Dimas hanya membalas tatapan mata Pras, namun tak bergerak sama sekali. Dia tahu jika Pras adalah pemilik kampus tempatnya kuliah. Jika dia salah bertindak maka resiko yang akan ditanggungnya pasti berat. Gilang dan Handy yang memperhatikan dari jauh menerka-nerka apa yang terjadi. Om Pras sudah membawa Khansa menuju mobil. Di dekat mobil Riska berdiri di samping Pak Rama. Riska hanya menunduk melihat Khansa yang datang ditarik oleh Om Pras. Khansa mendengus kesal dan berujar, "Aku akan mempertimbangkan lagi persahabatan kita. Semua karena kamu sudah memihak Om Pras." Riska yang mendengar ucapan Khansa kaget. Ditatapnya mata Khansa untuk memastikan apakah ucapannya serius atau hanya candaan. Ditatapnya Om Pras bergantian untuk memastikannya. "Jika karena aku persahabatan kalian putus, jangan salahkan jika aku akan membatalkan kelulusan Riska untuk kuliah di Dwi Aksara. Rama tunggu kabar dariku terkait kelulusan Riska," ucap Om Pras menekan Khansa dan Riska bersamaan. Khansa membela
"Ingin makan sesuatu?" tanya Om Pras saat dilihatnya Khansa yang membuang tatapannya ke jendela. Khansa tak menjawabnya. Pikirannya kalut saat ini, perasaannya pada Om Pras sudah mengalahkan perasaannya pada Dimas. Namun dengan kembalinya Kak Amanda berarti dia harus mengalah. Bagaimanapun Kak Amanda adalah kakak kandungnya dan lebih dahulu mengenal Om Pras. "Khansa!" teriak Om Pras marah. Dibalikannya tubuhnya hingga matanya menatap lekat Om Pras yang marah. Sesaat kemarahan Om Pras mencair, apalagi saat dilihatnya wajah Khansa sedikit pucat. Om Pras memperhatikan bagian perut Khansa, di mana ada calon putranya di dalam sana. Om Pras tersenyum saat membayangkan putranya nanti. Jika memliki sikap seperti Khansa tak dibayangkan menghadapi keduanya. "Om! Kenapa sekarang sering senyum-senyum sendiri? Om ingin menghancurkan Khansa ya? Om ingin meledek jika Khansa kalah, begitu?" tanyanya lantang hingga menghapus senyum di wajah Om Pras. "Apa maksudnya Hanny?" tanya Om Pras balik. "O
"Apa yang kamu katakan Brian? Aku tidak pernah mengambil apapun dari siapapun!" seru papa membela diri. Orang tua Khansa memang memintanya mencari informasi, hanya itu. Mereka melakukan sendiri tanpa campur tanganku, "Jika yang kamu kira itu adalah perusahaan yang saat ini papa jalani, itu memang milik Khansa yang dititipkan pada papa. Jika kelak Khansa sudah berusia 21 tahun papa harus mengembalikannya," jelas papa geram mendengar tuduhan Brian. "Jadi... Perusahaan papa milik Khansa?" tanya Yasmine pelan. Papa mengangguk dan berucap, "Untuk itulah papa membuat perusahaan yang memang papa buat untukmu Yasmine, namun saat baru saja berkembang. Pras mengetahuinya dan memutuskan dua kontrak kemarin. Kini Pras sudah mengembalikannya, jadi papa bisa tenang meninggalkanmu nanti." "Papa...!" ucap Yasmine yang langsung memeluknya. Sakit jantung yang dideritanya saat ini sudah sering kambuh. Yasmine tidak megetahuinya, karena semua ditutup rapat-rapat. Dianggapnya jika ini semua adalah pemba
"Nadin, semua rapat batalkan! Buat jadwal ulang pekan depan!" perintah Pras setelah tak bisa lagi menahan amarahnya. Diambilnya kunci mobil dari atas meja sambil menutup telepon dengan membantingnya di ke tempat semula. Nadin yang kaget mendengar teriakan saat mengangkat gagang telepon dan suara telepon dibanting, hanya bersungut dalam hati."Siapa lagi yang membuatnya kesal?" tanyanya dalam hati. Beberapa hari belakangan suasana hatinya sangat baik, amat baik malah. Semua pekerjaan menjadi mudah dan selesai dengan cepat. Jika sudah begini biasanya butuh waktu lebih lama untuk menyeslesaikan pekerjaannya.Dilihatnya Pras yang marah berjalan di depan mejanya tanpa menoleh sedikitpun. Begitu juga beberapa karyawan lain yang menundukkan kepala menyapanya tak dibalas seperti biasanya. Dalam hatinya sudah bersungut kesal, "Awas Khansa! Jika aku melihat Dimas di rumah, habislah dia nanti. Aku tak akan memaafkannya."Pras memacu mobilnya cepat, tak diindahkan lampu kuning yang sesaat berganti
Khansa sudah berbaring di atas kasur saat Om Pras yang masuk membawa kue yang sudah ditata di piring. Diletakkannya di atas nakas, dan ikut berbaring di samping Khansa. Om Pras hanya melirik Khansa sejenak saat Khansa menarik selimutnya tinggi hingga menutupi seluruh wajahnya. Om Pras tersenyum melihatnya, sepertinya sikap kekanakannya kembali datang. Om Pras mengambil kue yang masih hangat dan memotongnya hingga aroma kue memenuhi kamar. Khansa yang mencium aroma yang lezat merasa terusik, perutnya mulai berbunyi pelan. Ditahannya agar tidak terdengar, Om Pras yang mendengar mulai tersenyum. Didekatinya Wajah Khansa yang masih tertutup kain. "Kalau tidak mau membuka kainnya aku akan habiskan kue yang sangat lezat ini. Jangan salahkan jika akan habis dalam sekejap" ujarnya sambil meledek. Khansa tak bergeming, Om Pras melanjutkan makannya. Beberapa saat kemudian, dia dikagetkan dengan piring yang direbut Khansa dan gerakan Khansa yang akan turun dari tempat tidur. Tangan Om Pras den
Sudah satu pekan Pras meradang, semua orang diminta mencari dimana keberadaan Khansa, termasuk Rama. Dia harus bolak-balik antara kampus dan kantor utama. Setiap hari melaporkan pencarian yang dilakukan anak buahnya. Pekerjaannya banyak yang tertunda. Dia juga tak ingin mengecewakan Khansa yang memberikan kepercayaan padanya. "Bagaimana mungkin mencari seorang Khansa saja tidak bisa, apakah dunia ini terlalu luas untuk kalian?" tanya Pras sambil menunjuk pada anak buahnya yang menunduk di hadapannya. Rama yang memantau hanya menunduk sambil sesekali melirik ke arah Pras. Jika ada orangnya mengetahui keberadaan Khansa langsung diancamnya akan kehilangan pekerjaan. Satu bulan berlalu, Pras masih mencari keberadaan Khansa yang seperti hilang ditelan bumi, Rama selalu menjadi sasaran kemarahannya. Bukan hanya marah, namun juga bentakan kasar kadang diterimanya. Rama hanya menahan nafasnya, berharap jika semua pengorbanannya kini, akan memberikan kebaikan pada bosnya nanti. Hingga akhi
Pak Rama langsung menghampiri Khansa yang sudah ada di lantai diperiksanya kondisi Khansa. Sekretaris yang menghampiri mereka diminta untuk memberitahukan sopir agar bersiap di depan pintu. Diminta bantuan seorang karyawan yang ada di sana untuk membantu membopong Khansa menuju mobilnya. "Ke rumah sakit. Cepat!" perintah Pak Rama. Pak Rama menghubungi Dimas, selama ini Dimas yang mengurus semua keperluan Khansa di rumah sakit. Dimas dan Riska langsung menyusul ke rumah sakit setelah menerima pesan dari Pak Rama. Tadi saat meninggalkan mereka Khansa baik-baik saja. Ada apa sebenarnya? tanya Dimas sambil menatap Riska bingung. Sesampainya di rumah sakit Dimas langsung menghampiri Khansa, menatap dokter seakan bertanya. "Tidak apa-apa hanya kelelahan, bayinya kuat dan sehat," ucap dokter menjelaskan.Khansa masih tidur setelah mendapatkan pemeriksaan. Dimas dan Riska menarik napas lega. Pak Rama yang juga baru datang setelah mengurus administrasi bertanya pada Dimas, "Apa kata dokter?"
Kini Asha sudah berusia enam bulan. Pak Rama menyediakan seorang baby sitter untuk Asha. Khansa ingin menyelesaikan kuliahnya dengan baik, untuk itulah pengasuh sangat dibutuhkannya. Saat Khansa kuliah Asha akan diasuh baby sitternya, namun jika Khansa di rumah semua keutuhan Asha dipenuhinya.Khansa sudah kembali mengikuti kelas dan beraktivitas seperti sebalumnya. Saat masuk kelas Khansa selalu mematikan ponselnya. Dia ingin konsentrasinya tidak terganggu, kuliahnya harus selesai secepat mungkin agar bisa mengasuh Asha putranya. Siang ini selepas kuliah dinyalakannya ponsel kembali. Beberapa panggilan masuk tertera di layar. Dari pengasuh Asha. Dibacanya pesan yang masuk.-Asha panas, saya bawa ke rumah sakit dibantu tetangga. Saya tidak ingin hal buruk terjadi Bu, maafkan saya.- Khansa panik membaca pesan yang dibaca pertama kalinya. Dari kejauhan Dimas melihatnya kemudian mulai melangkah menghampiri Khansa. Dilanjutkan membaca pesan berikutnya. -Ini alamat rumah sakitnya.- "Ash