"Papa Pras?!"Khansa mendelikkan matanya kaget mendengar nama yang disebut Asha. Dari mana Asha tahu nama papanya. Selama ini dia hanya menunjukkan fotonya tanpa menyebutkan namanya. Asha yang mengetahui kekeliruannya langsung memasang wajah tak bersalah dan berucap, "Kata teman-teman nama Papa Asha, Papa Pras ma." "Prasha. Jika nama belakang adalah nama mama, pasti nama depan adalah nama papa, begitu yang dikatakan teman-teman. Apakah benar ma?" lanjutnya dengan polos bertanya. Khansa terdiam tak bisa menjawab. Memang benar yang dikatakan Asha. Prasha diambil dari nama Mas Pras dan dia sendiri. Ditariknya nafas untuk menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Asha. "Ya, kalau namanya diambil dari Om Dimas namanya jadi Disha, begitu bukan maksud Asha?" tanya Dimas yang menyela percakapan mereka. "Wah benar sekali om, berarti Asha bukan anak om kan?" tanya Asha kali ini pada Dimas. "Mau anak om atau bukan, mau ikut beli es krim tidak? Kita belikan untuk mama dan tante Riska sekali
Pras hanya menatap Khansa yang melangkah bersama Dimas, jadi benar selama ini yang memberikan dukungan pada Khansa dan Asha adalah Dimas. Khansa pernah menjelaskan jika Dimas dan Riska berpacaran, namun dia tak pernah melihat kedekatan mereka, yang dilihatnya malah tatap mata Dimas yang sangat menyayangi Khansa juga putranya Asha."Apakah Dimas mengharapkan keduanya menjadi bagian kehidupannya?" tanya Pras membatin. Pras menggelengkan kepalanya tak ingin hal itu menjadi kenyataan. Sampai kapanpun Khansa adalah miliknya dan akan selalu menjadi miliknya. Dihembuskan nafasnya pelan.Amanda yang ada dihadapannya kini tak berani lagi menyentuh tangannya setelah tadi Pras menarik tangannya dengan kasar. Amanda kembali menunduk, sudah dipesankan oleh Mama Dewi jika dia harus menuruti semua yang diinginkan Pras, bagaimanapun saat ini dia sedang memerankan Amanda yang menurut Brian sangat dicintai Pras.Kebutuhan untuk mendapat uang yang dapat memenuhi kebutuhannya
"Pras mengancam jabatanku saat ini, jika lebih memilih membantu Khansa dari pada membantunya," jelas Pak Rama yang kemudian terdiam.Dimas tak bisa menyalahkannya. Direktur Kampus Dwi Aksara adalah jabatan tertinggi di sini. Pak Rama tak mungkin mempertaruhkan jabatannya hanya untuk hal yang tak berkaitan dengannya. "Apakah sebaiknya Khansa tahu mengenai hal ini?" tanya Dimas pelan. "Pak Pras akan membuka semuanya besok setelah wisuda, sebaiknya kita membiarkan mereka saling memahami. Dengan begitu hubungan mereka akan membaik," saran Pak Rama pada Dimas. Mereka terdiam, apa yang dikatakan Pak Rama ada benarnya, sepertinya Dimas harus mulai menarik diri perlahan. Dimas tak mau rasa sakit hatinya semakin dalam dan akan membebani Khansa. Diberikannya senyuman pada Pak Rama untuk menguatkan dirinya sendiri. "Baik Pak Rama, itu saja yang ingin saya tanyakan. Semoga besok semuanya sesuai dengan harapan kita," ucap Dimas kemudian. Sebuah pesan dari Riska mengingatkan untuk menemput ayah
Beruntung mereka tidak terjebak kemacetan, terlambat sedikit saja pastinya mereka harus mengantre untuk waktu yang cukup lama. Mereka hanya terjebak kemacetan di dalam lingkungan kampus karena menunggu antrean mobil yang akan parkir. Dimas menawarkan menurunkan mereka di lobi, namun ditolak Khansa. "Kita turun sama-sama saja, biar seru," ucapnya menjawab tawaran Dimas. "Iya om. Seru jalan bareng anak ganteng seperti Asha, nanti pasti banyak yang terkagum-kagum," jawabnya dengan mimik yang lucu. Kami yang mendengarnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Dimas berusaha mencari parkir yang tidak jauh dari pintu utama acara, saat dilewatinya parkir VIP, seorang sekuriti memberi tanda untuk masuk. Dimas langsug mengambil tempat di salah satu ruang di sana. "Tidak apa kita parkir di sini?" tanya Riska melihat Dimas menggambil salah satu tempat. "Tidak apa tante Papa Asha baik kok," jawabnya sambil tersenyum. "Iya kan Om Dimas? itu ada Pak Rama, Ma. Pasti menunggu Asha kan?" tanyany
"Ibu...!" suara Riska tercekat mendengar ucapan ibunya. Kini mereka sudah berada di pintu utama gedung. Riska dan Khansa berpisah menuju peserta wisuda. Ayah dan ibu Riska, serta Dimas dan Asha berjalan menuju kursi undangan, ternyata Pak Rama sudah menunggu di pintu. Diantarkan mereka menuju kursi yang tak jauh dari panggung. Asha melambaikan tangan pada seseorang, saat kulihat, ternyata dilambaikan pada papanya, Pras. Sejak kapan Asha mengenalnya? Sepertinya banyak hal yang tidak diketahui oleh mereka. Saat mata Dimas bertatapan dengan Pras, mereka seakan memberikan sinyal peperangan. Namun Dimas kini mulai melunak, ditariknya tatapannya berpindah pada Handy dan Gilang yang ternyata masih menggerecoki Riska di seberang sana. "Huft... mengapa aku jadi kesal melihatnya?" tanya Dimas dalam hati. Handy dan Gilang menyatakan dengan terbuka akan memperebutkan Riska, sedangkan dia? Tak punya keberanian setelah mengetahui Riska ternyata disukai oleh sahabat-sahabatnya. Mereka mungkin lebih
"Hubungi Rama, dia yang akan menggantikan menemui tamu. Satu pekan ke depan kosongkan semua agenda rapat atau pertemuan lainnya. Jika tak bisa ditunda maka agendakan dengan Rama," ucap Om Pras menjelaskan pada Amanda. "Tapi Pak...," ucap Amanda menggantung karena dipotong kembali oleh Om Pras "Rama yang akan mengatur perubahan agendanya. Minta hasil perubahan dan buat menjadi agenda baru. Sekarang kembalilah ke kantor. Buatkan laporan pada Ibu Dewi terkait kegiatanku!" perintah Om Pras tak bisa dibantah. Khansa yang memperhatikan Kak Amanda merasa heran, mengapa kakaknya seakan tidak mengenal dirinya? Apakah dia benar kakak kandungnya? Mengapa aku juga tak merasakan apa-apa?"Aku masih membuktikan apakah dia Amanda asli atau bukan. Jika kamu heran dengan sikapnya," ucap Om Pras menatap keheranan Khansa. "Jadi Mas Pras juga merasakan hal yang sama dengan Khansa?" tanyanya pelan.Om Pras hanya tersenyum sekilas. Dilihatnya Asha yang sudah selesai memakan kuenya. "Asha, papa mau bicar
"Beep" Suara yang menandakan kunci terbuka, Khansa memutar knop dan mendorongnya hingga pintunya terbuka. Saat ditatapnya kamar yang dulu mereka tempati setelah menikah, Khansa membelalakkan matanya. Om Pras bilang tak akan merubahnya tapi apa yang dilihatnya sangat tidak sesuai. Ternyata ..., ada bagian yang berubah.Ruang tamu yang ada dihadapannya kini bertambah dengan sebuah meja dan dua kursi yang berada tepat dekat balkon. Sementara bagian lainnya masih sama seperti saat ditinggalkannya sekitar empat tahun yang lalu.Kini tatap mata Khansa terfokus pada meja dekat balkon. Dia tersenyum melihatnya, karena meja dan kursi itu sudah dihias dengan warna merah dan pink. Di tengah meja, tiga buah lilin dengan wadah berbentuk cinta siap dinyalakan. Om Pras berjalan mendahului menuju meja. Diletakkan buket bunga yang diberikan oleh Asha kemudian beranjak menuju pemanas di dapur. Dinyalakannya untuk memanaskan makanan yang ada di dalamnya. Menunggu hingga waktunya berhenti. Khansa melan
"Mas, Khansa mau bertemu mama dan papa serta Kak Yasmine. Boleh?" tanya Khansa sesaat Om Pras memastikan apakah Khansa masih tidur atau sudah terjaga. Huft ..., jadi Khansa sudah terbangun tadi. Saat dilihatnya kembali mata Khansa yang terpejam namun kini Dia yakin jika Khansa sudah terbangun, karena pipinya yang merona. Pasti karena tak menolak perlakuanku tadi."Kenapa Hanny? masih malu melayani suami sendiri?" tanya Om Pras sambil mengecup pucuk kepala Khansa dengan lembut. Khansa mencubit lengan Om Pras yang berteriak kesakitan. "Jangan pura-pura deh mas, tenaga Khansa tidak akan membuat cubitan di lengan mas sakit," ucapnya merajuk. "Ya sudah pasti Hanny, karena tenagamu sudah habis. Benar kan? Papa pesankan makanan, Hanny mau apa?" tanyanya tersenyum."Apa saja Pa," jawab Khansa pelan. " Nah gitu dong, papa. Terima kasih ya Hanny. Asha pasti senang sekali jika kita tinggal bersama di sini," ucap Om Pras tersenyum."Di sini?!"Om Pras menatap Khansa heran. Memangnya mau tinggal
"Apakah perhitungan keuntungan tidak sesuai dengan kontrak sebelumnya?" tanya Om Pras penasaran melihat ekspresi Brian."Bukan... bukan. Aku kira aku harus membayarkan finalti karena kesalahan yang kulakukan. Tapi...," ucapan Brian dipotong Om Pras."Brian sudah kukatakan sejak awal. Bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga besar kami. Apalagi kamu sudah menyelamatkan Daniar. Anggap saja sebagian merupakan kompensasi ucapan terima kasih kami padamu. Kami harap kehidupanmu selanjutnya bisa lebih," ucap Om Pras menjelaskan."Terima kasih banyak Pak Pras, aku berjanji tak akan melakukan kesalahan lagi," ucap Brian pelan.Brian kamu akan mengeluarkan biaya pengobatan yang besar untuk Hary, Diana sudah menghubungiku untuk meminta bantuan tanpa sepengetahuanmu, Batin Prasetya sambil tersenyum pada Brian. Aku sudah berjanji pada Diana tidak akan memberitahukanmu. Selamanya ini akan kusipan baik-baik.***"Mama... Papa...!"
Khansa menyeruak kerumunan orang, tadi dia yakin elihat Kak Yasmine dan Amran. Semoga apa yang dilihatnya memang benar, batinnya meragu. Khansa tersenyum sekilas saat melihat mereka berdua memang ada di sana. Yansmin dan Daniar berjongkok di samping Brian yang terluka. Amran sedang melakukan panggilan telepon. Khansa menghampiri Kak Yasmine dan Daniar."Kak... Bagaimana?" tanyanya gugup."Khansa! Sedang apa...?" kaget suara Yasmine melihat adiknya di sini."Aku menjemput Asha dan melihat kecelakaan. Daniar...?" tanyanya kini pandangannya beralih pada Daniar yang masih menangis.Daniar menggeleng pelan sambil berucap, "Ayah... tante."Suara ambulan membelah kerumunan hingga petugas mengangkat tubuh Brian. Daniar dipeluk Kak Yasmine sambil menenangkan tangisnya yang mengeras. Amran terlihat berbincang sejenak dengan petugas ambulan, kemudian memberikan perintah pada sopirnya."Kita ke rumah sakit. Khansa sud
Khansa mendengar suara lain yang meneriakkan nama 'Daniar'. Sesaat kemudian Khansa menghentikan langkahnya setelah lebih dahulu memastikan yang dilihatnya. Sejenak Khansa memastikan sekali lagi sebelum berbalik kembali ke mobil yang membawa mereka tadi."Asha, mama bisa minta tolong?" tanya Khansa pelan.Asha yang masih shok dengan apa yang dilihatnya tadi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Khansa memahami kekhawatiran Asha pada Daniar."Sayang yang tertabrak bukan Kak Daniar. Namun mama ingin memastikan kondisi kakak. Asha pulang dengan sopir ya. Mama titip Shasha. Tadi minta dibelikan es krim," ucap Khansa cepat.Tanpa menunggu anggukan kepala Asha, Khansa kini berpesan pada sopir, "Pak bawa Asha pulang dahulu, sekalian kabari Pak Prasetya. Saya menunggu di rumah sakit."Sopir yang mengerti maksud Khansa langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan mulai bergerak meninggalkan Khansa yang kembali menuju lokasi kecelakaan. K
"Iya mama, Daniar sudah siap bertemu ayah," jawab Daniar memastikan permintaannya. Yasmine memahami rasa sakit yang dirasakan Daniar oleh penolakan yang dilakukan Brian. Sama sakitnya karena hal itu berarti tuduhan padanya melakukan perselingkuhan dahulu. Yasmine menarik napas dalam setelah memastikannya. "Daniar, mama akan menghubungi ayah dahulu. Jika waktunya sudah disepakati, sepulang sekolah kita akan menemuinya?" ucap Yasmine dengan suara pelan. "Iya ma boleh," jawab Daniar singkat. "Baiklah, aku akan menemani kalian bertemu Brian. Aku akan menjaga jarak agar Brian nyaman bertemu Daniar, Bagaimana?" tanya Amran sekaligus permintaan untuk menemani mereka. "Sudah seharusnya. Aku juga tak akan membiarkan Daniar tanpa pengawasan. Terima kasih Amran," ucap Om Pras menyetujui permintaan Amran. Yasmine mengangguk setuju. Daniar mengucapkan terima kasih pada Papa Amran dan pamit untuk bermain kembali dengan Asha dan Shasha. *** "Pa, Rama masih cuti. Apa harus hari in
Daniar terdiam sesaat mendengar ucapan mamanya, satu hal yang ingin dilupakannya namun diucapkan dengan jelas oleh mamanya. Sesaat diingatnya saat Ayah Brian menolak mengakuinya sebagai putrinya. Mama menangis dan memohon untuk melakukan pengecakan kembali, namun ayahnya menolak. "Mama..., apakah ayah sudah mengakui Daniar sebagai putrinya?" tanyanya polos menatap Yasmine ragu. "Daniar, kamu memang putri dari Ayah Brian. Apakah mama masih belum cukup membuktikannya pada Daniar?" tanya mama menekankan."Ma, Daniar percaya pada mama, tapi ayah....?" ucapnya pelan. Daniar tak melanjutkan ucapannya. Luka yang digoreskan ayah kandungnya perlahan kembali terbuka. Penolakan yang dilakukan hingga tuduhan yang membuat mamanya menangis dahulu kembali terbersit dalam ingatannya. "Daniar, Papa Amran rasa kali ini Ayah Brian sudah mengetahui kebenarannya. Daniar mau memaafkannya bukan?" ucapan Amran membuat Daniar menoleh padanya dan menatap tak percaya. "Ayah Brian ingin bertemu dengan Daniar
"Jika kamu adalah laki-laki sejati, selesaikanlah permasalahan yang seharusnya sudah selesai. Jangan membuat orang lain menderita karena kamu tidak bertanggung jawab," ucap Om Pras menatap tajam Brian dan langsung membalikkan badannya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.Brian terdiam mendengarnya. Sudah lama dia tak menanyakan kabar putrinya yang sempat ditolak keberadaannya. Setelah Papa Hary meminta dikirim ke luar negeri untuk proses kesembuhan ditemani Mama Pratiwi dan Diana, Brian mendapatkan informasi jika Daniar memang putri kandungnya. Yasmine sudah tak pernah mencarinya. Brian mendengar jika saat ini Yasmine bekerja di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki posisi yang cukup tinggi, "Apakah ini sebabnya mereka tak mencari keberadaanku?" tanya Brian dalam hati.Seketika rasa rindu menyeruak. Aku akan mencoba menemui Daniar. Pasti Daniar senang jika aku menemuinya, batin Brian dengan senyum tersungging di bibirnya. ***"Bagaimana menurutmu AMran? Apakah aku harus men
"Pras! Apa maksudmu?" seru Rama kesal mendengar ucapan Om Pras. "Pras, apa yang membuat kamu tidak menyetujuinya. Bukannya kamu selalu meminta mama merestui hubungan Nadin dan Rama?" tanya mama heran. Om Pras menatap tajam sesaat. Lama kelamaan wajahnya mengendur dan menarik napas panjang. "Aku tidak setuju jika pernikahan mereka ditunda-tunda. Seluruh persiapan dan acara pernikahan aku yang mengaturnya. Bulan depan ijab qobul dan resepsi langsung digelar!" ujar Om Pras memerintah dengan tegas.Nadin dan Rama yang mendengar berbarengan melakukan protesnya, "Bulan depan??!"Mama yang mendengar ucapan Om Pras tersenyum senang, namun akhirnya tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Rama dan Nadin.***"Pras, bagaimana dengan proyek Brian. Hasil analisaku tidak semua yang diambil Brian merugikan. Sepertinya kita harus memilah dan memilih dengan cermat. Minimal tidak menanggung banyak kerugian," ucap Rama saat Om Pras memintanya menganalisa beberapa solusi yang akan diambil. Om Pras ha
Beberapa orang langsung bangun dari kursinya memberikan penghormatan atas kedatangan kembali Prasetya. Om Pras membalas dengan anggukan kepalanya Om Pras melangkah tegap didampingi Rama. Siapa yang tak tahu sepak terjang dua sahabat ini. Mereka langsung menduduki kursi yang kosong. "Pak Pras, akhirnya. Kami sudah lama menantikan nya," seru sebuah suara yang terdengar sangat senang. Brian menatap tak percaya. Sesekali dilirikkan matanya pada Pak Burhan. Dia ingin memastikan apakah Prasetya dan Burhan bekerja sana. Tak ada kekagetan dari wajah Burhan. Terdengar hembusan napas dalam dari Burhan hingga akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang mengundangnya untuk datang? Bukankah dia bukan pemilik saham lagi?" tanya Brian geram melihat ke arah Prasetya dan Rama. Tak ada yang menjawab. Sebagian besar yang hadir di dalam ruangan sangat mengharapkan Pak Prasetya kembali memimpin Narendra. "Saya yang mengundangnya," jawab Pak Burhan berusaha tenang. "Dalam kapasitas apa mereka
Pagi ini seluruh Dewan Direksi sudah menempati kursinya, tersisa empat kursi yang kosong di bagian depan. Beberapa saling menyapa kabar masing-masing, namun juga bertanya dengan pertemuan mendadak pagi ini. "Apakah kelakuan Brian sudah diketahui Pak Burhan?" bisik seorang pada rekan di sebelahnya. "Pak Burhan dan Brian bukannya saling mendukung. Ini berarti dia akan membiarkan atau malah membuat Brian merajalela di perusahaan," bisik lainnya. "Tak ada yang mengalahkan Prasetya dalam memimpin Narendra. Dia mewarisi papanya yang bertangan besi," bisik lainnya. "Tapi sikapnya itu yang membuat Narendra maju pesat. Siapa yang tak sejalan langsung disingkirkan," kenang mereka mengenai masa lalu. "Ya..., ya. Tapi itu juga yang menghancurkannya. Kelicikan Hary mengawali semuanya...," ucapan yang tak diselesaikan namun yang mendengar mengangguk-angguk setuju. Hary yang tak puas dan iri saat itu, memecah belah dua sahabat hingga berujung perselisihan panjang. Jika saja saat itu k