Satu bulan telah berlalu sejak Mahendra Grup nyaris lumpuh. Berkat bantuan dana dari Heri yang terus mengucur, perusahaan perlahan bangkit dari keterpurukan. Excel bekerja keras siang dan malam, memastikan setiap celah masalah tertutup rapat. Namun, ada satu hal yang terus mengusik pikirannya—siapa saja pelaku yang sebenarnya di balik pembocoran dana perusahaan.
Hari ini, jawaban akhirnya terkuak. Excel memanggil seluruh jajaran direksi ke ruang rapat. Di antara mereka, Bu Tari, kepala divisi legal, duduk dengan ekspresi tegang.Excel membuka pertemuan dengan nada tegas. "Setelah penyelidikan mendalam, kami menemukan bukti bahwa salah satu dari kita terlibat dalam pembocoran dana perusahaan. Dan bukti itu mengarah pada Anda, Bu Tari."Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Bu Tari, yang wajahnya seketika pucat."Tuan Excel, tunggu. Saya bisa jelaskan," ucap Bu Tari, suaranya bergetar.Excel mengangkat tangan, menghentikan Bu TariBelum reda rasa kesalnya Nur, kini datang seseorang yang menambah bibit kesalnya. "Excel...! Woy, pengantin baru keluyuran aja lu!" Seorang pria seusia Excel melangkah santai mendekat. Satu tangannya menepuk bahu Excel, sementara tangan lainnya menjabat erat tangan sahabatnya."Selamat, Bro. Sorry gue nggak bisa datang waktu itu. Ada urusan keluarga di luar negeri," ujarnya santai.Excel tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Gas."Bagas mengangguk, lalu melirik sekeliling. "Eh, by the way, Vero mana? Masa pengantin baru jalan-jalan nggak ngajak istri?"Pertanyaan itu membuat hati Nur serasa diremas. Kata-kata Bagas seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk.Excel pun mendadak terdiam. Senyum yang tadi menghias wajahnya lenyap seketika. Ia melirik sang istri di sisinya, yang kini tampak menunduk dengan wajah murung.Tanpa berpikir panjang, Excel meraih pinggang Nur dan menariknya lebih dekat. Gerakan mendadak itu membua
"Aku percaya kok sama, Kakak. Apa, Kak Excel, benar-benar serius dengan pernikahan ini?" tanya Nur. Bola matanya bergerak menggemaskan.Kepala Excel mengangguk dengan tegas, "Iya, Nur. Aku emang serius dengan pernikahan ini, aku tak ingin berpisah sama kamu. Kita belajar sama-sama membangun rumah tangga yang diridhoi Allah. Aku tahu kita belum saling mengenal sepenuhnya, tapi aku percaya, selama kita punya niat yang baik dan saling mendukung, kita pasti bisa melewatinya."Jawaban Excel meniupkan angin segar ke dalam relung hati Nur, membuat wajahnya merah merona. Nur terdiam sejenak, pandangannya tertunduk ke lantai, seolah memikirkan sesuatu yang berat. "Tapi, Kak, aku takut ... takut kalau enggak bisa jadi istri yang baik. Aku enggak punya pengalaman apa-apa, Kak Excel."Excel tersenyum lembut. Ia semakin mempererat kaitan tangannya pada pinggang sang istri. Mengantar sengatan gelayer mendebarkan pada dada Nur. "Kamu enggak perlu sempurna, Nur. Aku juga enggak sempurna. Tapi se
Excel mengurai tautan bibir mereka, ibu jarinya bergerak mengusap lembut bibir Nur yang basah akibat perbuatannya.Nur masih membeku. Otaknya seakan berusaha mengolah kejadian yang baru saja berlangsung. Deru napasnya masih tidak beraturan begitu juga dengan Excel. Sorot mata Nur tampak linglung.Beberapa saat kemudian, Nur akhirnya tersadar. Dengan wajah yang merona, ia buru-buru menarik diri dari pelukan Excel.Begitu Nur beranjak dari atas tubuhnya, Excel segera membenarkan posisi duduknya. Keadaan seketika berubah menjadi canggung.Namun, suasana hening itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba Nur melayangkan pukulan kecil ke dada Excel."Aduh," keluh Excel, mengaduh pelan sambil memegangi dadanya."Kenapa kamu mukul aku, Nur?" tanyanya dengan nada bingung.Nur memandangnya dengan wajah kesal dan sewot. "Kak Excel udah ngambil ciuman pertama aku!" protesnya, bibirnya yang mungil maju terlihat sangat menggemaskan.Sejenak Excel hanya bisa melongo, sebelum akhirnya tawanya pecah. Ia meng
Nur terdiam, ia bingung mau menjawab apa. Akhirnya, hanya bisa mengiyakan saja, "Iya, Mbak. Iya. Nanti tanya kak Excel."Di seberang telepon, Lia langsung menghela napas panjang. "Nanti kapan, Nur? Udah berapa lama kamu di sana? Jangan sampai bapak dan mamak curiga!""Iya, Mbak... Paham. Aku bakal urus semua ini." Nur mencoba menenangkan sang kakak, meskipun dalam hatinya ia merasa semakin tertekan.Disisi lain perasaan Nur kepada Excel semakin hari semakin tumbuh subur, ia pun juga merasa nyaman bersama lelaki itu. Namun di sisi lain ia belum siap untuk jujur kepada saudaranya bahwa pernikahan mereka ingin di lanjutkan. "Dengar, Nur. Kalau kamu enggak ada keberanian buat bicara sama Excel, aku sendiri yang bakal datang ke sana dan selesaikan semuanya!" ucap Lia nampak tidak puas.Nur langsung tersentak. "Jangan, Mbak! Jangan ke sini. Aku bisa urus sendiri!" jawabnya cepat."Kapan, Nur? Jangan cuma janji!" suara Lia mulai meninggi.Nur menggigit bibirnya, kalau Lia datang ke kediaman
"Mbak, pengantinya mana kok enggak keluar-keluar. Apa memang gini caranya orang kota?" tanya Nur. Ia sudah merasa pegal duduk terlalu lama dan sudah tak sabar ingin mencicipi prasmanan. Sejak datang di acara pernikahan Excel, Nur sudah merasa lapar melihat makanan yang begitu menggugah selera meski sebelum berangkat mereka sudah sarapan, namun ia teringat ucapan sang kakak bahwa mereka boleh makan kalau akad sudah selesai. "Enggak juga sih, di undangan akad kan jam sembilan. Ini udah jam sepuluh lima menit," balas Lia sembari melihat jam di pergelangan tangannya. Satu bulan yang lalu setelah wisuda, Nur Cahyani tiba di jakarta bersama kedua orang tuanya. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah di kota besar itu dan meraih cita-cita untuk menjadi dokter. Bermodal uang tabungan selama mengonten, tekadnya sudah bulat untuk meraih kesuksesannya. Apalagi kedua orang tuanya sangat mendukung, di tambah sang kakak ipar juga berjanji akan membantu memberi tambahan dana. Tetapi, untuk saat ini o
Tiba-tiba Diana, Mamanya Excel maju menghadang Nur sambil memakinya. "Heh, bocah ingusan. Kalau enggak niat bantuin jangan macem-macem, lagian kamu tidak pantas untuk putraku. Kamu tidak selevel dengan Veronika." Nur tersenyum getir, padahal niatnya baik. Di desa memang kejam tapi sekarang ia merasakan di kota jauh lebih kejam. Dan ia harus siap mental untuk mengarungi bahtera kerasnya hidup di Jakarta. "Mama ngomong apaan sih, bukannya mencari solusi ini malah memperkeruh keadaan. Mama mau menanggung malu kalau acara pernikahan ini sampai batal, Mama siap menerima gunjingan. Kalau Mama enggak bisa ngasih solusi sebaiknya diam saja!" sahut Azka tegas, Papanya Excel. Diana terdiam, bibirnya membrenggut dan memalingkan muka. Kini Azka beralih pada Nur, dengan tersenyum ramah. "Maafkan istri saya ya, Nur, dia hanya sedang terbawa emosi. Saya Azka, Papanya Excel." Azka mengulurkan tangan, Nur menyambut uluran tangan lelaki setengah baya yang nampak masih gagah itu. Nur Salim dengan so
Beruntung MUA yang dihubungi Diana langsung bisa menyanggupi dan langsung menuju hotel dimana meraka berada. Sedangkan Azka keluar menemui penghulu dan memberi tahu adanya perubahan mempelai pengantin wanita.Tak berapa lama pihak MUA datang membawa beberapa potong kebaya untuk Nur. "Ayo, Sayang, kita ke ruangan sebelah," ujar Diana menuntun Nur. Lia ikut mendampingi sang adik. Sedangkan Bambang dan Isna juga di rias oleh petugas MUA lainnya.Dengan sentuhan tangan MUA yang handal kini wajah Nur terlihat memukau dan mangklingi membuat Lia dan Diana tersenyum bangga."Masya Allah, cantik banget calon mantu Mama," puji Diana."Pasti Excel bakal enggak mengenali kamu deh, Nur. Pasti dia pangkling banget," imbuh Lia."Mbak, jangan bikin aku tambah malu dong," balas Nur tersipu malu."Ya udah yuk kita keluar, udah di tungguin dari tadi," ajak Diana."Masya Allah, Nduk, kamu cantik banget," ujar Isna. Ia hampir tak mengenali putri bungsunya itu. Sedangkan Bambang hanya tersenyum menanggapi
Resepsi pernikahan telah usai, Nur telah di boyong ke rumah besar Azka."Selamat datang di rumah baru, Nur. Memang bukan rumah kita sendiri, tapi di sinilah aku tumbuh besar. Semoga kamu merasa nyaman di sini," ucap Excel tersenyum sambil menggenggam tangan sang istri membuat Nur merasa lebih diterima dan nyaman.Saat Excel membuka pintu rumah yang bercat putih, tampaklah sebuah hunian mewah yang tetap mengusung kesan elegan dan hangat. Langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung kristal memberikan sentuhan glamor, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer berwarna krem. Lantai berbahan kayu jati berkilau mempertegas kesan klasik modern, dilengkapi dengan karpet Persia yang menyelimuti sebagian ruang tamu.Di sudut ruangan, terdapat sofa kulit berwarna cokelat tua yang menghadap ke perapian dengan bingkai batu alam, menciptakan suasana yang nyaman. Sebuah tangga melengkung dengan pegangan besi berukir mengarah ke lantai atas, menambah kesan megah tanpa terkesan berlebihan. Dekora
Nur terdiam, ia bingung mau menjawab apa. Akhirnya, hanya bisa mengiyakan saja, "Iya, Mbak. Iya. Nanti tanya kak Excel."Di seberang telepon, Lia langsung menghela napas panjang. "Nanti kapan, Nur? Udah berapa lama kamu di sana? Jangan sampai bapak dan mamak curiga!""Iya, Mbak... Paham. Aku bakal urus semua ini." Nur mencoba menenangkan sang kakak, meskipun dalam hatinya ia merasa semakin tertekan.Disisi lain perasaan Nur kepada Excel semakin hari semakin tumbuh subur, ia pun juga merasa nyaman bersama lelaki itu. Namun di sisi lain ia belum siap untuk jujur kepada saudaranya bahwa pernikahan mereka ingin di lanjutkan. "Dengar, Nur. Kalau kamu enggak ada keberanian buat bicara sama Excel, aku sendiri yang bakal datang ke sana dan selesaikan semuanya!" ucap Lia nampak tidak puas.Nur langsung tersentak. "Jangan, Mbak! Jangan ke sini. Aku bisa urus sendiri!" jawabnya cepat."Kapan, Nur? Jangan cuma janji!" suara Lia mulai meninggi.Nur menggigit bibirnya, kalau Lia datang ke kediaman
Excel mengurai tautan bibir mereka, ibu jarinya bergerak mengusap lembut bibir Nur yang basah akibat perbuatannya.Nur masih membeku. Otaknya seakan berusaha mengolah kejadian yang baru saja berlangsung. Deru napasnya masih tidak beraturan begitu juga dengan Excel. Sorot mata Nur tampak linglung.Beberapa saat kemudian, Nur akhirnya tersadar. Dengan wajah yang merona, ia buru-buru menarik diri dari pelukan Excel.Begitu Nur beranjak dari atas tubuhnya, Excel segera membenarkan posisi duduknya. Keadaan seketika berubah menjadi canggung.Namun, suasana hening itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba Nur melayangkan pukulan kecil ke dada Excel."Aduh," keluh Excel, mengaduh pelan sambil memegangi dadanya."Kenapa kamu mukul aku, Nur?" tanyanya dengan nada bingung.Nur memandangnya dengan wajah kesal dan sewot. "Kak Excel udah ngambil ciuman pertama aku!" protesnya, bibirnya yang mungil maju terlihat sangat menggemaskan.Sejenak Excel hanya bisa melongo, sebelum akhirnya tawanya pecah. Ia meng
"Aku percaya kok sama, Kakak. Apa, Kak Excel, benar-benar serius dengan pernikahan ini?" tanya Nur. Bola matanya bergerak menggemaskan.Kepala Excel mengangguk dengan tegas, "Iya, Nur. Aku emang serius dengan pernikahan ini, aku tak ingin berpisah sama kamu. Kita belajar sama-sama membangun rumah tangga yang diridhoi Allah. Aku tahu kita belum saling mengenal sepenuhnya, tapi aku percaya, selama kita punya niat yang baik dan saling mendukung, kita pasti bisa melewatinya."Jawaban Excel meniupkan angin segar ke dalam relung hati Nur, membuat wajahnya merah merona. Nur terdiam sejenak, pandangannya tertunduk ke lantai, seolah memikirkan sesuatu yang berat. "Tapi, Kak, aku takut ... takut kalau enggak bisa jadi istri yang baik. Aku enggak punya pengalaman apa-apa, Kak Excel."Excel tersenyum lembut. Ia semakin mempererat kaitan tangannya pada pinggang sang istri. Mengantar sengatan gelayer mendebarkan pada dada Nur. "Kamu enggak perlu sempurna, Nur. Aku juga enggak sempurna. Tapi se
Belum reda rasa kesalnya Nur, kini datang seseorang yang menambah bibit kesalnya. "Excel...! Woy, pengantin baru keluyuran aja lu!" Seorang pria seusia Excel melangkah santai mendekat. Satu tangannya menepuk bahu Excel, sementara tangan lainnya menjabat erat tangan sahabatnya."Selamat, Bro. Sorry gue nggak bisa datang waktu itu. Ada urusan keluarga di luar negeri," ujarnya santai.Excel tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Gas."Bagas mengangguk, lalu melirik sekeliling. "Eh, by the way, Vero mana? Masa pengantin baru jalan-jalan nggak ngajak istri?"Pertanyaan itu membuat hati Nur serasa diremas. Kata-kata Bagas seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk.Excel pun mendadak terdiam. Senyum yang tadi menghias wajahnya lenyap seketika. Ia melirik sang istri di sisinya, yang kini tampak menunduk dengan wajah murung.Tanpa berpikir panjang, Excel meraih pinggang Nur dan menariknya lebih dekat. Gerakan mendadak itu membua
Satu bulan telah berlalu sejak Mahendra Grup nyaris lumpuh. Berkat bantuan dana dari Heri yang terus mengucur, perusahaan perlahan bangkit dari keterpurukan. Excel bekerja keras siang dan malam, memastikan setiap celah masalah tertutup rapat. Namun, ada satu hal yang terus mengusik pikirannya—siapa saja pelaku yang sebenarnya di balik pembocoran dana perusahaan.Hari ini, jawaban akhirnya terkuak. Excel memanggil seluruh jajaran direksi ke ruang rapat. Di antara mereka, Bu Tari, kepala divisi legal, duduk dengan ekspresi tegang.Excel membuka pertemuan dengan nada tegas. "Setelah penyelidikan mendalam, kami menemukan bukti bahwa salah satu dari kita terlibat dalam pembocoran dana perusahaan. Dan bukti itu mengarah pada Anda, Bu Tari."Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Bu Tari, yang wajahnya seketika pucat."Tuan Excel, tunggu. Saya bisa jelaskan," ucap Bu Tari, suaranya bergetar.Excel mengangkat tangan, menghentikan Bu Tari
Excel menghela napas panjang sebelum menjawab, "Baiklah, Pak." Sambungan terputus, meninggalkan segudang tanda tanya di benaknya. "Ada apa sebenarnya ya?" gumamnya pelan.Ketika ia menoleh, Excel mendapati Nur sudah tertidur, kepalanya bersandar nyaman di pundaknya. Sesaat, dunia terasa berhenti. Mata Excel melembut, menatap wajah istrinya yang tenang dan damai. Cahaya lampu redup di ruang tamu memantulkan kehangatan di wajah Nur, membuatnya tampak begitu menawan.Dengan gerakan hati-hati, Excel mengulurkan tangan, menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah Nur. "Cantik," gumamnya nyaris tanpa suara, seolah bicara pada dirinya sendiri. Matanya terpaku pada bibir mungil Nur, yang sedikit terbuka dalam tidurnya. Godaan untuk mencium bibir itu melintas, begitu kuat hingga membuatnya mendekat perlahan.Namun, gerakan kecil Nur membuatnya tersadar. Excel menarik diri, menggeleng pelan sambil tersenyum. "Apa yang aku lakukan?" bisik Excel, setengah menertawakan dirinya sendiri.Excel
Excel memutar gagang pintu dengan cepat, tapi terkunci. Ia mengetuk-ngetuk pintu dengan panik."Nur! Buka pintunya! Kamu kenapa?" teriak Excel, suaranya penuh kekhawatiran.Dari dalam kamar mandi, terdengar suara Nur yang jelas-jelas ketakutan. "A-ada kecoa, Kak! Besar banget! Tolong!"Excel terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menahan tawa yang hampir pecah. “Nur, itu cuma kecoa. Masa kamu takut banget?” godanya."Tapi Kak, dia terbang! Aku gak bisa keluar kalau kecoa itu masih di sini!" jawab Nur dengan suara nyaris menangis.Excel mengusap wajahnya, berusaha menahan diri untuk tidak tertawa lebih keras. “Oke, oke. Kamu jangan panik. Buka pintunya pelan-pelan, aku masuk buat ngusir kecoanya.”Setelah beberapa detik, suara kunci diputar terdengar, dan pintu terbuka sedikit. Excel melongok ke dalam, melihat Nur berdiri di atas tutup kloset, memeluk handuk dengan wajah pucat.“Kamu serius naik ke situ karena k
Nur dan Lia tampak gelagapan, Nur mengambil tisu yang ada di atas meja untuk mengelap wajahnya.Lia dan Nur saling berpandangan, mencoba mencari akal dengan cepat. Lia menelan ludah, sementara Nur menggigit bibir, berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Bapak mereka yang terus menatap tajam melalui layar."Bapak..." Lia akhirnya membuka suara, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. "Ini... Ini cuma—""Ini cuma efek kamera, Pak!" potong Nur dengan cepat, berusaha terdengar meyakinkan sambil tersenyum lebar. Ia menggerakkan tangannya ke depan kamera, seolah-olah sedang memperbaiki pencahayaan. "Kameranya, nih, kurang bagus. Jadi kelihatan aneh.""Efek kamera?" alis Bapak semakin mengernyit. "Kenapa wajahmu seperti habis menangis, Nur? Apa yang sebenarnya terjadi?"Nur langsung melambaikan tangannya dengan ekspresi santai, meskipun dalam hati ia kalut. "Ah, Bapak ini! Enggak kok, serius. Tadi cuma habis pakai masker wajah, terus enggak bersih bilasnya. Lihat nih, aku lagi lap paka
"Bulik...!" pekik Kayla. Ia segera menghampiri sang tante dan menghambur memeluknya.Dengan senang hati, Nur membalas pelukan itu dan menggendong keponakannya. "Bulik, kenapa lama enggak main. Aku kangen," ucap gadis kecil berusia enam tahun itu."Maaf ya, Kay, Bulik sibuk sama kuliah. Bulik juga kangen banget sama Kayla, gimana kabarnya Kayla?" tanya Nur sembari tersenyum menatap keponakannya yang sedang cemberut."Kalau kita udah kuliah berarti enggak punya waktu buat main ya, dan harus belajar terus? Pasti, Bulik, capek banget kan? Kabarku bahagia sekali karena bisa ketemu Bulikku yang cantik lagi," balas Kayla dengan tersenyum lucu membuat Nur mencubit gemas pipi Kayla yang semakin gembul."Enggak juga sih, karena baru awal-awal aja kok. Makasih ya, Sayang, Bulik juga kangen banget sama ponakan yang cantik, lucu, dan gemesin ini, apalagi sekarang makin gembul aja kamu, makin poll imutnya," kata Nur membuat Kayla semakin tertawa."Kamu main dulu ya sama adek Sofyan, Bulik mau bic