Haidar masih saja menertawakan Baron sepanjang perjalanan. Ia tidak habis pikir dengan orang yang selalu setia berada di belakangnya. Baru pertama kali ia berani berbohong demi menjalankan perintah istrinya.
"Kenapa Tuan tidak berhenti tertawa? Kalau tenggorokan Tuan kering bagaimana?" Baron melirik tuannya dari balik spion dalam.
Baron mencemaskan tuannya yang tidak berhenti tertawa sejak ia memberitahukan imbalan dari nyonya mudanya.
Akhirnya Haidar berhenti tertawa mendengar ucapan Baron. "Kamu benar," balas Haidar. "Belikan aku air mineral dulu!" titahnya pada laki-laki yang sejak tadi ia tertawaan.
"Baik, Tuan," sahut Baron. Ia pun menambah kecepatan laju kendaraannya supaya cepat sampai di mini market. Tidak lama kemudian kendaraan mewah itu berhenti di depan mini market yang berlogo lebah.
Haidar melakukan panggilan video kepada sang istri setelah Baron keluar dari mobil. Belum juga satu jam dia pergi, laki-laki berpengawakan tegap dengan w
“Ada apa?” tanya Haidar yang terkejut karena Baron mengerem mendadak.“Maaf, Tuan,” ucap Baron dengan tulus. Ia merasa sangat bersalah karena tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. “Saya hanya terkejut, Tuan mau menjodohkan saya dengan perempuan ular itu. Dia wanita yang selalu mengumbar kemolekan tubuhnya untuk menggoda para lelaki. Aku nggak mau punya istri seperti dia,” jelas Baron panjang lebar.“Kamu tergoda?” tanya Haidar.Dua kata saja yang terucap dari mulut Haidar mampu membuat Baron terdiam sesaat. Ia merenungi ucapan sang tuan. ‘Apa aku tergoda?’ batin Baron.“Kenapa kamu diam saja?” Haidar bertanya pada laki-laki yang berusia 36 tahun itu.Ucapan Haidar membuyarkan lamunan Baron. “Saya … saya tidak tahu, menyukai wanita itu bagaimana rasanya, tapi saya benci jika ia memakai pakaian ya
Haidar masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Baron, yang merupakan bayangannya.“Tuan tidak usah repot-repot. Biar saya sendiri yang mencari calon istri,” ucap Baron setelah mereka duduk di sofa yang ada di ruangan itu.“Kamu mau membantah perintah saya?” tanya Haidar dengan nada pelan, tapi semakin membuat Baron menundukkan kepalanya.“Tidak, Tuan,” jawab Baron dengan cepat. “Tuan sudah sangat baik, saya tidak ingin merepotkan terlalu banyak. Biar saya dan Tari yang akan mengurus semuanya.”“Kalian santai saja, biar aku yang urus semuanya,” sahut Haidar sembari tersenyum. “Tugas kamu hanya mendekati anaknya Tari supaya dia tidak kaget tiba-tiba mempunyai ayah seperti kamu,” lanjutnya sembari tertawa.“Kenapa dengan saya, Tuan?” tanya Baron sembari meraba wajahnya. “Saya tidak terlalu
Tari menyemburkan kopi dari dalam mulutnya kepada Baron yang duduk behadapan dengannya. Ia terkejut mendengar suara tuannya yang tiba-tiba berdiri di belakang Baron tanpa disadari oleh kedua anak manusia itu.“Maaf, Tuan.” Entah untuk siapa kata maaf itu ia ucapkan, yang pasti ia merasa bersalah kepada dua laki-laki yang berada di hadapannya. “Maafkan saya, Tuan!”Haidar terbahak-bahak melihat pertunjukkan dari calon pengantin itu. “Kalian benar-benar serasi,” ucapnya sembari melipat tangannya di depan dada.Baron langsung bangun dari duduknya, menundukkan kepala di hadapan laki-laki yang mempunyai kekuasaan penuh di kantor itu. “Tuan, maafkan kami,” ucapnya dengan tulus.“Kalian harus dihukum!” ucap Haidar dengan tegas. Baron sudah biasa dengan sikap tuannya yang seperti itu, ia tahu tuannya bukan orang yang kejam, tapi bagi Tari dia adalah
Andin menutupi kemaluan dan bukit kembarnya dengan tangan. “Boo, kamu apa-apaan sih?” protes Andin sembari berlari ke tempat tidur. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang yang polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.“Kamu benar-benar terlihat seksi, Bee,” puji Haidar sembari tersenyum. Lalu ia berjalan menuju pintu kamar, dan menguncinya.Haidar membuka jas dan dasinya. Lalu, melemparkannya ke sembarang tempat. “Bee, aku sangat merindukanmu.” Haidar membopong ibu dua anak itu dan merebahkannya di tempat tidur.“Boo, kalau anak-anak nangis gimana?” Andin masih menyelimuti tubuhnya yang semok dengan selimut.“Udah ada Bibi, kamu jangan khawatir!” ucap Haidar sembari membuka kancing kemejanya satu persatu. “Bee, tolong bukain dong!” pinta Haidar yang masih berdiri di samping tempat tidur.
Andin ter kejut melihat sang jagoan suaminya. “Boo, kenapa dia jadi bongsor kayak gitu?” tanya Andin sembari mengedikkan bahunya.“Nggak aku apa-apakan, dari dulu juga emang segini, mungkin kamunya aja yang udah lama nggak lihat jadi lupa,” tutur Haidar.Dengan raut wajah yang bingung ia memerhatikan jagoannya dengan seksama, tidak ada yang berubah menurutnya. ‘Baru dua bulan saja dia udah lupa dengna jagoanku,’ batin Haidar.“Kok aku jadi ngeri ya,” ucap Andin. “Bee, kalau kamu belum siap, aku nggak akan memaksa,” balas Haidar sembari tersenyum. Lalu, ia pergi ke bawah pancuran shower.“Boo!” Andin mengikuti suaminya yang dia kira marah karena ia terkesan menolaknya. “Aku siap kok, tapi jangan di sini!” Andin memeluk suaminya dari belakang.Haidar membalikkan tub
“Menikah?” Andin memiringkan badannya ke kiri hingga berhadapan dengan suaminya. “Sejak kapan mereka pacaran?”Andin begitu penasaran dengan asisten suaminya itu. Orang kepercayaan keluarga Mannaf yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemani Haidar.“Aku melamar Tari tadi pagi,” ucap Haidar yang belum selesai berbicara, tapi sudah disela oleh istrinya.Andin menampar pipi suaminya dengan sangat kencang. Lalu, bangun dan terduduk. Tamparan yang sangat kuat sebab dirinya sedang emosi tingkat dewa mendengar sang suami melamar wanita lain. Pernyataan itu ia dengar dari mulut laki-laki yang menjadi ayah anak-anaknya itu yang membuat emosi wanita dengan dua anak itu memuncak seketika.“Astaga! Tenagamu kuat juga,” ucap Haidar sembari meraba pipinya yang terasa panas karena tamparan Andin. Pipi laki-laki dengan wajah yang tampan itu terlihat memerah, terdapa
"Boo! Sakit tahu!" Andin mengusap-usap pantatnya yang dipukul sang suami.Haidar tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan istrinya. "Aku gemes, Bee.""Yaelah punya laki stres begitu," gumam Andin sembari melilitkan handuk di tubuhnya. Lalu, keluar dari kamar mandi meninggalkan suaminya yang masih tertawa.Haidar keluar setelah melilitkan handuk di pinggangnya. Ia menyusul sang istri ke ruang ganti."Sakit, Ndut?" tanya Haidar pada istrinya yang sedang memakai baju."Pantatku nggak sakit, tapi hatiku sakit dibilang gendut." Andin memukuli lengan suaminya berkali-kali, "Katanya aku semok nggak gendut," lanjutnya sembari mengerucutkan bibir."Iya, istriku kamu semok, aku salah ucap. Maaf ya." Haidar memeluk istrinya dari belakang."Lepasin ah, aku lagi buru-buru, kasian si kembar, mungkin mereka laper." Andin melepaskan pelukan su
Andin melepas pelukannya, lalu menatap wajah tampan pemilik hatinya. "Boo, Apa keluarga Mbak Tari setuju dengan keputusanmu?" tanya Andin pada suaminya."Orang tua Tari tidak ada, hanya ada Tante dan Omnya saja," jawab Haidar sembari merogoh ponselnya. "Kita telpon Baron," ucapnya.Haidar ingin memastikan kalau Baron dan Tari benar-benar melakukan perintahnya."Kamu di mana?" tanya Haidar tanpa basa-basi lagi."Saya di rumah Tari, Tuan," jawab Baron dari balik teleponnya."Hmmm." Haidar langsung memutus panggilan teleponnya setelah mendapat jawaban dari asistennya itu.Baron baru sampai di rumah Tari ketika tuannya menelpon. Ia masih di dalam mobil ketika menjawab panggilan dari Tuan Muda keluarga Mannaf itu."Apa itu, Tuan?" tanya Tari sedikit ragu.Baron menoleh pada wanita cantik di sampingnya sembari menatapnya tajam.