Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari.
"Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri. Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya. "Ibu," gumamnya pelan, seolah berbicara pada seseorang yang tidak ada di sana. "Kenapa hidupku selalu penuh dengan kesialan? Kenapa aku harus menanggung semua ini?" Matanya memandang jauh ke langit biru, tetapi pandangan itu kosong. Nama yang terus terngiang di kepalanya terasa seperti pisau tajam yang menyayat hati. "Gerald Dominic Lancaster," ia menyebut nama itu dengan suara rendah, penuh ketakutan. "Apakah aku akan mati di tangannya? Apakah ini akhirnya, Bu?" Air mata yang coba ia tahan akhirnya jatuh juga. Menetes pelan, membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena angin, tetapi karena ketakutan yang menggulungnya. Ketakutan akan pria yang akan menjadi suaminya. Pria yang terkenal dengan kekejaman tanpa ampun. Namun, beberapa saat kemudian, senyum miris terlukis di wajahnya. Senyum yang terlihat lebih seperti kepasrahan daripada kebahagiaan. Ia tertawa kecil, tertawa yang terdengar getir dan menyakitkan. "Tapi tidak apa, Bu," gumamnya lagi, suaranya kini terdengar lebih serak. "Jika aku mati di sana, mungkin akhirnya kita bisa bertemu lagi. Mungkin aku bisa memelukmu seperti dulu." Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya, tetapi kenyataan terus membebani pikirannya. Bayangan Gerald, dengan tatapan tajam dan senyum dinginnya, terasa seperti bayangan gelap yang menghantui setiap detik hidupnya. "Tapi... jika aku hidup..." bisiknya lagi, kali ini suaranya sedikit berbeda. Ada sesuatu yang aneh di sana. Keteguhan. Alesha menggigit bibirnya, menggenggam kuat ujung roknya. Matanya yang basah kini menatap jauh ke depan, menembus batas cakrawala. "Jika aku hidup, aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkanku lagi." Suaranya pelan, tetapi penuh tekad. Seolah, untuk pertama kalinya, ia mulai menantang takdir yang terus menekannya. Di tengah rasa takutnya, ada percikan kecil dari api yang mulai menyala, api yang mungkin suatu hari akan membakar semua yang mencoba melawannya. ---- Hari yang mendebarkan itu akhirnya tiba. Hari yang akan menentukan bagaimana hidup Alesha Brielle Waverly berubah selamanya, hari pernikahannya. Sehari sebelumnya, Charlotte telah menghilang dari rumah, membawa koper dan semua rencana liciknya. Keluarga Waverly sengaja menyebarkan kabar bahwa Charlotte telah melarikan diri ke luar negeri bersama kekasih lamanya, membuat drama kecil untuk mengalihkan perhatian keluarga Lancaster. Semua telah diatur dengan rapi, dan Alesha tak lebih dari pion dalam permainan ini. Di ruangan besar dengan dinding berlapis emas dan lampu kristal yang berkilauan, Alesha duduk di depan cermin rias. Sejumlah tangan sibuk menata rambutnya, menyempurnakan riasan di wajahnya, dan merapikan gaun pengantin putih gading yang membalut tubuhnya. Cermin besar itu memantulkan bayangan seorang wanita yang tampak sempurna dari luar. Namun, di balik riasan mewah itu, mata Alesha menyimpan luka dan ketakutan. Bisik-bisik mulai terdengar dari sudut ruangan. Para perias dan pelayan yang berdiri di belakangnya tak mampu menahan diri untuk berbisik tentang pengantin pengganti ini. "Kasihan sekali, hanya boneka keluarga." "Dia bahkan tidak diinginkan di sini, apalagi oleh pengantin pria." "Bagaimana bisa dia bertahan nanti dengan Tuan Gerald?" Suara-suara itu menusuk telinga Alesha seperti jarum yang tak terlihat. Tangannya menggenggam kuat tepi kursi, jemarinya memutih karena tekanan. Napasnya berat, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahannya. "Diam," ujar Alesha tiba-tiba, suaranya rendah namun tajam, seperti pisau yang memotong udara. Ruangan itu mendadak sunyi. Semua orang menatapnya dengan terkejut. Alesha perlahan berdiri, matanya memandang bayangannya sendiri di cermin. Gaun pengantin itu terlihat begitu megah, tetapi ia tahu itu bukan miliknya. Itu milik Charlotte. Segalanya adalah milik kakaknya. Ia tersenyum miring, senyum yang penuh kepahitan. "Kalian benar. Aku memang hanya pengganti," ucapnya dengan nada dingin, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat orang-orang merinding. Semua orang terdiam, tertegun oleh kata-katanya. Tidak ada yang berani membalas. Alesha menatap dirinya sendiri sekali lagi, lalu mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. Di matanya, ada percikan api yang sebelumnya tersembunyi. "Hari ini, aku adalah pengantinnya. Entah ini akan menjadi akhirku atau awal yang baru. Tapi satu hal yang pasti..." Ia berhenti sejenak, membiarkan suasana semakin tegang. "...aku tidak akan membiarkan siapa pun meremehkanku lagi, termasuk dia." Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan kesan mendalam pada siapa pun yang mendengarnya. Alesha tahu ia sedang melangkah ke dalam kegelapan, tetapi kali ini, ia tidak akan masuk tanpa perlawanan. Saat pintu ruangan terbuka, pelayan datang memberi tahu bahwa saatnya sudah tiba. Alesha menghela napas panjang, membuang semua keraguan yang tersisa. Ia melangkah keluar, memasuki dunia baru yang menantinya, dunia penuh bahaya, kebohongan, dan kekuasaan. ---- Alesha melangkah di atas karpet merah dengan keanggunan yang nyaris tak terbantahkan. Gaun putihnya memeluk tubuhnya dengan sempurna, menyeret ekor panjang yang tampak seperti lautan sutra di belakangnya. Sepatu hak tingginya menyentuh lantai dengan bunyi halus, namun setiap langkahnya terasa menggema di seluruh aula megah itu. Di ujung altar, berdiri seorang pria yang memancarkan aura dominasi yang begitu kuat hingga seolah menelan udara di sekitarnya. Gerald Dominic Lancaster. Setelan jas hitamnya rapi tak bercela, tetapi aura dingin yang terpancar dari matanya membuat siapa pun yang melihatnya merasa terintimidasi. Tatapan Gerald tajam, menelusuri setiap inci Alesha dengan pandangan seperti predator yang mengamati mangsanya. Mata gelapnya penuh dengan kekuasaan, kekejaman, dan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Namun, Alesha, dengan wajah datar dan tatapan tak tergoyahkan, melangkah mendekatinya. Ia tidak menghindar dari tatapan pria itu, meskipun sorot matanya bagai pisau yang menusuk langsung ke jiwanya. Ruang itu dipenuhi tamu-tamu penting yang berbicara dalam bisikan, memandang pemandangan di depan mereka dengan rasa ingin tahu dan kegelisahan. Semua orang tahu siapa Gerald dan reputasi yang melekat padanya. Namun, mereka tidak tahu banyak tentang Alesha, pengantin pengganti yang tiba-tiba muncul menggantikan Charlotte. Saat akhirnya Alesha berdiri di samping Gerald di altar, suasana semakin mencekam. Wajah Gerald tak berubah, dingin, tak terbaca, tetapi tubuhnya memancarkan aura yang mengancam. Pendeta mulai berbicara, suaranya terdengar lembut namun tegas, menggema di seluruh ruangan. "Kami berkumpul di sini hari ini untuk menyaksikan pernikahan yang akan mengikat dua keluarga besar dalam janji suci..." Alesha mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya terasa kosong. Kata-kata pendeta mengalir seperti angin yang berlalu, tak benar-benar masuk ke telinganya. Di hadapannya, Gerald tak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari dirinya, seolah ingin menggali rahasia terdalam yang disembunyikannya. Ketika tiba saatnya sumpah pernikahan, Gerald mengambil tangan Alesha. Sentuhan tangannya dingin, tetapi genggamannya kuat, mencengkeram seolah ingin menunjukkan siapa yang berkuasa di sini. Alesha menatapnya dengan tatapan tak gentar, bibirnya sedikit mengerut, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. "Aku, Gerald Dominic Lancaster, berjanji akan melindungimu, menghormatimu, dan menjadikanmu milikku..." ucap Gerald dengan nada rendah dan dalam, tetapi setiap kata terasa seperti ancaman yang terselubung. Saat giliran Alesha tiba, ia menarik napas panjang, suaranya sedikit gemetar tetapi tetap tegas. "Aku, Alesha Brielle Waverly, berjanji akan setia, menghormatimu, dan..." Ia berhenti sejenak, matanya terkunci pada Gerald. "...tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan dirimu, menghancurkanku." Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Alesha, terkejut oleh keberaniannya. Bahkan Gerald, untuk sesaat, terlihat terkejut. Tapi kemudian, senyum tipis terlukis di wajahnya, bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum penuh bahaya. Pendeta menyelesaikan ritual dengan nada tergesa-gesa, mungkin merasa suasana ini terlalu berat untuk dihadapi. Ketika ciuman pengantin diminta, Gerald menunduk mendekati Alesha. Ia tidak memberinya pilihan. Bibir dinginnya menyentuh bibir Alesha dengan kasar, bukan penuh cinta, tetapi lebih seperti tanda kepemilikan. Alesha mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menahan diri untuk tidak mendorong pria itu. Saat Gerald menjauh, ia berbisik dengan nada rendah yang hanya bisa didengar Alesha. "Selamat datang di neraka, Nyonya Lancaster." Namun, Alesha, dengan kepala terangkat tinggi, membalas dengan suara pelan namun penuh ketegasan. "Aku tidak takut dengan apimu, Tuan Lancaster."Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, dan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya membuatnya meringis. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah seluruh energinya terkuras habis. Ketika akhirnya pandangannya mulai jelas, ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu gelap dan dingin, dikelilingi oleh dinding-dinding bernuansa hitam yang tampak menekan dari segala sisi. Lampu temaram di sudut meja memberikan cahaya yang nyaris tak berarti, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring nafasnya yang tak beraturan. Aroma sabun mahal yang menguar memenuhi inderanya, bercampur dengan rasa asing yang menempel di kulitnya. Di kejauhan, suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi. Setiap tetesan air yang jatuh seakan menggema, menyelusup ke dalam benaknya yang mulai panik. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, lalu menyadari tempat di mana ia berada. "Kamar Gerald?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Napasnya tertahan saat
Gerald berdiri di depan lemari besar berlapis kayu eboni, sinar lampu temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang tegap. Ia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya tanpa ragu, memperlihatkan kulitnya yang penuh luka bekas pertarungan. Tangannya dengan tenang mengambil satu set pakaian serba hitam, sementara tatapannya tetap kosong dan dingin.“K-Kenapa kau memakainya di sini?” suara Alesha memecah keheningan, terdengar gugup sekaligus kesal. Ia buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan, pipinya memanas karena malu.Gerald menoleh perlahan, seringai dingin terlukis di wajahnya. “Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh ejekan. “Bukankah kau sudah melihat semuanya? Atau kau ingin melihat lebih lama?”Alesha tercekat, cepat-cepat membenamkan dirinya di balik selimut. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu tetapi juga karena rasa takut yang mulai merayap. Gerald, seperti biasanya, menikmati reaksinya. Ia menyelesaikan pakaiannya dengan gerakan yang nyaris malas, lalu berjalan mendekati Ales
Satu bulan telah berlalu dalam kesunyian yang menusuk. Setelah menandatangani perjanjian itu, Gerald menghilang seperti bayangan, seolah tak pernah ada di sisi Alesha. Tidak ada kehadirannya, tidak ada suara perintahnya, hanya kekosongan yang menghantui setiap sudut rumah megah itu. Meskipun kini Alesha memegang gelar nyonya muda Lancaster, hidupnya tak ubahnya seperti seekor phoenix yang terkurung dalam sangkar emas. Kemewahan yang mengelilinginya terasa dingin, membeku di dalam jeruji tak kasat mata yang disebut kekuasaan. Di balik jendela besar ruangannya, ia menatap ke luar, matanya kosong namun pikirannya bergejolak. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan gila.” gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Dengan gerakan penuh tekad, Alesha bangkit dari kursi, tubuhnya terasa berat namun dipaksa bergerak. Ia berjalan menuju pintu, langkahnya pelan namun pasti, seperti seseorang yang tengah mendekati medan perang. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang
Alesha tertidur dalam kelelahan, pikirannya masih dipenuhi kemarahan dan tekad yang belum tuntas. Ia meringkuk di atas ranjang megah, piyama tipis membungkus tubuhnya yang mungil namun menggoda. Cahaya bulan yang menembus celah tirai menyorot lekuk tubuhnya dengan samar, menciptakan siluet yang tampak rapuh… namun penuh perlawanan.Kesunyian itu hancur dalam sekejap.Sebuah tangan besar mencengkeram lehernya dengan kasar, jari-jari kekar itu menekan dengan kekuatan yang mengancam nyawanya.Alesha terbangun dengan terengah, matanya melebar dalam keterkejutan. Pandangannya kabur, namun sosok tinggi dengan aura gelap berdiri tepat di hadapannya. Gerald.Pria itu condong ke arahnya, napasnya berat, penuh dengan aroma alkohol yang menusuk. Mata tajamnya bersinar dalam kegelapan, mengunci pandangan Alesha seperti seekor serigala yang siap merobek mangsanya.Alesha tersentak panik, kedua tangannya refleks meraih pergelangan tangan Gerald, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi itu. "K
Kesunyian malam merayap di setiap sudut kamar, menyelimuti dua tubuh yang terbaring di atas ranjang megah itu. Di sisi lain, Alesha duduk tegak, tubuhnya masih dibalut selimut tipis sementara sorot matanya menatap tajam ke arah pria yang terlelap di sampingnya.Gerald, sosok yang begitu mendominasi, bahkan dalam tidurnya, masih memancarkan aura mengintimidasi yang tak bisa diabaikan. Nafasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang tenang, seolah tak menyadari bahwa bahaya tengah mengintai begitu dekat.Alesha menggigit bibir bawahnya, tangannya perlahan meraih pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela memantulkan kilauan dingin di ujung bilah tajam itu.Ia mengangkat pisaunya, mengarahkannya tepat ke dada Gerald. Jemarinya menggenggam erat gagang senjata itu, sementara napasnya tersengal-sengal. Ini adalah kesempatan emas. Satu tikaman, dan semuanya akan berakhir."Dengan membunuhnya... aku bisa bebas."Detik demi detik
"Kenapa harus putri kita yang menderita?! Apa kau tidak punya hati?!" Florence Arabella Waverly menjerit histeris, matanya berkilat penuh amarah, menunjuk tepat ke arah suaminya. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun malam yang bergetar seperti dirinya.Charlotte Amelie Waverly, sang putri pertama, terduduk di sofa. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya menggema di ruang tamu mewah itu. Wajahnya yang biasanya anggun kini kusut, memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan."Cukup, Florence!" Julian Maxwell Waverly, kepala keluarga, membalas dengan suara berat yang hampir berbisik namun mengandung ancaman. "Ini bukan soal hati. Ini tentang kelangsungan keluarga kita. Pernikahan Charlotte dengan Tuan Gerald sudah menjadi kesepakatan sejak lama, dan kita tidak bisa mundur begitu saja."Florence merangkul Charlotte, seolah ingin melindungi anaknya dari semua ancaman dunia. "Julian, kau tahu siapa Gerald Dominic Lancaster itu! Dia bukan pria biasa! Dia ketua mafia Serigala Malam yang
Kesunyian malam merayap di setiap sudut kamar, menyelimuti dua tubuh yang terbaring di atas ranjang megah itu. Di sisi lain, Alesha duduk tegak, tubuhnya masih dibalut selimut tipis sementara sorot matanya menatap tajam ke arah pria yang terlelap di sampingnya.Gerald, sosok yang begitu mendominasi, bahkan dalam tidurnya, masih memancarkan aura mengintimidasi yang tak bisa diabaikan. Nafasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang tenang, seolah tak menyadari bahwa bahaya tengah mengintai begitu dekat.Alesha menggigit bibir bawahnya, tangannya perlahan meraih pisau yang ia sembunyikan di bawah bantal. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela memantulkan kilauan dingin di ujung bilah tajam itu.Ia mengangkat pisaunya, mengarahkannya tepat ke dada Gerald. Jemarinya menggenggam erat gagang senjata itu, sementara napasnya tersengal-sengal. Ini adalah kesempatan emas. Satu tikaman, dan semuanya akan berakhir."Dengan membunuhnya... aku bisa bebas."Detik demi detik
Alesha tertidur dalam kelelahan, pikirannya masih dipenuhi kemarahan dan tekad yang belum tuntas. Ia meringkuk di atas ranjang megah, piyama tipis membungkus tubuhnya yang mungil namun menggoda. Cahaya bulan yang menembus celah tirai menyorot lekuk tubuhnya dengan samar, menciptakan siluet yang tampak rapuh… namun penuh perlawanan.Kesunyian itu hancur dalam sekejap.Sebuah tangan besar mencengkeram lehernya dengan kasar, jari-jari kekar itu menekan dengan kekuatan yang mengancam nyawanya.Alesha terbangun dengan terengah, matanya melebar dalam keterkejutan. Pandangannya kabur, namun sosok tinggi dengan aura gelap berdiri tepat di hadapannya. Gerald.Pria itu condong ke arahnya, napasnya berat, penuh dengan aroma alkohol yang menusuk. Mata tajamnya bersinar dalam kegelapan, mengunci pandangan Alesha seperti seekor serigala yang siap merobek mangsanya.Alesha tersentak panik, kedua tangannya refleks meraih pergelangan tangan Gerald, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi itu. "K
Satu bulan telah berlalu dalam kesunyian yang menusuk. Setelah menandatangani perjanjian itu, Gerald menghilang seperti bayangan, seolah tak pernah ada di sisi Alesha. Tidak ada kehadirannya, tidak ada suara perintahnya, hanya kekosongan yang menghantui setiap sudut rumah megah itu. Meskipun kini Alesha memegang gelar nyonya muda Lancaster, hidupnya tak ubahnya seperti seekor phoenix yang terkurung dalam sangkar emas. Kemewahan yang mengelilinginya terasa dingin, membeku di dalam jeruji tak kasat mata yang disebut kekuasaan. Di balik jendela besar ruangannya, ia menatap ke luar, matanya kosong namun pikirannya bergejolak. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan gila.” gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri. Dengan gerakan penuh tekad, Alesha bangkit dari kursi, tubuhnya terasa berat namun dipaksa bergerak. Ia berjalan menuju pintu, langkahnya pelan namun pasti, seperti seseorang yang tengah mendekati medan perang. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang
Gerald berdiri di depan lemari besar berlapis kayu eboni, sinar lampu temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang tegap. Ia melepaskan handuk yang melilit pinggangnya tanpa ragu, memperlihatkan kulitnya yang penuh luka bekas pertarungan. Tangannya dengan tenang mengambil satu set pakaian serba hitam, sementara tatapannya tetap kosong dan dingin.“K-Kenapa kau memakainya di sini?” suara Alesha memecah keheningan, terdengar gugup sekaligus kesal. Ia buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan, pipinya memanas karena malu.Gerald menoleh perlahan, seringai dingin terlukis di wajahnya. “Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh ejekan. “Bukankah kau sudah melihat semuanya? Atau kau ingin melihat lebih lama?”Alesha tercekat, cepat-cepat membenamkan dirinya di balik selimut. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu tetapi juga karena rasa takut yang mulai merayap. Gerald, seperti biasanya, menikmati reaksinya. Ia menyelesaikan pakaiannya dengan gerakan yang nyaris malas, lalu berjalan mendekati Ales
Alesha membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, dan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya membuatnya meringis. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat, seolah seluruh energinya terkuras habis. Ketika akhirnya pandangannya mulai jelas, ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu gelap dan dingin, dikelilingi oleh dinding-dinding bernuansa hitam yang tampak menekan dari segala sisi. Lampu temaram di sudut meja memberikan cahaya yang nyaris tak berarti, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak seiring nafasnya yang tak beraturan. Aroma sabun mahal yang menguar memenuhi inderanya, bercampur dengan rasa asing yang menempel di kulitnya. Di kejauhan, suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi. Setiap tetesan air yang jatuh seakan menggema, menyelusup ke dalam benaknya yang mulai panik. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, lalu menyadari tempat di mana ia berada. "Kamar Gerald?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Napasnya tertahan saat
Gerald melangkah maju dengan langkah mantap, aura dominasi yang dingin terasa memenuhi ruangan. Tubuh tegapnya kini berdiri tepat di depan Alesha, membayangi tubuh gadis itu yang duduk di tepi ranjang. Tatapannya tajam, menancap lurus pada wajah Alesha, seperti predator yang mengamati mangsanya."Keluar," perintah Gerald dengan suara rendah namun tegas kepada pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan. Tak perlu ucapan kedua, pelayan itu segera menunduk dalam-dalam dan pergi terburu-buru, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mencekam.Pintu tertutup dengan suara keras, menggema di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Gerald tidak mengatakan apa-apa saat ia menundukkan tubuhnya, wajahnya kini hanya sejengkal dari Alesha.Dengan gerakan cepat dan kasar, tangannya mencengkeram dagu gadis itu, memaksa wajahnya terangkat untuk menatap langsung ke matanya. Jemarinya mencengkeram kuat, membuat Alesha sedikit meringis, namun ekspresinya tetap tenang."Dengar baik-baik, Ales
Alesha menatap megahnya rumah itu, rumah pribadi Gerald Dominic Lancaster, yang kini resmi menjadi suaminya. Bangunan bergaya modern itu berdiri kokoh, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran emas dan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Namun, kemewahan ini terasa dingin, seperti cerminan pemiliknya yang penuh kekuasaan dan ancaman.Di depan pintu utama, seorang pelayan wanita berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, seolah takut salah gerak. Wajahnya pucat, dan matanya menghindar dari kontak langsung dengan Alesha."Selamat datang di kediaman Tuan Muda Lancaster, Nyonya Muda," ucap pelayan itu sopan, suaranya gemetar seperti daun dihembus angin. "Saya ditugaskan untuk melayani Anda."Alesha menghela napas panjang, perasaan tidak nyaman merayap dalam dirinya. Ia tak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, apalagi dengan seseorang yang harus terus berada di sisinya. "Tidak perlu," katanya dingin, suaranya rendah namun cukup tajam. "Aku hanya butuh kamarku. Tunjukkan jalann
Di dalam kamar yang suram, Alesha berdiri di depan kalender besar yang tergantung di dinding. Tangan gemetar memegang spidol merah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menyilang angka besar di kalender itu, tanda bahwa satu hari lagi telah berlalu, mendekatkannya pada takdir yang tak dapat ia hindari."Tiga hari lagi," bisiknya dengan suara bergetar, matanya terpaku pada tanggal yang kini menjadi hari pernikahannya, menggantikan kakaknya yang melarikan diri.Air mata mulai menggenang di ujung matanya, tetapi ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tangisan tidak akan mengubah apa pun. Ia sudah tahu itu. Langkahnya membawa tubuh yang lelah ke balkon kecil di kamarnya. Alesha duduk di tepi balkon, membiarkan kakinya menggantung di udara. Sinar matahari yang tajam menyentuh kulitnya, tetapi rasanya seperti tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Angin semilir menyibak rambut hitam panjangnya yang terurai, tetapi hembusannya hanya mempertegas kesunyian di sekelilingnya
"Ayah, aku tidak ingin menikah!" Alesha akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar hebat. Ia menatap Julian dengan mata yang penuh ketakutan, namun di dalamnya ada kilatan kecil keberanian yang memudar seiring waktu.Namun, sebelum kata-katanya selesai, Julian sudah melangkah mendekat.Plak!Sebuah pukulan keras dari tongkat kayu Julian mendarat tepat di sisi tubuhnya. Alesha terhuyung, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi Julian tidak berhenti."Anak durhaka!" teriak Julian, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Jika aku tahu kau akan berani melawan seperti ini, aku akan membiarkanmu mati kelaparan di jalanan dulu!"Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Alesha. Tongkat itu menghantam punggung, bahu, dan lengannya, meninggalkan bekas luka yang segera berubah merah kebiruan."Ayah, hentikan! Tolong!" jerit Alesha, suaranya memohon di sela tangis dan rasa sakit yang luar biasa.Namun, Julian tidak peduli. Ia terus melampiaskan amarahnya, sementa