"Kenapa belum tidur?" Suara yang kini sudah mulai tak asing bagiku.
Aku bangkit dan beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. "Be–belum bisa tidur, Bang," jawabku gugup.Dia lalu merebahkan diri di situ. Kedua tangannya diletakkan ke belakang menyanggah kepalanya. "Kamu kalo tidur pake kerudung begitu?" Ia melirikku.Aku bergeming. Apa ... apa aku harus membuka hijabku di hadapan pria asing ini?Dia memutar bola matanya dan menghela napas, kemudian bergerak memiringkan badan membelakangiku. Aku menatap punggung lebar tersebut. Lamat-lamat akhirnya terdengar bunyi dengkuran halus. Dia sudah tertidur.Rasanya hampir tidak dapat dipercaya. Lelaki asing yang belum kukenal sama sekali itulah yang berstatus sebagai suamiku kini. Bukankah aku harus melayaninya di ranjang? Bu–bukankah ini malam pertama kami?Tiba-tiba aku teringat perkataan Bang Dion waktu itu. Lelaki yang telah mengambil hatiku tersebut bilang bahwa Bang Aldin akan menjagakan diriku untuknya. Suatu hari nanti Bang Dion akan kembali.Hmmm ... apakah benar demikian? Apakah boleh seperti itu?"Pernikahan bukan mainan."Teringat lagi ucapan ayah. Ya, pernikahan itu bukan mainan. Aku ... apakah aku harus mulai membuka hatiku untuk Bang Aldin, lalu melupakan Bang Dion? Bagaimana bisa? Itu tidak mudah ... bahkan ... bahkan apakah mungkin?***Adzan Subuh sayup berkumandang. Aku sudah bangun sejak jam tiga dini hari dan melaksanakan qiyamul lail. Sengaja tidak membangunkannya yang masih di tempat tidur. Hal itu karena ... karena aku tak berani.Bang Aldin masih nyenyak di sana. Mungkin dia kelelahan, sejak kemarin datang, baru bisa istirahat malam tadi. Tak dapat dipercaya, kami satu kamar dan ... tidur satu ranjang. Walaupun tidak terjadi apa-apa di antara kami. Benar-benar t-i-d-u-r.Terdengar ketukan kecil di pintu kamar. Aku bangkit dari atas sajadah, masih mengenakan mukena, melangkah dan membuka pintu sedikit.Tampak wajah ayah yang basah di hadapanku. "Aldin mana?" tanyanya."Mmm ... masih tidur, Yah," jawabku pelan."Bangunkan. Sudah adzan ini. Biar sama ayah dan Mas Andri ke masjid," ujar ayah.Hatiku bimbang. Bagaimana aku membangunkannya?"Buruan, Mila. Ayah tunggu di depan." Ayah melenggang ke arah luar rumah.Aku segera menutup pintu. Setelah itu, melangkah menuju ranjang. "Bang ... bangun ...." Aku berusaha membangunkan pria yang tengah terlelap itu. Suaraku tidak begitu kukeraskan, khawatir Bang Aldin terkejut.Pria itu bergerak sedikit, memiringkan badan, tapi dia kelihatannya belum sadar. Malah semakin meringkuk. Bagaimana ini?Dengan ragu aku mengulurkan tangan, lalu menyentuh lengan kekar itu, menggoyangkannya sedikit. "Bang ... Bang Aldin, bangun," ucapku dengan suara lebih dikeraskan.Tiba-tiba tubuhku terasa melayang dan seketika terhenyak di atas tempat tidur, membuat netra ini spontan terpejam. Ketika membuka kelopak mata, betapa terkejutnya aku. Tubuh ini berada di bawah kungkungan Bang Aldin. Dan ... dan kami begitu dekat. Jarak wajah kami tak lebih dari dua jengkal. Aku menahan napas, segenggam daging di dalam dada berdegup kencang.Alisnya bertautan. Seperti tersadar, ia langsung bangkit dari atas tubuhku. "Hmm, kenapa?" tanyanya sembari memijat pangkal hidungnya, lalu merenggangkan leher. Sepertinya yang tadi itu gerak refleks darinya.Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat apa yang mau kulakukan. Sesaat kemudian, sambil bangkit dari posisi telentang aku beringsut menyenderkan punggung ke kepala ranjang. Dengan gugup aku berkata, "Sudah subuh, a–ayah nunggu di luar, mau shalat ke masjid bareng Abang ...." Kuhela napas. Jantung ini masih berdebar tak keruan karena insiden barusan."Oh," sahutnya singkat.Pria itu menatapku sejenak seakan tengah mencerna apa yang didengarnya barusan, kemudian mengangguk. Lantas ia segera meraih kemeja yang tergantung di dinding, lalu melangkah ke luar sembari tergesa mengenakan kemejanya, meninggalkanku dalam keadaan termangu.Suara iqamat dari speaker masjid menarikku dari lamunan."Huuft ... shalat dulu," lirih suaraku sendiri. Kaki ini melangkah kembali menuju sajadah, lalu aku mulai menunaikan ibadah.***"Jadi besok kalian sudah mau kembali ke Jakarta?" tanya ayah kepada kami di meja makan sambil menikmati sarapan bersama."Iya, Yah ... Mas Andri harus kembali kerja. Gak tahu deh, kalo suami Mila." Kak Mirna melihat ke arahku dan Bang Aldin bergiliran.Ayah pun menatap kami lekat, tentu saja meminta tanggapan.Seketika makanan ini terasa sulit untuk kutelan. Apa aku harus ikut Bang Aldin ke tempat tinggalnya? Atau aku mesti kembali ke tempat Kak Mirna, atau bagaimana?"Saya harus segera pulang juga, Yah," sahut Bang Aldin, "Kerjaan sih, masih bisa diatur saat ini ... hanya saja saya khawatir dengan Ivan. Dia baru sembuh dari sakit."Oh, iya. Anak Bang Aldin 'kan ditinggal di sana. Tentu sebagai ayah, dia mengkhawatirkannya. Tidak mungkin terlalu lama meninggalkan sang anak hanya dengan pembantu."Okelah kalau memang begitu. Ayah gak mungkin menahan kalian lebih lama, walaupun ayah berharap kalian masih di sini." Ayah mengulas senyum tipis."Aku nyusul aja berangkatnya, Yah," tawarku sembari menarik kedua ujung bibir."Jangan," seru ayah, "kamu harus kembali bersama suamimu. Kamu seorang istri sekarang, ingat?" Aku tertegun. "In syaa Allah, nanti sesekali ayah ke sana kalau ada kesempatan," sambung ayah.Sesaat kemudian kepalaku mengangguk pelan. Dari sudut mata aku menangkap Bang Aldin tengah memperhatikanku. Wajah ini terasa menghangat, tentu sudah memerah."Kalian gak bulan madu?" sela Kak Mirna sambil mengemasi piring bekas suaminya yang sudah
Sesampainya di halaman rumah kontrakan Kak Mirna, aku dan Bang Aldin ikut keluar dari mobil. Mas Andri menurunkan tas dan koper bawaan mereka."Eh, Mila. Ngapain kamu turunkan tas kamu juga?" tanya Kak Mirna heran."Emmm ...." Ya Allah, aku lupa. Bukankah seharusnya aku ikut dengan pria yang kini berstatus sebagai suamiku.Walaupun Bang Aldin mengenakan kaca mata hitam, aku tahu ia tengah menatapku lekat. Membuatku jengah. Kemudian ia meraih gawainya dan memainkan benda pipih itu."Malah bengong!" seru Kak Mirna lagi.Kakakku lalu meraih dan meletakkan kembali tasku ke dalam bagasi mobil. Mas Andri terlihat terkekeh di sana. Wajah ini terasa panas! "Makasih, Al!" ucap Mas Andri setelah barang-barang mereka turun.Bang Aldin berhenti memainkan ponselnya dan menjawab, "Ok, Mas. Sama-sama." Lelaki itu kemudian masuk ke mobilnya setelah memberi isyarat kepadaku untuk ikut.Dengan ragu aku mengulurkan tangan kepada Kak Mirna. "A–aku pamit, Kak." Rasanya tak rela pergi dari sini.Kakak men
Setelah sekitar empat puluh menit dari rumah Kak Mirna, akhirnya mobil ini berbelok ke sebuah rumah yang tampak mewah berpagar tinggi. Ini ... apakah ini tempat tinggal Bang Aldin? Ya, tentu saja dia orang kaya seperti juga Bang Dion. Lihat saja mobilnya ini. Aku tak tahu jenisnya. Akan tetapi, aku tahu ini mobil mahal.Tak lama kemudian kami turun dari mobil setelah sampai di depan pendopo. Tiang-tiang teras rumah ini besar dengan gaya minimalis modern.Aku dan pria itu menurunkan koper dan tas dari bagasi.Bang Aldin kemudian memencet bell, lalu muncul seorang ibu paruh baya di hadapan kami."Eh, Aden sudah pulang?" tegurnya kepada pria di depanku."Iya, Bi. Ivan mana?" Bang Aldin melangkah ke dalam rumah dengan menarik koper kecilnya."Lagi main di taman belakang," jawab ibu tua itu sembari melihat ke arahku, "eh, ini ...?" Omongan ibu itu menggantung."Ini Mila," sambar Bang Aldin mengenalkanku.Aku mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Assalamualaikum," ucapku pada ibu itu."Eh,
"Sudah kenalan dengan Tante Kamila?" tanya Bang Aldin kepada Ivan.Bocah itu menoleh ke arahku lalu mengangguk keras. Aku berusaha mengulas senyum lagi di bibir ini, menarikku dari keterpanaan tadi. "Panggil Tante Mila aja," ujarku pada anak yang tampan itu sembari mengulurkan tangan.Ivan melirik sebentar ke arah ayahnya seakan meminta tanggapan. Sang ayah mengangguk.Bocah lelaki itu pun menyambut telapak tanganku dan menyalaminya. Aku melebarkan senyuman dan membelai puncak kepalanya. Wajah kecil itu masih terlihat datar jika berhadapan denganku. Lucu banget."Oh iya, Mila. Ini Lisa, dia baru dua pekan bekerja di sini. Lisa, ini Mila." Bang Aldin mengenalkanku pada wanita yang bersama anaknya itu.Aku mengulurkan tangan kepada wanita tersebut dan ia pun menyambutnya. "Neng ...," tegurnya sembari mengangguk dan mengukir senyuman."Panggil Mila saja, Mbak Lisa," sahutku ramah.Wanita itu mengangguk lagi."Mila, kalau kamu ada perlu, bisa minta tolong Lisa atau Bi Imah, ya. Abang ke
Aku lalu bangkit dari duduk, hendak membereskan piring dan gelasku sendiri."Biar saja, Mila."Aku terdiam menyimak Bang Aldin bicara."Nanti Bi Imah dan Lisa yang membereskannya," katanya.Aku lalu melanjutkan membereskan piring kotornya juga. "Gak papa, Bang," tuturku sembari mengangkat piring dan gelas kotor kami, melangkah menuju wastafel di dapur.Ivan tampak melirikku sebentar, lalu kembali sibuk memainkan tab-nya. Sementara Mbak Lisa masih sibuk menyuapkan bocah kecil tersebut."Hmm ... terserahlah," sahut lelaki itu sembari menghela napas.Bi Imah yang berada di dapur dan tengah makan melihatku membawa piring ke wastafel dapur, sontak bangkit. "Eh, Neng! Biar Bibi aja yang beresin!" Ia tampak terkejut."Udah, Bibi makan aja ...," kataku sembari meraih spons dan mulai menyuci piring kotor yang cuma dua buah itu."Eh ...." Bi Imah tampak bengong di sampingku."Sana, Bibi makan dulu," suruhku seraya menunjuk dengan isyarat ke arah makanannya.Dengan ragu, wanita paruh baya itu pu
Namun, akhirnya boch kecil itu pun mencoba meraih gelas tersebut dari tanganku. Sengaja aku elakkan gelas susu itu sambil terus tersenyum. Bocah itu semakin menautkan alisnya yang indah. "Pakai tangan kanan dong!" Ya, tadi Ivan mengulurkan tangan kirinya.Ia lalu meraih gelas itu dengan tangan kanannya."Nah, gitu," kataku semringah.Anak yang tampan itu mengulas senyum tipis."Bilang apa?" tanyaku sembari menahan lengannya ketika ia hendak berbalik."Mmm ... makasih," jawabnya ragu.Aku pun melebarkan senyuman dan mengacak puncak kepalanya. Anak manis.***Pagi ini cukup cerah, langit tampak begitu terang diselimuti sedikit awan. Sinar mentari terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Ini masih pagi, pukul sembilan. Bang Aldin sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Bahkan aku tidak melihatnya ketika sarapan di meja makan tadi. Kata Bi Imah, dia ada rapat di kantor, dan mesti menghindari macet.Aku berdiri di samping sebuah kolam ikan tanpa alas kaki di taman belakang rumah. Banyak ikan
"Ivan?" Tiba-tiba terdengar suara berat diiringi bunyi pintu yang terbuka. Aku sedikit terperanjat.Hening.Wajah itu awalnya terlihat kaget sepertiku. Akan tetapi, beberapa saat kemudian bibir itu tersenyum, tampak canggung. "Ivan tidur?" tanya pria tampan tersebut.Aku beringsut dan bangkit perlahan dari rebahan. Berusaha menarik bibir ini ke atas. "Iya ...," jawabku pelan.Pria itu melangkah mendekat. Berdiri di samping ranjang, memandang lekat sang bocah yang tengah lelap tersebut. Aku merasa tidak enak hati berada di situ saat ini. Aku pun berdiri dan pamit.Ia melirik sebentar dengan melipat bibirnya, kemudian mengangguk mempersilakan aku pergi.***"Aku kemarin makan banyak, Yah!" Suara Ivan terdengar ceria dari meja makan. Langkah kaki ini kupelankan demi menyimak pembicaraan kedua lelaki tampan beda usia itu. Ntah mengapa hatiku selalu merasa hangat kalau melihat keakraban mereka."Oh, ya?" sahut Bang Aldin seakan tak percaya."Iya. Aku juga shalat!" seru bocah itu bangga,
"Wa ... wa alaikumus sallam," jawabku terbata.Pria manis di depanku melangkah mendekat dengan perlahan. "Apa kabar, Mil?" tanyanya.Aku menatapnya beberapa saat.Bibirnya tersenyum, tapi tampak canggung."Hemm, alhamdulillah baik, Bang," jawabku sambil membenarkan kerudung. Mengapa jadi gugup begini? "Syukurlah," ucapnya singkat."Mmm ... Bang Aldin di taman belakang." Ya Allah, mengapa aku kayak orang bodoh, sih?"Abang mau ketemu kamu," ungkapnya."Owh."Ia kembali tersenyum."Silakan duduk, Bang. Sudah sarapan? Ini ada nasi goreng ...," tawarku basa-basi.Ia pun bergerak maju kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan itu. "Gak usah. Abang sudah sarapan, kok," sahutnya."Oh, gitu. Ya udah, bentar aku bikinin kopi dulu." Aku pun melenggang ke dapur dan menyeduh kopi sachet tanpa menunggu tanggapannya.Setelah selesai menyeduh kopi, aku lalu kembali ke ruang makan. Kuletakan cangkir kopi hangat tersebut ke hadapan lelaki yang masih bertahta di hatiku itu. "Diminum kopinya, Ba