Khansa berhasil ditarik Om Pras ke dalam apartemen, dikuncinya dari agar tak ada yang bisa keluar tanpa seizinnya. Tak ada yang bisa membuka pintu kecuali dia yang membukakannya. Khansa yang mengetahuinya beranjak meninggalkan Om Pras di ruang tamu. Dihentakkan kakinya dengan kesal dan masuk ke dalam kamar. Om Pras hanya memperhatikan kekesalan Khansa sambil menatap lekat pada amplop coklat yang menyebabkannya. Agak ragu untuk membuka isinya, dia juga kesal karena amplop ini membuat hubungan mereka berdua semakin memburuk. Baru saja melihat Khansa bisa tersenyum saat menuruti keinginannya kini dia harus menghadapi kemarannya kembali. Dilangkahkannya menuju kamar saat didengar dari dalam Khansa muntah-muntah dipercepat langkahnya. Amplop yang dibawanya diletakkan sembarang di atas meja. Diambilnya aroma terapi di atas nakas, dan masuk dalam kamar mandi. Khansa sudah terduduk dipinggir kloset dengan lemas. Sepertinya isi perutnya sudah habis dikeluarkannya, Diangkat tubuh Khansa yang
Khansa kembali duduk dan memperhatikan apa yang dilakukan Om Pras. Kini mereka makan bersama, Khansa melanjutkan menghabiskan makanan yang sudah ada di piringnya, sedangkan Om Pras mengambil sedikit dari makanan yang ada. Om Pras khawatir jika dia memakannya seperti biasa, Khansa akan kekurangan lauk dan membuatnya kembali kesal. Ternyata benar yang ada di berkas hasil penyelidikannya, porsi makan Khansa sangat banyak. Tak disadarinya sebuah senyum terbentuk di bibirnya. Saat Khansa melihatnya, dia kembali dia meradang, "Om mau membuat aku susah apa lagi sekarang? Om selalu jahat pada Khansa, tidak bisakah om punya sedikit perasaan sayang pada Khansa!" Om Pras kaget dengan bentakan Khansa. Piring yang yang sudah kosong namun masih ditangannya diletakkan perlahan di atas meja. Membalas tatapan marah Khansa, sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. Sebutir air mulai mengalir dari sudut matanya. Huft... lagi dan lagi. Setiap hari selalu ada drama dari Khansa, Bagaimana mungkin aku har
Saat ini mereka berada dalam mobil yang dikendarai Rama. Om Pras duduk di samping Khansa di kursi penumpang. Menurut Om Pras tadi mereka akan menemui kakaknya Amanda. Seperti apa wajahnya, apakah mirip denganku? Khansa hanya memandangi jalanan dari jendela di sampingnya, hatinya sakit mengetahui tujuannya saat ini. Kak Amanda adalah kakak kandungnya, bukan Kak Yasmine yang telah menghabiskan separuh waktu mereka bersama. Om Pras hanya memperhatikan yang di lakukan Khansa. Sesekali didengarnya suara Khansa menarik napas dalam. Om Pras tersenyum melihat kegalauan Khansa. Padahal saat ini mereka akan ke Kampus Dwi Aksara, menemui sahabatnya Riska. Rama sudah memarkirkan mobil dan berjalan meninggalkan mereka berdua. Om Pras beberapa kali memanggil Khansa, "Hanny." Namun tak didengarnya hingga panggilan ketiga Om Pras mengencangkan panggilannya, "Hanniy!" Khansa menoleh ke arah Om Pras. Saat dilihatnya Pak Rama sudah tidak ada di kursi depan, barulah Khansa menoleh ke kanan dan ke ki
Dimas hanya membalas tatapan mata Pras, namun tak bergerak sama sekali. Dia tahu jika Pras adalah pemilik kampus tempatnya kuliah. Jika dia salah bertindak maka resiko yang akan ditanggungnya pasti berat. Gilang dan Handy yang memperhatikan dari jauh menerka-nerka apa yang terjadi. Om Pras sudah membawa Khansa menuju mobil. Di dekat mobil Riska berdiri di samping Pak Rama. Riska hanya menunduk melihat Khansa yang datang ditarik oleh Om Pras. Khansa mendengus kesal dan berujar, "Aku akan mempertimbangkan lagi persahabatan kita. Semua karena kamu sudah memihak Om Pras." Riska yang mendengar ucapan Khansa kaget. Ditatapnya mata Khansa untuk memastikan apakah ucapannya serius atau hanya candaan. Ditatapnya Om Pras bergantian untuk memastikannya. "Jika karena aku persahabatan kalian putus, jangan salahkan jika aku akan membatalkan kelulusan Riska untuk kuliah di Dwi Aksara. Rama tunggu kabar dariku terkait kelulusan Riska," ucap Om Pras menekan Khansa dan Riska bersamaan. Khansa membela
"Ingin makan sesuatu?" tanya Om Pras saat dilihatnya Khansa yang membuang tatapannya ke jendela. Khansa tak menjawabnya. Pikirannya kalut saat ini, perasaannya pada Om Pras sudah mengalahkan perasaannya pada Dimas. Namun dengan kembalinya Kak Amanda berarti dia harus mengalah. Bagaimanapun Kak Amanda adalah kakak kandungnya dan lebih dahulu mengenal Om Pras. "Khansa!" teriak Om Pras marah. Dibalikannya tubuhnya hingga matanya menatap lekat Om Pras yang marah. Sesaat kemarahan Om Pras mencair, apalagi saat dilihatnya wajah Khansa sedikit pucat. Om Pras memperhatikan bagian perut Khansa, di mana ada calon putranya di dalam sana. Om Pras tersenyum saat membayangkan putranya nanti. Jika memliki sikap seperti Khansa tak dibayangkan menghadapi keduanya. "Om! Kenapa sekarang sering senyum-senyum sendiri? Om ingin menghancurkan Khansa ya? Om ingin meledek jika Khansa kalah, begitu?" tanyanya lantang hingga menghapus senyum di wajah Om Pras. "Apa maksudnya Hanny?" tanya Om Pras balik. "O
"Apa yang kamu katakan Brian? Aku tidak pernah mengambil apapun dari siapapun!" seru papa membela diri. Orang tua Khansa memang memintanya mencari informasi, hanya itu. Mereka melakukan sendiri tanpa campur tanganku, "Jika yang kamu kira itu adalah perusahaan yang saat ini papa jalani, itu memang milik Khansa yang dititipkan pada papa. Jika kelak Khansa sudah berusia 21 tahun papa harus mengembalikannya," jelas papa geram mendengar tuduhan Brian. "Jadi... Perusahaan papa milik Khansa?" tanya Yasmine pelan. Papa mengangguk dan berucap, "Untuk itulah papa membuat perusahaan yang memang papa buat untukmu Yasmine, namun saat baru saja berkembang. Pras mengetahuinya dan memutuskan dua kontrak kemarin. Kini Pras sudah mengembalikannya, jadi papa bisa tenang meninggalkanmu nanti." "Papa...!" ucap Yasmine yang langsung memeluknya. Sakit jantung yang dideritanya saat ini sudah sering kambuh. Yasmine tidak megetahuinya, karena semua ditutup rapat-rapat. Dianggapnya jika ini semua adalah pemba
"Nadin, semua rapat batalkan! Buat jadwal ulang pekan depan!" perintah Pras setelah tak bisa lagi menahan amarahnya. Diambilnya kunci mobil dari atas meja sambil menutup telepon dengan membantingnya di ke tempat semula. Nadin yang kaget mendengar teriakan saat mengangkat gagang telepon dan suara telepon dibanting, hanya bersungut dalam hati."Siapa lagi yang membuatnya kesal?" tanyanya dalam hati. Beberapa hari belakangan suasana hatinya sangat baik, amat baik malah. Semua pekerjaan menjadi mudah dan selesai dengan cepat. Jika sudah begini biasanya butuh waktu lebih lama untuk menyeslesaikan pekerjaannya.Dilihatnya Pras yang marah berjalan di depan mejanya tanpa menoleh sedikitpun. Begitu juga beberapa karyawan lain yang menundukkan kepala menyapanya tak dibalas seperti biasanya. Dalam hatinya sudah bersungut kesal, "Awas Khansa! Jika aku melihat Dimas di rumah, habislah dia nanti. Aku tak akan memaafkannya."Pras memacu mobilnya cepat, tak diindahkan lampu kuning yang sesaat berganti
Khansa sudah berbaring di atas kasur saat Om Pras yang masuk membawa kue yang sudah ditata di piring. Diletakkannya di atas nakas, dan ikut berbaring di samping Khansa. Om Pras hanya melirik Khansa sejenak saat Khansa menarik selimutnya tinggi hingga menutupi seluruh wajahnya. Om Pras tersenyum melihatnya, sepertinya sikap kekanakannya kembali datang. Om Pras mengambil kue yang masih hangat dan memotongnya hingga aroma kue memenuhi kamar. Khansa yang mencium aroma yang lezat merasa terusik, perutnya mulai berbunyi pelan. Ditahannya agar tidak terdengar, Om Pras yang mendengar mulai tersenyum. Didekatinya Wajah Khansa yang masih tertutup kain. "Kalau tidak mau membuka kainnya aku akan habiskan kue yang sangat lezat ini. Jangan salahkan jika akan habis dalam sekejap" ujarnya sambil meledek. Khansa tak bergeming, Om Pras melanjutkan makannya. Beberapa saat kemudian, dia dikagetkan dengan piring yang direbut Khansa dan gerakan Khansa yang akan turun dari tempat tidur. Tangan Om Pras den