Mata Nur membelalak. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun Diana justru tertawa sinis melihat ketakutannya. Saat ia akan membalas, Diana lebih dulu mencela."Kamu pikir ada yang bakal datang menyelamatkanmu? Tidak ada, Nur. Kali ini, kamu hanya punya aku dan amarahku," lanjut Diana sambil memegang dagu Nur dengan kasar.Diana berdiri tegak, mengambil sebuah pisau kecil dari dalam saku jaketnya. Ia memainkan benda itu dengan santai, seolah ingin menambah ketegangan Nur."Kamu tahu," kata Diana sambil menatap pisau di tangannya, "aku sudah kehilangan segalanya. Suami, kebebasanku, rencanaku. Dan semua itu karena kamu. Jadi, apa salahnya kalau aku ambil sesuatu darimu juga?"Nur gemetar hebat, tubuhnya seakan membeku. Ia tahu Diana sedang di ujung kewarasan, dan ini bukan hanya ancaman kosong.Tak lama, Zarek kembali dengan membawa sebotol cairan bening. "Sudah siap, Tante," katanya dingin.Diana berbalik dengan senyum puas. "Bagus. Kita akan mulai pertunjukannya sekarang."Zarek men
Lia yang baru saja mendapat kabar dari Azka langsung memutuskan untuk terbang ke Bali bersama Heri, suaminya, meninggalkan anak-anak mereka di rumah."Astaga, Nur, kamu benar-benar bikin repot! Kenapa kamu enggak pernah dengerin omonganku? Bagaimana aku menjelaskan ini pada Bapak dan Mamak?" Lia terus menangis, suaranya bergetar penuh emosi. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Supri menuju bandara, air mata tak henti mengalir di pipinya.Heri, yang duduk di sampingnya, hanya bisa merangkul pelan, mencoba menenangkan istrinya. "Sabar, Li. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan langsung menyalahkan Nur sebelum kita mendengarnya sendiri."Lia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengendalikan diri, tetapi hatinya terasa semakin berat. "Tapi Bang, dia itu keras kepala banget. Coba aja kalau dia enggak nikah sama Excel engak bakal ada kejadian kayak gini. Lagian kenapa Nur seakan-akan lupa dengan syarat yang dia buat sendiri. Aku sudah capek mem
_"Mas Azka,Maafkan aku atas segala luka yang pernah kutorehkan di hatimu. Aku tahu, aku telah menghancurkan kepercayaan dan cinta kita. Nafsu sesaat telah membutakan mata dan hatiku. Untuk putraku, Excel, maafkan Mama yang gagal menjadi sosok ibu seperti yang seharusnya. Mama tidak pernah benar-benar membenci kalian. Mama hanya marah pada diri sendiri, pada kelemahan yang membuat Mama tenggelam dalam rasa sakit tanpa mampu melawan. Excel, jaga istrimu baik-baik. Dia lebih kuat dari yang pernah Mama duga, dan kekuatannya akan menjadi cahaya dalam keluarga kalian. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanku."_Air mata Azka mengalir tanpa bisa ia tahan. Setiap kata pada surat itu menghantam hatinya dengan perasaan campur aduk—kesedihan, penyesalan, dan pengertian. Surat itu terasa seperti jeritan terakhir Diana, mencoba meminta pengampunan yang terlambat.Azka memejamkan mata, menggenggam surat itu erat di tangannya. "Diana... kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?" bisiknya pelan, s
"Tapi, Mbak, Kak Excel beda. Aku suka sama dia sejak pertama kali bertemu, jadi izinkan aku untuk memperjuangkan perasaan ini. Dia nggak pernah memaksa aku untuk apa-apa. Dia selalu bilang kalau dia ingin semuanya berjalan sesuai kehendak aku juga," jawab Nur, mencoba meyakinkan Lia. Air mata yang sejak tadi ia bendung lolos begitu saja membanjiri wajah pucatnya.Lia mendengus kecil, meletakkan mangkok yang masih di pegang ke atas nakas lalu melipat tangannya di depan dada. "Ucapan manis begitu sudah sering aku dengar, Nur. Kamu tahu apa? Mereka bilang begitu cuma untuk bikin kita lengah. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," ujar Lia memperingati.Nur menggigit bibirnya, merasa kecil di hadapan Lia. "Aku tahu, Mbak. Tapi selama ini Kak Excel nggak pernah menyakitiku. Dia perhatian, dia...""Dia perhatian? Nur, perhatian itu bukan tanda cinta. Kadang itu cuma cara untuk menguasai hati kita tanpa kita sadar," potong Lia. "Dengar
Ruangan itu masih diliputi keheningan. Dokter dan asistennya sibuk mempersiapkan peralatan untuk memindahkan Excel, sementara Nur tetap memandang Azka dengan tatapan penuh tanya. Kecemasan menyelimuti wajahnya, tetapi ia mencoba menahan diri agar tetap tenang. "Nur, sebelumnya Papa sudah berdiskusi dengan dokter dan juga nak Heri. Excel akan dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Dengan begitu, Papa bisa terus memantau keadaannya tanpa meninggalkan pekerjaan di kantor yang sedang banyak sekali. Apalagi, perusahaan masih dalam proses pemulihan. Tidak mungkin kan Papa meninggalkannya terlalu lama." "Nur, Mbak-mu juga enggak mungkin meninggalkan anak-anak terlalu lama. Jadi, nanti di Jakarta kamu tinggal bersama kami dulu. Lia bisa lebih mudah merawatmu dan memastikan keadaanmu pulih kembali," sahut Heri sambil menatap Nur dengan serius. Lia yang masih berdiri di samping Nur mengangguk setuju. "Iya, Nur. Ku rasa itu jauh lebih baik. Lag
Setibanya di depan rumah sakit, sebuah ambulans berhenti tak jauh dari mereka. Suara sirene yang sebelumnya terdengar kini mereda, meninggalkan keheningan yang terasa berat. Perawat itu menghentikan kursi roda Nur, memastikan semuanya baik-baik saja.Ambulans yang berhenti di depan rumah sakit itu memang ditujukan untuk mengangkut Excel. Petugas medis yang sebelumnya mendorong brankar keluar dari ruang ICU kini melangkah cepat ke arah ambulans, memastikan semuanya siap untuk perjalanan.Nur memejamkan mata, bibirnya bergetar lirih. "Ya Allah, jika Engkau masih berkenan memberiku waktu untuk bersamanya, lindungilah dia. Jangan biarkan dia pergi sebelum aku sempat mengucapkan betapa aku mencintainya. Berikanlah kekuatan untuknya, Ya Rabb, karena aku terlalu lemah untuk kehilangan dia. Di hatiku, kak Excel bukan hanya seorang suami, melainkan separuh napas yang aku butuhkan untuk bertahan. Dia telah menjadi candu yang tak bisa kulepaskan, meski sekejap saja.
Lia tak menyangka sang adik terlihat begitu terpukul. Ia memandang Nur yang terus menggenggam tangan Excel, tubuhnya gemetar di tengah isaknya yang tak kunjung reda."Apa Nur begitu mencintai Excel?" batin Lia.Lia memeluk sang adik sambil menepuk lembut bahunya. "Sabar, Nur. Semua ini sudah takdir. Excel pasti ingin kamu kuat," ucap Lia, berusaha menghibur meski hatinya juga pilu.Nur menggeleng keras, wajahnya basah oleh air mata. "Tapi, Mbak, Kak Excel sudah janji kita akan bersama terus. Kebersamaan kita baru sebentar. Aku gak mau dia pergi secepat ini," isaknya dengan suara parau. Kepalanya bersandar di bahu Lia, tubuhnya lemah seolah tak sanggup menopang beban perasaan yang begitu berat.Lia menyeka keringat yang membanjiri kening sang adik. Namun, tiba-tiba tubuh Nur melemas, dan kesadarannya hilang."Nur! Nur, bangun!" pekik Lia panik sambil mengguncang pelan tubuh adiknya.Heri, yang sejak tadi hanya mematung, segera bergerak menghampiri. "Biar aku yang bawa dia!" katanya cep
Nur tertegun. Senyum bahagianya perlahan menghilang. "Kak... Ini aku, Nur... Istrimu..."Excel menggeleng pelan. "Aku... Aku enggak ingat," jawabnya, lalu menatap sekeliling dengan bingung.Dokter yang masih berada di dekat mereka segera memeriksa Excel lebih lanjut. "Ini kemungkinan efek dari mati suri. Otaknya mungkin mengalami trauma yang menyebabkan amnesia sementara," jelasnya.Nur menatap dokter dengan mata penuh kekhawatiran. "Amnesia? Apa itu berarti Kak Excel tidak akan ingat siapa pun dari kami?"Dokter menenangkan Nur. "Amnesia bisa bersifat sementara, Ibu. Dengan perawatan dan waktu, ingatannya mungkin akan kembali. Yang penting sekarang, kita pastikan kondisinya stabil dulu."Azka memegang tangan Excel, menggenggamnya erat. "Nak, kamu gak perlu khawatir. Kami akan ada di sini untukmu. Kami akan bantu kamu ingat semuanya."Excel memandang ayahnya dengan tatapan kosong. Nur duduk di sisi Excel, menggenggam tangannya dengan lembut."Kak Excel, enggak apa-apa kalau kamu engga
Sementara itu, di rumah Heri, Nur sedang sibuk menata buku-bukunya di meja belajar. Ia baru saja menyelesaikan tugas kuliah yang cukup berat. Pikirannya sesekali melayang ke Excel, tetapi ia segera mengalihkan fokusnya. Nur tahu, ia harus tetap kuat dan menjaga keputusannya.Lia masuk ke kamar Nur sambil membawa secangkir teh hangat. "Nur, istirahat dulu. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."Lia tahu, Nur selalu belajar dengan giat. Jadi wajar adiknya itu bisa masuk ke universitas ternama di Jakarta meski belum bisa mencapai beasiswa. Saat sekolah SD-SMK Nur selalu mendapat peringkat 3 besar dan memenangkan banyak lomba bersama teman-temannya. Nur tersenyum kecil. "Suwun, Mbak'e. Aku cuma mau memastikan semua tugasku selesai tepat waktu."Lia duduk di tepi tempat tidur, menatap adiknya dengan penuh sayang. "Aku bangga sama kamu, Nur. Kamu udah melalui banyak hal, tapi tetap kuat. Aku yakin kamu akan jadi orang yang sukses."Nur men
Nur mengamati pesan itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Kata-kata Excel mengingatkannya pada masa lalu yang ingin ia lupakan, namun ada bagian kecil dari hatinya yang masih merasakan getaran dari kenangan itu. Tetapi, tekadnya sudah bulat. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam luka yang sama.Ponselnya tiba-tiba berdering, nomor baru yang sama menghubunginya. Nur terdiam, menatap layar dengan tatapan bimbang. Tetapi ia memutuskan untuk tidak menjawab. Panggilan itu akhirnya terputus dengan sendirinya, dan tanpa ragu Nur memblokir nomor baru Excel."Ini harus berakhir," gumamnya pelan. Dia bertekad untuk melupakan Excel sepenuhnya dan fokus pada masa depannya.Seminggu kemudian, Bambang dan Isna, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka. Musim panen padi sudah tiba, dan mereka ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Sebelum pergi, mereka memastikan Nur baik-baik saja.Nur mengantarkan kedua orang tuanya ke terminal. Dalam perjalanan,
Malam Semakin LarutSetelah beberapa jam bekerja dengan serius, akhirnya tugas mereka mendekati selesai. Suasana menjadi lebih santai, diselingi candaan dan tawa."Rino, kamu serius banget sih dari tadi. Santai dikit dong," goda Latifa sambil mengulurkan segelas es jus untuk pemuda berkulit kuning langsat.Rino hanya tersenyum kecil. "Kalau nggak serius, tugasnya nggak selesai-selesai, Fa."Dika, yang sejak tadi memperhatikan Nur, merasa ini adalah kesempatan untuk mendekatinya lebih jauh. Saat yang lain sibuk membereskan alat, ia menghampiri Nur yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan."Nur, kamu hebat banget tadi. Pekerjaan kita cepat selesai berkat kamu," puji Dika, duduk di sebelahnya."Terima kasih, Dik," jawab Nur singkat, mencoba menjaga jarak.Ketika tugas benar-benar selesai, satu per satu teman-teman mereka mulai pulang. Latifa pergi bersama Rino, sementara Sera pulang lebih dulu diantar Adi. Nur, yang menunggu Pak Supri menjemput, memilih tetap duduk di ruang tengah be
Latifa berbisik pada Sera dengan nada penuh semangat. "Sera, bayangin deh, kita kerja kelompok bareng mereka. Ini kesempatan emas!"Sera hanya mendesah pelan. "Emas buat kamu. Aku sih enggak ya. Kalau alatnya lengkap dan tugasnya cepat selesai, aku sih nggak masalah. Tapi kayaknya Nur agak keberatan deh."Latifa menepuk bahu Nur. "Nur, santai aja. Kita kan kerja kelompok. Nggak akan ada yang aneh-aneh kok."Setelah jam kuliah selesai, rombongan kelompok mereka bersiap menuju rumah Dika untuk memulai pengerjaan tugas. Nur, meski masih merasa kurang nyaman, akhirnya menerima tawaran Dika untuk memboncengnya dengan motor."Yuk, Nur. Motor udah siap di parkiran," kata Dika dengan senyuman yang terasa dipaksakan di mata Nur.Latifa, yang sudah sejak tadi tak bisa menyembunyikan senyumnya, langsung menghampiri Rino. "Aku bareng kamu aja, ya?" tanyanya penuh semangat.Rino, yang sedikit terkejut tapi tidak keberatan, hanya mengangguk. "
Tak ingin berlama-lama dilumpuhkan oleh emosinya, Excel masuk kembali ke dalam mobil. Tanpa berpikir panjang, ia menginjak pedal gas dalam-dalam, membiarkan mobilnya melaju liar di jalanan. Kecepatan tinggi dan suara mesin menderu menjadi pelariannya. Ia tak peduli pada bahaya atau rambu-rambu yang ia langgar.Namun kali ini, pelariannya berakhir tragis. Di sebuah tikungan tajam, mobilnya kehilangan kendali dan menghantam pembatas jalan dengan keras. Suara benturan menggema, diikuti suara kaca yang pecah berantakan.Saat tubuhnya terkulai di balik kemudi, kepala Excel berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya terasa buram, tapi ingatan demi ingatan menyeruak di benaknya.Excel melihat Vero yang tengah mencoba gaun pengantin putih. Senyum manis yang dulu pernah ia cintai kini terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Kenangan itu terasa begitu nyata, hingga tiba-tiba bayangan itu memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghantamnya tanpa ampun.
Di Tepi Kehancuran Juanda menghela napas berat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan hubungan mereka, tetapi ia tak bisa lagi menyembunyikannya.“Ver, kamu ingat malam itu... waktu kita pulang dari pesta ulang tahun Clara? Kamu mabuk berat, Ver. Dan aku tahu, kamu belum minum pil dan aku sengaja melakukannya malam itu. Aku tahu, jika kamu mabuk, kamu tidak akan menolak.”Vero membelalakkan matanya, perasaan tidak percaya menyeruak di wajahnya. “Kamu... sengaja? Kamu mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar?!”“Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kamu menjadi milikku. Aku sudah lama mencintaimu, Ver. Aku pikir, dengan adanya anak, kita bisa lebih dekat. Kita bisa menjadi keluarga sungguhan.”Vero mencengkeram baju Juanda, matanya berkilat marah. “Kamu menghancurkan hidupku! Apa kamu tahu berapa tahun aku berjuang untuk sampai ke titik ini? Model
Anton menghela napas panjang. "Ma, ini bukan soal hati. Ini soal harga diri keluarga kita. Vero sudah membuat kesalahan besar, dan aku tak akan membiarkan dia terus tinggal di sini dengan kondisi seperti ini."Tantri menunduk lebih dalam, perasaan campur aduk di hatinya. Ia ingin sekali membela Vero, tapi ia juga tahu bahwa suaminya sudah membuat keputusan yang tak bisa diganggu gugat.Juanda yang berdiri di samping Vero, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Ia melangkah maju, mendekati Anton dengan sikap yang penuh hormat, meskipun hatinya terasa berat."Pa, saya tahu ini tidak mudah bagi keluarga. Tapi saya berjanji akan bertanggung jawab penuh atas Vero. Saya akan merawatnya dan mendampinginya karena ini adalah jalan yang sudah saya pilih."Anton diam sejenak, matanya menilai Juanda dengan tajam. "Kamu sudah mengambil keputusan besar, Juanda. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, ini bukan hanya tentang kamu dan Vero. Ini tentang harga diri ke
Vero hanya terdiam membisu membuat suasana menjadi semakin mencekam. Papanya menghentakkan kakinya ke lantai."Jawab Vero! Apa itu anak Manajermu?! Jadi, selama ini kamu rela mengorbankan pernikahanmu dengan Excel demi mengejar karier, lalu jatuh ke pelukan lelaki itu?” bentak Anton. Tantri menggelengkan kepala, air matanya jatuh. “Vero, kami sudah memperingatkanmu. Tapi kau malah memilih jalan ini. Sekarang lihat akibatnya!”Anton yang berdiri di sudut ruangan menelpon manajer Vero, meminta pertanggungjawabannya. Setelah beberapa pembicaraan, lelaki itu setuju menikahi Vero.Namun, Vero menolak keras. “Aku tidak mau menikah dengan dia! Dia tidak sekaya Excel!”Ayahnya langsung menampar meja dengan keras. “Cukup, Vero! Kamu sudah cukup mempermalukan keluarga ini. Kamu akan menikah dengannya, suka atau tidak!”***Malam itu, suasana rumah Vero sangat tegang. Anton, Papa Vero, baru saja selesai berbicara dengan manaj
Setelah mendengar kabar mengejutkan dari dokter, Excel dan Vero keluar dari ruangan dengan langkah yang berbeda. Vero tampak tampak kalut dan berusaha mencari cara untuk menjelaskan kepada Excel sementara Excel menahan gelombang emosi yang bercampur di dadanya.Ketika mereka sampai di parkiran, Excel berhenti dan menatap Vero dengan wajah tegang."Kenapa kau diam saja, Excel? Bukannya ini kabar baik?" tanya Vero dengan nada setenang mungkin, mencoba mengusir keheningan yang menyesakkan.Excel menggeleng perlahan, lalu menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada penuh kekecewaan."Vero, kabar baik? Aku belum pernah menyentuhmu. Tapi sekarang... kau hamil?" "Excel, apa kamu lupa, kita sudah pernah melakukannya sebelum kamu kecelakaan. Berarti kehamilan ini anugerah, bukankah kita harus menerimanya dengan lapang dada?"Excel menatap Vero tajam. "Anugerah? Bagimu mungkin iya, tapi bagiku ini bencana. Aku saja tidak pernah merasa sudah menyentuhmu, kamu jangan pernah coba-coba boh