"Satu tahun. Pernikahan ini hanya berjalan sampai satu tahun saja. Dan sampai saat itu, kau tidak boleh menyentuhku."
Arletta begitu yakin saat berkata demikian. Karena menurutnya, mungkin dengan begitu dia juga bisa membantu mengurus bayi itu tanpa harus melakukan kewajibannya sebagai istri Davian. Dia masih belum siap kalau seperti itu.
Terlebih, dalam waktu satu tahun, mungkin Arletta bisa meninggalkan bayi ini nantinya. Sedikitnya, selama satu tahun itu Arletta mungkin akan membuat Davian lebih menyayangi bayinya sendiri. Karena dengan begitu, Arletta jadi bisa meninggalkan bayi perempuan itu nantinya dengan cukup tenang.
"Baiklah. Lagipula, aku juga tidak tertarik padamu. Aku benar-benar tidak akan pernah menyentuhmu!" Tegas Davian tanpa ragu sama sekali.
Ya, pria itu menyetujuinya. Dia sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan yang diberikan oleh Arletta. Baginya, itu bukanlah hal yang sulit. Sebab dia memang tidak tertarik pada Arletta sama sekali. Gadis muda itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Tiara, wanita yang dia cintai.
"Selain itu, aku juga ingin alasan pernikahan ini hanya kita yang mengetahuinya. Katakan pada orangtuaku, kalau kau menikahiku karena memang benar-benar ingin menikah denganku, bukan karena kau memaksaku," ucap Arletta sekali lagi.
Dia mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Entah apa yang akan dilakukan mereka seandainya tahu kalau anak gadisnya ini justru malah menikah dengan pria yang baru hari ini ditemuinya.
"Tentu. Itu bukanlah hal yang sulit," ucap Davian dengan persetujuannya lagi.
Dia benar-benar tidak perduli lagi dengan apa pun syarat yang diajukan oleh Arletta. Karena alasannya untuk menikahi gadis itu adalah demi membuat ibunya sendiri tidak menyalahkannya jika pernikahan itu dibatalkan, apalagi menyalahkan Tiara yang sudah meninggal. Dia juga menikahi Arletta karena merasa jika gadis itu, adalah pilihan yang tepat untuk merawat bayinya.
***
Pernikahan itu hanya tinggal terhitung beberapa hari lagi. Kecemasan Arletta semakin dia rasakan. Belum lagi, dengan Arletta yang harus sibuk mengurus ini dan itu sembari menjaga bayi milik Davian. Membuatnya harus mengajukan libur ke kampusnya. Karena sangat tidak mungkin Arletta meneruskan kuliahnya saat dia memiliki kesibukan seperti ini.
"Ikut aku untuk melakukan fitting baju. Kau tidak mungkin memakai gaun milik Tiara," ucap Davian yang sudah tiba-tiba menghampiri Arletta yang sedang menggendong bayi perempuan itu di kamarnya.
Lebih tepatnya mungkin kamar yang beberapa waktu ini dia tempati di rumah Davian.
"Lalu, bagaimana dengan bayinya?" tanya Arletta terlihat kebingungan.
"Tinggalkan saja dia dulu di sini. Dia sedang tidur bukan? Lagipula kita tidak akan pergi lama," ucap Davian seolah tanpa beban sedikit pun saat mengatakannya.
Dan jelas hal itu membuat Arletta menatap pria itu tak percaya. Bisa-bisanya Davian memiliki pemikiran seperti itu.
"Tuan Davian, bagaimana mungkin kau membiarkan bayimu sendiri ditinggalkan di rumah sendiri?!" Protes Arletta pada pria itu di sana.
Mendengar hal itu, Davian nampak menghela nafasnya panjang. "Lalu bagaimana? Kau mau membawanya pergi bersama? Begitu?" tanyanya dengan raut wajah yang benar-benar begitu dingin.
Arletta jelas tidak mungkin menyetujuinya. Dia juga ragu untuk membawa bayi itu keluar. Apalagi untuk membawanya saat dia melajukan fitting gaun pengantin. Arletta tidak tega kalau harus membawa bayi itu menunggu lama di tempat itu.
"Boleh aku meminta temanku untuk datang kemari?" tanya Arletta dengan sedikit ragu.
Lantas, itu membuat Davian mengernyitkan keningnya menatap Arletta di sana. "Untuk apa? Bukankah kau tidak ingin orang lain tahu alasan kita menikah?"
Arletta menganggukkan kepalanya. "Iya, memang. Tapi, dia yang paling aku percaya," jawabnya.
Sekali lagi Davian terlihat mengernyitkan keningnya menatap Arletta di sana. "Lalu? Kau mau menyuruhnya datang kemari untuk menjaga bayi ini?"
"Tidak. Bukan begitu. Dia tidak pandai menjaga bayi," jawab Arletta dengan gelengan cepat di kepalanya.
"Lalu apa? Kenapa kau mau meminta temanmu itu datang kemari?!" Kesal Davian akan Arletta.
Dengan ragu pada akhirnya Arletta menjawab pertanyaan Davian. "Tuan Davian yang menjaga bayimu di sini. Biar aku dan temanku yang datang ke butik untuk fitting bajunya. Bukankah kita ke sana hanya untuk memilih gaunku saja? Aku yakin kalau pakaian Tuan Davian sudah dipilih sebelumnya," ucap Arletta dengan keraguannya.
Arletta memang benar, Davian sudah memiliki pakaian sendiri untuk pernikahannya. Tapi, menjaga bayinya? Gila saja, Davian bahkan nyaris tak pernah menjaga bayi itu selama beberapa hari ini!
"Tidak. Bawa bayi itu juga bersama kita. Tidak ada penolakan!" Tegas Davian pada akhirnya.
Davian benar-benar sudah tidak perduli apa pun lagi. Daripada dia yang diam di rumah dsn menjaga bayi itu, dia lebih memilih untuk membawanya bersama. Setidaknya, Arletta yang juga akan menjaga bayinya. Itu lebih baik bagi Davian.
Pria itu bahkan tidak membiarkan Arletta berkata apa pun lagi. Saat dia lebih memilih melangkahkan kakinya terlebih dahulu untuk pergi dari sana.
Sepuluh menit Davian menunggu di dalam mobilnya, dia belum juga mendapati Arletta keluar dari rumahnya. Namun, saat Davian hendak menyusul gadis itu, dia justru telah mendapati Arletta tepat di depan pintu rumahnya. Bersama dengan bayi yang ada di dalam gendongannya dan satu tas yang dia bawa dengan kesulitan di tangan kanannya.
"Sial!" Keluh Davian kemudian saat melihat hal itu.
Mau tidak mau Davian juga mendekat pada gadis itu. Tanpa banyak bicara, Davian sudah meraih tas yang ada di tangan Arletta dengan cepat dan membawanya masuk ke dalam mobil.
"Masuklah," perintah Davian yang sudah membukakan pintu mobilnya untuk Arletta.
Arletta lantas sedikit menyunggingkan senyumnya. Ternyata, meskipun menyebalkan, ada sisi lain dalam diri Davian yang terlihat perduli.
"Terima kasih," ucap Arletta kemudian.
Lantas, beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di dalam mobil yang sama. Dengan Davian yang sudah duduk berdampingan dengan Arletta. Sementara Jerry yang melajukan mobil tersebut.
"Apa saja yang kau bawa hingga merepotkan diri sendiri seperti itu?" tanya Davian saat dia penasaran akan isi tas yang dibawa Arletta.
"Aku membawa beberapa keperluan bayi ini saja. Seperti susu, pakaian dan— Ah, benar. Apa Tuan Davian belum memberinya nama?" tanya Arletta saat dia menyadari hingga saat ini hanya memanggil bayi tersebut dengan 'bayi ini'.
Davian terdiam. Karena jawabannya jelas 'belum'. Dia sama sekali tidak pernah memikirkan nama dari bayi itu. Dia dan Tiara dulu berniat memberikan nama saat bayi itu lahir saja. Siapa sangka, kalau Tiara justru malah meninggalkannya. Membuat Davian cukup enggan melihat bayinya sebab akan mengingatkannya pada Tiara dan membuatnya bersedih.
"Ah, belum, ya?" Tebak Arletta kemudian.
Lantas Arletta telah menatap bayi dalam gendongannya yang sedang terpejam dengan begitu polosnya. Senyumnya terlukis. "Boleh aku menyarankan nama untuknya?"
"Apa?"
"Sena."
"Sena?"
"Ya. Artinya bulan atau kilauan cahaya. Saat melihatnya tertidur seperti ini, mengingatkan aku pada hal itu," ucap Arletta sekali lagi dengan senyumannya yang terlihat begitu tulus.
"Baiklah. Kita gunakan nama itu. Sena Amara Navileon," ucap Davian tanpa menoleh sedikit pun.
"Amara?" tanya Arletta penasaran saat nama itu ikut disebutkan.
"Cantik abadi."
"Silahkan Tuan Davian Navileon dan Nona Arletta Divkara. Kalian sudah sah menjadi suami istri. Sekarang, kalian diperbolehkan untuk saling mencium satu dama lain." Jantung Arletta berdebar saat itu juga. Mencium? Yang benar saja. Dia berniat melakukan pernikahan ini tanpa sentuhan, tapi dia sudah diharuskan untuk mencium pria di hadapannya? Arletta mengernyit saat Davian mendekatkan wajahnya pada Arletta. Sebelum akhirnya pria itu berbisik tepat di telinganya. "Hanya formalitas. Hanya ciuman singkat saja. Jangan membuat orang-orang termasuk keluargamu curiga kalau kamu hanya pengantin pengganti." Mau tidak mau, Arletta pun melakukan semua yang di perintahkan. Karena yang dikatakan oleh Davian juga memang benar adanya. Sampai pada akhirnya, pria itu kini sudah mengecup bibir Arletta. Ciuman singkat yang menjadi ciuman pertama mereka berdua setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ya, benar-benar hanya ciuman yang singkat. *** Memakai gaun putih yang begitu cantik dengan riasan ya
Terkadang, Arletta sama sekali tidak paham kenapa Davian bisa bersikap dingin dan perhatian secara bersamaan. Dan semua itu nyaris membuat Arletta terpesona dibuatnya. Meskipun dengan cepat dia juga berusaha menepisnya. Tidak mungkin dia malah terpesona pada seorang pria yang bahkan memiliki nama wanita lain di dalam hatinya dan bahkan melibatkan Arletta ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkan ini.Arletta juga harus cepat menyadarkan dirinya sendiri. Kalau dia tidak lebih dari seorang pengantin dan juga ibu pengganti. Dia bukanlah seorang gadis yang dipilih untuk benar-benar bisa merasakan rumah tangga yang bahagia."Apa Sena sudah tidur?" tanya Davian saat dia baru saja melihat Arletta keluar dari kamar miliknya di sana.Arletta menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Davian. "Iya, dia sudah tidur di kamar aku," jawabnya. "Apa acaranya sudah selesai?" tanya Arletta pada akhirnya. Dia bertanya karena memang penasaran.Sebab, sebelumnya Davian mengatakan akan meyele
Arletta segera menghindari selatan saat mereka mulai membahas tentang 'keseksian' di sana. Daripada merespon pertanyaan Davian soal melepaskan gaun tersebut, Arletta kini lebih memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dati pria itu. Gadis itu lebih memilih untuk memasuki kamar mandi yang ada di sana. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian.Setidaknya, sampai Arletta menyadari sesuatu. Tentang dia yang bahkan tidak bisa meraih resleting gaunnya di belakang sana dengan tangannya sendiri. Membuat Arletta yang berkali-kali mencoba meraihnya pun hanya mendapat kelelahannya saja. Hingga akhirnya dia terduduk di toilet yang tertutup dengan helaan nafas panjang yang telah dia lakukan."Tidak! Tidak mungkin aku minta bantuan dari pria itu!" tegas Arletta pada dirinya sendiri.Saat dia sempat berpikir jika dia harus meminta bantuan pada Selatan di luar sana. Rasanya yang ada pria itu akan menggodanya lagi dengan ucapan-ucapan yang sebelumnya pria itu katakan. Arletta juga tidak mau kalau ak
Pikiran Arletta mendadak kosong saat bibir Davian terus saja bergerak memberikan pagutan yang semakin dalam. Bibir pria itu terus saja menyesap bibir Arletta seolah tak puas jika hanya menyesapnya sebentar saja. Menjadikan bibir milik Arletta sebagai permen manis yang akan selalu disesapnya.Ciuman itu berubah menjadi lebih menuntut. Bahkan, tangan Davian telah merengkuh pinggang gadis itu dengan cukup erat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis lagi. Membuat Arletta memejamkan matanya dengan rapat. Bersamaan dengan tangannya yang sudah dia letakan pada bahu Davian. Menahan pria itu untuk bergerak lebih dekat lagi padanya.Sampai pada akhirnya, Davian melepas tautan mereka berdua. Di mana dia juga sudah menatap Arletta yang mulai membuka matanya dengan gugup."T–tuan Davian," ucap Arletta dengan suara yang terdengar lirih dan gugup secara bersamaan. Dia bahkan menelan ludahnya sendiri di sana dengan susah payah."Maaf," ucap Davian beberapa detik kemudian.Ya, pria itu sadar ak
"Bagaimana kalau kita tetap tidur bersama? Dan bagaimana kalau memintamu juga melayaniku? Benar-benar sebagai istri yang harus melayani suaminya. Menjalankan peranmu sebagai Istri pengganti yang semestinya," ucap Davian tanpa ragu sama sekali. "Kau mau melakukannya, Arletta?"Duduk saling berhadapan dengan Davian, Arletta hanya mampu menundukkan kepalanya. Menghindari sorot mata Davian di sana.Bukannya fokus pada makanan yang sudah disiapkan di atas meja di antara mereka berdua, Davian dan Arletta malah saling terdiam dengan Davian yang menatap Arletta dengan lekat. Tanpa berniat untuk menikmati makanannya sebelum wanita itu juga menjawab pertanyaannya yang telah dia berikan padanya beberapa waktu lalu. Sebelum dia selesai mandi tadi dan kembali duduk berdua dengan Arletta.Sementara Sena sendiri sudah kembali ditidurkan di kamarnya."Bagaimana? Apa jawabanmu?" tanya Davian pada akhirnya.Pertanyaan itu kembali membuat Arletta semakin gugup. Bahkan kedua tangannya sudah saling bertau
Davian sudah segera beranjak dari posisinya saat gadis di bawah kungkungannya sudah mengingatkan dirinya akan Sena yang memang berada di samping mereka.Mungkin memang bayi itu tidak mengetahui apa pun. Akan tetapi, Davian juga tidak mungkin segila itu untuk melakukan acara bercintanya dengan Arletta dengan bayi itu di sisinya. Terlebih saat Davian mulai berpikir, haruskah dia benar-benar melakukan ini? Saat Tiara belum lama ini meninggalkannya.Apa Davian terlalu kejam kalau melakukannya?"Ehmm," ujar Davian yang kemudian berdeham setelah melihat Arletta juga telah kembali terduduk dan menghindari sorot matanya.Sementara gadis itu juga telah kembali memfokuskan pandangannya pada Sena. Bayi yang kini menatapnya dalam diam dan tangan yang bergerak-gerak.Meskipun isi kepala Arletta kini telah melalang buana. Dia membayangkan bagaimana jadinya kalau dia memang benar-benar melakukannya dengan Davian. Akankah dia memang akan mengakhiri kegadisannya? Apakah pada akhirnya Arletta harus men
"Haruskah kita melakukannya sekarang? Aku membutuhkanmu, Arletta. Aku ingin kau memuaskan aku," bisik Davian tepat pada telinga gadis itu.Sebuah bisikan yang mampu membuat Arletta mengeratkan rematan tangannya pada pakaian yang saat ini dia kenakan.Hingga entah bagaimana, pada akhirnya bibir pria itu sudah berhasil mendarat tepat pada bibir Arletta. Untuk kali kedua, pria itu kembali menikmati bibir yang membuatnya merasa mabuk. Melupakan sejenak kepenatan yang saat ini dia rasakan atau bahkan kembali mengenang Tiara yang begitu dia rindukan.Dia tahu Arletta berbeda dengan Tiara. Baik itu dari segi fisik atau pun sikap, bahkan keahlian mereka berbeda dalam berciuman.Jelas Tiara lebih unggul. Wanita itu selalu mampu mengimbangi ciumannya yang diberikan oleh Davian. Sangat berbeda dengan Arletta yang masih terasa kaku. Membuat Selanjutnya lebin mendominasi pagutan tersebut.Meski begitu, Davian tak masalah. Dia yang bisa memimpin. Akan lebih baik juga jika dia bisa membuat Arletta m
Pagi kembali menyapa, dan Arletta sama sekali tidak tahu kalau keluarga Davian masih berada di rumah itu. Mereka menginap, dan Arletta sekarang baru saja melangkahkan kakinya keluar setelah dibangunkan oleh Davian saat jam sudah menunjukan pukul delapan pagi.Davian membangunkan Arletta untuk mengajaknya sarapan bersama. Dan begitu Arletta melangkahkan kakinya menuju dapur, dia sudah mendapatkan beberapa tatapan yang tajam. Tatapan yang diberikan seolah tengah menghakimi Arletta.Totalnya ada sepuluh orang di sana. Termasuk Davian dan juga Dayanti. Serta enam orang di sana yang telah memberikan tatapan tak ramah pada Arletta. Menatap Arletta yang seolah telah melakukan kesalahan besar karena baru saja bangun terlambat di antara yang lainnya. Padahal, Davian sendiri yang membuat Arletta kelelahan semalam sampai tak sadar tertidur selama itu katena tubuhnya benar-benar terasa lemas.Bahkan, Arletta saja masih merasakan ngilu di bawah sana sampai saat ini."Selamat pagi. Maaf aku terlamb
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.
"Kenapa? Apa kau tidak mau melakukannya. Kau yang meminta aku bermain-main, Arletta," ucap Davian dengan senyuman miring yang susah dia tunjukan.Arletta memejamkan matanya merasakan kegundahan yang sekarang sudah dia rasakan. Dia juga merasa menyesal telah membuat keputusan seperti ini. Saat dia kira, Davian tidak akan menggelap seperti ini oleh gairahnya.Sebelum pada akhirnya, gadis itu menatap Davian dengan lekat, sorot mata memohon yang sudah dia tunjukan pada pria itu."Aku masih merasa sakit. Jangan lakukan hal yang lain. Lakukan seperti yang dilakukan kemarin saja, kumohon pelan," mohon Arletta pada akhirnya.Dan permohonan itu, membuat Davian terdiam dan bingung dengan apa yang harus dilakukannya.Haruskah dia memenuhi permohonan Arletta? Atau melanjutkan permainannya sesuai yang dia sendiri inginkan untuk memperingatkan Arletta?Davian lantas mengecup pipi kiri Arletta dan berjalan menuju telinganya. Pria itu memainkan lidahnya di telinga Arletta membuat dirinya sendiri beru
Entah bagaimana, sekarang Arletta sudah berada di dalam pesawat yang sama dengan Davian. Pesawat yang dia tahu akan menuju sebuah pulau di Indonesia. Apalagi kalau bukan Bali? Tempat yang banyak dikunjungi untuk berlibur.Ini bukan kali pertama untuk keduanya pergi ke sana. Arletta sudah pernah pergi ke sana saat dia melakukan study tour beberapa tahun yang lalu. Sementara Davian juga pernah beberapa kali pergi ke sana saat harus mengurus pekerjaannya.Alasan Davian memilih tempat ini juga karena dia tidak mau memilih tempat yang jauh dan akan membuat mereka kesulitan untuk bicara pada orang-orang di sana. Meksipun alasan utamanya tetaplah Tiara. Kekasihnya itu pernah mengatakan ingin sekali berbulan madu di sana. Keinginan Tiara yang sekali lsgi akan Davian wujudkan meski yang bersama dengannya adalah wanita lain. "Aku mau tidur dulu. Katakan kalau kita akan segera sampai nanti. Aku lelah, semalaman aku tidak cukup tidur karena Sena terus menangis," ucap Arletta yang kini sudah memb
***Berjalan dengan tergesa, kini Arletta sudah menghampiri Davian yang baru saja keluar dari rumahnya. Pria itu hendak pergi ke kantornya, tapi Arletta mencegatnya sebelum pria itu pergi dari sana."Apa maksud kau berbulan madu?!" Tegas Arletta langsung pada pria itu.Iya, dia masih tidak mengerti dan perlu jawaban jelas dari Davian akan apa yang sebelumnya mereka bahas beberapa waktu lalu bersama orangtuanya. Arteta masih ingin menanyakan apa alasan Davian menyetujui hal itu."Memangnya kenapa? Apa kau tidak suka?" tanya Selatan tanpa merasa bersalah sama sekali.Seperti biasa, raut wajah pria itu malah terlihat cukup datar. Terkesan tak perduli dan tidak tertarik akan apa yang baru saja Arletta katakan padanya.Arletta menggelengkan kepalanya begitu saja. "Ini bukan tentang suka atau tidak suka. Tapi, masalahnya untuk apa?!""Kau masih gadis saat menikah denganku. Kurasa, aku juga perlu m