"Apa yang kamu katakan Brian? Aku tidak pernah mengambil apapun dari siapapun!" seru papa membela diri. Orang tua Khansa memang memintanya mencari informasi, hanya itu. Mereka melakukan sendiri tanpa campur tanganku, "Jika yang kamu kira itu adalah perusahaan yang saat ini papa jalani, itu memang milik Khansa yang dititipkan pada papa. Jika kelak Khansa sudah berusia 21 tahun papa harus mengembalikannya," jelas papa geram mendengar tuduhan Brian. "Jadi... Perusahaan papa milik Khansa?" tanya Yasmine pelan. Papa mengangguk dan berucap, "Untuk itulah papa membuat perusahaan yang memang papa buat untukmu Yasmine, namun saat baru saja berkembang. Pras mengetahuinya dan memutuskan dua kontrak kemarin. Kini Pras sudah mengembalikannya, jadi papa bisa tenang meninggalkanmu nanti." "Papa...!" ucap Yasmine yang langsung memeluknya. Sakit jantung yang dideritanya saat ini sudah sering kambuh. Yasmine tidak megetahuinya, karena semua ditutup rapat-rapat. Dianggapnya jika ini semua adalah pemba
"Nadin, semua rapat batalkan! Buat jadwal ulang pekan depan!" perintah Pras setelah tak bisa lagi menahan amarahnya. Diambilnya kunci mobil dari atas meja sambil menutup telepon dengan membantingnya di ke tempat semula. Nadin yang kaget mendengar teriakan saat mengangkat gagang telepon dan suara telepon dibanting, hanya bersungut dalam hati."Siapa lagi yang membuatnya kesal?" tanyanya dalam hati. Beberapa hari belakangan suasana hatinya sangat baik, amat baik malah. Semua pekerjaan menjadi mudah dan selesai dengan cepat. Jika sudah begini biasanya butuh waktu lebih lama untuk menyeslesaikan pekerjaannya.Dilihatnya Pras yang marah berjalan di depan mejanya tanpa menoleh sedikitpun. Begitu juga beberapa karyawan lain yang menundukkan kepala menyapanya tak dibalas seperti biasanya. Dalam hatinya sudah bersungut kesal, "Awas Khansa! Jika aku melihat Dimas di rumah, habislah dia nanti. Aku tak akan memaafkannya."Pras memacu mobilnya cepat, tak diindahkan lampu kuning yang sesaat berganti
Khansa sudah berbaring di atas kasur saat Om Pras yang masuk membawa kue yang sudah ditata di piring. Diletakkannya di atas nakas, dan ikut berbaring di samping Khansa. Om Pras hanya melirik Khansa sejenak saat Khansa menarik selimutnya tinggi hingga menutupi seluruh wajahnya. Om Pras tersenyum melihatnya, sepertinya sikap kekanakannya kembali datang. Om Pras mengambil kue yang masih hangat dan memotongnya hingga aroma kue memenuhi kamar. Khansa yang mencium aroma yang lezat merasa terusik, perutnya mulai berbunyi pelan. Ditahannya agar tidak terdengar, Om Pras yang mendengar mulai tersenyum. Didekatinya Wajah Khansa yang masih tertutup kain. "Kalau tidak mau membuka kainnya aku akan habiskan kue yang sangat lezat ini. Jangan salahkan jika akan habis dalam sekejap" ujarnya sambil meledek. Khansa tak bergeming, Om Pras melanjutkan makannya. Beberapa saat kemudian, dia dikagetkan dengan piring yang direbut Khansa dan gerakan Khansa yang akan turun dari tempat tidur. Tangan Om Pras den
Sudah satu pekan Pras meradang, semua orang diminta mencari dimana keberadaan Khansa, termasuk Rama. Dia harus bolak-balik antara kampus dan kantor utama. Setiap hari melaporkan pencarian yang dilakukan anak buahnya. Pekerjaannya banyak yang tertunda. Dia juga tak ingin mengecewakan Khansa yang memberikan kepercayaan padanya. "Bagaimana mungkin mencari seorang Khansa saja tidak bisa, apakah dunia ini terlalu luas untuk kalian?" tanya Pras sambil menunjuk pada anak buahnya yang menunduk di hadapannya. Rama yang memantau hanya menunduk sambil sesekali melirik ke arah Pras. Jika ada orangnya mengetahui keberadaan Khansa langsung diancamnya akan kehilangan pekerjaan. Satu bulan berlalu, Pras masih mencari keberadaan Khansa yang seperti hilang ditelan bumi, Rama selalu menjadi sasaran kemarahannya. Bukan hanya marah, namun juga bentakan kasar kadang diterimanya. Rama hanya menahan nafasnya, berharap jika semua pengorbanannya kini, akan memberikan kebaikan pada bosnya nanti. Hingga akhi
Pak Rama langsung menghampiri Khansa yang sudah ada di lantai diperiksanya kondisi Khansa. Sekretaris yang menghampiri mereka diminta untuk memberitahukan sopir agar bersiap di depan pintu. Diminta bantuan seorang karyawan yang ada di sana untuk membantu membopong Khansa menuju mobilnya. "Ke rumah sakit. Cepat!" perintah Pak Rama. Pak Rama menghubungi Dimas, selama ini Dimas yang mengurus semua keperluan Khansa di rumah sakit. Dimas dan Riska langsung menyusul ke rumah sakit setelah menerima pesan dari Pak Rama. Tadi saat meninggalkan mereka Khansa baik-baik saja. Ada apa sebenarnya? tanya Dimas sambil menatap Riska bingung. Sesampainya di rumah sakit Dimas langsung menghampiri Khansa, menatap dokter seakan bertanya. "Tidak apa-apa hanya kelelahan, bayinya kuat dan sehat," ucap dokter menjelaskan.Khansa masih tidur setelah mendapatkan pemeriksaan. Dimas dan Riska menarik napas lega. Pak Rama yang juga baru datang setelah mengurus administrasi bertanya pada Dimas, "Apa kata dokter?"
Kini Asha sudah berusia enam bulan. Pak Rama menyediakan seorang baby sitter untuk Asha. Khansa ingin menyelesaikan kuliahnya dengan baik, untuk itulah pengasuh sangat dibutuhkannya. Saat Khansa kuliah Asha akan diasuh baby sitternya, namun jika Khansa di rumah semua keutuhan Asha dipenuhinya.Khansa sudah kembali mengikuti kelas dan beraktivitas seperti sebalumnya. Saat masuk kelas Khansa selalu mematikan ponselnya. Dia ingin konsentrasinya tidak terganggu, kuliahnya harus selesai secepat mungkin agar bisa mengasuh Asha putranya. Siang ini selepas kuliah dinyalakannya ponsel kembali. Beberapa panggilan masuk tertera di layar. Dari pengasuh Asha. Dibacanya pesan yang masuk.-Asha panas, saya bawa ke rumah sakit dibantu tetangga. Saya tidak ingin hal buruk terjadi Bu, maafkan saya.- Khansa panik membaca pesan yang dibaca pertama kalinya. Dari kejauhan Dimas melihatnya kemudian mulai melangkah menghampiri Khansa. Dilanjutkan membaca pesan berikutnya. -Ini alamat rumah sakitnya.- "Ash
"Apakah kamu Pras?" tanya Dimas sambil menarik topinya. Ternyata bukan orang yang mereka duga sebelumnya. Lelaki itu terdiam dengan takut, Dimas mulai mengintrograsinya. "Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya tegas. Digelengkan kepalanya tanpa membuka suaranya. Dimas yang kesal mulai mengancam. "Jika tidak mengaku aku akan panggil polisi, dengan tuduhan melakukan ancaman dan menakuti Khasna!" tegasnya hingga membuat lelaki itu menggeleng lebih kencang. "A...da yang menyuruhku, tapi bapak itu minta jangan sampai ketahuan. Nanti pekerjaan saya tidak dibayarnya," jelasnya pelan. "Siapa?" tanya Khansa cepat. "Pak Ra...ma, dia tidak mau diketahui telah membantu. Pak Rama bilang agar pahalanya dari Allah saja," jelasnya cepat. Dimas menghembuskan nafasnya pelan, dia mengira ini ada hubungannya dengan Pras, Papa Asha. Tapi ternyata kembali semua diatur oleh Pak Rama. "Ya sudah, anggap saja belum ketahuan. Biar Pak Rama terus mendapatkan pahalanya. Kami juga akan berpura-pura tidak mengetahuin
"Papa Pras?!"Khansa mendelikkan matanya kaget mendengar nama yang disebut Asha. Dari mana Asha tahu nama papanya. Selama ini dia hanya menunjukkan fotonya tanpa menyebutkan namanya. Asha yang mengetahui kekeliruannya langsung memasang wajah tak bersalah dan berucap, "Kata teman-teman nama Papa Asha, Papa Pras ma." "Prasha. Jika nama belakang adalah nama mama, pasti nama depan adalah nama papa, begitu yang dikatakan teman-teman. Apakah benar ma?" lanjutnya dengan polos bertanya. Khansa terdiam tak bisa menjawab. Memang benar yang dikatakan Asha. Prasha diambil dari nama Mas Pras dan dia sendiri. Ditariknya nafas untuk menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Asha. "Ya, kalau namanya diambil dari Om Dimas namanya jadi Disha, begitu bukan maksud Asha?" tanya Dimas yang menyela percakapan mereka. "Wah benar sekali om, berarti Asha bukan anak om kan?" tanya Asha kali ini pada Dimas. "Mau anak om atau bukan, mau ikut beli es krim tidak? Kita belikan untuk mama dan tante Riska sekali