"PEMBUNUH!!"
"Malvin!" panggil Daniel memecah lamunan Malvin.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Daniel.
Malvin memijat keningnya yang terasa pusing.
"Aku tidak apa-apa, lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat."
"Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, mengambil kantung besar dari bagasi tersebut.
"Malvin bisa kau bantu aku?!!" teriak Daniel.
Sepertinya Malvin tidak mempedulikannya, Daniel menghela napas dan meneruskan pekerjaannya menyusun tenda.
Malvin mulai ingat kembali, saat dirinya menerima perjanjian pada Tuan Panduwinata.
...=========FLASHBACK=========...
"Tuan ada tamu untuk anda."
Tanpa menunggu persetujuan dari Tuannya, wanita itu mempersilakan masuk, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor yang dipanggil T
Terima kasih kepada seluruh pembaca yang masih setia untuk membaca karya penulis amatir ini 🙏🤧
Hhuuaamm!! Daniel menguap dengan mulut terbuka lebar. Malvin menoleh, melihat Daniel. "Maaf." "Untung saja tidak ada lalat yang masuk!" ucap Malvin tegas. AAAKKGGHH!!! Malvin dan Daniel menoleh ke sumber suara. "Vinka!" "Itu suara si wanita buta, kan?" tanya Daniel. Malvin mulai berlari menuju sumber suara. "Malvin tunggu aku!" teriak Daniel mengejar Malvin. Jalan bergelombang, banyak bebatuan membuat Daniel begitu sulit mengejar Malvin. "Astaga anak itu makan apa sih?" ucap Malvin mulai capek. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar. "Aku akan menyusul." ucapnya lemas. Namun sepertinya Malvin sudah hilang dari pandangannya. "Hah! masa bodo, gua capek!" ~🥀~
Huk! Huk! Malvin terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan sisa-sisa air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Dengan penuh kekuatan, di lihatnya Vinka yang masih tidak sadarkan diri dibawah tubuhnya, pria itu mencoba membopong tubuh Vinka yang kurus, ini tidak begitu sulit untuknya, karena wanita itu seringan kapas, apalagi Malvin sering diam-diam berolahraga. Dengan hati-hati, Malvin mencoba menekan bagian tengah dada yang sejajar dengan puting dengan telapak tangannya. Vinka mulai terbatuk-batuk, sadarkan diri. "Malvin?" pangilnya lemas. "Ya, Nona?" jawab Malvin memakai kembali suara khas remajanya, karena belum saatnya Vinka mengetahui siapa dirinya. Dengan hati-hati Malvin membantu Vinka untuk duduk. "Sudah lebih baik?" tanya Malvin. Vinka mengangguk, Malvin membantu Vinka untuk berdiri. "Ngh." rintih
Malam mulai datang, hujan semakin deras, seorang pria duduk di depan perapian sederhana yang terbuat dari batu bata, sebenarnya ini bukan perapian ini lebih mirip kompor tradisional yang terbuat tumpukan batu. "Bagaimana airnya?" tanya seorang wanita. "Sepertinya sudah." balas Malvin memberikan ruang untuk wanita itu mengambil air yang sedari tadi dimasak. Air masak itu untuk memandikan Vinka, mungkin demamnya belum membaik, bahkan Malvin bisa mendengar Vinka mengigau memanggil seseorang untuk tidak meninggalkan dirinya. "Terima kasih Nyonya, anda mau menampung kami yang asing ini." ucap Malvin. "Panggil saja aku bibi, Nyonya itu hanya untuk orang kalangan berada." balas bibi. "Sudah berapa lama kalian tinggal di sini?" tanya Malvin penasaran. "Setelah menikah kami memutuskan untuk tinggal di sini, tanah ini harus ditempati, kalau tidak mereka akan mengambil dan mengaku-ngaku ini milik mereka." "Siapa?" tanya Malvin. "Kamu tidak tau, itu loh, Tuan James dan saudaranya Hans, mer
"Sepertinya mau mendung lagi." ucap Bibi. Malvin melihat keatas mengikuti Bibi. "Malvin, seperti apa langit mendung?" tanya Vinka. "Gelap seperti yang kau lihat sekarang." ucap Malvin. Vinka mengerti, itu artinya mendung seperti dirinya yang buta "itu artinya setiap hari cuaca ku mendung?" tanya Vinka kembali. Malvin melihat Vinka "benarkah? apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Malvin. "Aku senang, karena di mendung ku, ada Malvin." ucap Vinka membuat Malvin malu dibuatnya. Bibi menepuk pundak Malvin, tanda memberi semangat, ia pun tersenyum. ~🥀~ "Kenapa kau tidak bisa menjaganya!?" teriak Hans pada Victoria, wanita itu hanya bisa menangis saat kakak tirinya berteriak padanya. "Aku akan melaporkan suami mu, sekarang juga!" Mendengar itu Victoria sangat takut, ia memegang kaki Hans dengan erat, membuat pria itu tidak bisa melangkah dengan bebas. Bagaimana tidak kesal, Hans sedang mengurus perusahaan di luar kota, ia sebenarnya berani berlama-lama mengurus perusahaan, karena
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya