawab Malvin memakai kembali suara khas remajanya, karena belum saatnya Vinka mengetahui siapa dirinya. Dengan hati-hati Malvin membantu Vinka untuk duduk. "Sudah lebih baik?" tanya Malvin. Vinka mengangguk, Malvin membantu Vinka untuk berdiri. "Ngh." rintih
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya