Wajah Melissa menghantam dada bidang Erlangga, tidak keras tetapi cukup membuatnya memekik terkejut. Melissa mengangkat kepalanya ke atas. Tatapan mereka saling mengunci satu sama lain.“Kau habis menangis?” Tanya Erlangga.“Erlangga…” ucap Melissa lalu mencoba bangun namun Erlangga dengan cepat membalik tubuhnya hingga posisi pria itu kini menindih Melissa.“Apa yang kau lakukan, lepaskan aku!” ucap Melissa panik. Erlangga menahan kedua tangan gadis itu di sisi kepalanya dengan keras.“Apa yang sedang kau lakukan di sini? Menggodaku?” Tanya Erlangga dengan dingin. Melissa masih dapat merasakan emosi pria itu masih belum surut.“Tidak, aku tidak tahu kau ada di sini. Biarkan aku kembali ke kamar.” Ucap Melissa lalu mencoba mendorong Erlangga namun usahanya tidak membuahkan hasil apa pun. Erlangga justru semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan gadis itu.“Erlangga, tolong lepaskan aku. Kau menyakitiku.” Ucap Melissa memelas. Perlahan cengkeraman pria itu mengendur te
Melissa memotong ucapan Erlangga. Ia tahu bahwa semakin dibiarkan, pria itu akan mengatakan kalimat-kalimat yang lebih menyakitkan lagi. Untuk sepersekian detik suasana begitu senyap. Bahkan Melissa bisa mendengarkan bunyi jantungnya sendiri yang berdetak begitu cepat.Erlangga mengambil botol wine dari lantai lalu meneguknya langsung dari botol. “Siapa?” Tanya Erlangga singkat.“Siapa apanya?” Tanya Melissa bingung.“Siapa ayah dari bayi di kandunganmu?” Tanya Erlangga.Mata Melissa sontak terbelalak mendengar ucapan Erlangga tetapi dia berusaha menormalkan kembali ekspresinya. Rasanya seperti seseorang baru saja menusuknya tepat di dada. Air matanya berdesakan ingin keluar tetapi dia berusaha menahannya mati-matian. Dia tidak mau menangis di hadapan pria yang baru saja merendahkan dirinya.“Jangan keterlaluan begitu. Kau pikir aku pelacur?” Ucap Melissa dengan santai seolah pertanyaan Erlangga tidak memengaruhinya sama sekali.Erlangga menyadari bahwa dia sudah keterlaluan sekali. P
Erlangga duduk bersandar menatap gamang pada layar komputer, tepat di hadapannya layar menampilkan Melissa yang sedang berjalan membawa koper besar dan tas ranselnya. Gadis itu meninggalkan rumahnya tadi malam satu jam sejak dia kembali dari ruang penyimpanan wine milik keluarganya. Erlangga mengusap wajahnya dengan kasar. Otaknya masih mengulang semua yang ia lihat di layar komputer. Apa yang sebenernya terjadi di rumah gadis itu semalam. Sebelum ke ruang penyimpanan wine, Melissa terlihat mengunjungi rumahnya. Lalu mengapa Marissa mengejarnya dan tampak berteriak pada Melissa ketika gadis itu keluar dari rumah mereka. Dia tahu keluarga gadis itu mungkin kembali memberinya tekanan, tapi kali ini apa yang mereka pertengkarkan hingga membuat Melissa begitu terlihat sedih semalam.“Tenanglah aku hanya bercanda, aku hanya ingin mengerjaimu tapi responsmu sangat menyakitiku.”Ucapan Melissa muncul dalam benak Erlangga. Pria itu langsung berdiri terlonjak dari tempat duduk. Bagaimana kalau
Satu hari sebelum menghilangkannya Melissa, Shinta mencari-cari Melissa. Gadis itu baru keluar dari pertapaannya semenjak merasa bersalah dari tindakannya yang memlagiat karya Melissa. “Hai... Aku tahu kau pasti di sini di jam segini,” ujar Shinta di sebuah halte bis yang mana Melissa sedang termenung mendengarkan musik. “Shinta?” Karena terkejut dan tidak menyangka akan kehadiran Shinta di hadapannya Melissa sampai terperangah dan berdiri perlahan dari duduknya. “Ekspresi mu menunjukkan kau tidak menyukai kehadiranku, hmmm...tapi bisa maklumin atas perbuatanku tidak mungkin kau menyukaiku sekarang seperti dulu kau pasti membenciku kan Melissa?” ujar Shinta dengan sendu. Wajah Melissa yang awalnya datar menjadi canggung. Ada apa tiba-tiba muncul sekarang setelah menghilang cukup lama? Pikir Melissa. “Aku mencarimu untuk meminta maaf padamu, asal kau tahu karyamu aku tarik lagi dari penerbitan, aku tidak sanggup melakukan kecurangan itu padamu,” wajah berharap dan mata
1 bulan sudah Erlangga seperti orang gila yang sangat kacau mencari istrinya yang hilang. Beberapa detektif bayarannya sudah berpencar mencari juga. Erlangga sudah tidak pulang ke rumahnya beberapa hari, ia pulang hanya untuk membersihkan dirinya dan bergantian pakaian setelah itu ia pergi lagi. Keluarga Erlangga amat sedih menyaksikan apa yang terjadi, mereka juga menyayangkan kejadian saat itu Melissa yang tidak mendapatkan bantuan dari siapa pun saat fhoto-fhoto Melissa dan saat wanita muda itu di sidang di keluarga. Mamanya Melissa sudah tidak bekerja lagi di rumah keluarga Erlangga. Hanna meminta ibunya Melissa untuk introspeksi diri sampai menantu mereka kembali. Sedangkan Marissa menjadi seperti orang gila, rasa malunya sudah habis. Berulang kali menampakkan dirinya di keluarga Erlangga untuk mencari simpati tapi di abaikan oleh semua orang. Seluruh keluarga Erlangga sibuk mencari Melissa. “Saya tahu kamu sangat menyesali tindakanmu tapi tetap saja yang berada di at
Dua bulan sudah Melissa menghilang, Rangga sudah mencari ke mana pun yang ia bisa, sudah menyewa detektif swasta untuk melacak keberadaan Melissa tapi hasilnya masih nihil. Rangga sudah prustasi, pekerjaannya banyak yang terbengkalai, Untung Ayahnya langsung menghandle pekerjanya. Tiga mingguan setelah hilangnya Melissa, kebenaran tentang fhoto-fhoto yang di kirim orang tidak di kenal pun terungkap kalau itu semuanya adalah rekayasa. Melissa di jebak, Erlangga kian kecewa karena Lee sahabatnya ternyata pengkhianat. Kini, Erlangga hanya bisa menyesali perbuatannya yang gegabah. Kata-katanya yang buruk malam itu. Setiap malam Erlangga selalu berada di gudang penyimpanan wine. Ia selalu mengingatkan kata-kata terakhir Melissa. Apakah Melissa benar-benar hamil saat itu? Arrrgggghhh.... Rangga prustasi. Sedangkan di tempat lain, Melissa menikmati masa-masa kehamilan mudanya, setelah puas makan apa yang ia minta tadi dari Shinta kini ia di disibukkan dengan muntah-muntah di kamar ma
Erlangga tersadar dari lamunannya. Ia memperhatikan Melissa yang saat ini terbaring di atas sebuah ranjang. Wajah cantiknya tidur dengan tenang dan damai. Erlangga duduk di sofa panjang terletak di samping ranjang Melissa. Satu jam yang lalu Erlangga membawa Melissa untuk makan bersama. Tapi setelah selesai makan Melissa, merasakan dia amat mengantuk dan terkulai tidur di meja makannya. Erlangga hanya memperhatikan Melissa. Ekspresi amat datar dan dingin. Erlangga yang sudah mendapatkan panggilan atas Marissa merasakan kekhawatiran akan kembalinya Marissa dan juga kemarahan atas hubungan Rio dan Melissa.Erlangga membawa Melissa ke pavilium pribadinya. Tatap mengerikan Erlangga menghiasi wajahnya. Ia menatap wajah Melissa, ada kebimbangan dan rasa iba yang ia rasakan tapi ia membunuh rasa itu dengan segera. Pengkhianatan Marissa dan perbuatan-perbuatan perselingkuhan Marissa membuat Erlangga gelap mata. Ia langsung bangkit dari duduknya dan meraih ransel hitam. Meskipun masi
Erlangga menatap mata bulat Melissa yang kini menatap tajam ke arahnya, pandangan keduanya terkunci satu sama lain. Untuk sepersekian detik Erlangga berpikir untuk mengatakan semua kebenaran yang selama ini ia sembunyikan dari gadis itu. Namun seperti kecepatan cahaya, pria itu dengan cepat mengurungkan niatnya tersebut. Perasaannya kembali goyah, ia selalu bertekad untuk memberitahukan Melissa semua kebenaran yang ia sembunyikan tetapi ia tak ingin memberitahu gadis itu dalam keadaan seperti ini. Perasaan khawatir dan takut terus membayangi Erlangga. Ia tahu bahwa perasaan seperti itu akan hilang hanya bila ia mengatakan semua kebenaran yang ia sembunyikan. Ia hanya ingin dengan perlahan menjelaskan pada Melissa semua kesalahpahaman yang telah ia buat.Dengan wajah tenang, pria itu mengalihkan pandangannya pada foto-foto dan kertas yang berserakan di lantai. Erlangga berjongkok dan mulai memunguti satu per satu benda-benda tersebut. Melissa menatap Erlangga dengan bingung, wajah pria
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan