"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.
Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat.
"Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu.
"Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."
Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya.
"Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."
Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.
Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun.
"Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat menyebabkan gangguan sistem saraf."
"Itu sebabnya ia tidak bisa melihat?"
Bram tersenyum "sepertinya kau sudah mulai menghawatirkan nya?" tanya Bram.
Malvin hanya bisa diam, pandangannya ia alihkan ke arah lain.
"Apakah ada kemungkinan, ia bisa melihat kembali?" tanya Malvin.
Bram tersenyum, dengan tangan yang masih sibuk membuat obat penawar.
"Tentu saja, namun Tuan Panduwinata tidak menyetujuinya." balas Bram.
Malvin terdiam, ia tidak perlu bertanya apa alasannya, karena ia sudah tau, ya, alasannya adalah dirinya. Tuan Bram sengaja membiarkan putrinya buta, sampai waktu dimana Malvin dan anak buahnya membunuhnya, Vinka tidak melihat itu semua.
"Malvin?"
Malvin tersentak kaget.
Bram tersenyum, ia pun memberikan sebuah botol pada Malvin, Malvin pun menerima botol tersebut. Ia melihat botol itu cukup lama.
"Jika dia bisa melihat, apakah? apakah, dia akan membenciku?" tanya Malvin.
"Tentu saja, dan hukum gantung diri sudah menunggu mu." ucap Bram.
Ucapan Bram tidak membuat Malvin takut, itu sudah menjadi resiko seorang Mafia.
"Terima kasih." Malvin melangkah pergi dari laboratorium tersebut.
~🥀~
Di kota ini begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang, Malvin tidak seperti seorang mafia yang ada di cerita novel kebanyakan, kaya dan berada, yang seharusnya setiap kemanapun memakai mobil mewah, ia sebenarnya memiliki mobil tersebut, namun Malvin lebih memilih berjalan kaki bergabung dengan masyarakat sekitar. Ya, ini lah Malvin, dia bisa saja memakai uangnya untuk kemewahan untuk dirinya dan anak buahnya, namun ia sadar uang itu bukan miliknya, tapi milik negara, karena setengah pelanggan nya itu datang dari kalangan penjabat, yang ingin lawan mereka dibunuh.
Ia berdiri menunggu lampu merah, sekumpulan anak remaja wanita memperhatikan dirinya, ia pun melihat mereka dan tersenyum.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyanya.
Remaja wanita itu tertawa malu "tidak Tuan, wajah anda sudah sempurna." ucap salah satu dari mereka.
"Berapa usia anda?" tanya yang lain.
"Sangat tua." balas Malvin, berharap lampu jalan segera menyala.
"Berapa?" tanya mereka serempak.
"30." ucap Malvin.
Waahh..... mereka terkagum-kagum, bahkan Malvin mendengar jika mereka tidak percaya dengan usia sebegitu, namun penampilannya sangat luar biasa.
"Apakah anda sudah memiliki seorang istri?"
"Kau ini bagaimana, pasti sudah."
"Belum, apa salah satu dari kalian mau jadi istri ku?" tanya Malvin menggoda, seluruh remaja wanita itu histeris.
Lampu jalan sudah menyala, mereka melambaikan tangan kepada Malvin dan berpisah. Di perjalanan matanya melihat keluarga kecil, seorang pria dengan menggendong anak laki-laki dan seorang wanita yang dengan manja berjalan sembari bersandar dengan si pria, Malvin hanya terdiam, ia melihat dirinya lewat kaca etalase toko.
"Apakah sudah saatnya aku mencari pasangan hidup?"
Malvin meneruskan perjalanannya ke Bar. Sesampai di pintu, ia melihat wanita paruh baya yang menjual bunga, selalu mangkal di depan Bar, menawarkan Malvin untuk membeli bunganya, dengan terpaksa Malvin membeli satu buket bunga mawar merah.
"Terima kasih Tuan, semoga wanita itu semakin menyukai mu." ucap wanita itu.
Malvin hanya tersenyum binggung, untuk apa ia membeli bunga ini?
~🥀~
Seluruh mata tertuju padanya, ia pun mendekati Ziah.
"Hai Tuan Mafioso," sapa Ziah.
"Bunga itu untukku?" tanya Ziah percaya diri.
Malvin memberikan satu tangkai mawar tersebut pada Ziah.
"Wah, Terima kasih." Ziah senang.
"Berikan itu untuk Rose, bilang padanya, aku minta maaf." Malvin pergi meninggalkan Ziah.
Seluruh pengunjung menertawakan Ziah, dengan wajah cemberut, ia melangkah mencari Rose rekan kerjanya.
Wanita bernama Rose itu menjahit baju seseorang.
"Selesai, baju anda sekarang sudah rapi." ucap Rose pada seorang pria.
"Terima kasih Rose, kau memang luar biasa, berbeda dengan wanita lain yang ada di sini." ucap pria itu memegang pipi Rose dengan lembut.
Rose hanya tersenyum.
Rose!!
Rose dan pria tersebut tersentak kaget.
"Ziah, tolong yang sopan!" ucap Rose.
"Maafkan saya Tuan." ucap Ziah membungkukkan badannya, pria itu tersenyum.
Ziah memberikan bunga mawar tersebut pada Rose, Rose hanya melihat dengan binggung.
"Ini dari Malvin, katanya dia minta maaf padamu." jelas Ziah.
Rose menerima bunga mawar tersebut, dengan perlahan senyuman manisnya pun terlukis. Tanpa disadari, sepasang mata melihat Rose dengan kagum, tentu saja pria yang bajunya dijahit oleh Rose.
~🥀~
"Selamat siang Tuan." sapa Kevin.
"Di mana Daniel dan Zico?" tanya Malvin mencari 2 anak buahnya itu.
"Mereka sudah di sana, menjaga kamar Nona Vinka."
Malvin meletakkan bunga mawar yang ia genggam di atas meja, ia memijat-pijat pergelangan tangannya, melihat itu Kevin tertawa tertahan.
"Anda tidak terbiasa sepertinya Tuan?" tanya Kevin.
"Dari apa?" tanya Malvin kembali.
Kevin menunjuk ke arah bunga tersebut.
"Ya, saya lebih suka memegang senjata daripada itu." balasnya, bersiap untuk berangkat ke rumah Tuan Panduwinata.
"Tuan bunganya." ucap Kevin, memberikan pada Malvin.
"Untuk apa?" tanya Malvin binggung.
"Bawa saja Tuan, mungkin Nona Vinka menyukainya." balas Kevin.
Dengan berat, ia pun menerima bunga tersebut dan melangkah pergi.
~🥀~
Zico melihat Sarah yang sibuk mengompres Vinka.
"Berapa umurmu?" tanya Sarah.
"17 tahun." jawab Zico.
"Wah, kamu yang termuda, ya?" tanya Sarah kembali.
Zico hanya mengangguk, tiba-tiba pintu kamar Vinka terbuka, ternyata itu adalah Malvin.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Malvin.
"Semakin parah, sekarang demam tinggi." ucap Sarah.
"Ini obat penawarnya." Malvin memberikan botol kaca itu pada Sarah. Ia mulai mencampur air Kompres dengan obat tersebut, dengan memakai handuk, Sarah mengelap seluruh wajah Vinka yang pucat. Selesai itu, ia mulai menuangkan obat penawar tersebut pada sendok dan menyuapi pada Vinka dengan pelan-pelan, Malvin membantunya.
"Semoga saja berhasil." ucap Sarah.
"Semoga saja." balas Malvin.
Malvin melihat Daniel dan Zico "tugas kalian di sini sudah selesai, kembalilah bekerja." ucap Malvin.
Saat Daniel dan Zico melangkah pergi.
"Tunggu." panggil Sarah, membuat kedua pria itu menoleh kembali.
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.
Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan."Selamat pagi Vinka." sapa Monica.Tiba-tiba bulu kuduk Sarah berdiri "ada apa dengan nenek lampir ini? tidak biasanya dia menyapa." bisik Sarah pada Vinka, Vinka hanya mencubit pinggang Sarah pelan "Maaf Nona." Ia pun menarik kursi untuk Vinka."Terima kasih Sarah." ucap Vinka."Selamat pagi Tante." sapa Vinka memberikan senyuman manisnya.Senyuman itu membuat Monica semakin membenci keponakannya ini."Sarah kau boleh sarapan,nanti kau pun ikut menemani Nona Vinka, bukan?" tanya Monica."Ya Sarah pergilah sarapan, kalian semua juga ya." ucap Vinka pada seluruh pelayan.Terima kasih Nona....ucap para pelayan kompak.Seluruh pelayan pun berjalan menuju dapur, begitu pun Sarah, namun langkah Sarah tidak begitu lancar, karena ia mengkhawatirkan Nona Vinka.~🥀~"Wah, tidak biasanya ya Nyonya Monic
BRAK!Mereka membanting pintu bersamaan. Memandang luas sebuah Villa yang tidak jauh besar dengan rumah milik keluarga Panduwinata."Astaga Vinka!!" teriak seseorang berlari mendekat memeluk Vinka.Monica kaget bukan main, ternyata Victoria adik kandung Tuan Panduwinata ada di Villa."Halo Monica, lama tidak bertemu, ya ampun ini si kembar itu ya? mereka tumbuh dengan cepat ya, bagaimana sekolah kalian?" tanya Victoria membuat kedua remaja itu mulai bosan."Kau sendiri di sini?" tanya Monica."Tidak, aku bersama dengan James tapi dia ada keperluan mendadak di kantor, huh...di sini dingin ayo kita masuk." ajak Victoria.Mereka pun mengikuti Victoria dari belakang."Sial."...~🥀~..."Dingin sekali di sini, seandainya Sarah ada di dekatku.""Jangan berpikir
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" panggil Daniel memecah lamunan Malvin. "Kau tidak apa-apa?" tanya Daniel. Malvin memijat keningnya yang terasa pusing. "Aku tidak apa-apa, lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, mengambil kantung besar dari bagasi tersebut. "Malvin bisa kau bantu aku?!!" teriak Daniel. Sepertinya Malvin tidak mempedulikannya, Daniel menghela napas dan meneruskan pekerjaannya menyusun tenda. Malvin mulai ingat kembali, saat dirinya menerima perjanjian pada Tuan Panduwinata. ...=========FLASHBACK=========... "Tuan ada tamu untuk anda." Tanpa menunggu persetujuan dari Tuannya, wanita itu mempersilakan masuk, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor yang dipanggil T
Hhuuaamm!! Daniel menguap dengan mulut terbuka lebar. Malvin menoleh, melihat Daniel. "Maaf." "Untung saja tidak ada lalat yang masuk!" ucap Malvin tegas. AAAKKGGHH!!! Malvin dan Daniel menoleh ke sumber suara. "Vinka!" "Itu suara si wanita buta, kan?" tanya Daniel. Malvin mulai berlari menuju sumber suara. "Malvin tunggu aku!" teriak Daniel mengejar Malvin. Jalan bergelombang, banyak bebatuan membuat Daniel begitu sulit mengejar Malvin. "Astaga anak itu makan apa sih?" ucap Malvin mulai capek. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar. "Aku akan menyusul." ucapnya lemas. Namun sepertinya Malvin sudah hilang dari pandangannya. "Hah! masa bodo, gua capek!" ~🥀~
Huk! Huk! Malvin terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan sisa-sisa air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Dengan penuh kekuatan, di lihatnya Vinka yang masih tidak sadarkan diri dibawah tubuhnya, pria itu mencoba membopong tubuh Vinka yang kurus, ini tidak begitu sulit untuknya, karena wanita itu seringan kapas, apalagi Malvin sering diam-diam berolahraga. Dengan hati-hati, Malvin mencoba menekan bagian tengah dada yang sejajar dengan puting dengan telapak tangannya. Vinka mulai terbatuk-batuk, sadarkan diri. "Malvin?" pangilnya lemas. "Ya, Nona?" jawab Malvin memakai kembali suara khas remajanya, karena belum saatnya Vinka mengetahui siapa dirinya. Dengan hati-hati Malvin membantu Vinka untuk duduk. "Sudah lebih baik?" tanya Malvin. Vinka mengangguk, Malvin membantu Vinka untuk berdiri. "Ngh." rintih
Malam mulai datang, hujan semakin deras, seorang pria duduk di depan perapian sederhana yang terbuat dari batu bata, sebenarnya ini bukan perapian ini lebih mirip kompor tradisional yang terbuat tumpukan batu. "Bagaimana airnya?" tanya seorang wanita. "Sepertinya sudah." balas Malvin memberikan ruang untuk wanita itu mengambil air yang sedari tadi dimasak. Air masak itu untuk memandikan Vinka, mungkin demamnya belum membaik, bahkan Malvin bisa mendengar Vinka mengigau memanggil seseorang untuk tidak meninggalkan dirinya. "Terima kasih Nyonya, anda mau menampung kami yang asing ini." ucap Malvin. "Panggil saja aku bibi, Nyonya itu hanya untuk orang kalangan berada." balas bibi. "Sudah berapa lama kalian tinggal di sini?" tanya Malvin penasaran. "Setelah menikah kami memutuskan untuk tinggal di sini, tanah ini harus ditempati, kalau tidak mereka akan mengambil dan mengaku-ngaku ini milik mereka." "Siapa?" tanya Malvin. "Kamu tidak tau, itu loh, Tuan James dan saudaranya Hans, mer
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya