Melissa menekan tombol flush kloset. Dia tak lantas keluar dari kamar mandi. Dia duduk dan memijat-mijat kepalanya. Ini sudah ketiga kalinya dia pergi ke kamar mandi karena mual yang ia rasakan. Tubuhnya luar biasa lemas karena memuntahkan semua sarapannya tadi pagi, dia bahkan yakin saat ini lambungnya benar-benar kosong.Tok Tok Tok“Ya! Melissa, kalau kau belum sembuh lebih baik pulang saja. Aku tidak tega melihatmu seperti ini. Kau bisa mati lemas.” Teriak Raga dari balik pintu kamar mandi.“Aku akan keluar!” balas Melissa.Melissa membenarkan pakaiannya lalu berdiri dengan perlahan. Kepalanya juga luar biasa pening. Mungkin Raga benar, dia seharusnya pulang saja tapi ini bahkan baru pukul 09.00 pagi. Sebentar lagi pelanggan pasti ramai.Ceklek“Astaga! Wajahmu pucat sekali, Melissa.” Ucap Sanny.“Aku mungkin keracunan.” Ucap Melissa.“Apa yang kau makan tadi pagi?” Tanya Raga.“Aku hanya makan nasi dan sup ayam.” Ucap Melissa sambil mengingat makanan apa yang ia makan tadi pagi.
Tempat Pemberhentian BusPukul 17.00Melissa duduk menatap jalanan yang basah karena hujan yang baru saja berhenti. Dia masih belum beranjak dari kursi halte. Tadi dia memutuskan untuk berteduh saat hujan turun, tapi kemudian dia menemukan dirinya menjadi enggan untuk pulang ke rumah keluarga Erlangga. Ini masih pukul 5 sore, dia akan pulang sebentar lagi.Melissa mengeluarkan headset dari dalam tasnya, dia lalu menyambungkannya pada ponselnya. Lagu Serendipity dari Jimin BTS langsung mengisi indra pendengaran Melissa, bibir Melissa tersenyum mendengar lirik lagu yang terdengar begitu manis. Kalau bisa diungkapkan, lagu ini menggambarkan perasaannya saat ini.Melissa menengadahkan kepalanya menatap langit, tangannya bergerak perlahan menuju perutnya. Ada perasaan asing yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata tetapi yang ia tahu ia harus menjadi Melissa yang pemberani dan kuat. Awalnya dia sangat ketakutan begitu melihat dua garis yang muncul pada alat tes kehamilan yang ia gun
“Bagaimana bisa semua foto itu salah?” Tanya Ibu Melissa.“Aku tidak tahu. Ibu, ayah, tuan, nyonya, aku bisa menjelaskan semua ini. Aku pasti sudah dijebak. Kalian harus percaya padaku.” Ucap Melissa membela diri. Kepalanya benar-benar akan pecah sekarang.“Kau benar-benar membuat malu kami, aku malu sekali Melissa.” Ucap Ibu Melissa lagi.Melissa menatap Erlangga dan pria itu masih saja diam tak memberikan respon. Katakan sesuatu! Biasanya mulut pria itu sangat tajam bahkan mengalahkan belati. Melissa memejamkan matanya merasa bingung. Diamnya Erlangga membuat Melissa sadar bahwa pria itu sangat kecewa padanya.“Erlangga, aku bisa jelaskan semua ini.” Ucap Melissa.Erlangga menatap Melissa sebentar lalu melempar tatapannya pada semua orang di ruangan. “Aku akan mencari tahu kebenaran dari semua ini, aku percaya pada apa yang Melissa katakan. Biarkan kami menyelesaikan masalah ini sendiri.” Ucap Erlangga lalu kembali mencengkram pergelangan tangan Melissa.“Ayo, Melissa.” Ucap Erlangg
Melissa duduk di tepi kasur sambil menatap pintu kamar berharap Erlangga akan kembali. Sudah hampir satu jam dan pria itu belum juga kembali ke kamar mereka. Beberapa kali Erlangga menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Kepalanya mulai terasa sakit, ingin rasanya berbaring sebentar tapi dia masih ingin menunggu Erlangga. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya berharap Erlangga menelepon atau meninggalkan pesan untuknya.“Dia pasti sangat kecewa padaku.” Melissa memijat kepalanya berusaha menghilangkan rasa pening yang mulai muncul.Tangan Melissa bergerak menyentuh perutnya, tiba-tiba dia ingat bahwa sekarang dia membawa satu nyawa ke dalam dirinya. Kepalanya rasanya akan pecah memikirkan segala hal yang sedang terjadi saat ini, tapi satu hal yang dia inginkan sekarang hanyalah Erlangga kembali lalu mereka bisa berbicara tanpa emosi yang meluap-luap.TING!Melissa reflek membuka ponselnya. Sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Rasa kecewa langsung menghinggapinya begitu ia
Aku Hamil! Ucap Melissa dalam hati. Rasanya ia ingin sekali berteriak tetapi dia tak punya keberanian yang besar untuk mengatakan pada keluarganya bahwa ia sedang hamil.“Melissa, sejak awal itu bukan tempatmu. Itu milik Marissa, sekarang dia sudah kembali. Biarkan Marissa bersama dengan Erlangga, berikan dia kesempatan sekali lagi. Kau bisa mengejar apa pun yang sempat tertunda karena harus berkorban untuk Marissa.” Ucap Ibu Melissa dengan sendu. Tatapannya adalah jenis tatapan yang penuh dengan permohonan.“Ibu, apakah hidupku tidak penting? Apakah menurutmu aku terlahir untuk selalu berkorban demi Melissa? Sejak kecil selalu Marissa yang diutamakan. Mengapa Ibu selalu pilih kasih dan membela Kak Marissa? Aku juga anakmu tapi kenapa tidak memperlakukanku dengan setara? Untuk kali ini saja aku tidak ingin dikorbankan lagi.” Ucap Melissa dengan suara bergetar.Wanita paruh baya itu hanya tertegun mendengar ucapan Melissa. Dia menyadari bahwa apa yang dikatakan Melissa semuanya benar.
Melissa terdiam tak bisa berkata-kata, apa yang Marissa katakan membuatnya sedikit bingung dan goyah. Dia ingin percaya pada apa yang Erlangga katakan di awal pernikahan mereka bahwa dia akan menjalani pernikahan ini dengan sesungguhnya tetapi apa yang Marissa katakan juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana kalau memang selama ini Erlangga hanya emosi dan dia belum menyadari bahwa perasaannya pada Marissa memang tidak pernah berubah sama sekali?“Pergilah dan tinggal bersama nenek di Bogor.” Ucap Marissa. “Aku yakin dengan perginya dirimu, keadaan akan kembali seperti semula. Sekali ini saja, tolong bantu aku.” Ucap Marissa memohon pada Melissa.“Bagaimana kalau sekali ini saja aku yang meminta bantuanmu? Jangan mengusirku dari sini.” Ucap Melissa pada Marissa.“Melissa, bawa semua tabungan Ibu. Kau ingin berkuliah, kan? Ini pakai semua tabungan Ibu. Tinggallah dengan nenekmu, temukan kebahagiaanmu. Ibu mohon, Melissa.” Ucap Ibu Melissa dengan permohonan. Wanita itu meraih ta
Wajah Melissa menghantam dada bidang Erlangga, tidak keras tetapi cukup membuatnya memekik terkejut. Melissa mengangkat kepalanya ke atas. Tatapan mereka saling mengunci satu sama lain.“Kau habis menangis?” Tanya Erlangga.“Erlangga…” ucap Melissa lalu mencoba bangun namun Erlangga dengan cepat membalik tubuhnya hingga posisi pria itu kini menindih Melissa.“Apa yang kau lakukan, lepaskan aku!” ucap Melissa panik. Erlangga menahan kedua tangan gadis itu di sisi kepalanya dengan keras.“Apa yang sedang kau lakukan di sini? Menggodaku?” Tanya Erlangga dengan dingin. Melissa masih dapat merasakan emosi pria itu masih belum surut.“Tidak, aku tidak tahu kau ada di sini. Biarkan aku kembali ke kamar.” Ucap Melissa lalu mencoba mendorong Erlangga namun usahanya tidak membuahkan hasil apa pun. Erlangga justru semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan gadis itu.“Erlangga, tolong lepaskan aku. Kau menyakitiku.” Ucap Melissa memelas. Perlahan cengkeraman pria itu mengendur te
Melissa memotong ucapan Erlangga. Ia tahu bahwa semakin dibiarkan, pria itu akan mengatakan kalimat-kalimat yang lebih menyakitkan lagi. Untuk sepersekian detik suasana begitu senyap. Bahkan Melissa bisa mendengarkan bunyi jantungnya sendiri yang berdetak begitu cepat.Erlangga mengambil botol wine dari lantai lalu meneguknya langsung dari botol. “Siapa?” Tanya Erlangga singkat.“Siapa apanya?” Tanya Melissa bingung.“Siapa ayah dari bayi di kandunganmu?” Tanya Erlangga.Mata Melissa sontak terbelalak mendengar ucapan Erlangga tetapi dia berusaha menormalkan kembali ekspresinya. Rasanya seperti seseorang baru saja menusuknya tepat di dada. Air matanya berdesakan ingin keluar tetapi dia berusaha menahannya mati-matian. Dia tidak mau menangis di hadapan pria yang baru saja merendahkan dirinya.“Jangan keterlaluan begitu. Kau pikir aku pelacur?” Ucap Melissa dengan santai seolah pertanyaan Erlangga tidak memengaruhinya sama sekali.Erlangga menyadari bahwa dia sudah keterlaluan sekali. P
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan