"Kenapa harus putri kita yang menderita?! Apa kau tidak punya hati?!" Florence Arabella Waverly menjerit histeris, matanya berkilat penuh amarah, menunjuk tepat ke arah suaminya. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun malam yang bergetar seperti dirinya.
Charlotte Amelie Waverly, sang putri pertama, terduduk di sofa. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya menggema di ruang tamu mewah itu. Wajahnya yang biasanya anggun kini kusut, memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. "Cukup, Florence!" Julian Maxwell Waverly, kepala keluarga, membalas dengan suara berat yang hampir berbisik namun mengandung ancaman. "Ini bukan soal hati. Ini tentang kelangsungan keluarga kita. Pernikahan Charlotte dengan Tuan Gerald sudah menjadi kesepakatan sejak lama, dan kita tidak bisa mundur begitu saja." Florence merangkul Charlotte, seolah ingin melindungi anaknya dari semua ancaman dunia. "Julian, kau tahu siapa Gerald Dominic Lancaster itu! Dia bukan pria biasa! Dia ketua mafia Serigala Malam yang kejam! Dia bahkan membunuh rekan bisnisnya sendiri hanya karena keterlambatan pembayaran! Kau ingin menyerahkan putri kita pada monster itu?!" Julian terdiam sejenak. Wajahnya yang biasanya penuh keyakinan kini terlihat suram, lelah oleh tekanan yang terus menghantam. Ia tahu Florence benar. Gerald bukan pria yang bisa dianggap remeh. Tapi ia juga tahu, jika pernikahan ini gagal, nama Waverly akan terhapus dari peta kekuasaan. Keluarga mereka akan dihancurkan, perlahan dan menyakitkan. "Lalu apa yang harus kulakukan, Florence?!" Julian akhirnya meledak, tinjunya menghantam meja di hadapannya. Suara kayu yang retak membuat Charlotte terlonjak. "Jika pernikahan ini batal, Gerald tidak hanya akan menghancurkan bisnis kita, dia akan memburu kita semua!" Keheningan mencekam ruangan. Hanya terdengar isak tertahan Charlotte yang berusaha mengatur napasnya. Tapi tiba-tiba, tawa kecil, licik, mengisi udara. Charlotte mendongak, menyeka air matanya, lalu memandang ibunya dengan mata berbinar penuh intrik. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menghapus sisa kesan gadis rapuh yang tadi ia perlihatkan. "Kenapa tidak... kita biarkan Alesha menggantikan aku?" ucap Charlotte pelan, tetapi kata-katanya terasa seperti petir yang menggelegar di dalam ruangan itu. Julian dan Florence menoleh serempak. Wajah Julian menegang, sementara Florence memandang putrinya dengan kening berkerut, seolah tak percaya. "Apa maksudmu, Charlotte?" tanya Florence, suaranya hampir tak terdengar. Charlotte bangkit perlahan, menyibakkan rambutnya yang kusut. Tatapan licik terpancar dari matanya yang basah. Ia mendekati ibunya, menggenggam tangannya dengan lembut, tetapi ada ketegasan dalam nada suaranya. "Alesha. Dia anak ayah, tapi bukan anakmu. Dia bukan siapa-siapa di keluarga ini. Tidak ada yang peduli pada hidupnya. Lagipula, ini kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa ia berguna. Jika dia menikah dengan Gerald, keluarga kita aman, dan aku bebas. Semua beres, bukan?" "Charlotte!" seru Florence, setengah terkejut, setengah setuju, meskipun ia berusaha menutupi pikirannya. "Pikirkanlah, Ibu," desak Charlotte, kali ini suaranya terdengar memelas, meskipun raut wajahnya penuh kepalsuan. "Bukankah kita sudah cukup menderita? Haruskah kita korbankan kebahagiaan kita sementara ada orang lain yang bisa menggantikanku?" Florence menggigit bibirnya, menahan emosi. Di sisi lain, Julian memalingkan wajah, pikirannya berputar-putar. Nama Alesha, anak haramnya, terngiang-ngiang di benaknya. Gadis itu telah hidup bertahun-tahun di bawah bayang-bayang keluarga ini, menjadi sasaran hinaan dan perlakuan buruk. "Alesha?" gumam Julian dengan suara berat. Charlotte dan Florence saling memandang, lalu mengangguk bersama. "Benar, Ayah," bisik Charlotte, senyum liciknya semakin melebar. "Alesha adalah solusi kita." Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Kali ini, rasa dingin menjalar, seolah keputusan itu akan membawa bencana yang lebih besar. "Panggilkan Alesha ke sini. Sekarang!" Julian memerintahkan dengan suara yang bergema tegas, tatapannya dingin menusuk ke arah pelayan yang berdiri tidak jauh darinya. "Baik, Tuan." Pelayan itu menunduk hormat sebelum bergegas keluar ruangan, langkahnya cepat namun nyaris tanpa suara. Tidak butuh waktu lama, Alesha Brielle Waverly muncul dari balik pintu. Gadis berusia 21 tahun itu melangkah pelan, hampir ragu, seperti binatang kecil yang memasuki sarang predator. Matanya menatap Julian dengan takut, bibirnya sedikit bergetar. "Ada apa, Ayah?" tanyanya pelan, suara seraknya nyaris tenggelam dalam atmosfer tegang yang memenuhi ruangan. Penampilannya lusuh, mengenakan gaun sederhana yang sudah usang, bekas Charlotte, seperti biasa. Rambutnya diikat asal-asalan, mencerminkan statusnya yang selalu diperlakukan layaknya bayangan di rumah itu. Julian berdiri, tubuhnya tegap meskipun ekspresinya tampak tegang. Namun, ketika ia berbicara, suaranya bak ledakan: "Minggu depan kau akan menikah!" Perkataan itu menghantam Alesha seperti badai ganas. Mata Alesha membelalak, tubuhnya menegang, dan kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya. "A-Ayah... Apa maksudmu?" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku? Menikah?!" Florence yang berdiri di sudut ruangan melangkah mendekat, mengayunkan langkah dengan angkuh. Matanya menyipit, menatap gadis muda itu seperti melihat sesuatu yang menjijikkan. "Kau akan menggantikan kakakmu, Charlotte, menikah dengan Tuan Gerald," katanya dengan nada penuh ejekan. "Tuan muda keluarga Lancaster. Kau tahu siapa dia, bukan?" Nama itu langsung membuat darah Alesha membeku. Ia menggigit bibirnya, lututnya melemas seolah dunia di sekitarnya runtuh. "Tidak... Tidak mungkin... Aku tidak bisa, Ibu, Ayah... Aku..." suaranya pecah, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Plak! Tamparan keras Julian mendarat di pipi Alesha, membuat tubuhnya limbung hingga tersungkur ke lantai. Rasa panas menjalar di wajahnya, sementara air matanya mengalir tanpa henti. "Berani sekali kau menolak perintahku!" teriak Julian, suaranya memantul di dinding ruangan. Wajahnya memerah, emosinya memuncak. "Apa kau ingin menghancurkan semua yang telah kubangun selama ini? Apa kau ingin melihat keluargamu dilenyapkan oleh Lancaster, hah?!" Alesha mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, tatapannya penuh kepedihan. Ia ingin menjawab, ingin membela dirinya, tetapi tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Julian menunjuknya dengan kasar. "Enam belas tahun aku membesarkanmu! Enam belas tahun aku memberimu tempat di rumah ini meskipun kau adalah aib bagi keluargaku! Ini waktunya kau membalas semua itu. Kau akan menikah dengan Gerald Lancaster, suka atau tidak suka!" Florence menyaksikan pemandangan itu dengan senyum sinis di wajahnya. Sementara itu, di belakang Alesha, Charlotte berdiri dengan anggun, bibirnya melengkung membentuk senyum puas yang dingin. "Kau akan menikah, Alesha," kata Charlotte, suaranya lembut namun penuh racun. "Kau hanya perlu menjalankan tugasmu. Bukankah itu yang selalu kau lakukan? Menjadi bayanganku. Jadi pengganti." Alesha menunduk, tangan kecilnya mencengkeram lantai, menggali kekuatan yang entah dari mana. Tapi, tatapan dingin keluarga itu, terutama senyum licik Charlotte, seperti belati yang menancap dalam di hatinya. Di saat itu, Alesha tahu, ia tak pernah memiliki pilihan. Florence berlutut perlahan di depan Alesha, hingga wajahnya sejajar dengan gadis itu yang masih terduduk lemah di lantai. Jemarinya yang dingin mencengkeram dagu Alesha, memaksa gadis itu menatap matanya yang berkilat tajam, penuh ancaman. Dengan gerakan lambat, Florence mendekatkan bibirnya ke telinga Alesha, suaranya berbisik, namun tajam bagaikan pisau yang menusuk langsung ke hati. "Seharusnya kau tahu arti balas budi, bukan, Alesha?" desisnya, dingin dan mematikan. "Jika kau berani melawan, jika kau berani menolak, aku bersumpah akan menyeretmu keluar dari rumah ini. Menjualmu ke lelaki hidung belang, satu per satu, hingga kau tidak memiliki harga lagi. Kau mengerti?" Alesha menggigil, tubuhnya bergetar hebat. Matanya membelalak, menatap Florence dengan campuran ketakutan dan keputusasaan. Ia ingin menjauh, ingin melarikan diri, tetapi tangan Florence mencengkeramnya lebih erat, seperti ular yang melilit mangsanya. "Apa kau pikir selama enam belas tahun ini kau hidup gratis di sini?" lanjut Florence, suaranya berubah tajam, menusuk tanpa ampun. "Apa kau pikir makanan yang kau makan, pakaian yang kau pakai, semuanya datang begitu saja? Tidak, Alesha. Semuanya berasal dari uang keluarga ini. Dan sekarang..." Florence menarik napas dalam, lalu tersenyum dingin. "...sudah waktunya kau membayarnya." Alesha mencoba membuka mulut, ingin membela diri, tetapi tenggorokannya tercekat. Air matanya mengalir semakin deras, menetes ke lantai dingin di bawahnya. Ia tahu tidak ada tempat untuk melarikan diri. Tidak ada yang akan membelanya. "Kau adalah beban, Alesha," Florence melanjutkan, suaranya seperti belati yang terus menghujam. "Dan ini adalah satu-satunya kesempatanmu untuk membuktikan bahwa kau berguna. Kau akan menikah dengan Gerald Lancaster, entah kau mau atau tidak. Jika kau menolak, kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?" Florence perlahan melepas cengkeramannya, namun sebelum berdiri, ia menyentuh pipi Alesha dengan gerakan yang anehnya lembut, namun penuh ejekan. "Ingat, Alesha," bisiknya sekali lagi. "Di dunia ini, hanya orang lemah yang menjadi mangsa. Jangan paksa aku menjadi pemangsa terakhir yang kau temui." Florence berdiri tegak, menatap Alesha yang masih membeku di lantai. Wajahnya kembali penuh keangkuhan, seolah ia baru saja memenangkan pertempuran besar. Charlotte, yang menyaksikan dari balik sofa, hanya tersenyum tipis sambil menyilangkan tangan di dada, menikmati pemandangan itu seolah itu adalah hiburan pribadinya. Di sudut ruangan, Julian hanya memalingkan wajah, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bagi Julian, ini bukan lagi soal kasih sayang. Ini adalah tentang bertahan hidup. Dan Alesha? Ia hanya alat untuk mencapai tujuan mereka. Alesha mengepalkan tangan, menunduk dalam-dalam, merasakan kepedihan yang tak terlukiskan. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: "Kenapa aku harus dilahirkan ke dunia ini?""Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa
"Kenapa harus putri kita yang menderita?! Apa kau tidak punya hati?!" Florence Arabella Waverly menjerit histeris, matanya berkilat penuh amarah, menunjuk tepat ke arah suaminya. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun malam yang bergetar seperti dirinya.Charlotte Amelie Waverly, sang putri pertama, terduduk di sofa. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya menggema di ruang tamu mewah itu. Wajahnya yang biasanya anggun kini kusut, memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan."Cukup, Florence!" Julian Maxwell Waverly, kepala keluarga, membalas dengan suara berat yang hampir berbisik namun mengandung ancaman. "Ini bukan soal hati. Ini tentang kelangsungan keluarga kita. Pernikahan Charlotte dengan Tuan Gerald sudah menjadi kesepakatan sejak lama, dan kita tidak bisa mundur begitu saja."Florence merangkul Charlotte, seolah ingin melindungi anaknya dari semua ancaman dunia. "Julian, kau tahu siapa Gerald Dominic Lancaster itu! Dia bukan pria biasa! Dia ketua mafia Serigala Malam yang