Terkadang, Arletta sama sekali tidak paham kenapa Davian bisa bersikap dingin dan perhatian secara bersamaan. Dan semua itu nyaris membuat Arletta terpesona dibuatnya. Meskipun dengan cepat dia juga berusaha menepisnya. Tidak mungkin dia malah terpesona pada seorang pria yang bahkan memiliki nama wanita lain di dalam hatinya dan bahkan melibatkan Arletta ke dalam sebuah pernikahan yang tidak diinginkan ini.
Arletta juga harus cepat menyadarkan dirinya sendiri. Kalau dia tidak lebih dari seorang pengantin dan juga ibu pengganti. Dia bukanlah seorang gadis yang dipilih untuk benar-benar bisa merasakan rumah tangga yang bahagia.
"Apa Sena sudah tidur?" tanya Davian saat dia baru saja melihat Arletta keluar dari kamar miliknya di sana.
Arletta menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Davian. "Iya, dia sudah tidur di kamar aku," jawabnya. "Apa acaranya sudah selesai?" tanya Arletta pada akhirnya. Dia bertanya karena memang penasaran.
Sebab, sebelumnya Davian mengatakan akan meyelesaikan acaranya. Mengatakan pada Arletta kalau dia tidak perlu melanjutkan acara resepsinya lagi.
Pun begitu, Arletta menghela nafasnya lega saat Davian nampak menganggukkan kepalanya. "Tapi, ada satu hal yang ingin aku bicarakan," ucap Davian kemudian.
Lantas, rasanya helaan nafas yang dilakukan Arletta sebelumnya harus kembali dia tarik lagi. Saat gadis itu juga dengan jelas melihat raut wajah serius yang ditunjukan oleh Davian. Membuatnya menjadi berdebar sendiri bersamaan dengan rasa penasaran yang sudah dia rasakan sekarang.
"B–bicara apa?" tanya Arletta dengan gugup.
"Masuklah, kira bicara di dalam," ucap Davian pada akhirnya.
Pria itu sudah mengisyaratkan Arletta untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Di mana itu jelas membuat Arletta menjadi semakin gugup dibuatnya. Bagaimana tidak? Bagaimana pun ini adalah malam pertamanya dengan pria tersebut. Meskipun mereka sudah sepakat kalau tidak ada sentuhan atau semacamnya dalam pernikahan mereka berdua.
Setelah masuk ke dalam kamar yang sama, Arletta bisa melihat kalau Davian menutup rapat pintunya. Sekali lagi, itu membuat Arletta harus menelan ludahnya dengan susah payah. Menatap Davian di hadapannya dengan begitu gugup bersamaan dengan tangan yang meremat gaun pengantin yang saat ini masih dia kenakan.
"M–mau bicara apa, Tuan?" tanya Arletta sekali lagi saat dia hanya mendapati Davian yang hanya diam seraya menatapnya.
"Biarkan aku tidur bersamamu malam ini," ucap Davian dengan raut wajah yang masih begitu dingin.
Arletta lantas membulatkan matanya. Dia terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh pria yang baru saja menyandang status sebagai suaminya tersebut. "Apa?! Kenapa harus di sini? Maksudku, kenapa harus bersama aku? Memangnya kenapa dengan kamar milikmu, Tuan. Aku—"
Gadis itu tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Saat Davian kini sudah melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Arletta. Langkahnya begitu yakin tanpa keraguan sama sekali. Membuat Arletta juga harus melangkah mundur demi menghindarinya.
Setidaknya, sampai kaki Arletta sudah menyentuh ranjang dan nyaris terjatuh seandainya tangan milik Davian tidak menahan pinggangnya. Walaupun Arletta kini harus merasakan tubuhnya menempel pada pria itu dengan posisi yang begitu dekat. Hingga dia harus mendongak dan menahan nafasnya untuk beberapa saat ketika menatap wajah dingin Davian di sana.
"Kau gugup?" tanya Davian tanpa merasa bersalah sama sekali.
Sungguh, Arletta benar-benar tidak mengerti dengan pria yang ada di depannya ini. Dia pura-pura tidak mengerti atau memang bodoh? Bagaimana mungkin tidak gugup saat seorang pria meminta tinggal di kamar yang sama dengannya? Dengan tambahan, mereka sedang menjalani malam pertama sebagai suami dan istri sekarang!
"T–tuan, lepaskan aku!" bisik Arletta padanya.
Dia masih ingat kalau Sena masih tertidur di ranjangnya sekarang. Dia tidak mau jika suaranya dapat membangunkan bayi itu.
"Kenapa? Pipi kamu menjadi bersemu merah seperti itu, Arletta," ucap Davian sekali lagi.
Satu alis pria itu sudah terangkat saat menatap Arletta yang masih berada di dalam rangkulannya. Dia menunduk saat perbedaan tinggi mereka berdua kini terlihat cukup jelas.
Sekali lagi Arletta menelan ludahnya dengan susah payah. Kegugupan itu semain menjadi saat dia sama sekali tidak dapat memberontak di dalam rengkuhan tangan Davian. Pria itu terus menahan tubuhnya dan seolah tidak berniat untuk melepaskan gadis itu. Membuat Arletta hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali sembari menatapnya.
"Apa yang mau kamu lakukan, Tuan Davian. Kita sudah sepakat untuk tidak saling menyentuh satu sama lain. Di mana itu berarti tidak ada malam pertama!" ucap Arletta pada akhirnya.
Sebenarnya dia tidak mau mengatakannya secara gamblang. Hanya saja, pria di hadapannya yang membuat dia terpaksa mengatakan hal ini. Kembali memperingatkannya atas apa yang sudah mereka sepakati sebelum melakukan pernikahan ini.
Satu.
Dua.
Tiga...
Davian tertawa.
Lebih tepatnya mungkin terkikik geli setelah mendengar penuturan Arletta di sana. Seolah apa yang dikatakan oleh gadis itu adalah hal lucu yang bisa mengocok perutnya. Bak sebuah komedi di tengah malam.
Untuk kali pertama, Arletta dapat melihat tawa Davian. Tawa dari pria dingin yang sebelumnya selalu berwajah dingin dan datar. Pria yang hanya tersenyum palsu saat berhadapan dengan beberapa tamu pentingnya.
"Kenapa malah tertawa begitu?" tanya Arletta dengan kening yang sudah mengernyit menatap Davian.
Baiklah, dia kembali nyaris terpesona pada sisi lain dari seorang Davian Navileon. Beruntungnya dia segera menarik diri ke dalam kesadarannya sebelum terpesona lebih jauh pada pria menyebalkan nan menyeramkan itu.
"Tidak, lupakan!" Tegas Davian yang segera mengubah raut wajahnya begitu saja.
Ya, seperti dua sisi yang berbeda. Sekarang, Davian telah menghentikan tawanya dengan tiba-tiba dan lantas kembali menunjukan raut wajah datarnya. Di mana tangannya juga sudah terlepas dari pinggang ramping Arletta. Sedikit mendorong tubuh kecil itu untuk menjauh darinya.
Rasanya ingin sekali membuat Arletta mendecak dan memaki tepat di depan wajah tampan itu. Sayangnya, dia masih tidak memiliki nyali sebesar itu untuk melakukannya. Saat dia juga sadar siapa dirinya, dan siapa pria yang ada di hadapannya.
"Baiklah, jadi katakan apa maksudmu tidur di sini bersamaku?" tanya Arletta dengan kedua tangan yang sudah terlipat d depan dada.
Dengan satu alis yang kembali terangkat, Davian menatap Arletta di sana. "Hanya tidur di ruangan yang sama. Bukan berarti aku akan menyentuhmu."
Arletta mengernyit bingung. "Tapi kau baru saja menyentuhku! Jangan lupakan kalau tanganmu itu baru saja merengkuh pinggangku, Tuan Davian!"
"Ekhm!" Davian berdeham saat Arletta berkata demikian.
Ya, dia tidak mencoba membantah untuk yang satu itu. Sebab dia juga sadar sekali kalau dia telah kehilangan kendali dan malah melakukan hal seperti itu pada istrinya tersebut. Lebih tepatnya istri pengganti. "Lupakan itu. Tenang saja, aku tidak berniat sama sekali untuk meminta jatah malam pertama!"
Davian melangkahkan kakinya tanpa merasa bersalah sama sekali. Dengan tenang, pria itu kini telah melepaskan jas yang saat ini tengah dia kenakan. Bersamaan dengan melepas kancing pada lengan kemejanya dan menggulungnya hingga sebatas sikut sebelum akhirnya mengambil tempat untuk terduduk di tepi ranjang, tak jauh dari bayinya yang sedang tertidur.
"Bisa kau pindahkan Sena ke box tidurnya sendiri?" ujar Davian yang melirik ke arah Sena dan box bayi di sudut ruangan secara bergantian.
Hal itu kembali membuat Arletta menatap pria itu heran dibuatnya. "Kenapa harus dipindah? Apa kau mau tidur di atas ranjang yang sama denganku?!"
"Ya, memangnya kau mau aku tidur di box bayi yang kecil itu?" tanya Davian sekali lagi dengan sikap tenangnya.
Arletta memutar bola matanya malas. "Ya, sekalian juga lipat tubuh kamu di sana," gumam Arletta dengan begitu pelan.
"Aku bisa mendengarnya."
Gadis itu kembali mendecak kesal. "Yang benar saja. Kita sudah sepakat untuk—"
"Oh, God! Apa sesulit itu untuk memindahkan bayi ini dan cukup tidur saja?!" Kesal Davian. "Ini tidak seperti aku akan membuatmu mendesah di bawah tubuhku! Aku juga tidak akan pernah menyentuhmu, Arletta! Kau tidak lebih seksi daripada Tiara!"
Arletta membulatkan matanya terkejut. Dia tidak menyangka kalau Davian akan berbicara segamblang itu padanya. Dan lagi, apa dia baru saja dibandingkan dengan wanita lain? Itu benar-benar hal yang paling tidak Arletta sukai!
"Tahu darimana aku tidak seksi?! Aku bisa lebih seksi kalau gaun besar ini sudah terlepas dari tubuhku!" Tegas Arletta saat itu juga dengan kesal.
Dan saat itu juga, kedua mata mereka telah saling bersitatap satu sama lain. Dengan Arletta yang sudah merutuki dirinya dalam hati karena telah mengatakan hal seperti itu.
"Apa secara tidak langsung kau mengatakan padaku untuk melepaskan gaun itu, Arletta?"
Arletta segera menghindari selatan saat mereka mulai membahas tentang 'keseksian' di sana. Daripada merespon pertanyaan Davian soal melepaskan gaun tersebut, Arletta kini lebih memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dati pria itu. Gadis itu lebih memilih untuk memasuki kamar mandi yang ada di sana. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian.Setidaknya, sampai Arletta menyadari sesuatu. Tentang dia yang bahkan tidak bisa meraih resleting gaunnya di belakang sana dengan tangannya sendiri. Membuat Arletta yang berkali-kali mencoba meraihnya pun hanya mendapat kelelahannya saja. Hingga akhirnya dia terduduk di toilet yang tertutup dengan helaan nafas panjang yang telah dia lakukan."Tidak! Tidak mungkin aku minta bantuan dari pria itu!" tegas Arletta pada dirinya sendiri.Saat dia sempat berpikir jika dia harus meminta bantuan pada Selatan di luar sana. Rasanya yang ada pria itu akan menggodanya lagi dengan ucapan-ucapan yang sebelumnya pria itu katakan. Arletta juga tidak mau kalau ak
Pikiran Arletta mendadak kosong saat bibir Davian terus saja bergerak memberikan pagutan yang semakin dalam. Bibir pria itu terus saja menyesap bibir Arletta seolah tak puas jika hanya menyesapnya sebentar saja. Menjadikan bibir milik Arletta sebagai permen manis yang akan selalu disesapnya.Ciuman itu berubah menjadi lebih menuntut. Bahkan, tangan Davian telah merengkuh pinggang gadis itu dengan cukup erat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis lagi. Membuat Arletta memejamkan matanya dengan rapat. Bersamaan dengan tangannya yang sudah dia letakan pada bahu Davian. Menahan pria itu untuk bergerak lebih dekat lagi padanya.Sampai pada akhirnya, Davian melepas tautan mereka berdua. Di mana dia juga sudah menatap Arletta yang mulai membuka matanya dengan gugup."T–tuan Davian," ucap Arletta dengan suara yang terdengar lirih dan gugup secara bersamaan. Dia bahkan menelan ludahnya sendiri di sana dengan susah payah."Maaf," ucap Davian beberapa detik kemudian.Ya, pria itu sadar ak
"Bagaimana kalau kita tetap tidur bersama? Dan bagaimana kalau memintamu juga melayaniku? Benar-benar sebagai istri yang harus melayani suaminya. Menjalankan peranmu sebagai Istri pengganti yang semestinya," ucap Davian tanpa ragu sama sekali. "Kau mau melakukannya, Arletta?"Duduk saling berhadapan dengan Davian, Arletta hanya mampu menundukkan kepalanya. Menghindari sorot mata Davian di sana.Bukannya fokus pada makanan yang sudah disiapkan di atas meja di antara mereka berdua, Davian dan Arletta malah saling terdiam dengan Davian yang menatap Arletta dengan lekat. Tanpa berniat untuk menikmati makanannya sebelum wanita itu juga menjawab pertanyaannya yang telah dia berikan padanya beberapa waktu lalu. Sebelum dia selesai mandi tadi dan kembali duduk berdua dengan Arletta.Sementara Sena sendiri sudah kembali ditidurkan di kamarnya."Bagaimana? Apa jawabanmu?" tanya Davian pada akhirnya.Pertanyaan itu kembali membuat Arletta semakin gugup. Bahkan kedua tangannya sudah saling bertau
Davian sudah segera beranjak dari posisinya saat gadis di bawah kungkungannya sudah mengingatkan dirinya akan Sena yang memang berada di samping mereka.Mungkin memang bayi itu tidak mengetahui apa pun. Akan tetapi, Davian juga tidak mungkin segila itu untuk melakukan acara bercintanya dengan Arletta dengan bayi itu di sisinya. Terlebih saat Davian mulai berpikir, haruskah dia benar-benar melakukan ini? Saat Tiara belum lama ini meninggalkannya.Apa Davian terlalu kejam kalau melakukannya?"Ehmm," ujar Davian yang kemudian berdeham setelah melihat Arletta juga telah kembali terduduk dan menghindari sorot matanya.Sementara gadis itu juga telah kembali memfokuskan pandangannya pada Sena. Bayi yang kini menatapnya dalam diam dan tangan yang bergerak-gerak.Meskipun isi kepala Arletta kini telah melalang buana. Dia membayangkan bagaimana jadinya kalau dia memang benar-benar melakukannya dengan Davian. Akankah dia memang akan mengakhiri kegadisannya? Apakah pada akhirnya Arletta harus men
"Haruskah kita melakukannya sekarang? Aku membutuhkanmu, Arletta. Aku ingin kau memuaskan aku," bisik Davian tepat pada telinga gadis itu.Sebuah bisikan yang mampu membuat Arletta mengeratkan rematan tangannya pada pakaian yang saat ini dia kenakan.Hingga entah bagaimana, pada akhirnya bibir pria itu sudah berhasil mendarat tepat pada bibir Arletta. Untuk kali kedua, pria itu kembali menikmati bibir yang membuatnya merasa mabuk. Melupakan sejenak kepenatan yang saat ini dia rasakan atau bahkan kembali mengenang Tiara yang begitu dia rindukan.Dia tahu Arletta berbeda dengan Tiara. Baik itu dari segi fisik atau pun sikap, bahkan keahlian mereka berbeda dalam berciuman.Jelas Tiara lebih unggul. Wanita itu selalu mampu mengimbangi ciumannya yang diberikan oleh Davian. Sangat berbeda dengan Arletta yang masih terasa kaku. Membuat Selanjutnya lebin mendominasi pagutan tersebut.Meski begitu, Davian tak masalah. Dia yang bisa memimpin. Akan lebih baik juga jika dia bisa membuat Arletta m
Pagi kembali menyapa, dan Arletta sama sekali tidak tahu kalau keluarga Davian masih berada di rumah itu. Mereka menginap, dan Arletta sekarang baru saja melangkahkan kakinya keluar setelah dibangunkan oleh Davian saat jam sudah menunjukan pukul delapan pagi.Davian membangunkan Arletta untuk mengajaknya sarapan bersama. Dan begitu Arletta melangkahkan kakinya menuju dapur, dia sudah mendapatkan beberapa tatapan yang tajam. Tatapan yang diberikan seolah tengah menghakimi Arletta.Totalnya ada sepuluh orang di sana. Termasuk Davian dan juga Dayanti. Serta enam orang di sana yang telah memberikan tatapan tak ramah pada Arletta. Menatap Arletta yang seolah telah melakukan kesalahan besar karena baru saja bangun terlambat di antara yang lainnya. Padahal, Davian sendiri yang membuat Arletta kelelahan semalam sampai tak sadar tertidur selama itu katena tubuhnya benar-benar terasa lemas.Bahkan, Arletta saja masih merasakan ngilu di bawah sana sampai saat ini."Selamat pagi. Maaf aku terlamb
Terdiam dengan segelas air hangat yang berada di tangannya, kepala Arletta terus menunduk dengan sisa air mata yang sudah mengering di pipinya. Dia mencoba terus terdiam dengan beberapa perasaan yang saat ini tengah dia rasakan. Di mana perasaan kacau adalah yang paling mendominasi sekarang.Jemarinya terus bergerak mengetuk sisi gelas yang saat ini ada di tangannya. Dia Terus membiarkan keheningan menyelimutinya bersama dengan pria yang saat ini duduk di hadapannya. Peia yang beberapa saat lalu telah menjadi saksi segala keluh kesah yang dia keluarkan. Keluh kesah yang berusaha dia tahan."Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang? Bercerai?" tanya Davian begitu saja.Dia sudah mendengarkan semuanya dari Arletta. Dia mendengar jelas jika gadis itu juga memang menyesal telah melakukan pernikahan ini. Davian sadar betul kalau gadis itu memang tersiksa dengan keputusan yang dia buat ini. Maka dari itu Davian sudah memberikan penawaran untuk bercerai padanya.Ini bukan seperti Davian memang
"Arletta, ya?" tanya orang itu dengan senyuman yang sudah dia lukiskan.Sementara yang disebutkan namanya itu tetap bergeming. Dia masih terkejut hingga tak dapat berkata apa pun. "A—apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arletta saat dia sudah mulai berusaha berbicara di antara kekakuan yang dia rasakan.Hingga pertanyaan itu membuat pria di depannya menganggukkan kepalanya. "Mau bertemu dengan Kak Davian. Tapi, ngomong-ngomong senang bertemu dengan mu di sini," ucapnya.Sementara Arletta kembali terdiam di tempatnya tanpa mengatakan apa pun lagi. Karena pada faktanya, pria yang saat ini berdiri di hadapannya adalah orang yang dia kenal.Sangat Arletta kenal dengan baik."Jadi boleh ak—""Siapa, Arletta?!"Suara Davian terdengar semakin mendekat pada tempat di mana Arletta berada sekarang. Karena nyatanya, pria itu memang tengah melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arahnya. Davian yang kembali keluar dari kamarnya setelah dia memeriksa ponselnya dan mendengar bel rumahnya yang berbu
"Apa kamu sedih saat Ghava tidak lagi menginap di sini?" tanya Davianq tiba-tiba. Hal itu membuat Arletta nyaris terlonjak dan menoleh ke arah Davian di sana. "Apa maksudnya?" Tidak menjawab, Davian hanya terlihat mengangkat kedua bahunya. Dimana Arletta hanya bisa melihat ketidakramahan Davian di sana. Apa, pria itu cemburu? Rasanya tidak mungkin kalau pria itu cemburu padanya. Karena sejak awal, mereka ini menikah hanya karena keadaan saja. Tidak benar-benar menikah karena ingin menikah dan saling mencintai. Arletta menikah dengan Davian karena paksaan pria itu, dan begitu pun sebaliknya. Davian menikahi Arletta tidak lebih dari meminta pertanggung jawaban wanita itu karena dia harus kehilangan Tiara. Menjadikan Arletta sebagai istri penggantinya dan mengurus bayinya bersama Tiara. Maka sekarang Arletta lebih memilih untuk menyingkirkan perasaan itu. Dia tidak bisa kalau harus berpikir kemustahilan tersebut. Teramat tidak mungkin untuk Arletta. "Aku merindukan Sena," gum
Arletta tidak begitu yakin apakah dia memang harus berteman dengan Ghava atau tidak. Dia tidak begitu yakin akankah dia memang bisa melakukannya. Saat kenyataannya, dia itu adalah pria yang pernah dia sukai. Pria yang pernah menyita perhatian Arletta selama beberapa tahun. Meski begitu, Arletta juga hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk merespon apa yang dikatakan oleh pria itu. Rasanya akan terlalu tak enak kalau dia menolaknya. Bagaimana pun, pasti niat Ghava juga baik. Agar mereka tidak lagi merasa canggung satu sama lain, saat Ghava adalah merupakan salah satu keluarga dekat Davian, suaminya. Jadi, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau Arletta mencoba menerima permintaan Ghava untuk berteman di sana dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka berdua. "Davian pergi kemana?" tanya Arletta kemudian. Ya, dia mencoba mengalihkan pembicaraan mereka sekarang. "Entahlah, katanya dia harus menemui temannya. Mungkin dia juga akan segera kembali," jawab Ghava k
"Jangan melewati batas yang lebih jauh! Sena juga masih kecil, kamu juga harus ingat kalau pernikahan kita cuma sementara. Aku tidak mau hamil, aku masih mau melanjutkan sekolahku!" Tegas Arletta yang sudah memegang perutnya sendiri. Davian langsung menoleh ke arah Arletta saat gadis itu berkata demikian. Dia juga melihat Arletta yang sedang meremat perutnya sendiri. Seolah gadis itu sudah merasa ngilu sebelum dia benar-benar membuatnya hamil. Tapi, jelas Davian juga tidak akan pernah menghamilinya. Dia jelas tidak pernah sekali pun memiliki pikirannya yang seperti itu. Tidak pernah sekali pun terlintas di dalam pikirannya untuk membuat Arletta hamil di sana. Gila saja kalau dia benar-benar membuat gadis itu hamil. Pasti semuanya akan semakin merepotkan. "Jangan terlalu percaya diri. Aku juga tidak akan melakukannya," ucap Davian kemudian dengan begitu yakin. Di mana setelahnya, Davian langsung berjalan untuk memasukan obat yang berada di tangannya itu ke dalam tempat sampah yang
Melipat kedua tangannya di depan dada, sekarang Arletta tengah menatap pria yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Dia menatap Davia yang baru saja mengatakan pada Arletta untuk tidur lagi dan memberikan beberapa obat-obatan yang sudah diberikan padanya. Meski begitu, Arletta sekarang lebih memilih untuk tetap terdiam menatap Davia yang berdiri tak jauh dati sofa yang saat ini tengah dia duduki. Memperhatikan saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang di seberang telfonnya. "Baiklah, kabari aku lagi kalau kalian sudah selesai," ucap Davian sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tersebut. Dimana dia juga lantas kembali menyimpan ponselnya pada saku celana yang dia kenakan saat ini. Davian juga sudah menoleh pada gadis yang masih saja melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sorot mata gadis itu yang menatapnya dengan lekat, seolah penuh tanya. Bahkan, Selatan juga yakin setelah ini Arletta memang akan melayangkan beberapa pertanyaan pada dirinya. "Bukankah sudah a
Apa yang dikatakan Ghava semalam membuat Arletta benar-benar terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti sepenuhnya akan apa yang pria itu katakan padanya, akan tetapi, dia juga tidak berniat bertanya padanya secara langsung. Sebab, entah kenapa Arletta malah merasa takut jika dia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Ghava.Untuk itu, Arletta juga lebih memilih untuk melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ghava begitu saja setelah dia berkata demikian. Tanpa bicara apa pun lagi, Arletta lebih memilih melarikan diri. Tanpa dia memikirkan tentang pagi ini dimana dia harus kembali berhadapan dengan Ghava."Ayo keluar, Ghava mungkin sudah bangun juga. Kita harus sarapan," ucap Davian yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang sudah rapi.Arletta menoleh ke arahnya. Dia menatap Davian dengan cukup ragu. "Apa hari ini kau mau membantu Ghava?" tanya Arletta kemudian.Davian menganggukkan kepalanya. "Iya, kenapa?"
"Kalian saling mengenal bukan?" tanya Davian. Membuat Arletta menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan. "Kalau begitu, sedekat apa kalian dulu? Karena sepertinya, Ghava memang terlihat senang sekali saat bertemu dengan kamu."Seharusnya pertanyaan yang diberikan oleh Davian adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Akan tetapi, entah kenapa Arletta kesulitan untuk menjawabnya. Entah apa yang harus dia katakan pada pria itu. Dia terlalu bingungkan apakah memang harus mengatakan semuanya dengan benar atau tidak. Meski begitu, Davian kini menatapnya dengan begitu lekat. Sorot matanya menajam dengan raut wajah yang terlihat begitu dingin. Semua itu jelas membuat Arletta jadi semakin gugup dibuatnya."Sebenarnya ... Ghava itu, dia pria yang aku suka saat di sekolah dulu," jawab Arletta pada akhirnya. Ya, dia mengatakannya. Dia mengatakan yang sesungguhnya pada Davian. Sebab, Arletta merasa jika dia tidak haru mengatakan sebuah kebohongan.
"Kenapa? Apa kau tidak mau melakukannya. Kau yang meminta aku bermain-main, Arletta," ucap Davian dengan senyuman miring yang susah dia tunjukan.Arletta memejamkan matanya merasakan kegundahan yang sekarang sudah dia rasakan. Dia juga merasa menyesal telah membuat keputusan seperti ini. Saat dia kira, Davian tidak akan menggelap seperti ini oleh gairahnya.Sebelum pada akhirnya, gadis itu menatap Davian dengan lekat, sorot mata memohon yang sudah dia tunjukan pada pria itu."Aku masih merasa sakit. Jangan lakukan hal yang lain. Lakukan seperti yang dilakukan kemarin saja, kumohon pelan," mohon Arletta pada akhirnya.Dan permohonan itu, membuat Davian terdiam dan bingung dengan apa yang harus dilakukannya.Haruskah dia memenuhi permohonan Arletta? Atau melanjutkan permainannya sesuai yang dia sendiri inginkan untuk memperingatkan Arletta?Davian lantas mengecup pipi kiri Arletta dan berjalan menuju telinganya. Pria itu memainkan lidahnya di telinga Arletta membuat dirinya sendiri beru
Entah bagaimana, sekarang Arletta sudah berada di dalam pesawat yang sama dengan Davian. Pesawat yang dia tahu akan menuju sebuah pulau di Indonesia. Apalagi kalau bukan Bali? Tempat yang banyak dikunjungi untuk berlibur.Ini bukan kali pertama untuk keduanya pergi ke sana. Arletta sudah pernah pergi ke sana saat dia melakukan study tour beberapa tahun yang lalu. Sementara Davian juga pernah beberapa kali pergi ke sana saat harus mengurus pekerjaannya.Alasan Davian memilih tempat ini juga karena dia tidak mau memilih tempat yang jauh dan akan membuat mereka kesulitan untuk bicara pada orang-orang di sana. Meksipun alasan utamanya tetaplah Tiara. Kekasihnya itu pernah mengatakan ingin sekali berbulan madu di sana. Keinginan Tiara yang sekali lsgi akan Davian wujudkan meski yang bersama dengannya adalah wanita lain. "Aku mau tidur dulu. Katakan kalau kita akan segera sampai nanti. Aku lelah, semalaman aku tidak cukup tidur karena Sena terus menangis," ucap Arletta yang kini sudah memb
***Berjalan dengan tergesa, kini Arletta sudah menghampiri Davian yang baru saja keluar dari rumahnya. Pria itu hendak pergi ke kantornya, tapi Arletta mencegatnya sebelum pria itu pergi dari sana."Apa maksud kau berbulan madu?!" Tegas Arletta langsung pada pria itu.Iya, dia masih tidak mengerti dan perlu jawaban jelas dari Davian akan apa yang sebelumnya mereka bahas beberapa waktu lalu bersama orangtuanya. Arteta masih ingin menanyakan apa alasan Davian menyetujui hal itu."Memangnya kenapa? Apa kau tidak suka?" tanya Selatan tanpa merasa bersalah sama sekali.Seperti biasa, raut wajah pria itu malah terlihat cukup datar. Terkesan tak perduli dan tidak tertarik akan apa yang baru saja Arletta katakan padanya.Arletta menggelengkan kepalanya begitu saja. "Ini bukan tentang suka atau tidak suka. Tapi, masalahnya untuk apa?!""Kau masih gadis saat menikah denganku. Kurasa, aku juga perlu m