Seminggu sudah Haidar menghabiskan waktunya di rumah saja dengan sang istri. Hari ini dia sudah mulai bekerja kembali.
“Boo, di luar ada Baron. Apa dia belum tahu kalau hari ini kamu masuk kerja?” tanya Andin sambil memasang dasi suaminya.
“Tahu. Makanya dia ke sini. Mulai hari ini dia akan menjemput dan mengantarku kerja,” jawab Haidar sambil mengecup kening istrinya. “Terima kasih, Bee,” ucapnya setelah Andin selesai memasangkan dasi untuknya.
“Dia beralih profesi menjadi supir kamu?” ucap Andin sambil terkekeh.
“Dia bisa jadi apa aja. Aku benar-benar beruntung bisa bertemu dengan orang seperti Baron,” ucap Haidar dengan tulus.
Baron adalah pemuda yang ditolong Papi Mannaf dari kejaran warga saat ia kedapatan mencuri makanan untuk ibunya yang sedang sakit, waktu itu umurnya baru lima belas tahun. Papi Mannaf melatih Ba
“Sepertinya mereka mempunyai rencana baru, untuk menyerang kita,” ucap Baron setelah ia kembali masuk ke dalam mobil.“Perketat penjagaan terhadap Nona muda! Jangan terlihat mencurigakan!” titah Baron pada anak buahnya.Haidar mengepalkan tangannya, tatapannya yang tajam seperti elang terlihat sangat menakutkan. ‘Aku tidak akan mengampuni kalian.’Sementara Andin pergi ke restoran menggunakan motor barunya. Bukan Andin namanya kalau tidak kebut-kebutan di jalanan saat mengendarai kuda besinya. Sepeda motornya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang tidak terlalu ramai karena dia melewati jalanan yang jarang dilalui orang kebanyakan.Tidak butuh waktu lama, Andin sudah sampai di restoran milik keluarganya. Ia memarkirkan motornya di tempat parkir khusus.“Halo, Kak Ais apa kabar?” sapa Andin pada saudara sepupunya yang s
“Apa?!” seru AndinIa langsung membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan sambil celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya. “Untungnya lagi sepi.” Andin mengusap dadanya dengan lega.Setelah Andin masuk ke dalam kelas. Para bodyguardnya berpencar untuk menjaga nona mudanya secara sembunyi-sembunyi.“Din, kok lo lama?” tanya Sisil pada sahabatnya yang langsung duduk di kursi di sampingnya.“Ntar gue ceritain,” bisik Andin pada sahabatnya.Sementara di kantor Mannaf Grup seorang pimpinan perusahaan besar itu sedang tidak bisa fokus dengan kerjaannya. Ia khawatir musuh-musuhnya akan melukai sang istri.Ketika Haidar hendak menelpon bodyguardnya, Baron masuk ke ruangan sang CEO tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hanya dia yang berani melakukannya.Baron mendekati sang tuan lalu berbisik
“Kita mau ke mana, Boo?” Andin celingukan ke luar jendela. “Ini bukan ke arah rumah kita,” lanjutnya.“Kita ke kantor, Bee. Aku lagi banyak kerjaan,” jawab Haidar sambil fokus mengemudi.“Banyak kerjaan, tapi kenapa kamu jemput aku.” Andin menoleh pada suaminya.“Aku nggak bisa fokus kerja kalau kamu jauh dariku. Apalagi setelah mendengar laporan dari anak buahku kalau ada yang ingin menjebakmu.” Haidar menoleh pada istrinya sebentar lalu kembali fokus pada kemudinya.“Boo, bodyguardmu keren banget,” kata Andin yang membuat Haidar mendadak menghentikan mobilnya.“Ada apa sih?” tanya Andin pada suaminya yang mendadak menghentikan kendaraannya. “Hati-hati dong, Boo!”Haidar menatap istrinya dengan tajam. “Bee, kamu suka sama bodyguardku?” tanya Haidar den
Haidar menautkan jari jemarinya pada jemari lentik sang istri. Kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam kantornya. Semua karyawan menatapnya sejak sang CEO memasuki lobi.Ini adalah kali pertama sang CEO menggandeng wanita ke kantornya terlebih lagi, wanitanya masih sangat muda.“Wanita si Bos masih sangat cantik dan masih sangat muda. Mereka terlihat sangat serasi, cantik dan ganteng,” bisik salah satu karyawati.“Itu istri si Bos? Cantiknya pake banget,” timpal yang lainnya.“Penampilannya apa adanya, nggak seperti wanita seorang CEO yang memakai pakaian serba mewah. Aku suka melihat istrinya si Bos.” Salah satu karyawan lainnya ikut berkomentar.“Apa itu benar istrinya? Kita ‘kan nggak pernah tahu,” sahut salah satu karyawati yang merasa cemburu melihat sang CEO menggandeg wanita cantik.“Selama
Andin keluar dari raung rahasia sauminya. Kemudian menghampiri Haidar yang sedang fokus dengan laptopnya.“Boo, aku bosen di dalam. Aku duduk di situ aja, boleh ya.” Andin menunjuk sofa yang ada di depan meja kerja sang suami.“Boleh dong, Bee. Asal jangan gangguin si jagoan aja,” sahutnya sambil terkekeh. “Kamu mau pesen makanan? Mau pesan apa, nanti aku suruh Baron yang pesen.”“Nggak usah! Nanti aku aja yang pesan. Kamu fokus kerja aja biar kerjaanmu cepat selesai,” jawab Andin setelah mendudukan tubuhnya di sofa panjang. Ia bermain ponsel sambil merebahkan tubuhnya di sofa panjang.“Gimana aku mau fokus kerja kalau bidadari mesum selalu menggodaku.” Haidar menelan salivanya saat melihat perut sang istri yang putih mulus karena bajunya tersingkap.Haidar bangun dari duduknya menghampiri sang istri yang sedang tersenyu
Haidar menatap dengan tajam ke arah orang kepercayaannya yang masih berdiri di hadapannya.“Maksud saya, silakan dilanjutkan kerjanya Tuan, biar Nona nggak nunggu terlalu lama,” balasnya.“Kamu pinter, Baron.” Andin mengacungkan jempolnya ke arah laki-laki yang selalu mendampingi suaminya dengan setia. “Tuanmu kerjanya sangat lamban, kalo aku jadi bosnya udah aku pecat dia,” tambahnya sambil terkekeh.“Bee, kamu udah pesan makanan?” tanya Haidar pada istrinya mengalihkan pembicaraan sebelumnya, dan dijawab dengan gelengan kepala oleh sang istri.“Saya sudah memesan makanan untuk Tuan dan Nona,” sela Baron. “Sebentar lagi juga datang.”“Kamu memang yang terbaik, Baron.” Andin kembali mengacungkan jempolnya, tapi kali ini dua jempol sekaligus.Haidar tidak suka melihat istrinya
“Kamu tidak akan menemukan pembunuh itu karena memang kalian mengalami kecelakaan bukan karena ada sabotase dari siapa pun dan polisi sudah membuktikannya. Lagian kejadian itu udah dua puluh tahun yang lalu. Seandainya benar ada orang lain di balik kecelakaan yang merenggut nyawa saudara kembarmu, itu akan susah untuk dibuktikan karena mungkin mereka sudah menghilangkan semua buktinya,” jelas Paman Abdi panjang lebar.“Paman benar, tapi aku yakin akan segera menemukan pembunuh itu,” jawabnya dengan percaya diri. “Paman berdoa saja,” lanjutnya.“Maksudmu apa?” tanya Paman Abdi pada keponakannya.“Maksudku paman bantu doa agar aku secepatnya bisa menemukan pembunuh itu,” balas Haidar. “Oh iya, Paman, kenalin, ini istriku.” Haidar memperkenalkan istrinya pada sang paman karena waktu ia menikah sang paman tidak hadir dalam pernikahannya dikarenakan sedan
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Haidar masih fokus dengan kerjaannya. Sementara sang istri tertidur pulas di sofa yang ada di ruang kerjanya.Haidar melirik pada istrinya yang masih memejamkan mata. “Kasihan istriku. Aku akan secepatnya menyelesaikan kerjaanku supaya waktu dia bangun dari tidurnya, semua sudah beres.”Haidar kembali fokus pada laptopnya. Lima belas menit kemudian ia sudah menyelesaikan kerjaannya, akan tetapi sang istri masih tertidur pulas.Haidar membereskan meja kerjanya, lalu mendekati Andin dan berjongkok di depan istrinya itu. “Aku akan segera menyelesaikan kekacauan ini, agar kita bisa hidup dengan tenang.” Haidar mengecup kening sang istri dengan lembut.“Bee, ayo kita pulang,” bisik Haidar di telinga istrinya sambil membelai lembut pipi sang istri. Namun, ia tidak terusik dengan bisikan ataupun belaian tangan suaminya.