Kini Asha sudah berusia enam bulan. Pak Rama menyediakan seorang baby sitter untuk Asha. Khansa ingin menyelesaikan kuliahnya dengan baik, untuk itulah pengasuh sangat dibutuhkannya. Saat Khansa kuliah Asha akan diasuh baby sitternya, namun jika Khansa di rumah semua keutuhan Asha dipenuhinya.Khansa sudah kembali mengikuti kelas dan beraktivitas seperti sebalumnya. Saat masuk kelas Khansa selalu mematikan ponselnya. Dia ingin konsentrasinya tidak terganggu, kuliahnya harus selesai secepat mungkin agar bisa mengasuh Asha putranya. Siang ini selepas kuliah dinyalakannya ponsel kembali. Beberapa panggilan masuk tertera di layar. Dari pengasuh Asha. Dibacanya pesan yang masuk.-Asha panas, saya bawa ke rumah sakit dibantu tetangga. Saya tidak ingin hal buruk terjadi Bu, maafkan saya.- Khansa panik membaca pesan yang dibaca pertama kalinya. Dari kejauhan Dimas melihatnya kemudian mulai melangkah menghampiri Khansa. Dilanjutkan membaca pesan berikutnya. -Ini alamat rumah sakitnya.- "Ash
"Apakah kamu Pras?" tanya Dimas sambil menarik topinya. Ternyata bukan orang yang mereka duga sebelumnya. Lelaki itu terdiam dengan takut, Dimas mulai mengintrograsinya. "Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya tegas. Digelengkan kepalanya tanpa membuka suaranya. Dimas yang kesal mulai mengancam. "Jika tidak mengaku aku akan panggil polisi, dengan tuduhan melakukan ancaman dan menakuti Khasna!" tegasnya hingga membuat lelaki itu menggeleng lebih kencang. "A...da yang menyuruhku, tapi bapak itu minta jangan sampai ketahuan. Nanti pekerjaan saya tidak dibayarnya," jelasnya pelan. "Siapa?" tanya Khansa cepat. "Pak Ra...ma, dia tidak mau diketahui telah membantu. Pak Rama bilang agar pahalanya dari Allah saja," jelasnya cepat. Dimas menghembuskan nafasnya pelan, dia mengira ini ada hubungannya dengan Pras, Papa Asha. Tapi ternyata kembali semua diatur oleh Pak Rama. "Ya sudah, anggap saja belum ketahuan. Biar Pak Rama terus mendapatkan pahalanya. Kami juga akan berpura-pura tidak mengetahuin
"Papa Pras?!"Khansa mendelikkan matanya kaget mendengar nama yang disebut Asha. Dari mana Asha tahu nama papanya. Selama ini dia hanya menunjukkan fotonya tanpa menyebutkan namanya. Asha yang mengetahui kekeliruannya langsung memasang wajah tak bersalah dan berucap, "Kata teman-teman nama Papa Asha, Papa Pras ma." "Prasha. Jika nama belakang adalah nama mama, pasti nama depan adalah nama papa, begitu yang dikatakan teman-teman. Apakah benar ma?" lanjutnya dengan polos bertanya. Khansa terdiam tak bisa menjawab. Memang benar yang dikatakan Asha. Prasha diambil dari nama Mas Pras dan dia sendiri. Ditariknya nafas untuk menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Asha. "Ya, kalau namanya diambil dari Om Dimas namanya jadi Disha, begitu bukan maksud Asha?" tanya Dimas yang menyela percakapan mereka. "Wah benar sekali om, berarti Asha bukan anak om kan?" tanya Asha kali ini pada Dimas. "Mau anak om atau bukan, mau ikut beli es krim tidak? Kita belikan untuk mama dan tante Riska sekali
Pras hanya menatap Khansa yang melangkah bersama Dimas, jadi benar selama ini yang memberikan dukungan pada Khansa dan Asha adalah Dimas. Khansa pernah menjelaskan jika Dimas dan Riska berpacaran, namun dia tak pernah melihat kedekatan mereka, yang dilihatnya malah tatap mata Dimas yang sangat menyayangi Khansa juga putranya Asha."Apakah Dimas mengharapkan keduanya menjadi bagian kehidupannya?" tanya Pras membatin. Pras menggelengkan kepalanya tak ingin hal itu menjadi kenyataan. Sampai kapanpun Khansa adalah miliknya dan akan selalu menjadi miliknya. Dihembuskan nafasnya pelan.Amanda yang ada dihadapannya kini tak berani lagi menyentuh tangannya setelah tadi Pras menarik tangannya dengan kasar. Amanda kembali menunduk, sudah dipesankan oleh Mama Dewi jika dia harus menuruti semua yang diinginkan Pras, bagaimanapun saat ini dia sedang memerankan Amanda yang menurut Brian sangat dicintai Pras.Kebutuhan untuk mendapat uang yang dapat memenuhi kebutuhannya
"Pras mengancam jabatanku saat ini, jika lebih memilih membantu Khansa dari pada membantunya," jelas Pak Rama yang kemudian terdiam.Dimas tak bisa menyalahkannya. Direktur Kampus Dwi Aksara adalah jabatan tertinggi di sini. Pak Rama tak mungkin mempertaruhkan jabatannya hanya untuk hal yang tak berkaitan dengannya. "Apakah sebaiknya Khansa tahu mengenai hal ini?" tanya Dimas pelan. "Pak Pras akan membuka semuanya besok setelah wisuda, sebaiknya kita membiarkan mereka saling memahami. Dengan begitu hubungan mereka akan membaik," saran Pak Rama pada Dimas. Mereka terdiam, apa yang dikatakan Pak Rama ada benarnya, sepertinya Dimas harus mulai menarik diri perlahan. Dimas tak mau rasa sakit hatinya semakin dalam dan akan membebani Khansa. Diberikannya senyuman pada Pak Rama untuk menguatkan dirinya sendiri. "Baik Pak Rama, itu saja yang ingin saya tanyakan. Semoga besok semuanya sesuai dengan harapan kita," ucap Dimas kemudian. Sebuah pesan dari Riska mengingatkan untuk menemput ayah
Beruntung mereka tidak terjebak kemacetan, terlambat sedikit saja pastinya mereka harus mengantre untuk waktu yang cukup lama. Mereka hanya terjebak kemacetan di dalam lingkungan kampus karena menunggu antrean mobil yang akan parkir. Dimas menawarkan menurunkan mereka di lobi, namun ditolak Khansa. "Kita turun sama-sama saja, biar seru," ucapnya menjawab tawaran Dimas. "Iya om. Seru jalan bareng anak ganteng seperti Asha, nanti pasti banyak yang terkagum-kagum," jawabnya dengan mimik yang lucu. Kami yang mendengarnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Dimas berusaha mencari parkir yang tidak jauh dari pintu utama acara, saat dilewatinya parkir VIP, seorang sekuriti memberi tanda untuk masuk. Dimas langsug mengambil tempat di salah satu ruang di sana. "Tidak apa kita parkir di sini?" tanya Riska melihat Dimas menggambil salah satu tempat. "Tidak apa tante Papa Asha baik kok," jawabnya sambil tersenyum. "Iya kan Om Dimas? itu ada Pak Rama, Ma. Pasti menunggu Asha kan?" tanyany
"Ibu...!" suara Riska tercekat mendengar ucapan ibunya. Kini mereka sudah berada di pintu utama gedung. Riska dan Khansa berpisah menuju peserta wisuda. Ayah dan ibu Riska, serta Dimas dan Asha berjalan menuju kursi undangan, ternyata Pak Rama sudah menunggu di pintu. Diantarkan mereka menuju kursi yang tak jauh dari panggung. Asha melambaikan tangan pada seseorang, saat kulihat, ternyata dilambaikan pada papanya, Pras. Sejak kapan Asha mengenalnya? Sepertinya banyak hal yang tidak diketahui oleh mereka. Saat mata Dimas bertatapan dengan Pras, mereka seakan memberikan sinyal peperangan. Namun Dimas kini mulai melunak, ditariknya tatapannya berpindah pada Handy dan Gilang yang ternyata masih menggerecoki Riska di seberang sana. "Huft... mengapa aku jadi kesal melihatnya?" tanya Dimas dalam hati. Handy dan Gilang menyatakan dengan terbuka akan memperebutkan Riska, sedangkan dia? Tak punya keberanian setelah mengetahui Riska ternyata disukai oleh sahabat-sahabatnya. Mereka mungkin lebih
"Hubungi Rama, dia yang akan menggantikan menemui tamu. Satu pekan ke depan kosongkan semua agenda rapat atau pertemuan lainnya. Jika tak bisa ditunda maka agendakan dengan Rama," ucap Om Pras menjelaskan pada Amanda. "Tapi Pak...," ucap Amanda menggantung karena dipotong kembali oleh Om Pras "Rama yang akan mengatur perubahan agendanya. Minta hasil perubahan dan buat menjadi agenda baru. Sekarang kembalilah ke kantor. Buatkan laporan pada Ibu Dewi terkait kegiatanku!" perintah Om Pras tak bisa dibantah. Khansa yang memperhatikan Kak Amanda merasa heran, mengapa kakaknya seakan tidak mengenal dirinya? Apakah dia benar kakak kandungnya? Mengapa aku juga tak merasakan apa-apa?"Aku masih membuktikan apakah dia Amanda asli atau bukan. Jika kamu heran dengan sikapnya," ucap Om Pras menatap keheranan Khansa. "Jadi Mas Pras juga merasakan hal yang sama dengan Khansa?" tanyanya pelan.Om Pras hanya tersenyum sekilas. Dilihatnya Asha yang sudah selesai memakan kuenya. "Asha, papa mau bicar