Bagai kilat yang baru saja menyambar Arletta. Tubuh gadis muda itu lantas membeku seketika. Menikah? Menjadi ibu? Jelas itu adalah hal yang benar-benar tidak disangka olehnya.
Apalagi, saat dia baru saja menyadari, jika pria yang ada di hadapannya ini adalah seorang CEO terkenal yang bernama Davian Navileon. CEO yang dikenal sebagai seseorang yang dingin dan keras kepala, serta Arogan.
"Bawa dia untuk ikut menemui bayiku!" Perintah Davian begitu saja pada pria yang senantiasa mengekor di belakangnya.
Dan tanpa ragu, pria dengan setelan yang tak kalah rapi dari Tuannya pun menurut. Dia telah menghampiri Arletta yang kini masih terdiam di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Davian sebelumnya. Karena jelas dia masih terkejut dan tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
"Ayo, Nona. Silahkan ikut aku," ucap pria itu.
Seperti tidak bisa melakukan apa pun lagi, Arletta juga hanya bisa menurut akan perintah mereka. Dia hanya bisa mengekor di belakang Selatan karena dia juga takut pada orang-orang berkuasa seperti pria itu.
Sebab, selama ini, orang yang memiliki kekuasaan akan selalu menyeramkan. Menghalalkan segala cara demi apa yang mereka inginkan.
"T–tuan, apa aku benar-benar harus bertanggung jawab? Tapi, kenapa aku?" tanya Arletta kemudian dengan gugup.
Jujur saja, bukan hanya terkejut dengan apa yang dia dapati sekarang, tapi dia juga telah merasakan ketakutan saat melihat aura gelap yang terlihat dari Davian. Pria itu benar-benat terlihat cukup menyeramkan bagi Arletta. Sikap dinginnya seolah mampu membuat sekitarnya membeku seketika.
Dan ya, tidak ada respon apa pun yang diberikan oleh Davian atas pertanyaan Arletta. Membuat pria yang di belakang Arletta telah sedikit mendekat pada padanya.
"Cukup ikuti perintah Tuan Davian saja. Dia sedang marah dan jangan membuatnya semakin marah lagi," ucap pria itu memperingatkan.
Dan ya, itu membuat Arletta semakin kesulitan bahkan hanya untuk menelan ludahnya sendiri. Seolah sesuatu baru saja mencekik lehernya.
Pun begitu, mereka bertiga sudah memasuki tempat dimana Dayanti, sang ibu dari Davian berada, wanita yang kini sedang membawa seorang bayi di dalam gendongannya
"Aku membawanya, istri penggantiku," ujar Davian begitu dia memasuki ruangan tersebut.
Nada suaranya begitu terdengar dingin. Dengan sorot matanya yang sudah terlihat begitu tajam saat menatap sang ibu di sana. Menunjukan bagaimana kesalnya dia saat ini di tengah-tengah kekacauannya.
Dayanti terlihat menatap Arletta dari ujung kaki hingga ujung kepala. Memperhatikan setiap inchi dari seorang gadis yang baru saja dibawa oleh anaknya tiba-tiba secara tidak terduga.
"Siapa namamu?" tanya Dayanti pada Arletta dengan tegas.
"A–Arletta, Nyonya. Arletta Divkara," jawab Arletta gugup.
"Umurmu? Apa pekerjaanmu? Dan apa hubunganmu dengan anakku?" tanya Dayanti dengan berbagai pertanyaan lainnya yang sudah dia lontarkan pada gadis di hadapannya.
Itu semua jelas membuat Arletta semakin gugup. Kedua tangannya sudah meremat ujung pakaiannya sendiri, dengan dia yang juga berkali-kali menelan ludahnya sendiri saat kerongkongannya terasa mengering bak tengah berada di padang pasir.
"20 tahun. Aku masih seorang mahasiswa," jawab Arletta dengan semakin gugup. "Aku, dengan Tuan Davian buk—"
"Dia calon istri penggantiku sekarang. Sudah, itu saja. Bukankah itu yang kau inginkan? Tetap melangsungkan pernikahan agar kau tidak malu kalau pernikahannya di batalkan?" tanya Davian pada ibunya. "Berikan bayiku padanya. Biarkan dia membawanya pulang, dan Mama juga bisa pulang sekarang. Biar aku saja yang mengurus bayi dan juga jenazah Tiara," potong Davian atas penjelasan yang hendak Arletta katakan.
Hubungan Davian dengan ibunya itu memang tidak terlalu baik. Mereka seringkali berdebat karena perbedaan pendapat. Membuat jarak itu juga telah meregang seiring berjalannya waktu sejak Davian duduk di bangku sekolah.
Dan sekarang, apa yang dilakukan Dayanti membuat pria itu semakin enggan untuk berbaik hati pada ibunya sendiri. Rasanya terlalu menyakitkan saat harus terus berhadapan dengannya lebih lama.
Dayanti pun lantas sudah mendengus kesal. Dia bangkit dari duduknya dan menyodorkan bayi yang berada di dalam gendongannya pada Arletta. Membuat Arletta dengan terkejutnya mengambil alih untuk menggendong bayi perempuan tersebut.
"Awas saja kalau kau membatalkan pernikahannya!" Dengus Dayanti yang lantas pergi dari sana.
Dia tidak perduli lagi dengan bagaimana pun perasaan hancur Davian saat ini. Karena yang ada di pikirannya semarang hanyalah pesta pernikahan yang sudah terlanjur di rencanakan. Saat dia sudah menyombong ke sana kemari soal pernikahan mewah putera semata wayangnya. Walaupun sebelumnya dia tidak setuju dengan Tiara, calon istri anaknya itu.
Dia saja terpaksa mengizinkan Davian menikah dengan wanita itu karena dia sudah hamil besar.
"Bawa mereka ke rumahku, Jer. Aku akan tetap di sini dan menunggu keluarga Tiara datang," ujar Davian dengan suara yang cukup lirih.
Melihat bayi mungil yang sekarang berada di dalam gendongannya, melihat bagaimana kacaunya Davian saat ini, membuat Arletta jadi terenyuh sendiri.
Dia paham bagaimana sedihnya Davian sekarang. Memahami bagaimana kacaunya pria itu hingga melakukan hal gila hingga menyeret Arletta ke dalamnya. Lantas, semua itu membuat Arletta juga mencoba mengerti pria itu untuk kali ini saja.
Mungkin, pria itu juga akan melepaskannya kalau dia memang sudah benar-benar tenang dari perasaan kacaunya itu.
"Sebentar," ucap Arletta saat pria bernama Jerry itu hendak mengajaknya pergi.
Di mana Arletta juga telah menatap pada Davian yang berada tidak jauh di depannya.
"Apa Tuan sudah melihat bayinya?" tanya Arletta berhati-hati.
Bukan tanpa alasan Arletta berkata demikian. Dia mengatakan hal ini karena dia juga melihat saat Dayanti memberikan bayi itu pada dirinya, Davian justru malah mengindari bayi itu. Kepalanya ditolehkan ke arah lain, seakan enggan untuk menatap sang bayi.
Namun, yang didapatkan Arletta justru adalah tatapan tajam dari Davian. Dengan rahang pria itu yang sudah mengeras saat menatapnya.
"Lancang sekali kau berkata seperti itu padaku!" Tegas Davian yang terlihat tak suka di sana.
Arletta takut saat melihat kemarahan Davian di sana. Tapi, dia mencoba memberanikan dirinya. Dia tidak mau jika dia menyerah begitu saja dengan apa yang hendak dia lakukan.
"Bayi ini baru saja kehilangan ibunya, apa Tuan juga mau membuat dia harus kehilangan kasih sayang ayahnya sendiri? Dia bayi yang tidak berdosa, memangnya pantas bayi ini juga mendapatkan kemarahan mu atas kepergian calon istrimu?
Aku mungkin bisa dilimpahkan kesalahan atas semua ini. Aku mungkin bisa saja bertanggung jawab dengan apa yang sebenarnya bukan sepenuhnya salahku. Tapi, bukan berarti Tuan juga lepas tanggung jawab Tuan sendiri! Dia tetap anakmu, sebenci itu kah Tuan sampai tidak mau melihatnya?!"
Davian terdiam di tempatnya. Jujur saja dia terkejut dengan sikap Arletta di sana. Tidak pernah dia duga kalau gadis itu akan berkata demikian dengan beraninya pada dirinya di sana. Membuat Davian lantas menjadi tertampar sendiri oleh kenyataan.
Tapi, melihat kepedulian Arletta di sana pada bayi yang bahkan baru pertama kali ditemuinya itu membuat Davian sedikit yakin.
Mungkin, Arletta memang seseorang yang tepat untuk menjadi istri penggantinya, sekaligus ibu pengganti dari anaknya dengan Tiara. Saat Davian juga yakin dengan dirinya sendiri, kalau dia tidak akan menikah dengan wanita lain, karena dia tak akan pernah jatuh cinta lagi pada orang lain selain Tiara.
Dia ingin Tiara menjadi cinta terakhirnya. Dan dia yang akan menikahi Arletta, hanya semata karena dia membutuhkan gadis itu untuk menggantikan Tiara sebagai istrinya dan ibu untuk anaknya. Bukan sebagai orang yang dicintainya. Sekaligus, hukuman untuk Arletta yang telah membuat Tiara kehilangan nyawanya.
Davian, ingin membalaskan dendamnya pada Arletta melalui pernikahan ini!
"Hal itu bukan urusanmu, Arletta. Jadi tidak perlu memikirkannya. Karena satu-satunya hal yang harus kau pikirkan adalah, aku yang akan membuatmu membayar semua yang telah kau lakukan pada Tiara!"
Arletta hanya bisa menurut saat pria bernama Jerry itu membawanya bersama dengan bayi yang ada di dalam gendongannya. Jujur saja, Arletta mungkin saja pergi melarikan diri saat dia bisa. Menolak mentah-mentah apa yang diminta oleh Davian. Tapi, satu-satunya alasan kenapa Arletta bertahan di sini dan malah duduk diam adalah bayi perempuan yang ada di dalam gendongannya. Bayi perempuan yang terpejam dengan pulasnya. Sungguh, Arletta tak tega jika harus meninggalkannya. Arletta adalah seorang gadis yang begitu menyukai anak-anak. Apalagi, seorang bayi seperti ini. "Bisa mampir ke supermarket sebentar?" tanya Arletta pada pria yang sibuk menyetir di depan sana. "Maaf, Nona. Tapi, Tuan Davian meminta untuk tidak mampir kemana pun dan langsung membawamu ke rumah," jawab Jerry. "Hanya sebentar. Aku mau membeli susu untuk bayi ini. Memangnya kau tega membiarkan dia kehausan?" seru Arletta kemudian. Tak ada jawaban, Jerry nampak berpikir terlebih dahulu soal permintaan Arletta di sana. "B
"Satu tahun. Pernikahan ini hanya berjalan sampai satu tahun saja. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh menyentuhku." Arletta begitu yakin saat berkata demikian. Karena menurutnya, mungkin dengan begitu dia juga bisa membantu mengurus bayi itu tanpa harus melakukan kewajibannya sebagai istri Davian. Dia masih belum siap kalau seperti itu. Terlebih, dalam waktu satu tahun, mungkin Arletta bisa meninggalkan bayi ini nantinya. Sedikitnya, selama satu tahun itu Arletta mungkin akan membuat Davian lebih menyayangi bayinya sendiri. Karena dengan begitu, Arletta jadi bisa meninggalkan bayi perempuan itu nantinya dengan cukup tenang. "Baiklah. Lagipula, aku juga tidak tertarik padamu. Aku benar-benar tidak akan pernah menyentuhmu!" Tegas Davian tanpa ragu sama sekali. Ya, pria itu menyetujuinya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan yang diberikan oleh Arletta. Baginya, itu bukanlah hal yang sulit. Sebab dia memang tidak tertarik pada Arletta sama sekali. Gadis muda itu tidak
"Silahkan Tuan Davian Navileon dan Nona Arletta Divkara. Kalian sudah sah menjadi suami istri. Sekarang, kalian diperbolehkan untuk saling mencium satu dama lain." Jantung Arletta berdebar saat itu juga. Mencium? Yang benar saja. Dia berniat melakukan pernikahan ini tanpa sentuhan, tapi dia sudah diharuskan untuk mencium pria di hadapannya? Arletta mengernyit saat Davian mendekatkan wajahnya pada Arletta. Sebelum akhirnya pria itu berbisik tepat di telinganya. "Hanya formalitas. Hanya ciuman singkat saja. Jangan membuat orang-orang termasuk keluargamu curiga kalau kamu hanya pengantin pengganti." Mau tidak mau, Arletta pun melakukan semua yang di perintahkan. Karena yang dikatakan oleh Davian juga memang benar adanya. Sampai pada akhirnya, pria itu kini sudah mengecup bibir Arletta. Ciuman singkat yang menjadi ciuman pertama mereka berdua setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ya, benar-benar hanya ciuman yang singkat. *** Memakai gaun putih yang begitu cantik dengan riasan ya
Terkadang, Arletta sama sekali tidak paham kenapa Davian bisa bersikap dingin dan perhatian secara bersamaan. Dan semua itu nyaris membuat Arletta terpesona dibuatnya. Meskipun dengan cepat dia juga berusaha menepisnya. Tidak mungkin dia malah terpesona pada seorang pria yang bahkan memiliki nama wanita lain di dalam hatinya dan bahkan melibatkan Arletta ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkan ini.Arletta juga harus cepat menyadarkan dirinya sendiri. Kalau dia tidak lebih dari seorang pengantin dan juga ibu pengganti. Dia bukanlah seorang gadis yang dipilih untuk benar-benar bisa merasakan rumah tangga yang bahagia."Apa Sena sudah tidur?" tanya Davian saat dia baru saja melihat Arletta keluar dari kamar miliknya di sana.Arletta menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Davian. "Iya, dia sudah tidur di kamar aku," jawabnya. "Apa acaranya sudah selesai?" tanya Arletta pada akhirnya. Dia bertanya karena memang penasaran.Sebab, sebelumnya Davian mengatakan akan meyele
Arletta segera menghindari selatan saat mereka mulai membahas tentang 'keseksian' di sana. Daripada merespon pertanyaan Davian soal melepaskan gaun tersebut, Arletta kini lebih memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dati pria itu. Gadis itu lebih memilih untuk memasuki kamar mandi yang ada di sana. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian.Setidaknya, sampai Arletta menyadari sesuatu. Tentang dia yang bahkan tidak bisa meraih resleting gaunnya di belakang sana dengan tangannya sendiri. Membuat Arletta yang berkali-kali mencoba meraihnya pun hanya mendapat kelelahannya saja. Hingga akhirnya dia terduduk di toilet yang tertutup dengan helaan nafas panjang yang telah dia lakukan."Tidak! Tidak mungkin aku minta bantuan dari pria itu!" tegas Arletta pada dirinya sendiri.Saat dia sempat berpikir jika dia harus meminta bantuan pada Selatan di luar sana. Rasanya yang ada pria itu akan menggodanya lagi dengan ucapan-ucapan yang sebelumnya pria itu katakan. Arletta juga tidak mau kalau ak
Pikiran Arletta mendadak kosong saat bibir Davian terus saja bergerak memberikan pagutan yang semakin dalam. Bibir pria itu terus saja menyesap bibir Arletta seolah tak puas jika hanya menyesapnya sebentar saja. Menjadikan bibir milik Arletta sebagai permen manis yang akan selalu disesapnya.Ciuman itu berubah menjadi lebih menuntut. Bahkan, tangan Davian telah merengkuh pinggang gadis itu dengan cukup erat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis lagi. Membuat Arletta memejamkan matanya dengan rapat. Bersamaan dengan tangannya yang sudah dia letakan pada bahu Davian. Menahan pria itu untuk bergerak lebih dekat lagi padanya.Sampai pada akhirnya, Davian melepas tautan mereka berdua. Di mana dia juga sudah menatap Arletta yang mulai membuka matanya dengan gugup."T–tuan Davian," ucap Arletta dengan suara yang terdengar lirih dan gugup secara bersamaan. Dia bahkan menelan ludahnya sendiri di sana dengan susah payah."Maaf," ucap Davian beberapa detik kemudian.Ya, pria itu sadar ak
"Bagaimana kalau kita tetap tidur bersama? Dan bagaimana kalau memintamu juga melayaniku? Benar-benar sebagai istri yang harus melayani suaminya. Menjalankan peranmu sebagai Istri pengganti yang semestinya," ucap Davian tanpa ragu sama sekali. "Kau mau melakukannya, Arletta?"Duduk saling berhadapan dengan Davian, Arletta hanya mampu menundukkan kepalanya. Menghindari sorot mata Davian di sana.Bukannya fokus pada makanan yang sudah disiapkan di atas meja di antara mereka berdua, Davian dan Arletta malah saling terdiam dengan Davian yang menatap Arletta dengan lekat. Tanpa berniat untuk menikmati makanannya sebelum wanita itu juga menjawab pertanyaannya yang telah dia berikan padanya beberapa waktu lalu. Sebelum dia selesai mandi tadi dan kembali duduk berdua dengan Arletta.Sementara Sena sendiri sudah kembali ditidurkan di kamarnya."Bagaimana? Apa jawabanmu?" tanya Davian pada akhirnya.Pertanyaan itu kembali membuat Arletta semakin gugup. Bahkan kedua tangannya sudah saling bertau
Davian sudah segera beranjak dari posisinya saat gadis di bawah kungkungannya sudah mengingatkan dirinya akan Sena yang memang berada di samping mereka.Mungkin memang bayi itu tidak mengetahui apa pun. Akan tetapi, Davian juga tidak mungkin segila itu untuk melakukan acara bercintanya dengan Arletta dengan bayi itu di sisinya. Terlebih saat Davian mulai berpikir, haruskah dia benar-benar melakukan ini? Saat Tiara belum lama ini meninggalkannya.Apa Davian terlalu kejam kalau melakukannya?"Ehmm," ujar Davian yang kemudian berdeham setelah melihat Arletta juga telah kembali terduduk dan menghindari sorot matanya.Sementara gadis itu juga telah kembali memfokuskan pandangannya pada Sena. Bayi yang kini menatapnya dalam diam dan tangan yang bergerak-gerak.Meskipun isi kepala Arletta kini telah melalang buana. Dia membayangkan bagaimana jadinya kalau dia memang benar-benar melakukannya dengan Davian. Akankah dia memang akan mengakhiri kegadisannya? Apakah pada akhirnya Arletta harus men
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.
"Kenapa? Apa kau tidak mau melakukannya. Kau yang meminta aku bermain-main, Arletta," ucap Davian dengan senyuman miring yang susah dia tunjukan.Arletta memejamkan matanya merasakan kegundahan yang sekarang sudah dia rasakan. Dia juga merasa menyesal telah membuat keputusan seperti ini. Saat dia kira, Davian tidak akan menggelap seperti ini oleh gairahnya.Sebelum pada akhirnya, gadis itu menatap Davian dengan lekat, sorot mata memohon yang sudah dia tunjukan pada pria itu."Aku masih merasa sakit. Jangan lakukan hal yang lain. Lakukan seperti yang dilakukan kemarin saja, kumohon pelan," mohon Arletta pada akhirnya.Dan permohonan itu, membuat Davian terdiam dan bingung dengan apa yang harus dilakukannya.Haruskah dia memenuhi permohonan Arletta? Atau melanjutkan permainannya sesuai yang dia sendiri inginkan untuk memperingatkan Arletta?Davian lantas mengecup pipi kiri Arletta dan berjalan menuju telinganya. Pria itu memainkan lidahnya di telinga Arletta membuat dirinya sendiri beru
Entah bagaimana, sekarang Arletta sudah berada di dalam pesawat yang sama dengan Davian. Pesawat yang dia tahu akan menuju sebuah pulau di Indonesia. Apalagi kalau bukan Bali? Tempat yang banyak dikunjungi untuk berlibur.Ini bukan kali pertama untuk keduanya pergi ke sana. Arletta sudah pernah pergi ke sana saat dia melakukan study tour beberapa tahun yang lalu. Sementara Davian juga pernah beberapa kali pergi ke sana saat harus mengurus pekerjaannya.Alasan Davian memilih tempat ini juga karena dia tidak mau memilih tempat yang jauh dan akan membuat mereka kesulitan untuk bicara pada orang-orang di sana. Meksipun alasan utamanya tetaplah Tiara. Kekasihnya itu pernah mengatakan ingin sekali berbulan madu di sana. Keinginan Tiara yang sekali lsgi akan Davian wujudkan meski yang bersama dengannya adalah wanita lain. "Aku mau tidur dulu. Katakan kalau kita akan segera sampai nanti. Aku lelah, semalaman aku tidak cukup tidur karena Sena terus menangis," ucap Arletta yang kini sudah memb
***Berjalan dengan tergesa, kini Arletta sudah menghampiri Davian yang baru saja keluar dari rumahnya. Pria itu hendak pergi ke kantornya, tapi Arletta mencegatnya sebelum pria itu pergi dari sana."Apa maksud kau berbulan madu?!" Tegas Arletta langsung pada pria itu.Iya, dia masih tidak mengerti dan perlu jawaban jelas dari Davian akan apa yang sebelumnya mereka bahas beberapa waktu lalu bersama orangtuanya. Arteta masih ingin menanyakan apa alasan Davian menyetujui hal itu."Memangnya kenapa? Apa kau tidak suka?" tanya Selatan tanpa merasa bersalah sama sekali.Seperti biasa, raut wajah pria itu malah terlihat cukup datar. Terkesan tak perduli dan tidak tertarik akan apa yang baru saja Arletta katakan padanya.Arletta menggelengkan kepalanya begitu saja. "Ini bukan tentang suka atau tidak suka. Tapi, masalahnya untuk apa?!""Kau masih gadis saat menikah denganku. Kurasa, aku juga perlu m