Sudah satu pekan Pras meradang, semua orang diminta mencari dimana keberadaan Khansa, termasuk Rama. Dia harus bolak-balik antara kampus dan kantor utama. Setiap hari melaporkan pencarian yang dilakukan anak buahnya. Pekerjaannya banyak yang tertunda. Dia juga tak ingin mengecewakan Khansa yang memberikan kepercayaan padanya. "Bagaimana mungkin mencari seorang Khansa saja tidak bisa, apakah dunia ini terlalu luas untuk kalian?" tanya Pras sambil menunjuk pada anak buahnya yang menunduk di hadapannya. Rama yang memantau hanya menunduk sambil sesekali melirik ke arah Pras. Jika ada orangnya mengetahui keberadaan Khansa langsung diancamnya akan kehilangan pekerjaan. Satu bulan berlalu, Pras masih mencari keberadaan Khansa yang seperti hilang ditelan bumi, Rama selalu menjadi sasaran kemarahannya. Bukan hanya marah, namun juga bentakan kasar kadang diterimanya. Rama hanya menahan nafasnya, berharap jika semua pengorbanannya kini, akan memberikan kebaikan pada bosnya nanti. Hingga akhi
Pak Rama langsung menghampiri Khansa yang sudah ada di lantai diperiksanya kondisi Khansa. Sekretaris yang menghampiri mereka diminta untuk memberitahukan sopir agar bersiap di depan pintu. Diminta bantuan seorang karyawan yang ada di sana untuk membantu membopong Khansa menuju mobilnya. "Ke rumah sakit. Cepat!" perintah Pak Rama. Pak Rama menghubungi Dimas, selama ini Dimas yang mengurus semua keperluan Khansa di rumah sakit. Dimas dan Riska langsung menyusul ke rumah sakit setelah menerima pesan dari Pak Rama. Tadi saat meninggalkan mereka Khansa baik-baik saja. Ada apa sebenarnya? tanya Dimas sambil menatap Riska bingung. Sesampainya di rumah sakit Dimas langsung menghampiri Khansa, menatap dokter seakan bertanya. "Tidak apa-apa hanya kelelahan, bayinya kuat dan sehat," ucap dokter menjelaskan.Khansa masih tidur setelah mendapatkan pemeriksaan. Dimas dan Riska menarik napas lega. Pak Rama yang juga baru datang setelah mengurus administrasi bertanya pada Dimas, "Apa kata dokter?"
Kini Asha sudah berusia enam bulan. Pak Rama menyediakan seorang baby sitter untuk Asha. Khansa ingin menyelesaikan kuliahnya dengan baik, untuk itulah pengasuh sangat dibutuhkannya. Saat Khansa kuliah Asha akan diasuh baby sitternya, namun jika Khansa di rumah semua keutuhan Asha dipenuhinya.Khansa sudah kembali mengikuti kelas dan beraktivitas seperti sebalumnya. Saat masuk kelas Khansa selalu mematikan ponselnya. Dia ingin konsentrasinya tidak terganggu, kuliahnya harus selesai secepat mungkin agar bisa mengasuh Asha putranya. Siang ini selepas kuliah dinyalakannya ponsel kembali. Beberapa panggilan masuk tertera di layar. Dari pengasuh Asha. Dibacanya pesan yang masuk.-Asha panas, saya bawa ke rumah sakit dibantu tetangga. Saya tidak ingin hal buruk terjadi Bu, maafkan saya.- Khansa panik membaca pesan yang dibaca pertama kalinya. Dari kejauhan Dimas melihatnya kemudian mulai melangkah menghampiri Khansa. Dilanjutkan membaca pesan berikutnya. -Ini alamat rumah sakitnya.- "Ash
"Apakah kamu Pras?" tanya Dimas sambil menarik topinya. Ternyata bukan orang yang mereka duga sebelumnya. Lelaki itu terdiam dengan takut, Dimas mulai mengintrograsinya. "Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya tegas. Digelengkan kepalanya tanpa membuka suaranya. Dimas yang kesal mulai mengancam. "Jika tidak mengaku aku akan panggil polisi, dengan tuduhan melakukan ancaman dan menakuti Khasna!" tegasnya hingga membuat lelaki itu menggeleng lebih kencang. "A...da yang menyuruhku, tapi bapak itu minta jangan sampai ketahuan. Nanti pekerjaan saya tidak dibayarnya," jelasnya pelan. "Siapa?" tanya Khansa cepat. "Pak Ra...ma, dia tidak mau diketahui telah membantu. Pak Rama bilang agar pahalanya dari Allah saja," jelasnya cepat. Dimas menghembuskan nafasnya pelan, dia mengira ini ada hubungannya dengan Pras, Papa Asha. Tapi ternyata kembali semua diatur oleh Pak Rama. "Ya sudah, anggap saja belum ketahuan. Biar Pak Rama terus mendapatkan pahalanya. Kami juga akan berpura-pura tidak mengetahuin
"Papa Pras?!"Khansa mendelikkan matanya kaget mendengar nama yang disebut Asha. Dari mana Asha tahu nama papanya. Selama ini dia hanya menunjukkan fotonya tanpa menyebutkan namanya. Asha yang mengetahui kekeliruannya langsung memasang wajah tak bersalah dan berucap, "Kata teman-teman nama Papa Asha, Papa Pras ma." "Prasha. Jika nama belakang adalah nama mama, pasti nama depan adalah nama papa, begitu yang dikatakan teman-teman. Apakah benar ma?" lanjutnya dengan polos bertanya. Khansa terdiam tak bisa menjawab. Memang benar yang dikatakan Asha. Prasha diambil dari nama Mas Pras dan dia sendiri. Ditariknya nafas untuk menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Asha. "Ya, kalau namanya diambil dari Om Dimas namanya jadi Disha, begitu bukan maksud Asha?" tanya Dimas yang menyela percakapan mereka. "Wah benar sekali om, berarti Asha bukan anak om kan?" tanya Asha kali ini pada Dimas. "Mau anak om atau bukan, mau ikut beli es krim tidak? Kita belikan untuk mama dan tante Riska sekali
Pras hanya menatap Khansa yang melangkah bersama Dimas, jadi benar selama ini yang memberikan dukungan pada Khansa dan Asha adalah Dimas. Khansa pernah menjelaskan jika Dimas dan Riska berpacaran, namun dia tak pernah melihat kedekatan mereka, yang dilihatnya malah tatap mata Dimas yang sangat menyayangi Khansa juga putranya Asha."Apakah Dimas mengharapkan keduanya menjadi bagian kehidupannya?" tanya Pras membatin. Pras menggelengkan kepalanya tak ingin hal itu menjadi kenyataan. Sampai kapanpun Khansa adalah miliknya dan akan selalu menjadi miliknya. Dihembuskan nafasnya pelan.Amanda yang ada dihadapannya kini tak berani lagi menyentuh tangannya setelah tadi Pras menarik tangannya dengan kasar. Amanda kembali menunduk, sudah dipesankan oleh Mama Dewi jika dia harus menuruti semua yang diinginkan Pras, bagaimanapun saat ini dia sedang memerankan Amanda yang menurut Brian sangat dicintai Pras.Kebutuhan untuk mendapat uang yang dapat memenuhi kebutuhannya
"Pras mengancam jabatanku saat ini, jika lebih memilih membantu Khansa dari pada membantunya," jelas Pak Rama yang kemudian terdiam.Dimas tak bisa menyalahkannya. Direktur Kampus Dwi Aksara adalah jabatan tertinggi di sini. Pak Rama tak mungkin mempertaruhkan jabatannya hanya untuk hal yang tak berkaitan dengannya. "Apakah sebaiknya Khansa tahu mengenai hal ini?" tanya Dimas pelan. "Pak Pras akan membuka semuanya besok setelah wisuda, sebaiknya kita membiarkan mereka saling memahami. Dengan begitu hubungan mereka akan membaik," saran Pak Rama pada Dimas. Mereka terdiam, apa yang dikatakan Pak Rama ada benarnya, sepertinya Dimas harus mulai menarik diri perlahan. Dimas tak mau rasa sakit hatinya semakin dalam dan akan membebani Khansa. Diberikannya senyuman pada Pak Rama untuk menguatkan dirinya sendiri. "Baik Pak Rama, itu saja yang ingin saya tanyakan. Semoga besok semuanya sesuai dengan harapan kita," ucap Dimas kemudian. Sebuah pesan dari Riska mengingatkan untuk menemput ayah
Beruntung mereka tidak terjebak kemacetan, terlambat sedikit saja pastinya mereka harus mengantre untuk waktu yang cukup lama. Mereka hanya terjebak kemacetan di dalam lingkungan kampus karena menunggu antrean mobil yang akan parkir. Dimas menawarkan menurunkan mereka di lobi, namun ditolak Khansa. "Kita turun sama-sama saja, biar seru," ucapnya menjawab tawaran Dimas. "Iya om. Seru jalan bareng anak ganteng seperti Asha, nanti pasti banyak yang terkagum-kagum," jawabnya dengan mimik yang lucu. Kami yang mendengarnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Dimas berusaha mencari parkir yang tidak jauh dari pintu utama acara, saat dilewatinya parkir VIP, seorang sekuriti memberi tanda untuk masuk. Dimas langsug mengambil tempat di salah satu ruang di sana. "Tidak apa kita parkir di sini?" tanya Riska melihat Dimas menggambil salah satu tempat. "Tidak apa tante Papa Asha baik kok," jawabnya sambil tersenyum. "Iya kan Om Dimas? itu ada Pak Rama, Ma. Pasti menunggu Asha kan?" tanyany
"Sudah Mas, saya simpan dalam laci meja di pabrik," jawab Raihan pelan."Besok antarkan padaku. Semuanya harus dipastikan sesuai sebelum Khansa menerimanya. Aku tak ingin ada kesalaha di masa depan," tekan Asyraf pada Raihan yang hanya terdiam di kursinya.Raihan tak berani memberikan komentar hanya terdiam sambil menatap lurus pada wajah kakaknya yang terlihat lebih pucat kini."Mas sebaiknya istirahat. Aku panggilkan Mba Arini sekalian pamit kembali ke pabrik," ujar Raihan tanpa meminta pesetujuan. Raihan yakin hanya Mba Arini yang kini didengar Asyraf. Jika mereka melanjutkan perbincangan sudah dipastikan akan melelahkan Asyraf. Raihan bergegas keluar ruang kerja Asyraf dan memanggil Mba Arini yang menunggu di ruang keluarga. Setelah menyampaikan keinginan Asyraf bertemu Khansa dan Prasetya, Raihan melangkah keluar. Dari sudut matanya dilihat tangan Mba Arini mengusap pipinya dan memastikan sekali lagi sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Asyraf yang baru ditinggalkann
"Rama lihatlah dengan mata hatimu jangan melihat hanya di kulitnya saja," ucap Pak Burhan lagi sambil melangkahkan kakinya keluar ruang rapat. Rama terdiam sesaat. Dicoba mengingat apa yang dipesankan Prasetya padanya. Dari proses serah terima Prasetya tak pernah terlihat marah dengan Pak Burhan, namun kemarahannya pada saat bertatapan dengan Brian. Apakah Pak Burhan sebenarnya berpihak pada Prasetya? Bukan pada Brian? batin Rama bertanya.Rama tersenyum saat mengingat pesan Prasetya jika Pak Burhan pasti akan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sepertinya kini dia bisa tenang menjalankan tanggung jawabnya di Kampus Pratama. Sudah lama sekali dia tak berkunjung secara langsung. Selama ini setiap rapat dan pertemuan selalu dalam daring. Rama tersenyum lebih lebar lagi. Kini ditinggalkannya ruangan rapat yang penuh kenangan perjuangannya dengan Prasetya. ***"Raihan, bagaimana kondisi pabrik hari ini?" tanya Pak Asyraf di ponselnya."Sudah mencapai 80% pemulihan produksi pabrik,
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja."Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama."Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang."Semalam mobil Brian dipastikan kemba