Beranda / Rumah Tangga / Pengantin Titipan / Bab 7 : Ikut ke Rumahnya

Share

Bab 7 : Ikut ke Rumahnya

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-19 08:15:50

Sesampainya di halaman rumah kontrakan Kak Mirna, aku dan Bang Aldin ikut keluar dari mobil. Mas Andri menurunkan tas dan koper bawaan mereka.

"Eh, Mila. Ngapain kamu turunkan tas kamu juga?" tanya Kak Mirna heran.

"Emmm ...." Ya Allah, aku lupa. Bukankah seharusnya aku ikut dengan pria yang kini berstatus sebagai suamiku.

Walaupun Bang Aldin mengenakan kaca mata hitam, aku tahu ia tengah menatapku lekat. Membuatku jengah. Kemudian ia meraih gawainya dan memainkan benda pipih itu.

"Malah bengong!" seru Kak Mirna lagi.

Kakakku lalu meraih dan meletakkan kembali tasku ke dalam bagasi mobil. Mas Andri terlihat terkekeh di sana. Wajah ini terasa panas!

"Makasih, Al!" ucap Mas Andri setelah barang-barang mereka turun.

Bang Aldin berhenti memainkan ponselnya dan menjawab, "Ok, Mas. Sama-sama." Lelaki itu kemudian masuk ke mobilnya setelah memberi isyarat kepadaku untuk ikut.

Dengan ragu aku mengulurkan tangan kepada Kak Mirna. "A–aku pamit, Kak." Rasanya tak rela pergi dari sini.

Kakak menyambut tanganku dan mencium pipi serta memelukku. "Jaga diri baik-baik ya, Dek." Kemudian ia merenggangkan pelukan lalu menatapku.

Aku tersenyum getir. "Doain aku, Kak," ucapku. Pandangan mata ini terasa kabur karena kaca-kaca yang melapisinya.

"In syaa Allah. Kamu sms-kan aja alamat rumah kamu. Nanti sesekali kakak datang," katanya.

Aku mengangguk pelan, kemudian perlahan melangkah dan memasuki mobil pria yang berstatus suamiku itu. Kuhapus bulir bening yang hendak lolos begitu saja sebelum ia jatuh.

Bang Aldin menurunkan kaca rayben mobil itu lalu pamit. Aku pun melambaikan tangan kepada Kak Mirna juga Mas Andri dan mencoba menarik bibir ke atas.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Keadaan lalulintas tampak ramai lancar. Mengapa suasana menjadi canggung begini?

"Umurmu berapa, Mila?" tanya Bang Aldin memecah keheningan.

Aku meliriknya sebentar, lalu menjawab, "Sembilan belas. Bulan depan." Huuft ... apa dia tidak melihat isi di kertas surat-menyurat dan buku nikah yang sudah ditandatangani ketika kami melangsungkan pernikahan?

Ia tersenyum simpul. "Pantas saja."

"Ha?" Aku menoleh ke arahnya. Pantas kenapa?

"Wajah dan tubuhmu itu malah seperti anak baru lulus SMP."

Aku mengernyitkan dahi. Apa? Enak aja! Aku mendengkus dan membuang muka ke arah jendela samping. Terdengar ia terkekeh.

"Nggak nyangka Dion naksir sama gadis seperti kamu."

Aku menajamkan telinga, menyimak. Apa maksudnya berkata demikian?

"Dion memang jarang menjalin hubungan khusus dengan perempuan. Tapi seleranya bukan seperti kamu."

"Maksud Abang apa?" Aku menatapnya sengit. Memang aku gadis seperti apa maksudnya?

"Eit! Sabar, Neng ... jangan marah dulu. Wajah kamu memang cantik. Ya, kakakmu juga cantik tu si Mirna. Abang mengakui itu." Ia terkekeh.

Wajahku terasa menghangat. Dia ... dia memuji wajahku.

"Hanya saja Dion itu, seleranya gadis modern. Wajar aja Om Herlan heran."

Aku mengeraskan rahang mengingat cercaan dan hinaan dari ayah Bang Dion waktu itu.

"Dion memang tidak pernah membawa teman perempuannya ke rumahnya. Dia itu dikenal sebagai anak baik-baik di keluarganya."

"Maksud Abang, Bang Dion sebenarnya anak gak baik, gitu?" sambarku.

"Bukan begitu. Ah ... sudahlah!" Kembali lelaki itu terkekeh. Mengapa dia kembali menyebalkan!

Aku pun diam tidak lagi mau mengorek-ngorek pendapatnya tentang Bang Dion. Setahuku lelakiku itu saat ini adalah pria yang baik. Ia berusaha menjadi baik. Itu cukup bagiku.

Hmmm ... aku bingung ya Allah. Bagaimana aku ke depan? Apa aku harus tetap menanti Bang Dion? Atau harus mulai membuka diri terhadap Bang Aldin? Atau bagaimana?

Bab terkait

  • Pengantin Titipan    Bab 8 : Berkenalan dengan Ivan

    Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami."Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku."Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya."Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung."Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu."Eh,

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-19
  • Pengantin Titipan    Bab 9 : Makan Bersama

    "Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras. Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya. Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget."Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman."Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.Wanita itu mengangguk lagi."Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 10 : Masa Lalu Bang Aldin

    Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri."Biar saja, Mila."Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara."Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut."Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut."Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu."Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku."Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.Dengan ragu, wanita paruh baya itu pu

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 11 : Bermain Bersama Ivan

    Namun, akhirnya boch kecil itu pun mencoba meraih gelas tersebut dari tanganku. Sengaja aku elakkan gelas susu itu sambil terus tersenyum. Bocah itu semakin menautkan alisnya yang indah. "Pakai tangan kanan dong!" Ya, tadi Ivan mengulurkan tangan kirinya.Ia lalu meraih gelas itu dengan tangan kanannya."Nah, gitu," kataku semringah.Anak yang tampan itu mengulas senyum tipis."Bilang apa?" tanyaku sembari menahan lengannya ketika ia hendak berbalik."Mmm ... makasih," jawabnya ragu.Aku pun melebarkan senyuman dan mengacak puncak kepalanya. Anak manis.***Pagi ini cukup cerah, langit tampak begitu terang diselimuti sedikit awan. Sinar mentari terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Ini masih pagi, pukul sembilan. Bang Aldin sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Bahkan aku tidak melihatnya ketika sarapan di meja makan tadi. Kata Bi Imah, dia ada rapat di kantor, dan mesti menghindari macet.Aku berdiri di samping sebuah kolam ikan tanpa alas kaki di taman belakang rumah. Banyak ikan

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 12 : Sarapan Pagi Bersama

    "Ivan?" Tiba-tiba terdengar suara berat diiringi bunyi pintu yang terbuka. Aku sedikit terperanjat.Hening.Wajah itu awalnya terlihat kaget sepertiku. Akan tetapi, beberapa saat kemudian bibir itu tersenyum, tampak canggung. "Ivan tidur?" tanya pria tampan tersebut.Aku beringsut dan bangkit perlahan dari rebahan. Berusaha menarik bibir ini ke atas. "Iya ...," jawabku pelan.Pria itu melangkah mendekat. Berdiri di samping ranjang, memandang lekat sang bocah yang tengah lelap tersebut. Aku merasa tidak enak hati berada di situ saat ini. Aku pun berdiri dan pamit.Ia melirik sebentar dengan melipat bibirnya, kemudian mengangguk mempersilakan aku pergi.***"Aku kemarin makan banyak, Yah!" Suara Ivan terdengar ceria dari meja makan. Langkah kaki ini kupelankan demi menyimak pembicaraan kedua lelaki tampan beda usia itu. Ntah mengapa hatiku selalu merasa hangat kalau melihat keakraban mereka."Oh, ya?" sahut Bang Aldin seakan tak percaya."Iya. Aku juga shalat!" seru bocah itu bangga,

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 13 : Ke Taman Bermain

    "Wa ... wa alaikumus sallam," jawabku terbata.Pria manis di depanku melangkah mendekat dengan perlahan. "Apa kabar, Mil?" tanyanya.Aku menatapnya beberapa saat.Bibirnya tersenyum, tapi tampak canggung."Hemm, alhamdulillah baik, Bang," jawabku sambil membenarkan kerudung. Mengapa jadi gugup begini? "Syukurlah," ucapnya singkat."Mmm ... Bang Aldin di taman belakang." Ya Allah, mengapa aku kayak orang bodoh, sih?"Abang mau ketemu kamu," ungkapnya."Owh."Ia kembali tersenyum."Silakan duduk, Bang. Sudah sarapan? Ini ada nasi goreng ...," tawarku basa-basi.Ia pun bergerak maju kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan itu. "Gak usah. Abang sudah sarapan, kok," sahutnya."Oh, gitu. Ya udah, bentar aku bikinin kopi dulu." Aku pun melenggang ke dapur dan menyeduh kopi sachet tanpa menunggu tanggapannya.Setelah selesai menyeduh kopi, aku lalu kembali ke ruang makan. Kuletakan cangkir kopi hangat tersebut ke hadapan lelaki yang masih bertahta di hatiku itu. "Diminum kopinya, Ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 14 : Ibu?

    Ivan menyebut wanita itu dengan sebutan 'ibu'?Aku menoleh ke arah Bang Aldin yang mendekat. "Al ... apa kabar?" Bibir merah menyala itu tersenyum semringah ke arah Bang Aldin, "hei, Dion! Kamu juga apa kabar?" Bang Dion pun sudah berada di samping ayah dari Ivan itu."Baik, Mbak," jawab Bang Dion sembari menyunggingkan senyum. Bang Aldin sendiri tak menyahut. "Sedang apa kamu di sini, Sher?" tanya pria itu tampak tak suka.Wanita ini kelihatannya sebaya dengan Mbak Lisa, hanya style-nya yang jauh berbeda."Jangan jutek gitu, Al," ujar wanita itu sambil menurunkan Ivan dari gendongannya. Bibirnya senantiasa tersenyum manis.Ivan lalu menggamit jemariku. "Aku mau main ayunan, Tante. Ayo!" Bocah itu menggandeng dan menjauhkanku dari sana."Siapa perempuan itu? Pembantu baru?" Pertanyaan itu terarah kepadaku. Ya, aku masih mendengar dengan jelas karena belum jauh. Aku yakin dia adalah mantan istri Bang Aldin."Istriku." Aku menoleh ke arah sana dan kulihat ekspresi terkejut wanita can

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 15 : Rencana Cross Country

    Aku tidak paham, mengapa Mbak Sherli tiba-tiba berkata seperti itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran demikian."Aldin gak mungkin jatuh cinta sama perempuan kampungan kayak kamu." Pandangan matanya seakan menelanjangiku dari atas ke bawah.Aku tersenyum sinis. Heran, apa semua orang kaya itu tukang hina, ya?"Mbak jangan bicara sembarangan!" cetus Bang Dion.Ujung sebelah bibir merah itu tertarik sedikit. Wanita itu kemudian berbalik dan melenggang pergi setelah membelai sebentar pipi sang putra."Sherly ngomong apa?" tanya Bang Aldin. Ia baru saja muncul, melenggang santai di hadapan kami setelah sang mantan istri pergi."Mbak Sherly menuduh Mila mau merebut Ivan darinya, Bang," timpal Bang Dion.Pria tampan di hadapan kami terkekeh geli. "Abaikan dia, Mila. Jangan dihiraukan omongannya."Ya, aku akan mengabaikan tuduhan tak berdasar itu. Lagian tidak penting bagiku persangkaan Mbak Sherly seperti apa."Mau ke mana?" tanya Bang Aldin lagi."Aku haus, Yah! Ayo cari minum cepat

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03

Bab terbaru

  • Pengantin Titipan    Bab 57 : "Aku yakin!"

    "Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah

  • Pengantin Titipan    Bab 56 : Tragedi

    Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap

  • Pengantin Titipan    Bab 55 : Meminta Cerai

    Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga

  • Pengantin Titipan    Bab 54 : Tenggelam

    "Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak

  • Pengantin Titipan    Bab 53 : Teror

    [Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo

  • Pengantin Titipan    Bab 52 : Terjadilah

    Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup

  • Pengantin Titipan    Bab 51 : Terlambat Menjemput

    Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika

  • Pengantin Titipan    Bab 50 : Kedatangan Bang Dion

    Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d

  • Pengantin Titipan    Bab 49 : Ayah Meninggal Dunia

    Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang  Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian

DMCA.com Protection Status