"Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setia mu tidak menemani, mungkin saja ada mata jahat yang memandang tubuhmu." ucap Malvin, membuat Aldo putra paman Hans berkeringat, ia pun memilih keluar dari ruang tengah tersebut.
Dan Vinka terdiam tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Malvin barusan. Seluruh keluarga Hans terdiam sama-sama tidak percaya.
"Bagaimana, kau tau hal itu akan terjadi!?" Tanya Vinka kesal.
"Itu sudah terjadi, Tuan Hans jika keponakanmu bersikeras tidak menerima ku, lebih baik aku pergi."
"Tunggu!"
Hans melihat Vinka "baiklah, kau bisa bekerja mulai hari ini, Sarah, tunjukkan kamarnya."
"Baik Tuan."
Malvin mengikuti Sarah.
"Tunggu!" Teriak Vinka.
Seluruh keluarga Hans menoleh melihat Vinka. Adellia dan Nyonya Monica memutar bola matanya dan memilih pergi meninggalkan tempat itu.
"A, aku ingin bicara dengan mu."
Semua pandangan ke arah Malvin.
"Sarah, antar-kan dia ke ruang pribadi ayah."
"Tunggu Vinka, Malvin hanya penjaga mu, bukan detektif." Ucap Monica mulai kesal pada ponakan suaminya itu, karena Monica tau apa yang akan dilakukan Vinka.
Vinka tidak mendengar, ia tetap berjalan menuju ruang pribadi Tuan Panduwinata ayahnya, dengan dibantu tongkatnya, yang membuat suara khas dari tongkat tersebut, membuat Malvin tersenyum, entah apa maksudnya,
~🥀~
Sesampai di ruang pribadi Tuan Panduwinata, mereka terdiam cukup lama.
"Jadi apa yang ingin Anda lakukan?" tanya Malvin mulai bosan.
"Ayah dan ibuku, dibunuh di sini."
"Lalu?"
"Aku ingin tau, apakah ada barang si pembunuh yang tertinggal?"
Malvin melihat sekitar "sepertinya tidak, mungkin para polisi sudah membereskannya."
Vinka tertunduk kecewa, ia berbalik untuk pergi dari tempat tersebut, mungkin karena tidak hati-hati, wajahnya hampir terbentur dinding, dengan cepat Malvin melindungi wajah Vinka, maka yang terbentur tangan Malvin, ia berusaha menahan sakit, ini belum seberapa.
"Maaf, apa tangan mu, baik-baik saja?"tanya Vinka khawatir.
"Sepertinya sedikit tergores, tapi tidak apa-apa,"
Malvin bisa melihat mata pucat
"Ayo, saya antar anda
"Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri."
"Baiklah, selamat malam."
Bukan karena perhatian, Malvin hanya ingin tau semua tentang Vinka, niatnya ingin membunuh tentu masih ada, namun ia harus menunggu waktu yang tepat. Malvin mengikuti Vinka dari belakang, berjalan pelan tanpa menimbulkan suara itu keahliannya.
Sesampai di sebuah ruangan, Vinka melipat tongkatnya, mencari kunci kamar didalam kantong kecil yang selalu ia bawa kemanapun pergi, ia mulai membuka pintu kamar tersebut, terdengar suara khas dari pintu itu, seperti suara pintu yang sudah lama, yang membuat Malvin tidak nyaman.
"Pergilah, apa kau juga ingin masuk ke kamar ku?"
Malvin sangat kaget, ternyata sejak awal Vinka sudah tau kehadirannya, namun Vinka tidak mengusirnya.
"Itu artinya kau menerima ku?" tanya Malvin.
"Selamat malam." Vinka menutup pintu kamarnya, meninggalkan Malvin sendiri di lorong rumah yang sedikit sepi.
Malvin tersenyum "baiklah selamat malam."
~🥀~
Malvin melempar jasnya ke kasur, tubuhnya pun menyusul, berbaring melihat langit-langit. Ia ingat masa lalunya, dan ada alasan kenapa ia menjadi seorang mafia, ini semua gara-gara ayahnya.
Bahkan ia ingat, saat ibunya menangis melihat kepergiannya ke kota atas paksaan ayahnya. Mau bagaimana lagi, ia putra satu-satunya, yang harus meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang mafia, kabar gembiranya, ia sudah merasa nyaman dengan kehidupannya yang sekarang.
Tok! Tok!
Mata Malvin melihat kearah pintu.
"Siapa malam-malam begini?"
Dengan berat, ia bangkit dari pembaringannya, untuk membuka pintu kamar. Di lihatnya seorang wanita memakai piyama tidur dengan model Night Dress
berdiri membelakanginya. Senyuman Malvin terlukis di bibirnya.
"Ada apa Sarah?" tanya Malvin.
Sarah mendorong Malvin masuk ke kamar, dengan cepat ia menutup pintu kamar tersebut. Malvin melihat Sarah.
"Beritahu aku apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sarah.
"Seharusnya aku yang bertanya pada mu."
Sarah memberikan sebuah poster pada Malvin.
"Sejak kapan kau melakukan itu Malvin, sejak kapan?"
Malvin merobek poster tersebut, ya, itu adalah poster dengan wajahnya.
"Darimana kau mendapatkannya?" tanya Malvin kurang senang.
"Kantor polisi, apa itu benar Malvin, sejak kapan?"
"Ya, dan aku tidak tau sejak kapan."
"Jangan bilang kau juga yang membunuh Tuan Panduwinata dan istrinya?"
Malvin hanya melihat Sarah kurang senang, Sarah mengambil langkah mundur, mencoba membuka pintu kamar, namun sayang Malvin sudah mengkunci pintu kamar tersebut. Sarah mulai takut.
"Sarah, bukan aku yang membunuh mereka, aku hanya menjalankan tugas."
"Siapa? siapa yang menyuruhmu?"
"Itu bukan urusanmu."
Malvin mendekatkan wajahnya pada wajah Sarah.
"Diam, atau kau juga menjadi targetku."
Ucapan Malvin membuat Sarah takut, air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Aku mohon, jangan sakiti Nyonya Vinka, hanya dia harapan ku untuk hidup."
"Wah, ternyata kau peduli dengan Tuan putri itu, sebaik itukah dia?"
"Keluarga Tuan Panduwinata tidak pernah mengecewakan para pekerjanya, tapi semenjak kau dan anak buah mu membunuh mereka, sekarang gaji kami tergantung Nyonya Monica, dia mengurangi jumlah gaji kami."
"Luar biasa, sepertinya aku melakukan kesalahan." Malvin tersenyum, bibirnya mulai menciumi leher Sarah.
"Malvin! apa yang kau lakukan?!" Sarah mencoba mendorong tubuh Malvin hingga terjatuh tepat di kasur saat Malvin mulai menggigit nya, Sarah mulai takut saat Malvin tertawa terbahak-bahak, Malvin mencoba mengambil posisi duduk, melihat Sarah.
"Ternyata kau masih canggung." ucap Malvin, mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu, ia membuka pintu tersebut dan membukakan untuk Sarah.
"Pergilah," ucap Malvin, tanpa berpikir panjang lagi, Sarah pun berjalan keluar dari kamar Malvin.
"Selamat malam." sapa Malvin dan menutup pintu kamarnya.
~🥀~
Sarah terdiam memikirkan kejadian semalam, dia tidak menyangka Malvin akan melakukan hal itu padanya.
"Aw!"
Sarah tersadar dari lamunannya, karena kaget.
"Nona Vinka, maafkan aku."
Vinka mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.
"Sarah kau tidak apa-apa?" tanya Vinka.
"Saya baik-baik saja Nona, anda tidak perlu cemas."
Sarah membantu Vinka berdiri, memberikannya tongkat.
Mereka melangkah keluar kamar, tepat saat mereka berjalan, mereka berpapasan dengan Malvin, Sarah melihat Malvin sedang menggoda Sarah dengan mengusap lehernya, membuat Sarah memalingkan wajahnya. Belum sampai di situ,Malvin berjalan menghampiri mereka, membuat Darah salah tingkah.
"Selamat pagi Nona Vinka." sapa Malvin.
Sarah menelan ludahnya dalam-dalam, Malvin melihat Sarah dan tersenyum.
"Selamat pagi Sarah," sapa Malvin.
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Malvin.
"Malvin jangan ledek Sarah, itu tidak baik, kerjakan saja pekerjaan mu." balas Vinka sedikit kesal.
"Pekerjaan saya, kan menemani dan melindungi Nona Vinka." Balas Malvin, membuat Vinka terdiam kesal.
"Aku tidak perlu dilindungi!" bentaknya, berjalan meninggalkan Sarah dan Malvin.
"Nona." panggil Sarah.
Malvin menarik lengan Sarah, dengan kesal Sarah melepas tangan Malvin.
"Aku mohon, jangan lakukan itu." ucap Malvin memohon dengan nada memelas.
"Itu urusan mu, dan kau tau resikonya nanti."
Malvin tersenyum, ia memberikan selembar kertas pada Sarah, Sarah mengambil kertas itu, selesai membaca isi dari kertas itu, Sarah memandang Malvin tidak percaya.
"Tidak mungkin."
Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa."
Malvin mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya kedalam saku jasnya.
"Tidak mungkin." ucap Sarah tidak percaya, setelah selesai membaca isi dari surat itu.Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya kedalam saku jasnya. Sarah melihat Malvin."Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran."Aku tidak tau pasti, pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka, dan saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia."===============FLASHBACK================Dia adalah Tuan Panduwinata, Bos di sebuah perusahaan swasta dalam bidang pakaian, ia turun dari mobil, mengendong putrinya yang berusia 5 tahun, istrinya pun menyusul suaminya, berjalan menghindari jalanan yang penuh dengan kubangan."Permisi, apa anda tau alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata pada salah satu warga yang sibuk melas kayu.Warga tersebut melihat lembaran kertas yang diberikan Tuan Panduwinata."Jalan luru
Malvin berusaha untuk tidur, namun matanya tidak ingin terpejam, ia mencoba membuka kaos dan melemparnya ke lantai."Sial!" ucapnya kesal, melempar bantalnya.Malvin berpikir, "baiklah." ia pun bangkit dari tempat tidurnya, memakai kembali kaosnya. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya, berjalan menyusuri lorong-lorong rumah dengan langkah perlahan.Tujuannya sudah sampai, yaitu kamar Vinka, tapi anehnya, kenapa pintu kamar terbuka, dengan pelan-pelan Malvin mendekati kamar tersebut, senyuman khasnya terlukis kembali."Menarik." ucapnya dalam hati.~🥀~Matahari muncul dengan perlahan terbit dari arah Timur, seluruh pelayan wanita sibuk dengan pekerjaan di dapur, membantu seorang koki pria yang sudah paruh baya. Malvin hanya melihat kegiatan mereka tanpa membantu, bahkan, ia dengan lancang mencicipi masakan itu satu persatu. Saat di piring terakhir, seseorang menepuk tangan Malvin dengan kasar."Tuan Malvi
Monica tidak percaya jika pria di depannya sudah mengetahui rencana busuknya. Pria tersebut tersenyum itu adalah ciri khasnya, tapi tidak tau apa arti senyuman itu, tidak ada yang tau bagaimana senyuman senang, ataupun meremehkan itu terlihat sama."Apa mau mu Malvin?" tanya Monica.Malvin melihat Desi yang berdiri di samping Monica dengan kepala tertunduk takut."Percuma saja saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami anda memihak kepada anda." ucap Malvin."Apa katamu, Hans sudah tau?" tanya Monica tidak percaya."Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya, lagipula, tugas kita sama di sini." Malvin meletakkan foto Vinka di atas meja."Siapa yang menyuruhmu?" tanya Monica.Malvin tersenyum "itu privasi, saya tidak bisa memberitahu."Monica semakin marah "katakan apa mau, mu?" tanya Monica."Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya."Mata Desi terbuka lebar dan benar-benar menjadi takut.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat."Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu."Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya."Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun."Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan."Selamat pagi Vinka." sapa Monica.Tiba-tiba bulu kuduk Sarah berdiri "ada apa dengan nenek lampir ini? tidak biasanya dia menyapa." bisik Sarah pada Vinka, Vinka hanya mencubit pinggang Sarah pelan "Maaf Nona." Ia pun menarik kursi untuk Vinka."Terima kasih Sarah." ucap Vinka."Selamat pagi Tante." sapa Vinka memberikan senyuman manisnya.Senyuman itu membuat Monica semakin membenci keponakannya ini."Sarah kau boleh sarapan,nanti kau pun ikut menemani Nona Vinka, bukan?" tanya Monica."Ya Sarah pergilah sarapan, kalian semua juga ya." ucap Vinka pada seluruh pelayan.Terima kasih Nona....ucap para pelayan kompak.Seluruh pelayan pun berjalan menuju dapur, begitu pun Sarah, namun langkah Sarah tidak begitu lancar, karena ia mengkhawatirkan Nona Vinka.~🥀~"Wah, tidak biasanya ya Nyonya Monic
BRAK!Mereka membanting pintu bersamaan. Memandang luas sebuah Villa yang tidak jauh besar dengan rumah milik keluarga Panduwinata."Astaga Vinka!!" teriak seseorang berlari mendekat memeluk Vinka.Monica kaget bukan main, ternyata Victoria adik kandung Tuan Panduwinata ada di Villa."Halo Monica, lama tidak bertemu, ya ampun ini si kembar itu ya? mereka tumbuh dengan cepat ya, bagaimana sekolah kalian?" tanya Victoria membuat kedua remaja itu mulai bosan."Kau sendiri di sini?" tanya Monica."Tidak, aku bersama dengan James tapi dia ada keperluan mendadak di kantor, huh...di sini dingin ayo kita masuk." ajak Victoria.Mereka pun mengikuti Victoria dari belakang."Sial."...~🥀~..."Dingin sekali di sini, seandainya Sarah ada di dekatku.""Jangan berpikir
"Siapa? siapa orang yang harus dirahasiakan padaku?" tanya Vinka pada dirinya. Merasa langkah kaki orang itu sudah merasa menjauh, barulah Vinka keluar dari ruangan tersebut dan mencoba menemui Hans. "Paman." panggil Vinka. Hans yang sibuk dengan pekerjaannya melihat kearah pintu dan tersenyum saat mengetahui siapa yang berkunjung. Vinka mendekati Hans dan duduk di kursi khusus tamu. "Vinka, tumben." ucap Hans. Sudah lama Vinka tidak mengunjungi ruangan ini, semenjak ayah dan ibunya terbunuh di ruangan ini, bahkan Vinka masih ingat, suara pistol itu dan suara si pembunuh. "Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka, membuat Hans terdiam. Kebencian Vinka belum hilang, justru ia semakin ingin membalas dendam atas kematian orang tuanya. Itu yang ditakutkan Sarah dan Malvin. Sebaik dan seberapa mereka menolong, tetap saja Vinka akan terus menaruh rasa dendam dalam hatinya. "Kau belum menerimanya?" tanya Hans. "Tidak, tidak akan pernah, sebelum aku melihatnya mati di
Sarah berlari untuk menemui Vinka di kamar. "Nona memanggil saya?" tanya Sarah. "Sarah apa kau tau di mana Malvin tinggal?" tanya Vinka. Sarah terdiam mencari alasan agar Vinka tidak menemui Malvin. "Sarah, kenapa?" tanya Vinka. "Nona maafkan saya, saya tidak bisa memberitahu pada anda, karena Malvin sendiri yang menyuruh saya untuk tidak memberitahu, sekali lagi maafkan saya." ucap Sarah mencoba menutupi kebenaran tentang Malvin pada Vinka. Ya, kemarin malam Malvin sendiri yang memberitahu padanya, untuk tidak memberitahu keberadaannya bagaimana caranya. Vinka terdiam menatap ke arah Sarah dengan tatapan serius, Sarah bisa melihat jelas mata majikannya itu mulai berkaca-kaca seperti menahan air matanya. "Baiklah kalau begitu, kau boleh keluar, aku ingin sendirian saja." Vinka mencoba berdiri dari duduknya, berjalan pelan menuju ranjang. "Nona Vinka, maafkan saya." ucap Sarah berjalan keluar kamar Vinka. "Jangan lupa kau tutup pintunya." pintah Vinka."Baik Nona." Sarah menurut
"Paman." panggil seorang wanita. Hans menoleh "Iya Vinka?" tanya Hans. Ponakannya itu mendekat dan duduk di samping Hans. "Apa paman rindu ayah?" tanya Vinka. Pertanyaan Vinka membuat Hans sedikit sakit "maafkan aku, saat itu seharusnya aku tidak pergi untuk bertugas, seharusnya aku tetap di rumah mengikuti kemanapun ia melangkah." jelas Hans. "Jika benar ini semua rencana paman James, apa yang harus aku lakukan?" tanya Vinka. "Apa paman tau siapa yang bekerjasama dengan paman James?" tanya Vinka lagi. Hans hanya diam, ia mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh ponakannya itu. Sebenarnya ia bisa saja memberitahu, tapi dilain pihak orang itu sudah menolong Vinka. "Vinka ini sudah malam, kita bicarakan besok pagi saja, ayo." ajak Hans berjalan meninggalkan Vinka sendiri. Vinka merasa kecewa dengan pamannya itu, bagaimana ia ingin percaya sepenuhnya pada keluarganya, jika setiap pertanyaan harus menunggu jawaban yang begitu lama. "Siapa pun dia, aku h
Monica meletakkan satu piring di atas meja. Seluruh pelayan diam-diam berbisik membicarakan tentangnya, sebenarnya mereka bertanya-tanya, ada apa dengan majikan mereka yang satu ini, tapi sepertinya mereka tidak berhak untuk menggoda kesenangannya itu."Wow, mam, kamu yang buat ini semua?" tanya Adellia.Monica menganggukkan kepala dengan senyum yang terlukis di wajahnya, itu membuat Adellia dan Aldo takut, mereka tidak pernah melihat ibunya sesenang ini, walaupun ayah mereka akan pulang dari luar kota."Tentu saja ini untuk kemenangan mami." jawab Monica senang."Kemenangan? kemenangan apa ?" tanya kedua anak Monica.Ting! Tong!"Itu pasti ayah kalian." Monica berjalan menuju ruangan depan, mencoba membukakan pintu untuk suaminya yang baru pulang menyelamatkan Vinka.Saat pintu sudah terbuka, senyum Monica menghilang saat ia melihat soso
Jessie mencoba melepas ikatan pada kaki dan tangan menggunakan serpihan kaca yang ia ambil dari saku gaun. Percuma saja ia sudah berhati-hati agar kaca itu tidak melukainya, tapi ekspetasi tidak sesuai dengan realita yang ia dapatkan, jari tengah tergores, saat ia berusaha mengeluarkan serpihan kaca tersebut, mungkin bagian pinggang di mana ia menyimpan serpihan kaca itu, sudah tergores juga, walaupun tidak separah jari tengahnya.Jessie berusaha memotong tali tambang itu, ini membuat lehernya terasa sakit."Aaiissh... menyebalkan sekali, bagaimana mereka bisa melakukan hal ini, aku jadi semakin tertarik dengan para mafia itu." Jessie terus mengoceh yang tidak jelas, itu cara agar dirinya tidak terlihat panik saat menghadapi situasi seperti saat ini."Lepaskan!!"Jessie mendengar suara seorang wanita dan pintu terbuka, dengan cepat, Jessie berpura-pura kembali seperti tahanan.
Jessie ikut bergabung dengan para tamu, sepertinya ia sudah terlatih untuk menjadi Nyonya besar, dengan tubuhnya yang ramping dan seksi, membuat seluruh mata pria tertuju padanya. Hans mendekat pada Malvin. "Drama wanita itu luar biasa." Bisik nya. Malvin menyeringai "dia seperti Monica, bukan?" Membalikkan fakta, membuat Hans malu, ia pun berjalan memilih jalannya sendiri. Malvin memencet tombol pada jasnya, begitu pula dengan Jessie dan Hans, alat tersebut adalah alat komunikasi mereka. Malvin mendekat pada seorang wanita, ia memberikan senyuman pada wanita tersebut. "Sudah berapa lama mengikuti acara seperti ini?" Tanya Malvin dengan suara aslinya. "Sudah 10 tahun aku menghadiri acara seperti ini." Ucap wanita tersebut meminum minumannya. "Aku baru, bisakah kau memberitahu apa yang akan terjadi?" Tanya Malvi
"Berapa banyak topeng yang anda pakai!!""SARAH!!" teriak Malvin.Semua terdiam, hening seketika, Kevin menyuruh Jessie dan Zico untuk pergi ke ruangan lain, mereka pun menurut, tanpa banyak bicara."Tuan Hans tidak tau apa-apa, awalnya Vinka bersama ku, tapi seseorang menculiknya, dan aku minta maaf pada mu.""Lalu sekarang dia di mana!?""Ya, aku sedang berusaha, jadi aku mohon diam lah, kita susun rencana, jadi tolong mengertilah."Sarah berjalan menuju kursi dan duduk." Baiklah, itu urusan mu, aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.""Sarah..." ucapan Daniel di hentikan Malvin.Malvin pun berjalan menuju ruangannya, di lihatnya Jessie dan Zico."Zico." panggil Malvin, ia mengerti arti itu, ia pun keluar dari ruangan tersebut, remaja itu pun segera memanggil Kevin dan Dan
Tuttt....Tuuttt.... "Bagaimana?" tanya Hans pada Malvin yang sibuk menelepon ke markasnya memakai telepon umum. Malvin mengeleng, itu membuat Hans gusar, sekarang mereka tidak tau terdampar di mana. Malvin melihat seorang wanita tua yang berjalan dengan tongkatnya, ia pun mendekati wanita tua tersebut. "Dasar, masih sempat-sempatnya dia ingin merayu nenek-nenek!" ucap Hans kesal, ia pun menyusul. Entah apa yang Malvin katanya pada wanita tua itu, yang jelas Hans tidak mengerti bahasa mereka, di akhir pembicaraan, Malvin menundukkan kepala, wanita tua itu pun berjalan menjauh. "Kenapa?" tanya Malvin. "Kau ini Mafia apa guru bahasa asing?" tanya Hans. Malvin tidak menjawab, ia berjalan meninggalkan Hans sendiri. "Hai! saya bicara pada mu!" teriak Hans mengikuti Malvin. Mereka berja
Kevin dan Zico melihat Daniel dengan serius. "Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?" tanya Kevin. "Ya, aku harap Malvin baik-baik saja." Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering, Daniel yang lain merasa tidak memiliki ponsel, ia pun mengecek tas Malvin, benar saja, sebuah panggilan atas nama "Hans", Daniel kenal orang ini, ia pun mengangkat teleponnya, tanpa berbicara, namun si penelepon pun tidak berbicara. Tak! Daniel dan yang lain tersentak kaget, mereka seperti mendengar sebuah benda keras membentur sesuatu, dengan cepat Daniel mematikan panggilan tersebut. "Sialan!" "Ada apa kak?" tanya Zico. ~🥀~ Malvin membantu Vinka untuk keluar dari taksi, dengan hati-hati wanita buta itu melangkah keluar. Tempat ini begitu asing untuknya, karena telinganya terus mendengar suara bising kota, entah berapa lama ia terkurung di rumah besar itu, sesekali dirinya kaget memeluk Malvin karena suara yang tiba-tiba muncul begitu keras. Malvin bisa saja berhenti tepat di Bar tempat markasnya