Home / Rumah Tangga / Pengantin Titipan / Bab 10 : Masa Lalu Bang Aldin

Share

Bab 10 : Masa Lalu Bang Aldin

Author: Adny Ummi
last update Last Updated: 2023-04-03 15:42:25

Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri.

"Biar saja, Mila."

Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara.

"Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.

Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.

Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut.

"Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.

Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut.

"Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu.

"Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku.

"Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.

Dengan ragu, wanita paruh baya itu pun berjalan ke meja di pojok ruang dapur tersebut dan kembali memakan makanannya. "Lain kali biar Bibi aja, Neng," ujarnya seperti tidak enak hati.

"Tenang aja, Bi. Aku terbiasa kok melakukan kerjaan rumah."

"Tapi Bibi gak enak, Neng," timpalnya lagi.

"Gak enak kasih kucing aja, Bi," sahutku sambil terkekeh.

Aku lalu meletakkan piring dan gelas yang sudah kucuci di rak piring di dekat wastafel itu.

"Ah, Neng bisa aja." Wanita yang berkerudung coklat muda itu ikut tertawa kecil.

Aku kemudian duduk di kursi di samping Bi Imah. "Bibi sudah lama kerja di sini?" tanyaku.

"Sudah lima tahun, Neng," jawab wanita tua itu. Ia kemudian bangkit mengangkat piringnya karena makanannya sudah habis.

"Lumayan lama juga ya," ucapku.

"Iya, waktu itu Den Aldin baru dua bulanan tinggal di sini. Waktu itu Aden belum menikah. Gak lama kemudian, baru deh, nikah." Bi Imah bicara sambil menyuci piring kotornya.

"Oh, gitu," gumamku.

"Ya. Terus baru menikah tiga tahun. Den Aldin bercerai," lanjutnya bercerita.

Aku menyimak.

"Neng Sherly terlalu sibuk di luar rumah. Aden mau istrinya di rumah aja, fokus ke anak gitu. Tapi karena sama-sama keras ... akhirnya pisah mereka."

Oh, begitu rupanya kisah pernikahan Bang Aldin yang dulu ....

Aku tak menyahut. Hanya mengangguk-angguk saja.

Tiba-tiba datang Mbak Lisa membawa piring yang masih tersisa makanan di sana.

"Susah banget bujukin Ivan makan," keluh wanita muda itu sembari meletakkan piring kotor itu di dalam wastafel.

Mbak Lisa lalu mengambil sebuah piring bersih di lemari kitchen set. Ketika melihatku, ia tersenyum dan menegur, "Neng ...."

"Mila aja, Mbak," ujarku mengingatkan.

"Eh, iya ... Mila ...." Ia terkekeh pelan. Ia kemudian mengambil nasi dari magiccom, lalu membuka sebuah lemari. Rupanya di situ terdapat lauk-pauk. Sepertinya ia akan makan siang.

"Mbak Lisa! Aku mau susu!" Tiba-tiba datang Ivan.

"Biar Bibi yang bikinkan, Den!" Bi Imah langsung meraih sebuah kaleng susu yang ada di dalam lemari kitchen set dan menurunkannya. Lalu wanita paruh baya itu menjerang sedikit air.

"Aku mau Mbak Lisa yang bikin! Bibi bikin susunya gak enak!" kata bocah kecil itu protes.

Mbak Lisa yang baru makan sesuap dua suap pun menghela napas, lalu bergerak hendak bangkit dari duduknya.

Aku langsung mencegahnya. "Biar Tante Mila yang bikinin ya, Jagoan!" tawarku pada sang bocah.

Alis Ivan seketika bertaut.

"Tante bisa bikin susu yang enak, kok. Tenang aja," ujarku sembari melayangkan senyum manis kepada bocah itu.

Dia hanya diam menatapku yang meraih gelas dari tangan Bi Imah. Lalu menyendok susu bubuk coklat dari kalengnya. Setelah siap di gelas, air yang sudah mendidih di kompor aku tuang sedikit ke dalamnya.

Ivan masih terpaku di sana. Ia tidak menjawab iya ataupun membantahku.

Usai susu itu tercampur rata, aku lalu menuangkan air bersuhu ruang dari teko ke dalam gelas tadi. Kuaduk lagi susu tersebut.

"Taraaaa!" seruku menunjukkan susu hasil buatanku.

Bi Imah dan Mbak Lisa tersenyum simpul di sana. Sementara bocah tersebut, seolah terpana melihatku.

"Ini susu coklat special untuk Pangeran Ivan!" Kusodorkan segelas susu coklat itu kepada bocah tersebut dengan senyum mengembang.

Mengapa Ivan tampak ragu?

Related chapters

  • Pengantin Titipan    Bab 11 : Bermain Bersama Ivan

    Namun, akhirnya boch kecil itu pun mencoba meraih gelas tersebut dari tanganku. Sengaja aku elakkan gelas susu itu sambil terus tersenyum. Bocah itu semakin menautkan alisnya yang indah. "Pakai tangan kanan dong!" Ya, tadi Ivan mengulurkan tangan kirinya.Ia lalu meraih gelas itu dengan tangan kanannya."Nah, gitu," kataku semringah.Anak yang tampan itu mengulas senyum tipis."Bilang apa?" tanyaku sembari menahan lengannya ketika ia hendak berbalik."Mmm ... makasih," jawabnya ragu.Aku pun melebarkan senyuman dan mengacak puncak kepalanya. Anak manis.***Pagi ini cukup cerah, langit tampak begitu terang diselimuti sedikit awan. Sinar mentari terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Ini masih pagi, pukul sembilan. Bang Aldin sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Bahkan aku tidak melihatnya ketika sarapan di meja makan tadi. Kata Bi Imah, dia ada rapat di kantor, dan mesti menghindari macet.Aku berdiri di samping sebuah kolam ikan tanpa alas kaki di taman belakang rumah. Banyak ikan

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 12 : Sarapan Pagi Bersama

    "Ivan?" Tiba-tiba terdengar suara berat diiringi bunyi pintu yang terbuka. Aku sedikit terperanjat.Hening.Wajah itu awalnya terlihat kaget sepertiku. Akan tetapi, beberapa saat kemudian bibir itu tersenyum, tampak canggung. "Ivan tidur?" tanya pria tampan tersebut.Aku beringsut dan bangkit perlahan dari rebahan. Berusaha menarik bibir ini ke atas. "Iya ...," jawabku pelan.Pria itu melangkah mendekat. Berdiri di samping ranjang, memandang lekat sang bocah yang tengah lelap tersebut. Aku merasa tidak enak hati berada di situ saat ini. Aku pun berdiri dan pamit.Ia melirik sebentar dengan melipat bibirnya, kemudian mengangguk mempersilakan aku pergi.***"Aku kemarin makan banyak, Yah!" Suara Ivan terdengar ceria dari meja makan. Langkah kaki ini kupelankan demi menyimak pembicaraan kedua lelaki tampan beda usia itu. Ntah mengapa hatiku selalu merasa hangat kalau melihat keakraban mereka."Oh, ya?" sahut Bang Aldin seakan tak percaya."Iya. Aku juga shalat!" seru bocah itu bangga,

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 13 : Ke Taman Bermain

    "Wa ... wa alaikumus sallam," jawabku terbata.Pria manis di depanku melangkah mendekat dengan perlahan. "Apa kabar, Mil?" tanyanya.Aku menatapnya beberapa saat.Bibirnya tersenyum, tapi tampak canggung."Hemm, alhamdulillah baik, Bang," jawabku sambil membenarkan kerudung. Mengapa jadi gugup begini? "Syukurlah," ucapnya singkat."Mmm ... Bang Aldin di taman belakang." Ya Allah, mengapa aku kayak orang bodoh, sih?"Abang mau ketemu kamu," ungkapnya."Owh."Ia kembali tersenyum."Silakan duduk, Bang. Sudah sarapan? Ini ada nasi goreng ...," tawarku basa-basi.Ia pun bergerak maju kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan itu. "Gak usah. Abang sudah sarapan, kok," sahutnya."Oh, gitu. Ya udah, bentar aku bikinin kopi dulu." Aku pun melenggang ke dapur dan menyeduh kopi sachet tanpa menunggu tanggapannya.Setelah selesai menyeduh kopi, aku lalu kembali ke ruang makan. Kuletakan cangkir kopi hangat tersebut ke hadapan lelaki yang masih bertahta di hatiku itu. "Diminum kopinya, Ba

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 14 : Ibu?

    Ivan menyebut wanita itu dengan sebutan 'ibu'?Aku menoleh ke arah Bang Aldin yang mendekat. "Al ... apa kabar?" Bibir merah menyala itu tersenyum semringah ke arah Bang Aldin, "hei, Dion! Kamu juga apa kabar?" Bang Dion pun sudah berada di samping ayah dari Ivan itu."Baik, Mbak," jawab Bang Dion sembari menyunggingkan senyum. Bang Aldin sendiri tak menyahut. "Sedang apa kamu di sini, Sher?" tanya pria itu tampak tak suka.Wanita ini kelihatannya sebaya dengan Mbak Lisa, hanya style-nya yang jauh berbeda."Jangan jutek gitu, Al," ujar wanita itu sambil menurunkan Ivan dari gendongannya. Bibirnya senantiasa tersenyum manis.Ivan lalu menggamit jemariku. "Aku mau main ayunan, Tante. Ayo!" Bocah itu menggandeng dan menjauhkanku dari sana."Siapa perempuan itu? Pembantu baru?" Pertanyaan itu terarah kepadaku. Ya, aku masih mendengar dengan jelas karena belum jauh. Aku yakin dia adalah mantan istri Bang Aldin."Istriku." Aku menoleh ke arah sana dan kulihat ekspresi terkejut wanita can

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 15 : Rencana Cross Country

    Aku tidak paham, mengapa Mbak Sherli tiba-tiba berkata seperti itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran demikian."Aldin gak mungkin jatuh cinta sama perempuan kampungan kayak kamu." Pandangan matanya seakan menelanjangiku dari atas ke bawah.Aku tersenyum sinis. Heran, apa semua orang kaya itu tukang hina, ya?"Mbak jangan bicara sembarangan!" cetus Bang Dion.Ujung sebelah bibir merah itu tertarik sedikit. Wanita itu kemudian berbalik dan melenggang pergi setelah membelai sebentar pipi sang putra."Sherly ngomong apa?" tanya Bang Aldin. Ia baru saja muncul, melenggang santai di hadapan kami setelah sang mantan istri pergi."Mbak Sherly menuduh Mila mau merebut Ivan darinya, Bang," timpal Bang Dion.Pria tampan di hadapan kami terkekeh geli. "Abaikan dia, Mila. Jangan dihiraukan omongannya."Ya, aku akan mengabaikan tuduhan tak berdasar itu. Lagian tidak penting bagiku persangkaan Mbak Sherly seperti apa."Mau ke mana?" tanya Bang Aldin lagi."Aku haus, Yah! Ayo cari minum cepat

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 16 : Mau Belajar Mengaji

    "Di depan 'kan enak, bisa lihat pemandangan lebih luas." Sang ayah tampak masih berusaha membujuk bocah kecil itu."Gak mau!" pekik Ivan tak terima. Anak itu berusaha turun dari pundak sang ayah.Aku langsung meraih tubuh Ivan yang kini berada di gendongan Bang Aldin. "Biar Ivan duduk sama aku, Bang!" kataku.Bang Aldin terlihat terpaksa menurutiku dan sang anak."Lagian aku dan Bang Dion bukan mahram. Lebih baik kami gak duduk berdua." Aku mencoba menjelaskan."Oh, gitu," ucap Bang Aldin sambil mengangguk.Bang Dion hanya diam di sana. "Kalo berduaan sama Abang boleh dong, ya? 'Kan kita suami-istri." Bang Aldin menaik-naikkan alisnya ke arahku juga Bang Dion dengan tatapan menggoda.Entah mengapa wajah ini seketika terasa panas. Aku langsung meraih gagang dan membuka pintu mobil, lalu melesat membawa serta Ivan masuk."Hahahahaaa!" Bang Aldin terbahak. Ia lalu berjalan sambil menggoyangkan badannya seperti MENARI mengejek, menuju pintu kemudi.Kulirik wajah Bang Dion yang tampak ter

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 17 : Jaga Pandangan, Mila!

    Sepanjang jalan kami mengobrol macam-macam. Dari mengomentari keadaan jalanan sampai ke perkembangan Ivan. Ternyata Bang Aldin enak juga diajak ngobrol. Dia orangnya lumayan lucu, walau kadang menyebalkan. Tanpa terasa, akhirnya kami sampai juga di halaman rumah. Terdengar suara adzan Ashar dari masjid. Rupanya sudah sore."Sini," ujar Bang Aldin sembari meraih Ivan yang masih nyenyak di pangkuanku setelah membukakan pintu mobil.Lantas aku pun mengekorinya ke dalam rumah. Mbak Lisa yang membukakan pintu. Ternyata ia sudah pulang dari rumah kontrakan Mas Danu, calon suaminya itu."Sudah pulang, Mbak?" tegurku."Iya, saya sudah buatkan Mas Danu makanan. Panas badannya juga sudah mulai turun."Aku mengangguk dan tersenyum.Bang Aldin tampak sudah masuk ke kamar Ivan. Sementara aku melangkah ke arah dapur, hendak mengambil air minum."Seru jalan-jalannya?" tanya Mbak Lisa sembari mendudukkan bokongnya di kursi si sebelahku."Lumayan," jawabku setelah meneguk air minum."Walau Den Aldin

    Last Updated : 2023-04-03
  • Pengantin Titipan    Bab 18 : Belajar Mengaji

    Langkahku semakin mendekat. Terdapat sebuah kursi panjang besi bercat putih di pinggir kolam itu. Aku pun duduk di sana."Aku Shalat Subuh di kamar Tante," jawab Ivan sambil menyunggingkan senyum sempurna ke arah sang ayah.Bang Aldin meletakkan barbel ke tanah berumput. Ia kemudian mendekati sang anak, meraih kepala bocah tersebut, lalu mengecup lekat pelipisnya. Setelah itu ia pun bangkit berjalan mendekatiku."Maaf, Ivan sudah ganggu kamu pagi-pagi begini, Mila," ujar Bang Aldin sembari mendudukkan bokongnya ke kursi di sebelahku. Jaraknya cukup jauh, aku di ujung sini, sementara dia di ujung sebelah sana."Biasa aja, Bang. Gak ganggu kok, soalnya aku udah bangun dari sebelum subuh." Kuarahkan pandangan ke arah Ivan di sana. Bang Aldin meraih handuk kecil yang tersampir di sandaran kursi ini. Ia pun mengelap keringatnya dari wajah, leher, hingga tengkuknya. Kausnya basah terkena keringat."Aku mau kasih makan ikan dulu!" Ivan beranjak dari pinggir kolam renang, kemudian berlari ke

    Last Updated : 2023-04-03

Latest chapter

  • Pengantin Titipan    Bab 57 : "Aku yakin!"

    "Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah

  • Pengantin Titipan    Bab 56 : Tragedi

    Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap

  • Pengantin Titipan    Bab 55 : Meminta Cerai

    Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga

  • Pengantin Titipan    Bab 54 : Tenggelam

    "Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak

  • Pengantin Titipan    Bab 53 : Teror

    [Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo

  • Pengantin Titipan    Bab 52 : Terjadilah

    Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup

  • Pengantin Titipan    Bab 51 : Terlambat Menjemput

    Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika

  • Pengantin Titipan    Bab 50 : Kedatangan Bang Dion

    Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d

  • Pengantin Titipan    Bab 49 : Ayah Meninggal Dunia

    Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang  Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian

DMCA.com Protection Status