5 Tahun Kemudian.Aira duduk termenung di teras apartemennya yang berada di pusat kota. Ia tak henti-hentinya mengingat kembali perjalanan hidupnya lima tahun yang lalu yang penuh dengan liku-liku dan hambatan dalam mencapai mimpinya. Namun, sekarang ia sudah berhasil mencapai cita-citanya menjadi model terkenal.Aira berasal dari keluarga yang memang terbilang memiliki segalanya. Akan tetapi, kehidupannya berubah ketika ia lebih memilih hidup bersama dengan Steven. Kehidupan mereka begitu sangat sederhana, dan hanya tinggal di kontrakan yang begitu kumuh. Awal mulanya ia memang tak suka dengan tempat tersebut. Akan tetapi, karena cinta yang diberikan Steven begitu tulus. Aira pun mampu menepikan egonya. Ia menerima segala kekurangan dan kelebihan Steven.Aira mendengar ponselnya berbunyi. Ia segera meraihnya dan mengangkat panggilan tersebut."Halo Aira, bagaimana kabarmu?" tanya Mira, asisten pribadinya dari seberang sana."Halo, kabar baik. Ada apa?" jawab Aira."Aira, ada job baru
Aira memasuki kamarnya ketika sudah selesai memasak, meskipun mereka sudah memiliki asisten rumah tangga. Akan tetapi, ia tak pernah lupa akan tugasnya untuk menjadi seorang istri. Meskipun pekerjaannya sebagai model kadang menyita waktunya dan jarang sekali berada di rumah. Namun sebisa mungkin, Aira menyempatkan diri untuk pulang."Sayang, apa hari ini kamu akan ke tempat kerja?" tanya Aira ketika melihat Steven sedang mengenakan kemejanya."Iya, hari ini aku akan pergi ke restoran, ada banyak hal yang harus aku urus di sana," jawab Steven sambil mengancingkan kemejanya.Aira berjalan ke arah Steven, ia membantu mengancingkan kemeja suaminya. "Apa Veline sudah bersiap?" tanya Steven sambil memandangi Aira yang menyematkan kancing kemejanya.Aira mengangguk sambil fokus dengan kemeja suaminya. "Sudah, dia sudah selesai mandi dan mengenakan seragam sekolahnya.""Baguslah, hari ini aku yang akan mengantarnya.""Baiklah, aku juga harus cepat-cepat ke kantor," kata Aira yang sudah menye
Mata Aira hampir meloncat keluar saat melihat siapa yang datang, seseorang dari masa lalunya, yang pernah dekat dengannya, dan juga orang yang telah menghancurkan hidupnya sekarang berdiri di hadapannya."Michael," gumam Aira pelan. Dia tidak pernah membayangkan akan bertemu mantan kekasihnya lagi setelah 5 tahun berlalu. Lelaki yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam, tak pernah ia bayangkan kini akan hadir kembali dalam hidupnya.Aira merasa jantungnya terasa berdebar kencang. Michael adalah mantan kekasihnya, dan mereka telah berpisah dengan cara yang tidak menyenangkan. Tentu saja dia tidak ingin melihatnya lagi, tetapi di sini, lelaki itu berdiri tepat di depannya, seperti hantu dari masa lalu yang kembali muncul."Aku mendengar bahwa ada seseorang yang ingin tahu siapa pemilik dari sabun kecantikan itu. Aku adalah Michael William Bradley, pemilik sabun kecantikan dari perusahaan AM, dan kita akan bekerja sama dengan Emily Model Agency," kata Michael dengan senyum menyeringa
Tidak lama kemudian, Michael mendengar pintu ruangan terbuka. Ia segera meletakkan bingkai tersebut kembali di atas meja.Mata Aira sontak membulat ketika melihat kehadiran Michael di ruangannya. "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya dengan nada tajam.Michael berjalan mendekati Aira, dan menatapnya dengan tatapan yang sama tajamnya. "Apa ada masalah kalau aku ada di sini, Nona Aira Putri Adiwijaya?""Ini ruangan milikku, dan aku tidak mengizinkan siapapun masuk, terkecuali kamu!" Aira berdesis, sambil mengepalkan tangannya dan menahan emosi yang mungkin sebentar lagi akan meletus dari dalam dirinya.Michael hanya tersenyum sinis melihat reaksi dari mantan kekasihnya itu. "Kamu belum berubah, selalu saja jadi orang yang emosional, Aira.""Aku tidak peduli, pergi dari sini sekarang juga!" Aira menunjuk pintu, berharap agar Michael bisa segera pergi dari ruangannya. Namun, Michael justru hanya bersedekap dada."Tunggu sebentar, Aira," ucap Michael sambil menyentuh kedua bahu Aira."Jangan
Steven yang tengah sibuk menatap layar laptopnya, tiba-tiba terganggu oleh kehadiran Aira yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke pintu dan tersenyum manis kepada istrinya. Namun, ia melihat begitu jelas bahwa Aira sedang terbebani dengan sesuatu, terlihat dari wajah murung istrinya. "Sayang, kamu sudah pulang?" tanya Steven dengan nada cemas."Steven, dia sudah kembali," jawab Aira dengan suara redup.Steven tersentak mendengar kata-kata Aira. "Dia sudah kembali? Siapa yang kamu maksud?" Steven bertanya dalam kebingungannya."Michael, Steven. Dia yang menjadi pemilik sabun kecantikan itu," ungkap Aira dengan mata yang berkaca-kaca.Steven terdiam. Ia tidak menyangka kalau mantan dari istrinya itu akan kembali lagi dalam kehidupannya. Lebih menyedihkan lagi, ia meminta Aira menjadi model untuk produk kecantikannya. Namun, Steven tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Aira. "Duduklah, aku ingin mendengar lebih lanjut," ujar Steven seraya meminta Air
Andre dan Michael telah lama tak bertemu sejak terakhir kali mereka bersua lima tahun yang lalu. Keduanya berteman baik sejak duduk di bangku SMA dan Andre merasa sangat senang ketika mengetahui bahwa sahabatnya itu sudah kembali ke Indonesia. Tanpa ragu, Andre segera ingin bertemu dengan Michael. Saat melihat Michael sedang duduk sendirian di bar, Andre menghampirinya dan mengucapkan salam sambil memberikan high five."Halo, bro! Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," kata Andre dengan bahagia.Michael terlihat senang melihat temannya itu. Dia memegang gelas kecil di tangannya dan menenggak air tersebut, lalu bertanya, "Kenapa? Apa kamu tak merindukanku?"Andre tertawa mendengar pertanyaan tersebut dan berkata, "Tentu saja merindukanmu! Siapa yang tak merindukanmu?"Lalu, Michael bertanya tentang kabar Andre. "Bagaimana kabarmu? Aku dengar kamu sudah menjadi ketua manajemen," kata Michael.Andre duduk di samping Michael dan menjawab pertanyaannya. "Ya, seperti yang kamu lihat. Yah
Aira melangkah dengan elegan memasuki kantor tempatnya bekerja, sepatu hak tinggi yang dipakainya menghasilkan bunyi yang khas dari langkah kakinya di lantai. Ketika dia sudah sampai di lobi, dia langsung bertemu dengan Rita, sekretaris dari Emily."Bisa kita bicara sebentar, Aira?" pinta Rita."Ada apa?" tanya Aira dengan ekspresi datarnya."Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu," jawab Rita."Bicaralah," ucap Aira acuh tak acuh.Rita menghela napas kesal ketika melihat sikap Aira yang seperti itu."Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa kerjasama agensi kita dengan perusahaan AM Group itu sangat berarti bagi Bu Emily. Bahkan Bu Emily sendiri yang merekomendasikanmu sebagai model utama. Tapi sepertinya kamu tidak menghargai itu. Bahkan sepertinya kamu lupa bahwa selama ini kamu bisa ada di sini itu karena Bu Emily. Kalau aku jadi Bu Emily, aku pasti sudah menendangmu dari agensi ini. Kamu sombong dan tidak tahu berterima kasih, kamu tidak layak ada di sini!" ucap Rita dengan nada ka
"Michael, silakan masuk." Emily mengundang Michael untuk masuk saat masih berada di ambang pintu."Duduklah, " pinta Emily kepada Michael, menyuruh duduk saat memasuki ruangan kerjanya. "Terima kasih." Michael mengucapkan terima kasih dan duduk di samping Aira, yang merasa sangat gugup dengan kedatangannya. "Apa ada yang ingin kamu sampaikan, Michael?" Emily langsung menanyakan tujuan kedatangan Michael ke sini."Saya ingin tahu lebih lanjut tentang kerja sama kita. Saya berharap model Anda dapat berpikir rasional tanpa membiarkan kepentingan pribadi menjadi beban bagi bisnis kita," ungkap Michael sambil melirik ke arah Aira."Begini, Michael, Aira bilang dia butuh waktu untuk memikirkan kerjasama ini." Emily kemudian menjelaskan kepada Michael bahwa Aira membutuhkan waktu untuk memikirkan kerjasama mereka. Namun, Michael merasa kalimat waktu itu seperti menyia-nyiakan uang bagi bisnisnya."Bagi saya waktu itu seperti uang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Saya tidak bisa menu
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka