"Tidak mungkin." ucap Sarah tidak percaya, setelah selesai membaca isi dari surat itu.
Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya kedalam saku jasnya. Sarah melihat Malvin.
"Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran.
"Aku tidak tau pasti, pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka, dan saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia."
===============FLASHBACK================
Dia adalah Tuan Panduwinata, Bos di sebuah perusahaan swasta dalam bidang pakaian, ia turun dari mobil, mengendong putrinya yang berusia 5 tahun, istrinya pun menyusul suaminya, berjalan menghindari jalanan yang penuh dengan kubangan.
"Permisi, apa anda tau alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata pada salah satu warga yang sibuk melas kayu.
Warga tersebut melihat lembaran kertas yang diberikan Tuan Panduwinata.
"Jalan lurus saja, jika kau menemukan satu rumah sendiri, itu dia, siapa yang ingin kau bunuh?" tanya warga itu. Mendengar itu Tuan Panduwinata menutup kedua telinga putrinya.
"Terima kasih." Tuan Panduwinata membungkukkan badan pada warga itu, ia meneruskan perjalanan, di ikuti istrinya dibelakang.
~🥀~
Tuan Panduwinata meletakkan koper berisi uang di atas meja. Seorang pria dengan perawakan bertubuh besar karena ototnya yang terlihat, walaupun usianya sudah 50an, ia tetap sehat dan bersemangat menjalankan pekerjaannya sebagai seorang mafia. Dia adalah Michael, tentu saja dia adalah ayah Malvin.
Michael melihat putri Tuan Panduwinata sedang bermain dengan putranya.
"Mungkin, putraku yang akan meneruskan pekerjaan ini, jadi kau tenang saja." ucap Michael.
"Berapa usia putramu?" tanya Tuan Panduwinata.
"10 tahun, mungkin saat anakmu tumbuh menjadi wanita cantik, putraku sudah seperti bapak-bapak." Michael tertawa, membayangkan bagaimana putranya dan putri Tuan Panduwinata bertemu.
Huuuwwaaa!!
Mereka semua kaget, mendengar Vinka tiba-tiba menangis.
"Malvin, apa yang kau lakukan?" tanya ibunda Malvin.
"Dia bodoh, masa tidak tau letak puzzle nya!" Malvin menunjuk Vinka yang masih menangis.
"Malvin jangan kasar pada wanita." ucap Michael.
"Tuan Panduwinata maafkan putra saya." tambah ibunda Malvin.
Tuan Panduwinata dan istrinya tersenyum, istri Tuan Panduwinata mengusap-usap kepala Vinka.
"Tidak apa, sejak lahir, putri kami memang sudah tidak bisa melihat."
"Malvin, ayo minta maaf pada Vinka." suruh Michael.
============FLASHBACK OFF==============
"Maafkan saya." ucap Malvin tiba-tiba, membuat seluruh keluarga Hans melihatnya binggung.
"Malvin, kau tidak apa-apa?" tanya Tuan Hans.
Malvin tersenyum "tidak, sepertinya saya tidak pantas menjadi penjaga Nona Vinka, saya takut dia akan naik darah setiap saat." ucapnya.
"Kalau begitu jadi penjaga aku saja." balas Adellia.
"Adell." Tuan Hans melihat putrinya.
Adellia memonyongkan bibirnya.
"Ide bagus, jika Nona Vinka tidak menerima saya, lebih baik saya menjaga Nona Adellia." ucap Malvin, sedikit melirik kearah Vinka.
Vinka tidak bergeming sama sekali, ia tetap fokus pada sarapan paginya.
"Jadi ayah, bagaimana?" tanya Adellia.
"Kau tetap menjaga Vinka." ucap Tuan Hans, membuat Adellia cemberut kecewa.
"Baiklah Tuan." Malvin memberi hormat.
~🥀~
Selesai sarapan pagi, Tuan Hans bersiap untuk berangkat ke kantor, Monica merapikan dasi suaminya itu, Tuan Hans mencium kening Monica.
"Hati-hati di jalan." ucap Monica.
Hans pun masuk ke dalam mobil. Malvin tersenyum melihat kemesraan mereka, ia menggigit apelnya dengan kasar.
"Apa yang kau lihat?" tanya Monica.
Malvin tersenyum "aku iri dengan kemesraan Nyonya." ucap Malvin menggoda.
Monica menyelipkan rambutnya, diantar daun telinganya.
"Apa anda bahagia?" tanya Malvin tiba-tiba, membuat Monica memandang Malvin dengan amarah.
Malvin tersenyum kembali, ia pun pergi meninggalkan Monica yang menahan amarahnya.
~🥀~
"Kak Vinka, boleh aku minta tolong?" tanya Aldo anak kedua dari Tuan Hans.
Vinka menutup buku bacaannya, tentu saja buku khusus yang memiliki keterbatasan dalam melihat.
"Apa yang harus aku bantu?" tanya Vinka.
"Aku penasaran dengan buku yang kakak baca, maukah kakak mengajari aku, bagaimana cara membacanya?" tanya Aldo.
Vinka tersenyum, "Baiklah, duduklah, biar aku ajarkan."
Aldo menurut, ia duduk di samping Vinka. Dari kejauhan Malvin melihat mereka, ia mengambil buah apel yang ada di saku, mencoba mendekati mereka dengan pelan. Vinka menjelaskan semua huruf-huruf Braille pada Aldo, namun Aldo tidak mendengarkan semua penjelasan Vinka, ia sibuk mengambil foto belahan dada Vinka yang sedikit terlihat.
"Bocah sialan!" gumam Malvin kesal. Ia pun mendekati mereka.
"Hai Aldo!!" teriak Malvin, membuat Aldo kaget dan buru-buru menyembunyikan ponselnya.
"Selamat pagi Nona Vinka." sapa Malvin.
"Mau apa kau?" tanya Vinka tidak senang.
Malvin tersenyum melihat Aldo yang terlihat gugup dan ketakutan.
"Aku ada perlu dengan Aldo," balas Malvin.
Malvin menarik kerah baju Aldo dengan kasar, membawanya ke tempat sepi.
"Berikan." ucap Malvin.
"Be, berikan apa?" tanya Aldo berpura-pura polos.
Malvin mendekatkan wajahnya pada wajah Aldo.
"Berikan foto dada Tante mu itu." ucap Malvin sedikit menekan nada bicaranya, membuat Aldo bertambah takut. Dengan tangan gemetar, Aldo mengambil ponselnya di saku celana, karena tidak sabar, Malvin mengambil paksa ponsel tersebut.
"Aku pinjam dulu." ucap Malvin, mengusap rambut Aldo dengan kasar dan berjalan meninggalkannya.
~🥀~
Malvin melihat semua isi dari ponsel Aldo, ternyata bukan hanya Vinka yang menjadi korban, bahkan seluruh pelayan wanita di rumah itu menjadi sasaran Aldo. Ini membuatnya pusing, ia memijat keningnya.
"Malvin." pangil seseorang.
Malvin menoleh, ternyata itu adalah Vinka, berdiri seperti patung dengan pandangan entah kemana.
"Ya?" balas Malvin, mencoba berdiri dari kursi kerjanya.
Vinka mencoba berjalan dua langkah mendekati Malvin, "Terima kasih." ucap Vinka.
Malvin terdiam melihat wanita itu, senyumnya berubah menjadi tawa seperti orang meledek.
"Aku serius."
"Tunggu dulu, jadi kau tau Aldo melakukan hal menjijikan itu? kenapa kau tidak membela diri?" tanya Malvin.
Vinka hanya diam, air matanya mengalir membasahi pipi pink pucat nya.
"Apa kau melihat semua?" tanya Vinka pelan.
Malvin menelan ludahnya dalam-dalam.
"Maafkan aku." ucap Malvin sedikit bersalah.
~🥀~
Suara jangkrik terdengar memecah keheningan malam, sudah mulai memasuki musim semi, Vinka bisa mencium aroma musim semi tersebut. Ia duduk di balkon kamarnya, duduk memeluk kedua kakinya, mulai memejamkan mata menikmati aroma semi itu, namun, didalam kegelapan matanya, ia melihat sosok seseorang, seorang pria bertubuh tinggi sempurna, dengan memakai jas Tuxedo, namun Vinka tidak bisa melihat jelas siapa pria itu, hanya senyumannya yang terlihat sempurna diingatan Vinka.
"Nona?" pangil seseorang.
Membuat Vinka kaget dan membuka matanya.
"Minumlah obatmu dulu."
Vinka menerima obat tersebut, tanpa aba-aba, ia meminumnya.
"Terima kasih Desi."
"Saya permisi."
"Ya."
Pelayan bernama Desi itu berjalan keluar dari kamar Vinka. Vinka mencoba berjalan menuju kasurnya, mencoba menutup pintu balkon kamarnya, agar angin malam tidak masuk.
Ia menarik selimut dan mulai berbaring di kasurnya yang begitu nyaman, selesai berdoa, ia berusaha memejamkan mata.
Malvin berusaha untuk tidur, namun matanya tidak ingin terpejam, ia mencoba membuka kaos dan melemparnya ke lantai."Sial!" ucapnya kesal, melempar bantalnya.Malvin berpikir, "baiklah." ia pun bangkit dari tempat tidurnya, memakai kembali kaosnya. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya, berjalan menyusuri lorong-lorong rumah dengan langkah perlahan.Tujuannya sudah sampai, yaitu kamar Vinka, tapi anehnya, kenapa pintu kamar terbuka, dengan pelan-pelan Malvin mendekati kamar tersebut, senyuman khasnya terlukis kembali."Menarik." ucapnya dalam hati.~🥀~Matahari muncul dengan perlahan terbit dari arah Timur, seluruh pelayan wanita sibuk dengan pekerjaan di dapur, membantu seorang koki pria yang sudah paruh baya. Malvin hanya melihat kegiatan mereka tanpa membantu, bahkan, ia dengan lancang mencicipi masakan itu satu persatu. Saat di piring terakhir, seseorang menepuk tangan Malvin dengan kasar."Tuan Malvi
Monica tidak percaya jika pria di depannya sudah mengetahui rencana busuknya. Pria tersebut tersenyum itu adalah ciri khasnya, tapi tidak tau apa arti senyuman itu, tidak ada yang tau bagaimana senyuman senang, ataupun meremehkan itu terlihat sama."Apa mau mu Malvin?" tanya Monica.Malvin melihat Desi yang berdiri di samping Monica dengan kepala tertunduk takut."Percuma saja saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami anda memihak kepada anda." ucap Malvin."Apa katamu, Hans sudah tau?" tanya Monica tidak percaya."Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya, lagipula, tugas kita sama di sini." Malvin meletakkan foto Vinka di atas meja."Siapa yang menyuruhmu?" tanya Monica.Malvin tersenyum "itu privasi, saya tidak bisa memberitahu."Monica semakin marah "katakan apa mau, mu?" tanya Monica."Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya."Mata Desi terbuka lebar dan benar-benar menjadi takut.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat."Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu."Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya."Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun."Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan."Selamat pagi Vinka." sapa Monica.Tiba-tiba bulu kuduk Sarah berdiri "ada apa dengan nenek lampir ini? tidak biasanya dia menyapa." bisik Sarah pada Vinka, Vinka hanya mencubit pinggang Sarah pelan "Maaf Nona." Ia pun menarik kursi untuk Vinka."Terima kasih Sarah." ucap Vinka."Selamat pagi Tante." sapa Vinka memberikan senyuman manisnya.Senyuman itu membuat Monica semakin membenci keponakannya ini."Sarah kau boleh sarapan,nanti kau pun ikut menemani Nona Vinka, bukan?" tanya Monica."Ya Sarah pergilah sarapan, kalian semua juga ya." ucap Vinka pada seluruh pelayan.Terima kasih Nona....ucap para pelayan kompak.Seluruh pelayan pun berjalan menuju dapur, begitu pun Sarah, namun langkah Sarah tidak begitu lancar, karena ia mengkhawatirkan Nona Vinka.~🥀~"Wah, tidak biasanya ya Nyonya Monic
BRAK!Mereka membanting pintu bersamaan. Memandang luas sebuah Villa yang tidak jauh besar dengan rumah milik keluarga Panduwinata."Astaga Vinka!!" teriak seseorang berlari mendekat memeluk Vinka.Monica kaget bukan main, ternyata Victoria adik kandung Tuan Panduwinata ada di Villa."Halo Monica, lama tidak bertemu, ya ampun ini si kembar itu ya? mereka tumbuh dengan cepat ya, bagaimana sekolah kalian?" tanya Victoria membuat kedua remaja itu mulai bosan."Kau sendiri di sini?" tanya Monica."Tidak, aku bersama dengan James tapi dia ada keperluan mendadak di kantor, huh...di sini dingin ayo kita masuk." ajak Victoria.Mereka pun mengikuti Victoria dari belakang."Sial."...~🥀~..."Dingin sekali di sini, seandainya Sarah ada di dekatku.""Jangan berpikir
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" panggil Daniel memecah lamunan Malvin. "Kau tidak apa-apa?" tanya Daniel. Malvin memijat keningnya yang terasa pusing. "Aku tidak apa-apa, lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, mengambil kantung besar dari bagasi tersebut. "Malvin bisa kau bantu aku?!!" teriak Daniel. Sepertinya Malvin tidak mempedulikannya, Daniel menghela napas dan meneruskan pekerjaannya menyusun tenda. Malvin mulai ingat kembali, saat dirinya menerima perjanjian pada Tuan Panduwinata. ...=========FLASHBACK=========... "Tuan ada tamu untuk anda." Tanpa menunggu persetujuan dari Tuannya, wanita itu mempersilakan masuk, seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor yang dipanggil T
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya