Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.
Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha. "Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda." Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalannya. Aku tidak membutuhkan pelayananmu." Pelayan itu tampak semakin gugup. Ia melirik ke arah pintu, seolah takut sesuatu yang mengerikan akan terjadi. "Nyonya, mohon maaf, tapi saya tidak bisa menolak perintah Tuan Gerald. Jika Anda menolak saya, saya akan menerima hukuman..." suaranya semakin kecil, hampir seperti bisikan. Tangannya gemetar, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Alesha mengerutkan kening, merasa tak nyaman melihat wanita itu seperti ini. Namun sebelum ia sempat merespons, sebuah suara berat dan tajam menggema di ruangan itu, membuat semua orang membeku. "Apa yang sedang terjadi di sini?" Gerald berdiri di ambang pintu, tubuh tegapnya menguasai ruangan. Tatapan dinginnya yang menusuk menyapu mereka seperti pedang yang mengiris udara. Pelayan itu langsung berlutut, gemetar hebat seperti seekor binatang yang dihadapkan pada predatornya. "M-maafkan saya, Tuan," suara pelayan itu bergetar, hampir tak terdengar. "Saya gagal menjalankan tugas saya. Tolong ampuni saya..." Gerald berjalan perlahan ke arah mereka, langkah kakinya berat dan penuh intimidasi. Mata tajamnya berpindah dari pelayan yang gemetar ke arah Alesha, yang berdiri tegak tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut. "Jelaskan," suara Gerald rendah, namun penuh ancaman. "Apa yang membuatmu berani menolak pelayanmu, Nyonya Lancaster?" Alesha mengangkat dagunya, menatap langsung ke mata Gerald tanpa gentar. "Aku tidak butuh pelayan. Aku bisa mengurus diriku sendiri." Sebuah senyum kecil, dingin, muncul di sudut bibir Gerald. "Begitu? Dan kau pikir kau bisa melawan aturanku di rumah ini?" Alesha tidak mundur. "Aturanmu tidak relevan untukku. Aku hanya ingin ruang untuk bernapas." Gerald tertawa kecil, namun tawa itu tak membawa kehangatan. Ia menoleh ke arah pelayan yang masih berlutut, tubuhnya menggigil. "Berdiri!" perintahnya tajam. Pelayan itu berdiri dengan susah payah, namun tubuhnya masih gemetar. "Kau mengecewakanku," kata Gerald pelan, namun kata-katanya seperti cambuk yang melukai. "Apakah aku harus mengajarkanmu arti kesetiaan di rumah ini?" Pelayan itu memohon dengan suara serak. "T-tolong, Tuan. Berikan saya kesempatan..." Alesha melangkah maju, berdiri di antara Gerald dan pelayan itu. "Hentikan!" serunya tegas. "Aku yang menyuruhnya pergi. Jangan hukum dia karena keputusan yang aku buat." Tatapan Gerald menajam. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Alesha, hingga hanya beberapa inci memisahkan mereka. "Kau mungkin istriku sekarang, Alesha. Tapi jangan pernah lupa bahwa aku yang memegang kendali. Aku tidak peduli dengan rasa belas kasihanmu. Di rumah ini, perintahku adalah hukum." Alesha menatapnya dengan mata berapi-api, meskipun di dalam dirinya ada ketakutan yang berusaha ia redam. "Kalau begitu, hukum aku, bukan dia. Aku yang melawan aturanmu." Gerald menyeringai, senyum yang dingin dan penuh ancaman. "Jangan khawatir, Nyonya Lancaster. Aku akan memastikan kau memahami tempatmu di rumah ini. Dengan caraku." Ia melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan Alesha berdiri kaku dengan tubuh yang sedikit gemetar. Pelayan itu menangis diam-diam, sementara Alesha hanya bisa merasakan beban yang semakin berat menghimpit dadanya. Alesha menatap pelayan itu, wajahnya datar meski matanya menyimpan lautan emosi. “Tunjukkan jalannya,” ucapnya tegas, suaranya terdengar seperti perintah seorang ratu yang tersembunyi di balik kerendahan hati. Ia mengikuti langkah pelayan dengan kepala tegak, meskipun hatinya bergemuruh. Di hadapannya, sebuah pintu besar berukir emas berdiri megah, seakan menjadi simbol kekuatan dan kekuasaan pria yang kini menyandang status suaminya. Pelayan itu membuka pintu perlahan, dan pemandangan di dalamnya langsung membuat Alesha terdiam. Ruangan itu seperti berasal dari dunia lain, mewah dan mencolok, penuh dengan segala yang pernah ia bayangkan dalam mimpi terliarnya. Dinding-dindingnya dihiasi kain sutra, lantainya tertutup karpet tebal dengan pola rumit, sementara lampu gantung kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Lemari terbuka memperlihatkan deretan pakaian mahal, sepatu yang bersinar, dan perhiasan yang tampak seperti karya seni. Pelayan itu tersenyum ragu, mencoba mengisi kesunyian yang menekan. “Ini kamar Anda, Nyonya. Tuan telah menyiapkan semuanya khusus untuk Anda.” Alesha memandang sekelilingnya sekali lagi, namun senyumnya pahit, lebih seperti luka yang tersamarkan. Ia berjalan perlahan, ujung jemarinya menyentuh gaun-gaun mahal yang tergantung rapi. Sesuatu dalam dirinya terasa asing. “Ini bukan milikku,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri. Ia menoleh ke arah pelayan, sorot matanya tajam namun terluka. “Aku hanyalah pengganti. Bagaimana bisa pengganti sepertiku layak memiliki semua ini?” Pelayan itu terdiam, menunduk sejenak, seperti menghindari kata-kata yang mungkin membuat luka sang nyonya semakin dalam. Namun, ia memberanikan diri untuk berbicara lagi. Dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, ia berkata, “Nyonya, Anda mungkin merasa seperti pengganti, tapi Anda adalah istri Tuan Gerald sekarang. Anda adalah Nyonya Muda Lancaster. Itu adalah kebenaran, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.” Alesha tertawa kecil, getir, seperti ingin mengejek dirinya sendiri. “Nyonya Muda Lancaster...” gumamnya, mencoba merasakan bagaimana nama itu terdengar di bibirnya. Ia melepas kerudung pengantin dari kepalanya, membiarkan rambutnya terurai bebas. Langkahnya berat saat ia berjalan ke ranjang besar di tengah ruangan. Ia duduk di tepinya, tangannya meraba kain lembut yang membungkus kasur itu. Kelembutan yang begitu asing baginya. “Semua ini, kemewahan, status, kekuasaan... semuanya terasa seperti jebakan emas.” Ia menoleh pada pelayan itu, matanya menyiratkan rasa lelah yang begitu dalam. “Bagaimana jika aku tidak ingin semuanya? Bagaimana jika aku ingin bebas dari semua ini?” Pelayan itu tertegun, tak tahu harus berkata apa. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari balik pintu. Alesha langsung membeku, tahu betul siapa pemilik langkah itu. Pintu terbuka dengan keras, memperlihatkan Gerald yang berdiri dengan aura yang mendominasi seluruh ruangan. Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya mendarat pada Alesha yang duduk di ranjang. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh ancaman. Alesha menatapnya dengan tenang, meski di dalam hatinya ada ketakutan yang tak bisa ia tolak. “Aku hanya mencoba memahami apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Tuan Lancaster.” Gerald menyeringai kecil, langkahnya mendekat dengan perlahan namun penuh intimidasi. “Yang kuinginkan sederhana, Alesha. Kau di sini untuk melayani peranmu. Jangan buat aku harus mengingatkanmu akan itu.” Alesha tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menyembunyikan tatapan yang menyiratkan tekad yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Gerald mungkin mengira ia telah menundukkan pengantin barunya, namun di balik ketenangan itu, Alesha tahu satu hal, ini baru permulaan dari perjuangannya.Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
"Kenapa harus putri kita yang menderita?! Apa kau tidak punya hati?!" Florence Arabella Waverly menjerit histeris, matanya berkilat penuh amarah, menunjuk tepat ke arah suaminya. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun malam yang bergetar seperti dirinya.Charlotte Amelie Waverly, sang putri pertama, terduduk di sofa. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya menggema di ruang tamu mewah itu. Wajahnya yang biasanya anggun kini kusut, memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan."Cukup, Florence!" Julian Maxwell Waverly, kepala keluarga, membalas dengan suara berat yang hampir berbisik namun mengandung ancaman. "Ini bukan soal hati. Ini tentang kelangsungan keluarga kita. Pernikahan Charlotte dengan Tuan Gerald sudah menjadi kesepakatan sejak lama, dan kita tidak bisa mundur begitu saja."Florence merangkul Charlotte, seolah ingin melindungi anaknya dari semua ancaman dunia. "Julian, kau tahu siapa Gerald Dominic Lancaster itu! Dia bukan pria biasa! Dia ketua mafia Serigala Malam yang
"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa
"Kenapa harus putri kita yang menderita?! Apa kau tidak punya hati?!" Florence Arabella Waverly menjerit histeris, matanya berkilat penuh amarah, menunjuk tepat ke arah suaminya. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun malam yang bergetar seperti dirinya.Charlotte Amelie Waverly, sang putri pertama, terduduk di sofa. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya menggema di ruang tamu mewah itu. Wajahnya yang biasanya anggun kini kusut, memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan."Cukup, Florence!" Julian Maxwell Waverly, kepala keluarga, membalas dengan suara berat yang hampir berbisik namun mengandung ancaman. "Ini bukan soal hati. Ini tentang kelangsungan keluarga kita. Pernikahan Charlotte dengan Tuan Gerald sudah menjadi kesepakatan sejak lama, dan kita tidak bisa mundur begitu saja."Florence merangkul Charlotte, seolah ingin melindungi anaknya dari semua ancaman dunia. "Julian, kau tahu siapa Gerald Dominic Lancaster itu! Dia bukan pria biasa! Dia ketua mafia Serigala Malam yang