Khansa sudah berbaring di atas kasur saat Om Pras yang masuk membawa kue yang sudah ditata di piring. Diletakkannya di atas nakas, dan ikut berbaring di samping Khansa. Om Pras hanya melirik Khansa sejenak saat Khansa menarik selimutnya tinggi hingga menutupi seluruh wajahnya. Om Pras tersenyum melihatnya, sepertinya sikap kekanakannya kembali datang. Om Pras mengambil kue yang masih hangat dan memotongnya hingga aroma kue memenuhi kamar. Khansa yang mencium aroma yang lezat merasa terusik, perutnya mulai berbunyi pelan. Ditahannya agar tidak terdengar, Om Pras yang mendengar mulai tersenyum. Didekatinya Wajah Khansa yang masih tertutup kain. "Kalau tidak mau membuka kainnya aku akan habiskan kue yang sangat lezat ini. Jangan salahkan jika akan habis dalam sekejap" ujarnya sambil meledek. Khansa tak bergeming, Om Pras melanjutkan makannya. Beberapa saat kemudian, dia dikagetkan dengan piring yang direbut Khansa dan gerakan Khansa yang akan turun dari tempat tidur. Tangan Om Pras den
Sudah satu pekan Pras meradang, semua orang diminta mencari dimana keberadaan Khansa, termasuk Rama. Dia harus bolak-balik antara kampus dan kantor utama. Setiap hari melaporkan pencarian yang dilakukan anak buahnya. Pekerjaannya banyak yang tertunda. Dia juga tak ingin mengecewakan Khansa yang memberikan kepercayaan padanya. "Bagaimana mungkin mencari seorang Khansa saja tidak bisa, apakah dunia ini terlalu luas untuk kalian?" tanya Pras sambil menunjuk pada anak buahnya yang menunduk di hadapannya. Rama yang memantau hanya menunduk sambil sesekali melirik ke arah Pras. Jika ada orangnya mengetahui keberadaan Khansa langsung diancamnya akan kehilangan pekerjaan. Satu bulan berlalu, Pras masih mencari keberadaan Khansa yang seperti hilang ditelan bumi, Rama selalu menjadi sasaran kemarahannya. Bukan hanya marah, namun juga bentakan kasar kadang diterimanya. Rama hanya menahan nafasnya, berharap jika semua pengorbanannya kini, akan memberikan kebaikan pada bosnya nanti. Hingga akhi
Pak Rama langsung menghampiri Khansa yang sudah ada di lantai diperiksanya kondisi Khansa. Sekretaris yang menghampiri mereka diminta untuk memberitahukan sopir agar bersiap di depan pintu. Diminta bantuan seorang karyawan yang ada di sana untuk membantu membopong Khansa menuju mobilnya. "Ke rumah sakit. Cepat!" perintah Pak Rama. Pak Rama menghubungi Dimas, selama ini Dimas yang mengurus semua keperluan Khansa di rumah sakit. Dimas dan Riska langsung menyusul ke rumah sakit setelah menerima pesan dari Pak Rama. Tadi saat meninggalkan mereka Khansa baik-baik saja. Ada apa sebenarnya? tanya Dimas sambil menatap Riska bingung. Sesampainya di rumah sakit Dimas langsung menghampiri Khansa, menatap dokter seakan bertanya. "Tidak apa-apa hanya kelelahan, bayinya kuat dan sehat," ucap dokter menjelaskan.Khansa masih tidur setelah mendapatkan pemeriksaan. Dimas dan Riska menarik napas lega. Pak Rama yang juga baru datang setelah mengurus administrasi bertanya pada Dimas, "Apa kata dokter?"
Kini Asha sudah berusia enam bulan. Pak Rama menyediakan seorang baby sitter untuk Asha. Khansa ingin menyelesaikan kuliahnya dengan baik, untuk itulah pengasuh sangat dibutuhkannya. Saat Khansa kuliah Asha akan diasuh baby sitternya, namun jika Khansa di rumah semua keutuhan Asha dipenuhinya.Khansa sudah kembali mengikuti kelas dan beraktivitas seperti sebalumnya. Saat masuk kelas Khansa selalu mematikan ponselnya. Dia ingin konsentrasinya tidak terganggu, kuliahnya harus selesai secepat mungkin agar bisa mengasuh Asha putranya. Siang ini selepas kuliah dinyalakannya ponsel kembali. Beberapa panggilan masuk tertera di layar. Dari pengasuh Asha. Dibacanya pesan yang masuk.-Asha panas, saya bawa ke rumah sakit dibantu tetangga. Saya tidak ingin hal buruk terjadi Bu, maafkan saya.- Khansa panik membaca pesan yang dibaca pertama kalinya. Dari kejauhan Dimas melihatnya kemudian mulai melangkah menghampiri Khansa. Dilanjutkan membaca pesan berikutnya. -Ini alamat rumah sakitnya.- "Ash
"Apakah kamu Pras?" tanya Dimas sambil menarik topinya. Ternyata bukan orang yang mereka duga sebelumnya. Lelaki itu terdiam dengan takut, Dimas mulai mengintrograsinya. "Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya tegas. Digelengkan kepalanya tanpa membuka suaranya. Dimas yang kesal mulai mengancam. "Jika tidak mengaku aku akan panggil polisi, dengan tuduhan melakukan ancaman dan menakuti Khasna!" tegasnya hingga membuat lelaki itu menggeleng lebih kencang. "A...da yang menyuruhku, tapi bapak itu minta jangan sampai ketahuan. Nanti pekerjaan saya tidak dibayarnya," jelasnya pelan. "Siapa?" tanya Khansa cepat. "Pak Ra...ma, dia tidak mau diketahui telah membantu. Pak Rama bilang agar pahalanya dari Allah saja," jelasnya cepat. Dimas menghembuskan nafasnya pelan, dia mengira ini ada hubungannya dengan Pras, Papa Asha. Tapi ternyata kembali semua diatur oleh Pak Rama. "Ya sudah, anggap saja belum ketahuan. Biar Pak Rama terus mendapatkan pahalanya. Kami juga akan berpura-pura tidak mengetahuin
"Papa Pras?!"Khansa mendelikkan matanya kaget mendengar nama yang disebut Asha. Dari mana Asha tahu nama papanya. Selama ini dia hanya menunjukkan fotonya tanpa menyebutkan namanya. Asha yang mengetahui kekeliruannya langsung memasang wajah tak bersalah dan berucap, "Kata teman-teman nama Papa Asha, Papa Pras ma." "Prasha. Jika nama belakang adalah nama mama, pasti nama depan adalah nama papa, begitu yang dikatakan teman-teman. Apakah benar ma?" lanjutnya dengan polos bertanya. Khansa terdiam tak bisa menjawab. Memang benar yang dikatakan Asha. Prasha diambil dari nama Mas Pras dan dia sendiri. Ditariknya nafas untuk menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Asha. "Ya, kalau namanya diambil dari Om Dimas namanya jadi Disha, begitu bukan maksud Asha?" tanya Dimas yang menyela percakapan mereka. "Wah benar sekali om, berarti Asha bukan anak om kan?" tanya Asha kali ini pada Dimas. "Mau anak om atau bukan, mau ikut beli es krim tidak? Kita belikan untuk mama dan tante Riska sekali
Pras hanya menatap Khansa yang melangkah bersama Dimas, jadi benar selama ini yang memberikan dukungan pada Khansa dan Asha adalah Dimas. Khansa pernah menjelaskan jika Dimas dan Riska berpacaran, namun dia tak pernah melihat kedekatan mereka, yang dilihatnya malah tatap mata Dimas yang sangat menyayangi Khansa juga putranya Asha."Apakah Dimas mengharapkan keduanya menjadi bagian kehidupannya?" tanya Pras membatin. Pras menggelengkan kepalanya tak ingin hal itu menjadi kenyataan. Sampai kapanpun Khansa adalah miliknya dan akan selalu menjadi miliknya. Dihembuskan nafasnya pelan.Amanda yang ada dihadapannya kini tak berani lagi menyentuh tangannya setelah tadi Pras menarik tangannya dengan kasar. Amanda kembali menunduk, sudah dipesankan oleh Mama Dewi jika dia harus menuruti semua yang diinginkan Pras, bagaimanapun saat ini dia sedang memerankan Amanda yang menurut Brian sangat dicintai Pras.Kebutuhan untuk mendapat uang yang dapat memenuhi kebutuhannya
"Pras mengancam jabatanku saat ini, jika lebih memilih membantu Khansa dari pada membantunya," jelas Pak Rama yang kemudian terdiam.Dimas tak bisa menyalahkannya. Direktur Kampus Dwi Aksara adalah jabatan tertinggi di sini. Pak Rama tak mungkin mempertaruhkan jabatannya hanya untuk hal yang tak berkaitan dengannya. "Apakah sebaiknya Khansa tahu mengenai hal ini?" tanya Dimas pelan. "Pak Pras akan membuka semuanya besok setelah wisuda, sebaiknya kita membiarkan mereka saling memahami. Dengan begitu hubungan mereka akan membaik," saran Pak Rama pada Dimas. Mereka terdiam, apa yang dikatakan Pak Rama ada benarnya, sepertinya Dimas harus mulai menarik diri perlahan. Dimas tak mau rasa sakit hatinya semakin dalam dan akan membebani Khansa. Diberikannya senyuman pada Pak Rama untuk menguatkan dirinya sendiri. "Baik Pak Rama, itu saja yang ingin saya tanyakan. Semoga besok semuanya sesuai dengan harapan kita," ucap Dimas kemudian. Sebuah pesan dari Riska mengingatkan untuk menemput ayah