Beruntung mereka tidak terjebak kemacetan, terlambat sedikit saja pastinya mereka harus mengantre untuk waktu yang cukup lama. Mereka hanya terjebak kemacetan di dalam lingkungan kampus karena menunggu antrean mobil yang akan parkir. Dimas menawarkan menurunkan mereka di lobi, namun ditolak Khansa. "Kita turun sama-sama saja, biar seru," ucapnya menjawab tawaran Dimas. "Iya om. Seru jalan bareng anak ganteng seperti Asha, nanti pasti banyak yang terkagum-kagum," jawabnya dengan mimik yang lucu. Kami yang mendengarnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Dimas berusaha mencari parkir yang tidak jauh dari pintu utama acara, saat dilewatinya parkir VIP, seorang sekuriti memberi tanda untuk masuk. Dimas langsug mengambil tempat di salah satu ruang di sana. "Tidak apa kita parkir di sini?" tanya Riska melihat Dimas menggambil salah satu tempat. "Tidak apa tante Papa Asha baik kok," jawabnya sambil tersenyum. "Iya kan Om Dimas? itu ada Pak Rama, Ma. Pasti menunggu Asha kan?" tanyany
"Ibu...!" suara Riska tercekat mendengar ucapan ibunya. Kini mereka sudah berada di pintu utama gedung. Riska dan Khansa berpisah menuju peserta wisuda. Ayah dan ibu Riska, serta Dimas dan Asha berjalan menuju kursi undangan, ternyata Pak Rama sudah menunggu di pintu. Diantarkan mereka menuju kursi yang tak jauh dari panggung. Asha melambaikan tangan pada seseorang, saat kulihat, ternyata dilambaikan pada papanya, Pras. Sejak kapan Asha mengenalnya? Sepertinya banyak hal yang tidak diketahui oleh mereka. Saat mata Dimas bertatapan dengan Pras, mereka seakan memberikan sinyal peperangan. Namun Dimas kini mulai melunak, ditariknya tatapannya berpindah pada Handy dan Gilang yang ternyata masih menggerecoki Riska di seberang sana. "Huft... mengapa aku jadi kesal melihatnya?" tanya Dimas dalam hati. Handy dan Gilang menyatakan dengan terbuka akan memperebutkan Riska, sedangkan dia? Tak punya keberanian setelah mengetahui Riska ternyata disukai oleh sahabat-sahabatnya. Mereka mungkin lebih
"Hubungi Rama, dia yang akan menggantikan menemui tamu. Satu pekan ke depan kosongkan semua agenda rapat atau pertemuan lainnya. Jika tak bisa ditunda maka agendakan dengan Rama," ucap Om Pras menjelaskan pada Amanda. "Tapi Pak...," ucap Amanda menggantung karena dipotong kembali oleh Om Pras "Rama yang akan mengatur perubahan agendanya. Minta hasil perubahan dan buat menjadi agenda baru. Sekarang kembalilah ke kantor. Buatkan laporan pada Ibu Dewi terkait kegiatanku!" perintah Om Pras tak bisa dibantah. Khansa yang memperhatikan Kak Amanda merasa heran, mengapa kakaknya seakan tidak mengenal dirinya? Apakah dia benar kakak kandungnya? Mengapa aku juga tak merasakan apa-apa?"Aku masih membuktikan apakah dia Amanda asli atau bukan. Jika kamu heran dengan sikapnya," ucap Om Pras menatap keheranan Khansa. "Jadi Mas Pras juga merasakan hal yang sama dengan Khansa?" tanyanya pelan.Om Pras hanya tersenyum sekilas. Dilihatnya Asha yang sudah selesai memakan kuenya. "Asha, papa mau bicar
"Beep" Suara yang menandakan kunci terbuka, Khansa memutar knop dan mendorongnya hingga pintunya terbuka. Saat ditatapnya kamar yang dulu mereka tempati setelah menikah, Khansa membelalakkan matanya. Om Pras bilang tak akan merubahnya tapi apa yang dilihatnya sangat tidak sesuai. Ternyata ..., ada bagian yang berubah.Ruang tamu yang ada dihadapannya kini bertambah dengan sebuah meja dan dua kursi yang berada tepat dekat balkon. Sementara bagian lainnya masih sama seperti saat ditinggalkannya sekitar empat tahun yang lalu.Kini tatap mata Khansa terfokus pada meja dekat balkon. Dia tersenyum melihatnya, karena meja dan kursi itu sudah dihias dengan warna merah dan pink. Di tengah meja, tiga buah lilin dengan wadah berbentuk cinta siap dinyalakan. Om Pras berjalan mendahului menuju meja. Diletakkan buket bunga yang diberikan oleh Asha kemudian beranjak menuju pemanas di dapur. Dinyalakannya untuk memanaskan makanan yang ada di dalamnya. Menunggu hingga waktunya berhenti. Khansa melan
"Mas, Khansa mau bertemu mama dan papa serta Kak Yasmine. Boleh?" tanya Khansa sesaat Om Pras memastikan apakah Khansa masih tidur atau sudah terjaga. Huft ..., jadi Khansa sudah terbangun tadi. Saat dilihatnya kembali mata Khansa yang terpejam namun kini Dia yakin jika Khansa sudah terbangun, karena pipinya yang merona. Pasti karena tak menolak perlakuanku tadi."Kenapa Hanny? masih malu melayani suami sendiri?" tanya Om Pras sambil mengecup pucuk kepala Khansa dengan lembut. Khansa mencubit lengan Om Pras yang berteriak kesakitan. "Jangan pura-pura deh mas, tenaga Khansa tidak akan membuat cubitan di lengan mas sakit," ucapnya merajuk. "Ya sudah pasti Hanny, karena tenagamu sudah habis. Benar kan? Papa pesankan makanan, Hanny mau apa?" tanyanya tersenyum."Apa saja Pa," jawab Khansa pelan. " Nah gitu dong, papa. Terima kasih ya Hanny. Asha pasti senang sekali jika kita tinggal bersama di sini," ucap Om Pras tersenyum."Di sini?!"Om Pras menatap Khansa heran. Memangnya mau tinggal
Om Pras bergegas menuju pintu, dilihatnya melalui lubang di pintu, saat dilihatnya Asha digandeng Dimas dan Riska, dibukanya pintu dengan cepat. Asha langsung merangsek masuk walau pintu baru sedikit terbuka, dilewatinya Om Pras yang masih menghalangi pintu. "Mama... Papa jahat pisahin Asha dengan mama. Asha tidak bisa tidur jadinya," rajuk Asha sambil berjalan ke arah Khansa. Khansa yang didatangi Asha berjongkok dan membuka tangannya untuk memeluk Asha. Setelah beberapa saat didengarnya isak tangis Asha. Om Pras yang melihatnya sedikit kikuk melihat Asha menangis. Ternyata sifat cengeng Khansa juga ada pada Asha. "Jagoan mama, kenapa bersedih? Katanya mau menghukum papa," ucap Khansa menenangkan Asha, namun membuat Om Pras tersentak kaget. "Khansa, bagaimana bisa kalian berdua bekerja sama ingin menghukumku!" teriak Om Pras cepat. Dimas dan Riska yang sudah masuk setelah Om Pras mengizinkannya, menahan tawa. Asha yang mendengar papanya berteriak, memasang wajah marah. "Papa,
Khansa tak bisa menutupi rasa kecewa yang menyeruak dalam hatinya, keingintahuan sebuah kebenaran mengenai masa lalunya ternyata membuat luka dalam disaat yang sama. Ternyata hubungan rumit antara keluarganya dan keluarga Om Pras menjadi alasan Om Pras memaksa Khansa menjadi istrinya. Khansa tak menyangka cerita Om Pras yang disampaikan dengan kejujuran menggores luka yang begitu dalam. Kepergiannya menghindari Om Pras selama hampir empat tahun seharusnya tak mempertemukan mereka kembali jika hanya membuat luka sedalam ini, batinnya. Rasa cinta Om Pras pada Kak Amanda sudah menggores luka di hatinya, apalagi alasan Om Pras menikahinya bukan karena mencintainya namun karena takut kehilangan harta yang sudah dimilkinya. Semua semakin membuatnya terpukul. Kehadiran Asha tak pernah membuat perasaan Om Pras berubah. Khansa marah dengan perasaannya pada Om Pras. Khansa hanya terdiam, tak dapat menanggapi cerita Om Pras yang masih menatapnya menunggu reaksi Khansa. Apa yang harus dilakukan
Saat di ceknya nomor yang mengirimkan pesan sama dengan nomor yang tertulis pada tisu, Khansa tersenyum. Dibalasnya pesan untuk mengatur pertemuannya dengan Dinda.-Dinda kapan kita bisa bertemu? Banyak yang ingin kutanyakan.--Saya akan mengaturnya Bu, tidak perlu khawatir.--Baik.-Khansa memasukan ponselnya ke dalam tas. Dia tak ingin percakapannya dengan Dinda diketahui Om Pras. Khansa kini mengikuti Asha yang bermain robot. Saat Om Pras masuk, Asha masih bermain, makanan yang dibawakan Pak Rama masih tersisa di meja. Om Pras menanyakan pada Khansa mengenai makan siang mereka. "Sudah ku pesan. Nanti akan diantarkan Pak Rama," jawab khansa. Om Pras mengangguk dan ikut bermain bersama Asha. "Papa, ayo kita bertarung, Asha pakai robot yang ini dan papa robot yang di sana," ucapnya sambil menunjuk pada robot berwarna biru yang tadi dipegang Khansa.Om Pras bermain bersama Asha hingga makan siang mereka datang. Setelah Khansa merapikan makanan di atas meja dipanggilnya Asha untuk mak