"Di depan 'kan enak, bisa lihat pemandangan lebih luas." Sang ayah tampak masih berusaha membujuk bocah kecil itu."Gak mau!" pekik Ivan tak terima. Anak itu berusaha turun dari pundak sang ayah.Aku langsung meraih tubuh Ivan yang kini berada di gendongan Bang Aldin. "Biar Ivan duduk sama aku, Bang!" kataku.Bang Aldin terlihat terpaksa menurutiku dan sang anak."Lagian aku dan Bang Dion bukan mahram. Lebih baik kami gak duduk berdua." Aku mencoba menjelaskan."Oh, gitu," ucap Bang Aldin sambil mengangguk.Bang Dion hanya diam di sana. "Kalo berduaan sama Abang boleh dong, ya? 'Kan kita suami-istri." Bang Aldin menaik-naikkan alisnya ke arahku juga Bang Dion dengan tatapan menggoda.Entah mengapa wajah ini seketika terasa panas. Aku langsung meraih gagang dan membuka pintu mobil, lalu melesat membawa serta Ivan masuk."Hahahahaaa!" Bang Aldin terbahak. Ia lalu berjalan sambil menggoyangkan badannya seperti MENARI mengejek, menuju pintu kemudi.Kulirik wajah Bang Dion yang tampak ter
Sepanjang jalan kami mengobrol macam-macam. Dari mengomentari keadaan jalanan sampai ke perkembangan Ivan. Ternyata Bang Aldin enak juga diajak ngobrol. Dia orangnya lumayan lucu, walau kadang menyebalkan. Tanpa terasa, akhirnya kami sampai juga di halaman rumah. Terdengar suara adzan Ashar dari masjid. Rupanya sudah sore."Sini," ujar Bang Aldin sembari meraih Ivan yang masih nyenyak di pangkuanku setelah membukakan pintu mobil.Lantas aku pun mengekorinya ke dalam rumah. Mbak Lisa yang membukakan pintu. Ternyata ia sudah pulang dari rumah kontrakan Mas Danu, calon suaminya itu."Sudah pulang, Mbak?" tegurku."Iya, saya sudah buatkan Mas Danu makanan. Panas badannya juga sudah mulai turun."Aku mengangguk dan tersenyum.Bang Aldin tampak sudah masuk ke kamar Ivan. Sementara aku melangkah ke arah dapur, hendak mengambil air minum."Seru jalan-jalannya?" tanya Mbak Lisa sembari mendudukkan bokongnya di kursi si sebelahku."Lumayan," jawabku setelah meneguk air minum."Walau Den Aldin
Langkahku semakin mendekat. Terdapat sebuah kursi panjang besi bercat putih di pinggir kolam itu. Aku pun duduk di sana."Aku Shalat Subuh di kamar Tante," jawab Ivan sambil menyunggingkan senyum sempurna ke arah sang ayah.Bang Aldin meletakkan barbel ke tanah berumput. Ia kemudian mendekati sang anak, meraih kepala bocah tersebut, lalu mengecup lekat pelipisnya. Setelah itu ia pun bangkit berjalan mendekatiku."Maaf, Ivan sudah ganggu kamu pagi-pagi begini, Mila," ujar Bang Aldin sembari mendudukkan bokongnya ke kursi di sebelahku. Jaraknya cukup jauh, aku di ujung sini, sementara dia di ujung sebelah sana."Biasa aja, Bang. Gak ganggu kok, soalnya aku udah bangun dari sebelum subuh." Kuarahkan pandangan ke arah Ivan di sana. Bang Aldin meraih handuk kecil yang tersampir di sandaran kursi ini. Ia pun mengelap keringatnya dari wajah, leher, hingga tengkuknya. Kausnya basah terkena keringat."Aku mau kasih makan ikan dulu!" Ivan beranjak dari pinggir kolam renang, kemudian berlari ke
"Ivan lagi belajar ngaji?" tanyanya seraya menyunggingkan senyum lebar. Wanita yang memakai dress ketat berwarna toska itu mendekati sang putra, kemudian menciumi pipi bocah tersebut. "Iya, Bu. Aku lagi ngaji," sahut Ivan dengan semringah."Masih lama ya? Kita 'kan mau jalan-jalan hari ini." Mbak Sherly membelai rambut Ivan.Bang Aldin diam saja di sana, memasang wajah dinginnya."Sudah selesai kok, Mbak," timpalku berusaha mengulas senyuman, "Ivan siap-siap dulu ...." Aku mengalihkan pandangan ke arah Ivan.Bocah itu pun beranjak. Aku juga ikut bangkit dan menyusulnya hendak membantu anak itu bersiap. Mbak Lisa hari ini ternyata libur. Ya, aku baru tahu bahwa jadwal kerja Mbak Lisa hanya dari senin hingga sabtu. Dia tidak memang tinggal di sini. Jadi, di jadwal kerjanya, pagi pukul tujuh sudah harus ada di sini dan pulang pukul setengah lima sore. Berbeda halnya dengan Bi Imah, beliau tinggal di sini. Sesekali saja ia pulang kampung. Begitu kata wanita paruh baya itu.Wanita cantik
"Den ... ada Den Dion datang." Tiba-tiba terdengar suara Bi Imah. Ketika mata kami semua berserobok, wanita paruh baya itu refleks menunduk canggung karena melihat kami.Bang Aldin menoleh dan pelukannya langsung merenggang. Dengan adanya kesempatan itu, aku segera menjauh. Dada ini terasa bergemuruh kencang. Aku yakin ada sesuatu yang menyebabkan Bang Aldin bersikap demikian. Benar-benar membuatku takut dengan tatapan serta sikapnya itu ... bukan seperti biasanya pria itu terhadapku. Bahkan tadi ketika belajar ngaji masih wajar saja."Assalamualaikum!" Itu Bang Dion! Syukurlah, lelakiku itu tiba pada saat yang tepat.Bi Imah berbalik dan melenggang pergi."Wa 'alaikumus salam!" sahutku cepat, lalu melenggang mendekatinya walau dengan degup jantung yang bertalu-talu. Aku berusaha bersikap normal."Apa kabar, Mila? Bang?" tanya Bang Dion dengan senyum yang mengembang. Tangannya memegang sebuah paper bag.Lelaki itu tidak tahu, baru saja aku ketakutan setengah mati dengan sikap Bang A
"Ini surprise yang Abang bilang hari itu," katanya dengan bibir yang senantiasa tersenyum hangat. Aah ... Bang Dion selalu bersikap manis kepadaku.Aku pun meraih kotak tersebut. "Aku buka di kamar ya, Bang," ujarku."Oke gak papa. Istirahatlah, moga cepet baikan ya," ucapnya.Aku lantas pamit dari sana, melenggang masuk ke kamar.Sesampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Penasaran dengan kado yang diberikan oleh Bang Dion barusan. Kuurai pita merah yang terikat di sana. Tanpa sadar bibir ini terus tersenyum melihat kotak berbalut kertas berwarna biru motif polkadot tersebut. Apa ya isinya?Kulepas sedikit-sedikit potongan selotip yang merekat di kotak itu. Dahiku seketika mengernyit ketika melihat tulisan S*MS*NG GALAXY A71 di sana. "Maa syaa Allah ...," lirihku pada diri sendiri.Bang Dion memberikan aku sebuah ponsel. Sepertinya ini mahal. Aku dulu sempat punya ponsel, hanya saja ketika berangkat ke tempat Kak Mirna waktu itu, dijambret orang. Memang hape murah, tapi itu mod
Aku sontak menoleh, kemudian beringsut dan bangkit dari rebahan dan duduk di pinggir tempat tidur Ivan. "Ya?" sahutku singkat."Ivan sudah tidur?" tanya pria itu dengan suara lirih di ambang pintu.Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.Lelaki itu semakin melangkah maju. Aku pun beranjak dari ranjang itu hendak pergi. "Mila, tunggu Abang di ruang tivi. Ada yang mau Abang omongin," kata pria itu menahan langkah ini.Sekali lagi aku mengangguk. Entah apa yang ingin ia sampaikan. Aku menoleh sekali lagi ke arah Bang Aldin sebelum kaki sampai di ambang pintu. Tampak lelaki itu tengah membelai sayang kepala sang putra, kemudian ia mendaratkan sebuah kecupan lekat di dahi Ivan. Untuk ke sekian kali, pemandangan itu melelehkan hatiku.***"Abang mau bicara apa? Aku mau tidur juga sekarang," ucapku tanpa basa-basi ketika Bang Aldin mendudukkan bokongnya ke sofa.Lelaki itu menautkan jari-jari tangan kanan dan kirinya. "Hmm ... lusa ada kegiatan Cross Country yang Dion bilang waktu itu. Dion
Tiba-tiba terdengar suara ponselku berdering. Rupanya Bang Aldin. Tumben pria itu menghubungiku?"Assalamualaikum," ucapku. "Kumsalam.""Wa 'alaikumus salam gitu, Bang. Doa jangan diubah-ubah. Nanti beda arti ...," kataku mengoreksi jawaban salamnya."Wa 'alaikumus salam," tirunya dari seberang sana.Aku menyunggingkan senyuman."Mil, ada paket datang, gak?" tanyanya kemudian."Ada nih, punya Abang?" tanyaku. Akan tetapi, mengapa tertulis untukku ini?"Itu daypack buat kamu, Mila. Buat berangkat besok," katanya."Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Aku kemudian terdiam. Bang Aldin beliin aku?"Ya udah. Gitu aja, ya. Abang ada meeting bentar lagi.""Iya, Bang."Saluran telepon pun terputus.Mila, mengapa sulit lisanmu untuk mengucapkan terima kasih? Yaa Allah ... mengapa aku jadi seperti orang yang tak tahu adab begini? Padahal aku biasa mengajarkan adab kepada Ivan. Entah mengapa lidahku terasa kelu tadi. Subhanallah ....***Ketika aku tengah mematut diri di cermin merapikan di
"Kamu makan yang banyak. Biar bayi kita sehat," ucap Bang Aldin dengan menyunggingkan senyuman. Tangannya terulur memegang sendok, menyuapiku bubur ayam buatan Bi Imah.Kami sudah di rumah dan kini tengah duduk bersama di ruang tengah. Ivan masih akan menginap beberapa hari bersama sang ibu.Walaupun benar-benar tidak berselera, tetapi aku tetap membuka mulut dengan terpaksa karena mengingat janin ini perlu asupan nutrisi. Anak ini tidak bersalah. Entah dari mana keyakinan itu datang. Mengapa Bang Aldin begitu percaya kalau janin yang baru berusia empat pekan ini anaknya? Bahkan aku sendiri bingung menentukan ... aku takut kalau yang dikatakan Bang Dion itu benar."Cukup, Bang," ujarku sembari mengalihkan wajah ketika ia kembali mengulurkan bubur itu untuk ke sekian kalinya."Cukup?" tanyanya sambil menautkan alis lebatnya.Aku mengangguk."Ya udah. Nanti kamu makan buah-buahan ini, ya," suruhnya seraya menunjuk ke arah
Sontak saja aku bangkit berdiri. Dada ini terasa mau pecah karena degupan kerasnya.Bang Dion terkekeh. Wajahnya terkesan mengejek.Bugh!"Kyaaaaaa!" teriakku histeris."Aakh ...." Bang Dion tampak kesakitan, karena baru saja menerima pukulan dari Bang Aldin di wajahnya. Darah segar pun mengalir dari sudut bibir pria itu, "sorry, Bang. Kami memang saling mencintai."Masih sanggup dia menyeringai! Ah!Kaca-kaca bening memburamkan pandangan mata ini.Dada Bang Aldin naik turun karena napas yang tersengal menahan emosi. Tiba-tiba matanya bersorot nyalang ke arahku. "Jadi ini alasan kamu ingin bercerai, hah?!" sergahnya padaku.Aku tidak mampu menjawab. Lidah ini terasa kelu. Ya Rabb ... aku ... aku harus bagaimana? Aku mengarahkan pandangan ke arah Bang Dion. Lelaki yang membawa masalah itu menyunggingkan senyuman sinis sembari mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Lelaki itu kemudian bangkit berdiri. "Wah ... jadi Mila sudah meminta cerai?" Wajah itu tampak sangat memuakkan."A-ada ap
Tiba-tiba ia merenggangkan pelukannya. Sesaat kemudian terasa ranjang ini bergerak, pasti ia duduk. Aku masih membelakangi pria itu. "Lihat Abang!" Suara itu terdengar tegas menyuruhku.Aku bergeming."Mila! Lihat Abang sini!" ulangnya lebih tegas.Mau tidak mau aku pun membalikkan badan. Kutatap matanya dengan sendu. Yaa Allah, kuatkan hamba. "Aku mau cerai," ulangku sembari bangkit dan ikut duduk. Aku menyenderkan punggung ke kepala ranjang, menarik bantal ke atas pangkuan.Hening.Ia menatapku dengan sorot heran. Ya, tentu saja. Ia pasti merasakan perubahan sikap dan ia pasti memahami bahwa beberapa waktu ini aku sudah membuka hati untuknya. Bahkan aku memang telah jatuh hati kepada lelaki ini ... beserta sang anak. Aku menyayangi mereka berdua.Sebelah ujung bibirnya terangkat. "Tidak ... nggak akan pernah." Lelaki itu menyeringai, "jangan ajak Abang bercanda soal ini."Aku menatap denga
"Hmmm ... kamu kenapa, sih, Sayang? Seperti banyak pikiran gitu." Bang Aldin mengecup rahangku setelah hajatnya terpenuhi.Aku menggeleng, kemudian menenggelamkan diri di dadanya. "Ya sudah, kita tidur. Abang juga ngantuk banget," ucapnya lirih.Aku hanya berdeham menjawab suamiku. Ya Allah, apa yang harus aku katakan ke Bang Aldin? Bagaimana kalau Bang Dion nekat memperlihatkan foto-foto itu kepadanya? Aku tidak mau kehilangan dirinya juga Ivan. Aku sangat mencintai mereka ya, Rabb ....***Sudah tiga hari semenjak Bang Dion mengirimkan foto-foto itu. Ia beberapa kali menghubungi dengan nomor baru. Tiap nomor barunya masuk, pasti langsung aku blokir.Akan tetapi, pria itu seperti tidak kenal dengan yang namanya lelah. Terus saja menerorku. Diri ini benar-benar stress dibuatnya.Sering aku kehilangan fokus ketika melakukan sesuatu. Beberapa kali Bang Aldin, Ivan, atau Bi Imah mengajak bicara, tetapi aku tidak
[Alhamdulillah baik, Bang,] balasku singkat.[Bang Aldin lagi keluar kota, ya?]Dahiku mengernyit. Tahu dari mana dia?[Iya. Kok, Abang tahu?][Tahulaah. Hehehe ....][Abang ada perlu apa?] Malas berbasa-basi, aku to the point saja.[Gak ada apa-apa. Abang cuma kangen sama kamu.]Kembali aku mengernyitkan dahi. [Maaf, Bang. Kalau gak ada yang penting, tolong gak usah menghubungi, ya ....] [Kamu kok, sombong sekarang, Mil? Kamu gak kangen sama Abang?]Huuuftt ... aku menghela napas panjang. Mengapa dengan lelaki satu ini? Dari dulu juga aku nggak pernah mau chatingan tidak jelas seperti ini. Aku tidak mau membalasnya lagi. Sudah mulai melantur dan tidak penting untuk dijawab.[Mil.] Masih kubaca.[Mil, ngomong dong!] Huh! Aku meletakkan ponsel ke atas nakas dan kubiarkan berbunyi dan bergetar. Ting! Ting! Ting!Berulangkali bunyi pesan masuk. Bahkan bertubi-tubi.Apa-apaan sih, Bang Dion ini? Akhirnya aku meraih benda segi empat itu lagi. Tampak beberapa foto dikirim olehnya. Foto-fo
Tiba-tiba pundakku dipijat olehnya. Aku sedikit terkejut dan begidik. "Rileks," ujarnya dengan terus memijat lembut pundakku. Ya Allah ... ini enak banget ....Terdengar seperti laci yang digeser. Aku melirik ke belakang sebentar. Rupanya Bang Aldin mengambil minyak zaitun dengan aroma terapi yang waktu itu. Setelah membubuhkan beberapa tetes ketelapak tangannya, ia meletakkan tangan ke tengkukku. Ada desiran hangat di aliran darah ini. Akan tetapi, aku sungguh menikmati pijatannya. Benar-benar nyaman ....Ia menyingkap sedikit jubah handukku dan ... aku membiarkannya. Kupejamkan kelopak mata demi menikmati sensasi pijatan lembutnya. Tangannya menyusuri tengkuk, pundak, lengan atas, hingga ke punggung telanjangku. Entah mengapa aku membiarkannya. Makin lama jubah mandiku semakin terbuka. Napas di belakangku terdengar sedikit tersengal. Ia masih membelai dan memijat tubuh ini. Ranjang terasa bergerak. Perlahan terasa Bang Aldin mengecup
Bu Fatma tersenyum di sana sembari mengacak rambut si bocah tampan."Bunda kenapa telat, sih?" rajuknya padaku."Iya, Bunda gak sengaja ketiduran tadi," ujarku penuh penyesalan.Ia mengerucutkan bibirnya. "Bu, maaf ya ...," ucapku pada Bu Fatma."Iya, Bunda," sahutnya."Makasih banyak." Aku menjabat tangan Bu Fatma dan kami pun pamit."Ivan mau apa, nanti Bunda beliin." Aku mencoba merayu bocah itu agar mau tersenyum. Wajahnya kini terlihat masam."Aku mau ke kantor Ayah!" katanya.Haduh! Aku tidak pernah ke kantor Bang Aldin sama sekali. Hanya tahu nama CV–nya saja. "Hmm ... Bunda gak tahu jelas alamat kantor Ayah. Kalau Pak supirnya nanya, Bunda gak bisa jawab.""Aku tahu!" kilahnya."Mmm ... oke. Kita ke sana, deh!" Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba ke sana. Daripada bocah ini terus ngambek.Aku lalu memesan taksi online dan menulis alamat yang dituju. Ternyata ketika
Setelah ia memarkir mobilnya, lelaki itu lalu keluar dan melangkah mendekat. "Assalamualaikum," ucapnya.Aku pun menjawab salamnya sembari berusaha menarik kedua ujung bibir ini. "Apa kabar, Mil?" tanyanya seraya mengulas sebuah senyuman, membuat wajahnya semakin terlihat manis."Alhamdulillah baik, Bang.""Boleh Abang masuk?" tanyanya."Mmm ... maaf, Bang. Lagi gak ada orang di rumah. Di sini aja, ya, kalau ada yang mau disampaikan," ujarku mempersilakannya duduk di kursi di teras tersebut. Aku tak nyaman jika hanya berdua di dalam rumah. Kalau di luar sini, paling tidak ada Pak Hari, satpam kami. Jadi, tidak akan menimbulkan fitnah, menurutku ...."Oh, oke!" sahut lelaki itu dan langsung ia pun duduk di sana."Aku ambil minum dulu ya, Bang," imbuhku.Ia mengangguk dengan senyuman yang masih setia di bibirnya.Setelah selesai menyeduh secangkir kopi instan, aku pun ke luar dan meletakkan cangkir itu d
Saat ini aku memutuskan untuk menerima apa pun yang terjadi. Mungkin memang ini takdir dari Yang Mahakuasa bagiku. Terserah apa masa lalu Bang Aldin atau pun Bang Dion. Kini aku tidak mau memikirkannya lagi. Rasanya aku sudah lelah ...."Mil ... masuk! Sudah malam ini," suruh Bang Aldin kepadaku yang sedang duduk di teras kamar menghadap kolam renang.Aku tidak menyahut dan tetap bergeming tepekur di situ."Hei ...." Bang Aldin menyampirkan selimut ke bahuku."Makasih," lirihku tanpa menoleh ke arahnya."Sudah jam sepuluh. Kita tidur, yuk," ajaknya lagi."Abang tidur aja dulu," jawabku.Dia menghela napas, kemudian ikut duduk di sebelahku. "Dion ... dia bilang gak pernah mencintai Amel." Bang Aldin menyeringai. Aku tidak menanggapi dan tetap diam."Dia bohong," sambungnya."Terserahlah," ujarku malas.Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin menatapku dengan sorot heran. Ia kemudian