"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.
Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat. Plak! Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti. "Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!" Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan. "Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa. Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementara Florence dan Charlotte hanya menonton tanpa sedikit pun menunjukkan simpati. Charlotte tersenyum sinis, berjalan mendekat dengan anggun. Ia menatap Alesha yang tergeletak di lantai, tubuhnya meringkuk lemah sambil memegangi sisi yang berdarah. "Menurutlah, Alesha," Charlotte berkata dengan nada mengejek. "Bukankah biasanya kau senang menerima pemberian dari kakak? Ini, hadiah terbesar dariku. Menikah dengan Tuan Gerald. Kau harus berterima kasih, tahu." Alesha menggigit bibirnya, menahan jeritan. Matanya yang basah menatap Charlotte penuh kebencian, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk membalas. Lalu, Florence maju, langkahnya penuh kepastian. Ia memegang sebuah gelang giok hijau muda di tangannya, memutarnya di jari-jari dengan ekspresi puas. "Alesha," panggil Florence dengan suara lembut yang beracun. "Jika kau terus menolak..." Ia mengangkat gelang itu tinggi-tinggi, memperlihatkannya kepada Alesha. "...aku akan menghancurkan satu-satunya barang peninggalan ibumu ini." Mata Alesha terbelalak. Nafasnya tercekat. Gelang itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa terhubung dengan almarhum ibunya, satu-satunya sosok yang mungkin pernah mencintainya tanpa syarat. "Jangan... Jangan lakukan itu, Bu," ucap Alesha dengan suara memelas, hampir tak terdengar. Air matanya mengalir semakin deras. Florence menyeringai, jemarinya mulai menggenggam gelang itu lebih erat, seolah siap menghancurkannya kapan saja. "Pilihan ada di tanganmu, Alesha. Kau menikah, atau gelang ini hancur." Alesha menelan ludah, hatinya terasa seperti terkoyak. Sakit di tubuhnya hampir tak lagi ia rasakan, tenggelam oleh rasa sakit yang jauh lebih dalam di dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia mengangguk perlahan. "Baiklah..." katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku akan menikah." Florence tersenyum puas, menurunkan gelang itu dan menyimpannya di saku. Charlotte bertepuk tangan kecil, senyum licik terpancar di wajahnya. Julian mendengus, melemparkan tongkatnya ke lantai. "Itu baru anak yang tahu balas budi. Jangan buat aku menyesal membesarkanmu, Alesha." Alesha terdiam, menunduk dalam-dalam. Tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena rasa putus asa yang menghancurkan. Semua orang meninggalkan ruangan dengan raut puas, membiarkan Alesha tergeletak di lantai dingin, tubuhnya gemetar, dan tangisnya semakin memilukan. Suara isakannya memenuhi ruangan yang kini sepi, membuat para pelayan yang melihatnya hanya bisa menundukkan kepala, tercekik oleh rasa kasihan yang tak berani mereka tunjukkan. Namun, di antara mereka, seorang pelayan tua memberanikan diri untuk mendekat. Ia berlutut di samping Alesha, suaranya lembut namun penuh keprihatinan. "Nona, biarkan saya membantu Anda kembali ke kamar," ucapnya pelan, tangan keriputnya dengan hati-hati menyentuh bahu Alesha. Alesha mencoba bangkit, tubuhnya terasa berat, seperti dihancurkan oleh rasa sakit dan keputusasaan yang menumpuk. Ia meringis setiap kali luka-lukanya tersentuh, tetapi pelayan itu menopangnya dengan penuh kesabaran. Ketika mereka tiba di kamar, Alesha langsung jatuh terduduk di tepi ranjang. Isakannya masih berlanjut, kali ini lebih pelan, seolah air matanya hampir habis. Ia tidak lagi peduli dengan luka-luka di tubuhnya, rasa sakit fisik itu bahkan tidak sebanding dengan apa yang ia rasakan di hatinya. "Nona, saya akan mengobati luka-luka Anda," ujar pelayan itu lembut, membawa kotak obat dari sudut ruangan. Alesha hanya mengangguk kecil, tangannya dengan gemetar mulai melepas bajunya. Ketika pakaian itu terlepas, tubuhnya yang penuh lebam dan luka akibat pukulan ayahnya terungkap. Warna biru keunguan menyebar di sepanjang punggung dan lengannya, bercampur dengan luka yang masih segar dan berdarah. Pelayan itu terdiam sejenak, tangannya gemetar saat membuka kain kasa dan obat. "Seharusnya Anda tidak melawan mereka, Nona," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Alesha menoleh, menatap pelayan itu dengan mata yang masih basah. "Tapi... bagaimana aku tidak melawan?" suaranya serak, hampir tak terdengar. Ia menunduk, menyeka air mata yang terus mengalir. "Mereka ingin aku menikah... dengan Tuan Gerald." Pelayan itu terhenti sejenak, napasnya tertahan. Nama itu membawa beban yang berat, bahkan di dunia yang penuh kejam ini, Gerald dikenal sebagai pria yang tidak pernah ragu membunuh untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. "Tuan Gerald..." pelayan itu mengulang dengan nada pelan, seperti menimbang kata-katanya. "Saya tahu ini tidak mudah, Nona. Tapi terkadang, bertahan adalah satu-satunya pilihan yang kita miliki." Alesha menatapnya, air matanya kembali mengalir. "Bertahan?" katanya getir. "Bagaimana aku bisa bertahan di dalam neraka? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah menikah dengannya." Pelayan itu menghela napas panjang, melanjutkan membersihkan luka Alesha dengan hati-hati. "Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, Nona. Tapi Anda lebih kuat dari yang Anda kira. Anda sudah bertahan selama ini, bukan? Jika Anda bisa bertahan di rumah ini... mungkin Anda juga bisa bertahan di sana." Alesha terdiam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Di dalam hatinya, ia merasa tenggelam dalam kegelapan. Setiap kata pelayan itu seperti lilin kecil yang menyala redup, namun tidak cukup untuk mengusir bayangan hitam yang terus menyelimutinya. "Kuat?" gumam Alesha, hampir berbicara pada dirinya sendiri. "Aku lelah harus terus bertahan..." Pelayan itu menatapnya dengan penuh iba, tetapi ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa sepenuhnya meredakan rasa sakit yang dirasakan Alesha. Ia hanya bisa berharap bahwa, entah bagaimana, gadis malang ini akan menemukan kekuatan untuk menghadapi takdirnya yang kelam. Alesha duduk diam di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Tangisnya sudah mereda, tetapi air matanya masih mengalir perlahan, meninggalkan jejak di pipinya yang pucat. Sementara itu, pelayan tua itu tetap di sampingnya, menyelesaikan pengobatan dengan hati-hati. "Nona," pelayan itu akhirnya berkata, suaranya penuh ketulusan, "saya tahu apa yang Anda alami tidak adil. Tapi satu hal yang saya yakini, Anda adalah seorang pejuang. Bertahan bukan berarti menyerah. Bertahan berarti Anda mencari peluang, sekecil apa pun, untuk melawan atau mengubah nasib Anda." Alesha menoleh perlahan, menatap pelayan itu dengan mata yang memerah. "Melawan? Mengubah nasib?" gumamnya, hampir tidak percaya. "Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk melawan mereka di rumah ini, bagaimana aku bisa melawan Tuan Gerald?" Pelayan itu menarik napas panjang, lalu menatap langsung ke mata Alesha. "Tuan Gerald mungkin kejam, tapi dia juga pria yang penuh strategi. Jika Anda bisa menemukan cara untuk mendapatkan posisinya... Anda mungkin bisa selamat, atau bahkan lebih dari itu." Kata-kata itu menusuk hati Alesha, tetapi ia hanya mengangguk kecil, terlalu lelah untuk berdebat. Pelayan itu berdiri perlahan, membungkuk hormat. "Saya akan berada di sini untuk membantu Anda, apa pun yang terjadi. Anda tidak sendirian, Nona." Ketika pintu kamar tertutup, Alesha menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. Pandangannya beralih ke cermin kecil di samping tempat tidurnya. Di sana, ia melihat bayangan dirinya, lemah, penuh luka, dan kehilangan harapan.Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, dan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya membuatnya meringis. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah seluruh energinya terkuras habis. Ketika akhirnya pandangannya mulai jelas, ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu gelap dan dingin, dikelilingi oleh dinding-dinding bernuansa hitam yang tampak menekan dari segala sisi. Lampu temaram di sudut meja memberikan cahaya yang nyaris tak berarti, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring nafasnya yang tak beraturan. Aroma sabun mahal yang menguar memenuhi inderanya, bercampur dengan rasa asing yang menempel di kulitnya. Di kejauhan, suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi. Setiap tetesan air yang jatuh seakan menggema, menyelusup ke dalam benaknya yang mulai panik. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, lalu menyadari tempat di mana ia berada. "Kamar Gerald?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Napasnya tertahan saat
Gerald berdiri di depan lemari besar berlapis kayu eboni, sinar lampu temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang tegap. Ia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya tanpa ragu, memperlihatkan kulitnya yang penuh luka bekas pertarungan. Tangannya dengan tenang mengambil satu set pakaian serba hitam, sementara tatapannya tetap kosong dan dingin.“K-Kenapa kau memakainya di sini?” suara Alesha memecah keheningan, terdengar gugup sekaligus kesal. Ia buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan, pipinya memanas karena malu.Gerald menoleh perlahan, seringai dingin terlukis di wajahnya. “Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh ejekan. “Bukankah kau sudah melihat semuanya? Atau kau ingin melihat lebih lama?”Alesha tercekat, cepat-cepat membenamkan dirinya di balik selimut. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu tetapi juga karena rasa takut yang mulai merayap. Gerald, seperti biasanya, menikmati reaksinya. Ia menyelesaikan pakaiannya dengan gerakan yang nyaris malas, lalu berjalan mendekati Ales
Satu bulan telah berlalu dalam kesunyian yang menusuk. Setelah menandatangani perjanjian itu, Gerald menghilang seperti bayangan, seolah tak pernah ada di sisi Alesha. Tidak ada kehadirannya, tidak ada suara perintahnya, hanya kekosongan yang menghantui setiap sudut rumah megah itu. Meskipun kini Alesha memegang gelar nyonya muda Lancaster, hidupnya tak ubahnya seperti seekor phoenix yang terkurung dalam sangkar emas. Kemewahan yang mengelilinginya terasa dingin, membeku di dalam jeruji tak kasat mata yang disebut kekuasaan. Di balik jendela besar ruangannya, ia menatap ke luar, matanya kosong namun pikirannya bergejolak. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan gila.” gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Dengan gerakan penuh tekad, Alesha bangkit dari kursi, tubuhnya terasa berat namun dipaksa bergerak. Ia berjalan menuju pintu, langkahnya pelan namun pasti, seperti seseorang yang tengah mendekati medan perang. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang
Alesha tertidur dalam kelelahan, pikirannya masih dipenuhi kemarahan dan tekad yang belum tuntas. Ia meringkuk di atas ranjang megah, piyama tipis membungkus tubuhnya yang mungil namun menggoda. Cahaya bulan yang menembus celah tirai menyorot lekuk tubuhnya dengan samar, menciptakan siluet yang tampak rapuh… namun penuh perlawanan.Kesunyian itu hancur dalam sekejap.Sebuah tangan besar mencengkeram lehernya dengan kasar, jari-jari kekar itu menekan dengan kekuatan yang mengancam nyawanya.Alesha terbangun dengan terengah, matanya melebar dalam keterkejutan. Pandangannya kabur, namun sosok tinggi dengan aura gelap berdiri tepat di hadapannya. Gerald.Pria itu condong ke arahnya, napasnya berat, penuh dengan aroma alkohol yang menusuk. Mata tajamnya bersinar dalam kegelapan, mengunci pandangan Alesha seperti seekor serigala yang siap merobek mangsanya.Alesha tersentak panik, kedua tangannya refleks meraih pergelangan tangan Gerald, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi itu. "K
Kesunyian malam merayap di setiap sudut kamar, menyelimuti dua tubuh yang terbaring di atas ranjang megah itu. Di sisi lain, Alesha duduk tegak, tubuhnya masih dibalut selimut tipis sementara sorot matanya menatap tajam ke arah pria yang terlelap di sampingnya.Gerald, sosok yang begitu mendominasi, bahkan dalam tidurnya, masih memancarkan aura mengintimidasi yang tak bisa diabaikan. Nafasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang tenang, seolah tak menyadari bahwa bahaya tengah mengintai begitu dekat.Alesha menggigit bibir bawahnya, tangannya perlahan meraih pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela memantulkan kilauan dingin di ujung bilah tajam itu.Ia mengangkat pisaunya, mengarahkannya tepat ke dada Gerald. Jemarinya menggenggam erat gagang senjata itu, sementara napasnya tersengal-sengal. Ini adalah kesempatan emas. Satu tikaman, dan semuanya akan berakhir."Dengan membunuhnya... aku bisa bebas."Detik demi detik
Kesunyian malam merayap di setiap sudut kamar, menyelimuti dua tubuh yang terbaring di atas ranjang megah itu. Di sisi lain, Alesha duduk tegak, tubuhnya masih dibalut selimut tipis sementara sorot matanya menatap tajam ke arah pria yang terlelap di sampingnya.Gerald, sosok yang begitu mendominasi, bahkan dalam tidurnya, masih memancarkan aura mengintimidasi yang tak bisa diabaikan. Nafasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang tenang, seolah tak menyadari bahwa bahaya tengah mengintai begitu dekat.Alesha menggigit bibir bawahnya, tangannya perlahan meraih pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela memantulkan kilauan dingin di ujung bilah tajam itu.Ia mengangkat pisaunya, mengarahkannya tepat ke dada Gerald. Jemarinya menggenggam erat gagang senjata itu, sementara napasnya tersengal-sengal. Ini adalah kesempatan emas. Satu tikaman, dan semuanya akan berakhir."Dengan membunuhnya... aku bisa bebas."Detik demi detik
Alesha tertidur dalam kelelahan, pikirannya masih dipenuhi kemarahan dan tekad yang belum tuntas. Ia meringkuk di atas ranjang megah, piyama tipis membungkus tubuhnya yang mungil namun menggoda. Cahaya bulan yang menembus celah tirai menyorot lekuk tubuhnya dengan samar, menciptakan siluet yang tampak rapuh… namun penuh perlawanan.Kesunyian itu hancur dalam sekejap.Sebuah tangan besar mencengkeram lehernya dengan kasar, jari-jari kekar itu menekan dengan kekuatan yang mengancam nyawanya.Alesha terbangun dengan terengah, matanya melebar dalam keterkejutan. Pandangannya kabur, namun sosok tinggi dengan aura gelap berdiri tepat di hadapannya. Gerald.Pria itu condong ke arahnya, napasnya berat, penuh dengan aroma alkohol yang menusuk. Mata tajamnya bersinar dalam kegelapan, mengunci pandangan Alesha seperti seekor serigala yang siap merobek mangsanya.Alesha tersentak panik, kedua tangannya refleks meraih pergelangan tangan Gerald, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi itu. "K
Satu bulan telah berlalu dalam kesunyian yang menusuk. Setelah menandatangani perjanjian itu, Gerald menghilang seperti bayangan, seolah tak pernah ada di sisi Alesha. Tidak ada kehadirannya, tidak ada suara perintahnya, hanya kekosongan yang menghantui setiap sudut rumah megah itu. Meskipun kini Alesha memegang gelar nyonya muda Lancaster, hidupnya tak ubahnya seperti seekor phoenix yang terkurung dalam sangkar emas. Kemewahan yang mengelilinginya terasa dingin, membeku di dalam jeruji tak kasat mata yang disebut kekuasaan. Di balik jendela besar ruangannya, ia menatap ke luar, matanya kosong namun pikirannya bergejolak. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan gila.” gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Dengan gerakan penuh tekad, Alesha bangkit dari kursi, tubuhnya terasa berat namun dipaksa bergerak. Ia berjalan menuju pintu, langkahnya pelan namun pasti, seperti seseorang yang tengah mendekati medan perang. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang
Gerald berdiri di depan lemari besar berlapis kayu eboni, sinar lampu temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang tegap. Ia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya tanpa ragu, memperlihatkan kulitnya yang penuh luka bekas pertarungan. Tangannya dengan tenang mengambil satu set pakaian serba hitam, sementara tatapannya tetap kosong dan dingin.“K-Kenapa kau memakainya di sini?” suara Alesha memecah keheningan, terdengar gugup sekaligus kesal. Ia buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan, pipinya memanas karena malu.Gerald menoleh perlahan, seringai dingin terlukis di wajahnya. “Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh ejekan. “Bukankah kau sudah melihat semuanya? Atau kau ingin melihat lebih lama?”Alesha tercekat, cepat-cepat membenamkan dirinya di balik selimut. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu tetapi juga karena rasa takut yang mulai merayap. Gerald, seperti biasanya, menikmati reaksinya. Ia menyelesaikan pakaiannya dengan gerakan yang nyaris malas, lalu berjalan mendekati Ales
Alesha membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, dan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya membuatnya meringis. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah seluruh energinya terkuras habis. Ketika akhirnya pandangannya mulai jelas, ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu gelap dan dingin, dikelilingi oleh dinding-dinding bernuansa hitam yang tampak menekan dari segala sisi. Lampu temaram di sudut meja memberikan cahaya yang nyaris tak berarti, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring nafasnya yang tak beraturan. Aroma sabun mahal yang menguar memenuhi inderanya, bercampur dengan rasa asing yang menempel di kulitnya. Di kejauhan, suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi. Setiap tetesan air yang jatuh seakan menggema, menyelusup ke dalam benaknya yang mulai panik. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, lalu menyadari tempat di mana ia berada. "Kamar Gerald?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Napasnya tertahan saat
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa