Setelah bawahannya mengirimkan alamat si penjual tahu gejrot, Baron segera meluncur ke alamat itu.
"Mau ke mana kita?" tanya Haidar yang tidak tahu ke mana Baron membawanya.
"Ke rumah penjual tahu gejrot," jawab Baron sambil melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah pedagang tahu gejrot itu karena jaraknya yang tidak terlalu jauh.
Setelah mereka sampai di depan rumah itu, bapak-bapak yang umurnya kira-kira lebih dari setengah abad telah menunggunya di kursi kayu depan rumah kontrakan itu. Mungkin anak buah Baron telah memberitahukannya kalau Tuan Haidar akan membeli tahu gejrot.
"Selamat malam, Pak," sapa Baron pada bapak tua itu. "Bapak Oding, penjual tahu gejrot?" tanya Baron memastikan, takutnya ia salah orang.
"Iya, benar, Pak," balas Pak Oding dengan ramah. "Bapak yang mau beli tahu gejrot?" Bapak
Hari demi hari telah berlalu, kini usia kehamilan Andin menginjak 15 minggu. Andin sudah tidak mengalami yang namanya morning sickness lagi. Setiap hari kerjaannya hanya makan dan makan."Bee, ayo kita jalan sore!" Haidar menarik dengan lembut tangan Andin yang sedang rebahan di sofa panjang yang ada di kamarnya sembari mengemil.Andin pun bangun dengan hati-hati. "Aku cuci muka dulu ya."Andin melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia mundur beberapa langkah setelah berjalan melewati meja rias. Ditatapnya tubuhnya yang semakin semok di cermin itu."Kenapa gue jadi kayak badut gini," ucapnya sambil mengelus-elus perut. Memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. "Boo, apa aku terlihat sedikit gemuk?" tanyanya pada sang suami yang duduk di pinggiran tempat tidur sembari memperhatikan istrinya bercermin.Haidar berjalan menghampiri istrinya. "Bukan sedikit gemuk, tapi sangat
Kini Andin dan Haidar ada di halaman belakang rumahnya untuk berolahraga kecil atau hanya sekadar mengajak Andin berjalan tanpa alas kaki."Bee, besok kamu mulai senam untuk ibu hamil ya. Aku udah nyuruh Baron memanggil instruktur senam untuk ibu hamil." Haidar berjalan tepat di belakang istri yang tubuhnya terlihat semakin lebar.Andin berbalik badan menghadap suaminya. "Kamu nggak suka ya kalau aku gendut?""Aku lebih suka kalau kamu gendut," balas Haidar dengan cepat. "Tapi, kamu juga harus sehat. Nggak apa-apa gendut yang penting sehat." Haidar menempelkan tangannya di pinggang sang istri, lalu mencium kening istrinya."Boo, kamu nggak akan berpaling dariku 'kan kalau aku udah nggak seksi kayak dulu lagi?" tanya Andin sembari memainkan kancing kemeja suaminya."Bee, aku jatuh cinta sama kamu bukan karena kamu seksi, tapi karena kamu gesrek," ucap Haidar sembari mencubit kedua pipi istrinya dengan gemas.Andin mencebikkan bibirnya.
Haidar merebahkan tubuh sang istri dengan hati-hati di tempat tidur empuknya.Kini Andin berada di bawah kungkungan Haidar yang menatapnya dengan lembut. Tatapan dingin itu berubah menjadi tatapan penuh cinta saat memandang wajah cantik istrinya."Bee, apa aku boleh nengok anakku sekarang? Sepertinya mereka rindu daddy-nya," ucap Haidar sembari mengelus perut Andin yang mulai membuncit.Andin tersenyum manis menanggapi pertanyaan suaminya menandakan ia mengizinkan si jagoan masuk ke dalam lubang keramat setelah lama tidak berkunjung pada sumur keramat itu.Perlahan Haidar menempelkan bibirnya pada bibir ranum sang istri yang terlihat semakin seksi. Haidar dan Andin sama-sama memejamkan mata merasakan kenikmatan yang sudah lama tidak ia rasakan.Rindu Haidar akan manisnya bibir lembut sang istri kini terbayar sudah. Rindu yang sudah berhari-hari bahkan berminggu-minggu ia tahan, kini tersalurkan deng
Setelah selesai bercinta, mereka segera mandi bersama. Andai saja Andin tidak sedang hamil, pasti Haidar tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengulang kembali pertempuran mereka di dalam bathup seperti yang biasa mereka lakukan sebelum Andin hamil.Setelah selesai mandi, mereka duduk di balkon kamarnya sambil memandang langit senja ibu kota. Andin duduk bersandar pada dada bidang Haidar. Tangan sang suami melingakr di perutnya.“Bee, besok aku mau keluar kota, tapi hanya sebentar. Nggak akan sampai menginap. Kamu ajak Sisil ke rumah buat nemenin kamu ya.” Haidar menciumi puncak kepala istrinya berulang kali.Andin menyingkirkan tangan Haidar dari perutnya. Kemudian ia bangun dari duduknya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada sang suamI. Lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.Haidar menyusul istrinya masuk ke dalam kamar. “Bee, kamu lagi hamil, kalau kamu ikut nanti
Setelah makan malam, Andin dan Haidar kembali bersantai di balkon kamarnya sembari memandang langit malam yang penuh bintang.“Boo, besok kamu berangkat jam berapa?” tanya Andin pada Haidar yang sedang mengusap-usap perutnya.“Pagi-pagi sekali aku berangkat supaya sore hari aku udah ada di rumah ini lagi,” balas Haidar tanpa menoleh pada istrinya. Ia tetap fokus pada perut istrinya. “Periksa kehamilannya setelah aku pulang dari luar kota aja ya.” Kini Haidar menatap wajah sang istri yang duduk di hadapannya.“Iya, Boo. Terserah kamu aja,” sahut Andin sembari tersenyum. “Semoga kerjaan kamu cepat selesai dan kembali pulang dengan selamat.” Doa Andin untuk suami tercinta yang sangat ia cintai.“Aamiin.” Haidar mengaminkan doa sang istri sembari mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.“Kita tidur yu
Haidar yang sedang berpakaian di ruang ganti bergegas keluar ketika mendengar teriakan istrinya. Ia menghampiri sang istri yang masih terbaring di tempat tidur dengan mata yang masih terpejam. Tapi, ia terus saja berteriak memanggil suaminya. Haidar duduk di samping istrinya yang sedang tertidur sembari mengigau. “Bee, bangun!” Haidar membelai pipi sang istri dengan lembut. “Bangun, Sayang!” Andin baru terbangun setelah Haidar mencium bibirnya. Ia membuka mata saat bibir lembut Haidar menlumat bibirnya sebentar. Wanita yag sedang hamil itu langsung bangun dan memeluk suaminya. “Boo, aku takut,” ucapnya sembari memeluk erat suaminya. “Aku takut kamu pergi ninggalin aku dan anak kita,” lanjutnya sambil terisak. Tidak terasa buliran bening itu luruh begitu saja. Ia benar-benar takut dengan mimpinya. Takut kalau sang suami pergi dan tak kembali lagi. “Aku pergi untuk kerja
Haidar pergi melakukan perjalanan bisnisnya dengan tenang kalau sudah mendapat izin dari Ratu hatinya. “Jaga anak kita baik-baik!” pesan Haidar sebelum pergi meninggalkan istrinya.Walaupun Andin masih tidak tenang telah mengizinkan suaminya pergi, tapi ia berusaha menepis kekhawatirannya dengan berdoa. Berharap sang suami pulang dengan cepat dalam keadaan sehat.Andin turun dari tempat tidur, lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia berencana berolahraga ringan pagi ini. Walaupun tidak ditemani sang suami, ia tetap bersemangat jalan pagi di halaman belakang rumahnya yang sangat luas.“Astaga!” Andin mengusap dadanya karena terkejut, ketika ia membuka pintu, Sisil sudah berdiri di depan kamarnya sembari tersenyum. “Lo ngapain pagi-pagi udah ada di sini?” tanya Andin pada sahabatnya. Padahal ia berencana menelpon Sisil setelah berolahraga karena ia yakin kalau Sis
“Bee, kamu sedang apa?” tanya Haidar pada sang istri yang terlihat sedang berada di dapur. Kini Haidar sedang melakukan panggilan video dengan istrinya. “Aku mau masak ikan bakar kesukaanmu,” jawab Andin yang sangat bersemangat membuat makanan untuk suaminya. “Kamu kapan pulang?” tanya Andin pada laki-laki tampan yang selalu tersenyum itu. “Penerbanganku satu jam lagi,” balas Haidar sembari melirik jam di tangan kirinya. “Ya udah kamu hati-hati ya, aku mau ke pasar dulu,” ujar Andin. “Ternyata ikannya nggak ada,” imbuhnya sembari terkekeh. “Masak yang special buat laki-laki tampamu!” titah Haidar sembari tertawa geli dengan ucapannya sendiri. Lalu mengakhiri panggilan video itu setelah mendapatkan ciuman jauh lewat layar ponsel. Setelah selesai menelpon suaminya, Andin mengajak Sisil pergi ke pasar tradisional untuk membeli ikan. Mereka pergi ditemani Bi Susi dan para b