Hari ini, Aira dan Steven sangat antusias untuk pergi ke rumah sakit guna memeriksa kandungan Aira. Keduanya sangat ingin tahu jenis kelamin anak mereka. Sejak pagi, Aira sibuk mencari pakaian yang pas untuk dirinya. Namun, karena perutnya sudah semakin membesar, ia kesulitan menemukan pakaian yang cukup longgar. Terlihat Aira kebingungan, ia menghela napas panjang dan melempar sepotong bajunya ke sofa. "Aduh, rasanya semua bajuku sudah nggak muat lagi, deh," keluhnya dengan kesal.Steven baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat ekspresi murung Aira. Ia mendekati istrinya dan bertanya, "Sayang, mengapa wajahmu terlihat murung seperti itu?""Semua bajuku terasa kekecilan, seolah nggak ada yang muat!" gumam Aira yang masih kesal."Apa benar-benar nggak ada yang muat?" tanya Steven lagi, ia hanya ingin memastikan."Ada sih, tapi cuma beberapa saja yang masih bisa aku pakai," jawab Aira.Steven tersenyum tipis, lalu menawarkan solusi. "Kalau begitu, setelah kita pulang dari rumah sa
Aira tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Kak Dimas? Kenapa Kak Dimas ada di sini?" gumam Aira heran. Ia kemudian segera berdiri dan berjalan mendekati sosok yang mirip dengan kakak iparnya itu.Dengan langkah cepat, Aira mendekati sosok itu, bergumul dengan pertanyaan dalam hatinya: Apa alasan Kak Dimas berada di rumah sakit kandungan ini? Apakah Kak Dian, saudara perempuannya, juga sedang hamil? Berbagai kemungkinan mulai mengisi pikiran Aira.Tetapi begitu ia hampir menyentuh bahu lelaki itu, sosok lelaki tersebut segera pergi dari tempatnya dan berjalan menjauh, tanpa memberi kesempatan kepada Aira untuk berbicara dengannya."Kak Dimas!" seru Aira, ingin memastikan identitas lelaki itu. Namun lelaki tersebut terus saja melangkah menjauh, seolah-olah tidak mendengar seruan Aira.Beberapa saat kemudian, suara suaminya, Steven, membuyarkan lamunan Aira. "Sayang, kamu kenapa? Mengapa kamu berdiri sendirian di sini?" tanya Steven heran.Aira menoleh ke arah
"Kenapa kamu mengajakku bertemu di sini?" tanya Santi yang penasaran ketika Fika mengajaknya bertemu, ia meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di hadapan Fika."Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Santi," jawab Fika serius. "Kamu mau memesan minuman dulu?" tawarnya.Santi menggelengkan kepala. "Tidak perlu, aku tidak haus. Jadi, apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?" Santi semakin penasaran dengan alasan Fika mengajaknya bertemu di kafe ini.Fika menghela napas sebelum berkata, "Baiklah, aku hanya ingin tahu bagaimana hubunganmu dengan Steven. Apa kalian berdua baik-baik saja?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wajah Santi.Santi terkejut dengan pertanyaan itu, ia lalu menjawab, "Hubungan kami baik-baik saja. Apa ada yang salah?""Apa kalian masih berpacaran?" tanya Fika lebih jauh, ia hanya ingin memastikan kebenarannya."Tentu saja," jawab Santi tanpa ragu.Fika bergeming. Bagaimana mungkin Santi mengaku masih berpacaran dengan Steven, padahal ia tahu bahwa Steven sud
Dalam perjalanan menuju angkringannya, Steven merasa sangat khawatir. Ia tak mengerti bagaimana tempat kerjanya bisa terbakar, padahal baru beroperasi selama beberapa minggu. Angkringan tersebut merupakan satu-satunya sumber penghasilan Steven saat ini. Setelah mendengar kabar dari Aryo tentang kebakaran tersebut, ia bingung harus berbuat apa.Setelah 15 menit yang panjang, Steven akhirnya tiba di tempat kerjanya. Ia melihat banyak orang yang sudah berbondong-bondong membantu memadamkan api yang melahap bangunan tersebut, bersama dengan bantuan petugas pemadam kebakaran.Steven menghampiri Aryo, sahabatnya, dengan rasa penasaran yang tidak tertahankan. "Aryo, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Steven dengan suara yang bergetar.Aryo menoleh ke arah Steven yang berdiri di sampingnya. Wajahnya cukup tenang mengingat situasi yang mereka hadapi. "Apinya sudah mulai padam, untung saja petugas kebakaran datang tepat waktu. Jadi, apinya tidak merambat ke toko yang lainnya," jawab Aryo.Me
Aira memasuki rumah orang tuanya dengan hati yang hancur, ia hanya berharap ayahnya akan membantunya mengatasi kesusahan yang dihadapinya.Widya, ibu mertua Aira, tersentak melihat wajah menantunya terasa flat dan muram. "Aira, apa yang terjadi, Sayang?" tanyanya dengan keheranan.Menantu kesayangannya itu menatap ke sekitar, mencari keberadaan ayahnya. "Bu, apakah Papa ada di rumah?" tanya Aira dengan nada berat.Widya menjawab, "Pak Anwar ada di taman belakang, Aira." Dengan cepat, Aira melangkah menuju taman, ekspresi wajahnya menunjukkan kepedihan dan kepasrahan. Dia mendambakan pertemuan dengan ayahnya untuk mengungkapkan situasi buruk yang mereka hadapi.Ketika sudah berada di taman belakang, Aira melihat ayahnya yang sedang duduk santai di kursi taman sambil membaca koran. Aira memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya. "Papa," serunya dengan suara lembut.Ayahnya menoleh, ia melihat putrinya yang tengah berjalan ke arahnya. "Aira." Ia lalu meletakkan koran dengan perlahan di
Anwar melayangkan tangannya di udara, kesal dengan sifat Aira yang tak bisa diatur, emosinya sudah meluap. Namun, ketika tangan Anwar akan menyentuh wajah Aira, ada sebuah tangan kekar yang menghalanginya."Tolong jangan kasar kepada istri saya," ucap Steven, lelaki itu datang tepat waktu ketika istrinya akan ditampar. Ia takkan membiarkan siapapun menyakiti istrinya, terkecuali Anwar, ayah dari istrinya sendiri.Anwar menghempaskan tangan Steven, lalu menatap lelaki itu dengan penuh amarah. Ia tak tahu mengapa Steven tiba-tiba muncul di rumahnya."Apa yang kamu lakukan di sini, Steven?" gerutu Anwar dengan rona wajah yang begitu masam."Saya ke sini untuk menjemput istri saya, tapi saya malah melihat Anda akan menyakitinya," jawab Steven dengan tegas.Anwar merasa semakin geram, tak suka dengan campur tangan Steven dalam urusan keluarganya. "Kamu tidak punya hak apa-apa di sini. Ini urusan keluarga kami sendiri.""Saya paham, Pak Anwar. Tapi sekarang Aira adalah istri saya, saya tida
5 Tahun Kemudian.Aira duduk termenung di teras apartemennya yang berada di pusat kota. Ia tak henti-hentinya mengingat kembali perjalanan hidupnya lima tahun yang lalu yang penuh dengan liku-liku dan hambatan dalam mencapai mimpinya. Namun, sekarang ia sudah berhasil mencapai cita-citanya menjadi model terkenal.Aira berasal dari keluarga yang memang terbilang memiliki segalanya. Akan tetapi, kehidupannya berubah ketika ia lebih memilih hidup bersama dengan Steven. Kehidupan mereka begitu sangat sederhana, dan hanya tinggal di kontrakan yang begitu kumuh. Awal mulanya ia memang tak suka dengan tempat tersebut. Akan tetapi, karena cinta yang diberikan Steven begitu tulus. Aira pun mampu menepikan egonya. Ia menerima segala kekurangan dan kelebihan Steven.Aira mendengar ponselnya berbunyi. Ia segera meraihnya dan mengangkat panggilan tersebut."Halo Aira, bagaimana kabarmu?" tanya Mira, asisten pribadinya dari seberang sana."Halo, kabar baik. Ada apa?" jawab Aira."Aira, ada job baru
Aira memasuki kamarnya ketika sudah selesai memasak, meskipun mereka sudah memiliki asisten rumah tangga. Akan tetapi, ia tak pernah lupa akan tugasnya untuk menjadi seorang istri. Meskipun pekerjaannya sebagai model kadang menyita waktunya dan jarang sekali berada di rumah. Namun sebisa mungkin, Aira menyempatkan diri untuk pulang."Sayang, apa hari ini kamu akan ke tempat kerja?" tanya Aira ketika melihat Steven sedang mengenakan kemejanya."Iya, hari ini aku akan pergi ke restoran, ada banyak hal yang harus aku urus di sana," jawab Steven sambil mengancingkan kemejanya.Aira berjalan ke arah Steven, ia membantu mengancingkan kemeja suaminya. "Apa Veline sudah bersiap?" tanya Steven sambil memandangi Aira yang menyematkan kancing kemejanya.Aira mengangguk sambil fokus dengan kemeja suaminya. "Sudah, dia sudah selesai mandi dan mengenakan seragam sekolahnya.""Baguslah, hari ini aku yang akan mengantarnya.""Baiklah, aku juga harus cepat-cepat ke kantor," kata Aira yang sudah menye
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka